rangkuman ide yang tercecer

Rabu, 22 Agustus 2012

Mengukur Kedewasaan Kebangsaan Indonesia


Bagian Ketiga (Habis)

Indonesia menjadi Adidaya.    

 Usia 67 tahun adalah suatu usia cukup matang untuk membangun kedewasaan kebangsaan keindonesiaan seandainya seluruh rakyat republik ini konsisten dengan konsensus nasional proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 berdasarkan Pancasila dan UUD Republik Indonesia 1945.

Akan tetapi, selama kurun waktu 67 tahun pula negeri ini masih berkutat dipusaran perdebatan siapa penggali Pancasila, kapan lahir Pancasila yang menguras energi bangsa  banyak terbuang sia-sia.

Perdebatan itu dipicu pemutarbalikan fakta sejarah untuk kepentingan rezim berkuasa pada pemerintahan otoriter Soeharto yang diduga ingin menghapus dan menghilangkan peran Bung Karno di republik ini.

Padahal, peran besar Bung Karno di republik ini tidak seorang pun mampu menenggelamkannya walau dengan alasan apa pun.

Sebab seluruh dunia sudah tahu bahwa proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia lahir dari mulut Bung Karno pada tanggal 17 Agustus 1945 didampingi Bung Hatta atas nama seluruh rakyat Indonesia.

Ini adalah fakta sejarah yang tidak bisa diingkari atau dipungkiri oleh siapa pun  di republik ini, termasuk negara-negara di dunia selama Indonesia masih tetap langgeng sebagai negara merdeka.

Pemutarbalikan fakta sejarah bahwa Bung Karno bukan penggali Pancasila dan hari lahir Pancasila bukan 1 Juni 1945 yang dilancarkan ”Nugroho Notosusanto” mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di zaman rezim otoriter Seoharto telah membawa dampak besar penyelundupan sejarah bangsa.

Untung saja masih ada tokoh-tokoh bangsa yang tetap teguh memegang  kebenaran tentang peristiwa bersejarah itu sekaligus melakukan kritik keras terhadap Nugroho Notosusanto sembari berpendapat bahwa Soekarno adalah satu-satunya Penggali Pancasila.

Nugroho Notosusanto dituduh memutarbalikkan fakta, membuat ”dongeng” dan bukan menulis sejarah. (Pdt. Dr. Ayub Ranoh,  hal: 99, 2006).

Menurut Pdt. Dr. Ayub Ranoh, bahwa Soekarno memegang peran utama, juga bukan sekadar nama Pancasila yang jelas berasal dari Soekarno, melainkan terutama secara historis.

Hal itu dapat dilihat dari perkembangan ide-ide Soekarno sejak ia terjun dalam gerakan kemerdekaan sampai dengan saat percakapan tentang dasar negara.

Ketuhanan Yang Maha Esa menunjukkan pergumulan tentang kemajemukan agama, dan pergumulan tentang Islam.

Kemanusiaan yang adil dan beradab mencerminkan pendirian Soekarno tentang martabat manusia yang ditindas dalam sistem kolonial.

Persatuan Indonesia mencerminkan ide tentang nasionalisme, dan kegandrungannya pada persatuan.

Ide ini merupakan alat Soekarno untuk menggalang kebersamaan sejak ia mulai berjuang.

Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan adalah ciri demokrasi asli pribumi yang dikemukakan sebagai alternatif terhadap demokrasi liberal Barat.

Pola demokrasi asli inilah yang diterapkan dalam ”Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia” (PPPKI).

Keadilan sosial bagi seluruh rakyat adalah perhatian Soekarno pada kesejahteraan kaum pribumi (Marhaen) yang terabaikan dalam sistem kolonial. (Pdt. Dr. Ayub Ranoh, hal: 100, 2006).

Pancasila adalah salah satu ”Keajaiban dunia” yang merupakan fondasi kuat  tegak berdirinya ”Rumah Besar Pluralisme Indonesia” dari pemikiran jenius Bung Karno warisan seluruh rakyat Indonesia sepanjang sejarah.  

Berbagai bangsa di atas dunia berusaha dan berupaya untuk mempelajari keluarbiasaan, keistimewaan Pancasila mempersatukan aneka perbedaan, keragaman, kemajemukan atau pluralisme di bumi nusantara menjadi satu bangsa  yakni INDONESIA.

Sayangnya, keajaiban dunia itu belum maksimal digunakan untuk mewujudkan ”Indonesia Negara Adidaya” sebab pembangunan fisik gagal melahirkan pemimpin-pemimpin negarawan jenial untuk membangun kebanggaan bangsa.

Bila Bung Karno pernah mengatakan,” Berikan saya sepuluh orang putera-puteri terbaik yang mencintai bangsanya akan saya guncang dunia” maka yang terjadi era belakangan ini adalah lahirnya berjuta-juta ”jongos” feodal tidak memiliki urat malu memperhamba diri kepada kepentingan asing.

Gemar dan gila-gila pujian, serta sanjungan lembaga-lembaga internasional, bangga di atas angka-angka statistik hasil rekayasa, takut tak mendapat pinjaman utang luar negeri, karakter pemburu rente dan komisi, menjual martabat untuk mendapatkan martabak, menjual kedaulatan, jati diri untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan, mabuk kepayang di atas predikat-predikat internasional, degradasi karakter moral, dan paranoid dan lain-lain.

Faktor-faktor inilah yang menjadi interuptor mengapa republik ini belum bisa mewujudkan ”Indonesia Negara Adidya”.

Oleh karena itu, diperlukan ”revolusi berpikir” yakni mengakhiri perdebatan-perdebatan sejarah perjalanan bangsa sembari meluruskan pembelokan, pembelotan, penyelundupan, serta pemutarbalikan fakta sejarah agar bangsa ini tidak menjadi bangsa tidak tahu asal-usul.

Bangsa besar serta Adidaya adalah bangsa yang memiliki keluhuran karakter dan memilik jati diri sehingga mampu menjadi kampiun di dunia internasional.

Kehadiran seorang pemimpin negarawan jenial menahkodai republik ini menuju ”Indonesia Negara Adidaya” merupakan keharusan yang perlu segera direalisasi  melalui proses demokrasi yang baik dan benar.

Fajar As (1998) mengatakan, ”negara-negara Adidya di dunia memiliki perbedaan-perbedaan yang menonjol, tetapi faktor utama yang mendukung mereka menjadi Adidaya adalah Pembangunan Harga Diri Bangsa yang discenario oleh para pemimpin negeri tersebut”.

Peran pemimpin yang tangguh yang merupakan Negarawan dan Pemikir Besar memang sangat menentukan dalam proses membangun satu bangsa atau satu negeri menjadi kuat dan disegani oleh bangsa-bangsa atau negeri-negeri lainnya.

Dan tidak ada satu raspun di muka bumi ini, tidak ada satu warna kulitpun atau tidak ada satu etnis di planet bumi ini yang tidak tangguh, tidak ada satu ras yang lebih tinggi dari ras lainnya.

Keberhasilan dan kegagalan dari satu perjuangan bangsa, absolut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat bangsa yang bersangkutan.

Tetapi keberhasilan dan kegagalan satu perjuangan bangsa adalah tergantung jenialitas dan kebijakan sangat tinggi yang dimiliki oleh pemimpin bangsa tersebut.

Pemimpin demikian itu adalah pemimpin yang sangat tangguh dan tegar, yang mana menghentikan gerakannya yang diyakininya dan memang benar untuk kebesaran bangsanya menjadi mustahil sebagaimana mustahilnya menghentikan gerakan matahari.

Misalnya, negeri Vietnam memiliki keunggulan-keunggulan yang amat prima yaitu: lahan yang amat subur, minyak bumi, berbagai logam yang bernilai ekonomi sangat tinggi, hutan yang amat potensial, kekayaan maritim, dan titik-titik terindah planet bumi yang memiliki peluang menjadi Daerah Tujuan Wisata.

Kekayaan negeri Vietnam yang nilainya sangat sangat tinggi dan sangat sulit ditakar dengan ukuran ekonomi, adalah sumber daya manusia (SDM) Vietnam atau mayoritas rakyat Vietnam yang sangat ambisi belajar, sangat gemar membaca literatur, sangat suka bekerja keras dan dengan disiplin hidup yang sangat kuat.

Ditambah lagi dengan elit bangsa Vietnam yang kelihatannya mayoritas jenius dan memiliki karakter yang sangat tinggi.

Demikian juga negara China dibawah pemimpin besarnya Deng Zhiaoping yang melakukan terobosan-terobosan sangat konstruktif, menyelenggarakan reformasi ekonomi yang oleh Deng Zhiaoping disebut sebagai Socialist market economy, ”Miskin bukan sosialisme”, ”Menjadi kaya adalah Mulia”, adalah motto yang selalu dikemukakan dengan vokal oleh Deng Zhiaoping.

Yang paling utama dari kebijakan reformasi ekonomi China adalah membangkitkan pertumbuhan perekonomian negeri China yang membuka negeri China kepada dunia di luar China.

”Tak ada bedanya kucing, apakah warnanya hitam, atau warnanya putih sejauh gesit menangkap tikus, maka kucing tersebut adalah kucing yang baik” merupakan prinsip-prinsip kerja Deng Zhiaoping.

Salah satu syarat paling utama dan yang paling menentukan dalam proses satu bangsa atau satu negeri membukukan dirinya menjadi bangsa besar yang Adidaya dan Tangguh, adalah dalam hal adanya Pemimpin Bangsa dan negeri tersebut yang jenial, ambisius menjadikan negerinya menjadi Negeri Adidaya yang disegani oleh negeri-negeri lain, dan dalam kaitan ini berhasil membangun harga diri dan kebanggaan mayoritas rakyatnya.  
(Fajar As, hal: 39-53; 1998).

Apakah tidak keliru besar bila di usia 67 tahun kemerdekaan republik ini masih banyak rakyat Indonesia belum merasakan arti kemerdekaan sebab menunaikan ibadah agama dan kepercayaannya pun masih tertindas dan tidak nyaman.

Padahal, kebebasan menunaikan ibadah agama dan kepercayaan merupakan hak asasi manusia (HAM) paling dasar serta dijamin pasal 29 UUD Republik Indonesia 1945.

Bukankah hal itu salah satu bukti nyata kegagalan negara melindungi segenap rakyat Indonesia serta cerminan ketidakadilan yang masih menghantui negara berdasarkan Pancasila ini hingga usia 67 tahun ?.

Belum lagi pencaplokan wilayah Republik Indonesia yang dilakukan negara-negara lain seperti Sipadan dan Ligitan, serta aneka tindakan kriminal terhadap tenaga kerja Indonesia (TKI) di dalam dan luar negeri disebabkan negara alpa di ruang publik melakukan jaminan perlindungan terhadap rakyatnya sesuai amanat Pembukaan UUD Republik Indonesia 1945.

Karena itu, perlu segera dilakukan pendidikan karakter bangsa untuk melahirkan Bung Karno-Bung Karno muda untuk merevitalisasi konsep besar TRI SAKTI agar berdaulat di bidang politik, berdaulat di bidang kebudayaan, berdaulat di bidang ekonomi atau berdiri di atas kaki sendiri/ BERDIKARI.

Sebab, hanya bangsa berdaulat di bidang politik, berdaulat di bidang kebudayaan, berdaulat di bidang ekonomi bisa menjadi NEGARA ADIDAYA.

Penutup.

Mengukur kedewasaan kebangsaan Indonesia di usia 67 tahun pasca kemerdekaan 17 Agustus 1945 tentu haruslah menggunakan parameter  Pancasila dan UUD Republik Indonesia 1945 sebab di atas itu lah berdiri sebuah negara yang bernama INDONESIA.

Menggunakan parameter lain yang tidak sesuai dengan dasar republik ini merupakan suatu kekeliruan besar karena tidak sesuai dengan tujuan sejati pendirian bangsa yang dimaksudkan para pendiri bangsa (founding fathers).

Pancasila adalah fondasi dasar ”Rumah Besar Pluralisme Indonesia” sehingga setiap penolakan, pengingkaran terhadap perbedaan, keragaman, kemajemukan atau pluralisme sama artinya menolak dan mengingkari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila dan UUD Republik Indonesia 1945 yang menjunjung tinggi Bhinneka Tunggal Ika.

 Kemampuan menerima perbedaan, keragaman, kemajemukan atau pluralisme merupakan cerminan kedewasaan kebangsaan Indonesia karena hal itu merupakan konstruksi Ilahi serta kesadaran nasional para pendiri bangsa menjadi fondasi dasar ”Rumah Besar Pluralisme Indonesia” yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Di dalam rumah besar pluralisme itu lah bangsa Indonesia menjadi sebuah Negara Adidaya sekaligus keajaiban dunia karena mampu menyatukan, mengelola aneka perbedaan, keragaman, kemajemukan atau pluralisme sebagai energi besar bangsa Indonesia.

Potensi sumber daya alam (SDA) yang memiliki keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitif harus mampu dikelola efektif, efisien oleh sumber daya manusia (SDM) berkualitas serta memiliki nasionalisme Indonesia yang selalu mengutamakan kepentingan bangsa diatas kepentingan apa pun.

Untuk mewujudkan hal itu, perlu segera dilakukan pendidikan karakter bangsa guna melahirkan pemimpin-pemimpin negarawan jenial, ambisius  yang mampu membangkitkan kebanggaan dan harga diri, martabat, kedaulatan, serta jati diri bangsa Indonesia.

Medan, 19 Agustus 2012

Thomson Hutasoit.


Minggu, 19 Agustus 2012

Mengukur Kedewasaan Kebangsaan Indonesia


Bagian Kedua

Membangun karakter kebangsaan Indonesia.

Konsep pembangunan yang dilaksanakan selama 67 tahun kemerdekaan republik ini cenderung lebih berfokus pada pembangunan fisik semata, akibatnya perkembangan pembangunan fisik tidak seimbang dengan perkembangan pembangunan karakter kebangsaan Indonesia.

Degradasi karakter bangsa pun terjadi menuju titik nadir sehingga sangat sulit menemukan pemimpin-pemimpin berjiwa negarawan hingga terjadi defisit pemimpin negarawan.

Pembangunan fisik cenderung melahirkan pemimpin-pemimpin berkarakter hedonis, individualis, konsumtif, insolider, intoleran bahkan paranoid sehingga karakteristik spesifik bangsa Indonesia bersifat gotong-royong, solidaritas, menghormati pluralisme merupakan barang langka.

Padahal, karakter itulah salah satu kearifan lokal milik rakyat di bumi nusantara  yang menjadi energi besar mempersatukan visi nasional merebut kemerdekaan dari tangan pemerintah kolonial di masa lalu.

Bangsa ini lupa bahwa perjuangan kemerdekaan yang dilancarkan para pejuang bangsa di masa lalu bukanlah karena memiliki kekuatan perang yang hebat, tetapi semangat nasionalisme  berapi-api dengan tekad lebih baik mati daripada dijajah.

Mempertaruhkan harta, nyawa demi kemerdekaan bangsa adalah mulia dan kesatria sehingga para syuhada anak-anak ibu pertiwi rela keluar masuk penjara bahkan menjadi tulang-tulang berserakan tanpa pamrih merebut kemerdekaan bangsanya.

Di benak mereka tidak pernah terpikir mendapatkan berbagai macam penghargaan sebagaimana menjadi penyakit maniak kuasa saat ini.

Perjuangan mereka bukan hanya untuk dirinya, kelompoknya ataupun golongannya tetapi untuk seluruh bangsanya serta generasi-generasi yang belum lahir di seluruh sisik bumi Indonesia.

Mereka membangun persaudaraan abadi di atas seluruh perbedaan, keragaman, kemajemukan atau pluralisme dan bersumpah satu nusa, satu bangsa, satu bahasa yaitu INDONESIA. 

Suku Jawa, Suku Batak, Suku Nias, Suku Melayu, Suku Deli, Suku Pesisir, Suku Sunda, Suku Betawi, Suku Banten, Suku Aceh, Suku Menado, Suku Ambon, Suku Mentawai, Suku Minangkabau, Suku Bali, Suku Toraja, Suku Bugis, Suku Tidore, Suku Asmat, Suku Amungme, Suku Dayak, Suku Anak Dalam dan lain sebagainya adalah Saudara sekandung anak-anak Ibu Pertiwi Indonesia.

Keluruhan karakter itulah menjadi mutiara yang hilang di negeri ini sebab konsep pembangunan bangsa yang dilaksanakan selama ini tidak pernah diarahkan untuk memperkuat karakter kebangsaan dan keindonesiaan secara nyata.

Konsep-konsep pembangunan karakter kebangsaan dan keindonesia  telah dibajak para ”kloning” karakter kolonial serta maniak kuasa yang menghalalkan segala cara demi memenuhi hasrat berkuasa dan imperium kapital.

Bila para pendiri bangsa dengan sukarela mengorbankan sentimen sektarian-primordial demi kebangsaan dan keindonesiaan maka kini para maniak politik mencabik-cabik, mengobok-obok, merusak, membenturkan karakter kebangsaan keindonesiaan itu  demi kepentingan pribadi, kelompok dan golongannya.

Para maniak kuasa tidak merasa bersalah dan berdosa memolitisasi agama dan kepercayaan, suku, daerah ataupun sentimen-sentimen sektarianis-peimordialis lainnya demi mendapatkan segenggam kekuasaan.

Padahal, cara-cara demikian merupakan tindakan tak beradab yang sangat bertentangan dengan sila kedua Pancasila ”Kemanusiaan yang adil dan beradab”.

Melacurkan diri demi uang, jabatan atau kekuasaan, menjual martabat untuk mendapatkan martabak merupakan kerusakan karakter kebangsaan dan keindonesia paling buruk yang sudah dianggap jadi kelaziman di era edan ini.

Pemegang amanah atau kepercayaan telah mengkhianati amanah dan kepercayaan itu dengan sangat memalukan seperti melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) serta penyelewengan jabatan dengan melanggar sumpah.  

Tindak pidana korupsi merajalela di segala lini termasuk di departemen agama yang seharusnya menjadi benteng garda moral di republik ini.

Hakim  yang dipersonifikasikan wakil Tuhan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan tidak luput juga dari aib memalukan melakukan tindak pidana korupsi mempertegas pameo ”hubungi aku kalau ingin menang/HAKIM, atau kasih uang habis perkara/KUHP”.

Oknum Hakim nakal, jaksa, polisi, anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD kabupaten/kota, menteri, gubernur, bupati/walikota, pegawai dirjen pajak, gubernur Bank Indonesia, pejabat badan usaha milik negara (BUMN), badan usaha milik daerah (BUMD), pegawai negeri sipil (PNS), serta pejabat instansi publik lainnya menjadi penghuni ”hotel prodeo” atau penjara karena melakukan tindak pidana korupsi maupun penyelewengan amanah.

Inilah bukti nyata kegagalan fatal membangun karakter kebangsaan Indonesia sehingga republik ini seperti ”negara antah-berantah, negara bedebah, negara munafik, negara penuh kebohongan, negara edan”.

Semua mengklaim diri paling benar, paling bersih, paling istimewa, tetapi ketika bukti-bukti membuka tabir kebusukan, kebohongan, kemunafikan dengan serta membangun alibi membentengi diri untuk menutupi tindakan biadab itu.

Padahal, orang bijak mengatakan ”mengakui kesalahan dan meminta maaf atas kesalahan adalah cerminan kebesaran jiwa”.

Sebaliknya, ”mempertahankan kesalahan serta menutup-nutupi dengan mengkambinghitamkan pihak lain adalah pertanda kepicikan dan kekerdilan jiwa”.

Oleh karena itu, prioritas pembangunan karakter bangsa perlu segera dilakukan dan tidak boleh ditunda-tunda sebelum negeri ini benar-benar menjadi ”Negara Gagal” sebagaimana kekhawatiran para anak-anak bangsa yang belum menggadaikan atau menjual martabat serta jati dirinya.

Sebab indikator bangsa bangkrut adalah ”Gagal mengenali jati diri, Tidak mampu melaksanakan konstitusi, Gagal meletakkan peta jalan pembangunan, Lembaga negara tidak berwibawa, Gagal mempertahankan kedaulatan, Gagal membangun karakter bangsa, Melupakan sejarah bangsa, dan Defisit pemimpin jenial”. (Drs.Thomson Hutasoit, 2011).

Meluruskan kekeliruan pola pikir tidak sesuai dengan tujuan berdirinya negara-bangsa Indonesia merupakan agenda strategis harus segera dilakukan agar ancaman disintegrasi bisa diredam dan diselesaikan dengan tuntas.

Sektor pendidikan harus diorientasikan pada upaya-upaya membangun karakter kebangsaan Indonesia dengan nyata.

Sebab sektor pendidikan adalah jendela bangsa sebagaimana Gerakan Budi Utomo tahun 1908 yang mampu mencetak kader-kader bangsa mewujudkan kemerdekaan Indonesia 67 tahun silam.

Pendidikan memerdekakan pola pikir disertai perkuatan akhlak moral menjadi senjata paling ampuh untuk menyelesaikan karut marut berbangsa dan bernegara saat ini.

Konsep-konsep pendidikan bertujuan membangun karakter kebangsaan dan keindonesiaan perlu segera dilaksanakan agar mampu melahirkan putera-puteri bangsa berjiwa negarawan, jenial, ambisius mengangkat kebanggaan dan harga diri bangsanya di fora dunia internasional.

Sebab tingkat intelektualitas tanpa dibarengi jiwa nasionalisme tidak mustahil akan berubah jadi ”pengkhianat” bangsanya sendiri sebagaimana dilakukan politikus-politikus busuk mengobok-obok, mencabik-cabik serta mengadu domba sesama anak-anak Ibu Pertiwi demi mewujudkan ambisi politiknya.

Politisasi sektor pendidikan harus segera dihentikan agar sektor pendidikan benar-benar berdaulat melahirkan kader-kader bangsa serta pemimpin-pemimpin negarawan, jenial, ambisius, mengenal jati diri serta mampu mengangkat martabat dan kedaulatan bangsa di segala bidang kehidupan.

Dengan demikian, seluruh anak-anak Indonesia memiliki kebanggaan serta harga diri di forum internasional.

”AKU BANGGA ANAK INDONESIA ” merupakan gerakan nasional yang perlu ditanamkan kepada seluruh anak-anak bangsa terutama anak-anak usia dini sebagai sumber inspirasi menanamkan jiwa nasionalisme Indonesia.
(Bersambung).


Mengukur Kedewasaan Kebangsaan Indonesia


Oleh : Thomson Hutasoit
Direktur Eksekutif LSM Kajian Transparansi Kinerja Instansi Publik (ATRAKTIP)

Bagian Pertama

Pendahuluan.

Dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia ke 67 (17Agustus 1945-17 Agustus 2012-red) diperlukan refleksi arti sejati kemerdekaan bagi seluruh rakyat Indonesia serta segenap tumpah darah Indonesia dalam berbangsa dan bernegara.

Proklamasi kemerdekaan Negara Republik Indonesia yang dikumandangkan Bung Karno-Bung Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945 dari gedung Pegangsaan Timur 56 Jakarta atas nama seluruh rakyat Indonesia merupakan maklumat rakyat Indonesia ke seluruh dunia bahwa sejak detik itu negara-banga Indonesia telah terbebas dari seluruh belenggu penjajahan kolonial.

Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 sekaligus pernyataan politik bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara-bangsa berdaulat di atas dunia ini.  

Produk-produk hukum penjajah atau kolonial tidak berlaku lagi, selanjutnya akan digantikan produk-produk hukum Negara Republik Indonesia sebagai wujud nyata kemerdekaan Indonesia.

Negara-bangsa  Indonesia memiliki kedaulatan mutlak absolut untuk mengatur dirinya tanpa campur tangan negara manapun juga.

Sebab arti merdeka adalah bebas dan berdaulat menentukan, mengatur diri untuk mewujudkan kebahagiaan seluruh rakyat tanpa intervensi dari pihak mana pun.

Arti dan makna kemerdekaan sebagaimana ditegaskan Ho Chi Minh, ”Bahwa kemerdekaan bangsa adalah Kemerdekaan Mayoritas Rakyat, adalah untuk menciptakan kebahagiaan murni dan merata kepada seluruh rakyat, dan kemerdekaan hanya pantas dinamakan sebagai kemerdekaan adalah dalam hal dalam negeri dimaksud tidak ada lagi rakyat yang masih menderita atau yang masih belum mengalami kebahagiaan dalam hidupnya” (Fajar As, 1998).

Episentrum kemerdekaan adalah perwujudan kebahagiaan seluruh rakyat yang bukan hanya sekadar pencapaian kemakmuran dan kesejahteraan di bidang ekonomi belaka.

Kebahagiaan sejati justru terletak pada kesamaan kedudukan di depan hukum dan pemerintahan, tanpa kecuali sebagaimana dengan tegas diamanatkan pasal 27 ayat (1) UUD Republik Indonesia 1945, dan Pancasila.

Kebebasan menganut dan menunaikan  agama dan kepercayaan ataupun keyakinan  adalah hal paling mendasar yang perlu mendapat perlindungan optimal dari negara sehingga tidak terjadi lagi perusakan atau penyegelan rumah-rumah ibadah di republik berdasarkan Pancasila ini

Kemerdekaan juga bermakna bahwa seluruh rakyat Indonesia harus terbebas dari ketertindasan, intervensi, ketidakadilan, ketidaknyamanan, ketidakamanan, keterbelakangan, kemiskinan, pembodohan, pelanggaran hak asasi manusia (HAM) sehingga setiap orang bebas melakukan aktivitas yang dilindungi jaminan hukum bersifat universal.

Sebagai negara-bangsa merdeka seluruh rakyat Indonesia serta segenap tumpah darah Indonesia mendapat perlindungan dan jaminan hukum dari negara sehingga seluruh perbedaan, keragaman, kemajemukan atau pluralisme tumbuh berkembang menjadi pelangi kehidupan seperti semboyan Bhinneka Tunggal Ika.

Kemampuan menjaga, merawat, serta melestarikan aneka perbedaan, keragaman,  kemajemukan atau pluralisme nusantara menjadi indikator nyata Negara Republik Indonesia benar-benar Rumah Besar Kebangsaan dan Keindonesiaan sejati.

Kedewasaan kebangsaan dan keindonesiaan tercermin dari kemampuan memahami bahwa perbedaan, keragaman, kemajemukan atau pluralisme adalah konstruksi Ilahi serta landasan dasar pendirian negara-bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD Republik Indonesia 1945 dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjunjung tinggi Bhinneka Tunggal Ika.

Harus pula disadari dengan paripurna bahwa negara-bangsa Indonesia tidak pernah didirikan di atas sentimen sektarianis-primordialis seperti; suku, agama, ras, antar golongan/SARA, tetapi kesamaan penderitaan atas kekejaman serta kekejian penjajah kolonial di bumi nusantara.

Kekejaman, kekejian itulah melahirkan kesadaran nasional yang dimulai Gerakan Bung Utomo 1908, Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang dirayakan ke 67 HUT kemerdekaan republik ini.

Di usia ke 67 tahun kemerdekaan negeri ini (17 Agustus 2012) tentu diperlukan  suatu evalusi untuk mengukur kedewasaan kebangsaan Indonesia agar diketahui dengan komprehensif sudah sejauhmana republik ini mampu memberikan kebahagiaan hidup dalam berbangsa dan bernegara.

Sudah barang tentu bahwa parameter evaluasi yang harus digunakan adalah Pancasila dan UUD Republik Indonesia 1945 agar tidak menyimpang dari tujuan hakiki pendirian negara-bangsa ini sebagaimana dicita-citakan para pendiri bangsa.

Sebab tujuan pendirian negara Republik Indonesia adalah ”Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial” sesuai amanat Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia 1945.

Selanjutnya, janji Proklamasi Kemerdekaan Indonesia adalah untuk mewujudkan masyarakat adil, makmur dan sejahtera sebab di atas itulah kebahagiaan negara-bangsa Indonesia bisa terwujud dengan nyata.

Pluralisme Indonesia.

Salah satu kekeliruan terbesar dalam membangun kedewasaan kebangsaan Indonesia adalah munculnya set back berpikir seperti zaman-zaman sebelum  kemerdekaan akibat politik devide at impera yang dilancarkan pemerintah kolonial.

Politik pecah belah dengan menyulut sentimen-sentimen sektarianis-primordialis termasuk membenturkan fanatisme kedaerahan agar satu daerah dengan daerah lain terjadi konflik.

Ketika satu daerah dengan daerah lain saling konflik maka pemerintah penjajah kolonial akan mudah menguasai seluruh bumi nusantara.

Sentimen-sentimen sektarian-primordial seperti; suku, agama, ras, antar golongan/SARA dan isu daerah merupakan sumbu penyulut konflik paling mudah terbakar sehingga isu-isu inilah yang dibenturkan pemerintah kolonial untuk membenturkan, memecah-belah sesama anak ibu pertiwi.

Reinkarnasi politik devide et impera pada era belakangan ini sepertinya tumbuh kembali dengan subur, tetapi yang melancarkan politik devide et impera bukan lagi pemerintah kolonial melainkan penguasa-penguasa politik haus kuasa ”kloning” pemerintah kolonial yang ingin menjajah bangsanya sendiri.

Pemilihan presiden (Pilpres), pemilihan gubernur (Pilgub), pemilihan bupati (Pilbup), pemilihan walikota (Pilkot), maupun pemilihan legislatif (Pileg) yang seharusnya wahana pendidikan politik rakyat berubah wujud menjadi politik pembodohan rakyat.

Sentimen-sentimen sektarianis-primordialis dipolitisasi demi mewujudkan maniak kuasa tanpa memperhitungkan ekses-ekses negatif seperti terjadinya disharmoni hubungan sosial pasca pemilihan yang membutuhkan cost recovery amat sangat mahal dan berat.

Gesekan, benturan bahkan konflik tidak bisa terelakkan sebagai ekses pemilihan yang dipicu cucunguk-cucunguk politikus busuk yang tidak mau tahu dengan kerusakan bangsa.

Belum lagi berbagai peraturan perundang-undangan, peraturan daerah (Perda) yang menyimpang dan mengkhianati Pancasila dan UUD Republik Indonesia 1945 yang semata-mata didasarkan pada arogansi sentimen sektarianis-primordialis menimbulkan diskriminasi di depan hukum dan pemerintahan yang sangat menyimpang serta bertentangan dengan pasal 27 ayat (1) UUD Republik Indonesia 1945.

Fenomena fanatisme sektoral buta, arogansi mayoritas tirani minoritas yang merupakan ancaman laten keutuhan bangsa sepertinya tumbuh subur, sementara pemerintah ”tidak” mampu menegakkan kebenaran dan keadilan melalui penerapan hukum yang jelas dan tegas.

Berbagai organisasi masyarakat (Ormas) mengatasnamakan agama tertentu muncul mengambilalih otoritas mutlak absolut negara atau pemerintahan  sehingga seperti negara tanpa pemimpin atau outopilot.

Ketidakhadiran negara di ruang publik semakin terang-benderang hingga pluralisme Indonesia yang dijamin konstitusi acapkali mendapat tekanan luar biasa dari elemen masyarakat mengatasnamakan sentimen suku, agama, ras, antar golongan/SARA ataupun daerah.

Kondisi demikian menjadi indikator nyata kegagalan membangun kedewasaan kebangsaan Indonesia hingga usia 67 tahun kemerdekaan republik ini.

Padahal, konsep kebangsaan keindonesiaan seharusnya sudah final seiring dengan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 silam yang merupakan konsensus nasional seluruh rakyat nusantara.

Konsep-konsep pembangunan memerdekakan pola pikir belum mampu dihadirkan sebagai konsep besar (gread design) pembangunan bangsa sehingga gagal membangun karakter bangsa (national character building) yang menghargai pluralisme Indonesia.

Konsep pembangunan ekonomi an sich  atau pembangunan fisik telah gagal membangun karakter bangsa Indonesia sejati, malah pembangunan fisik itu telah melahirkan hedonisme, individualisme, konsumerisme, babarian yang sangat tidak sesuai dengan karakter sejati Indonesia gotong-royong dan solider.

Karakter bangsa mengalami kerusakan luar biasa akibat melupakan sejarah bangsanya sendiri.

Pembelotan, pembelokan, pengkhianatan sejarah acapkali dilakukan semata-mata untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan seperti pengingkaran penggali Pancasila Bung Karno yang dilakukan rezim ”diktator” Soeharto.

Pembelotan, pembelokan, pengkhianatan sejarah tersebut telah menimbulkan kontroversi berkepanjangan dalam upaya membangun karakter bangsa di republik ini.

Sejarah demikian telah menimbulkan dampak besar ditengah-tengah berbangsa dan bernegara sebab satu sama lain saling tidak percaya atau saling mencurigai yang pada ujung-ujungnya memicu pro-kontra berkepanjangan.  
 
Padahal, Bung Karno Proklamator bangsa ini telah dengan tegas menyatakan,”Jangan Sekali-sekali Melupakan Sejarah/JASMERAH” yang menjadi saksi bisu pendirian Negara Republik Indonesia.

Seandainya, bangsa ini tidak melupakan sejarah maka seluruh rakyat Indonesia mengetahui, memahami hak dan kewajibannya dengan baik dan benar sehingga tidak ada merasa diri paling istimewa di rebulik ini walau dengan alasan apa pun.

Oleh sebab itu, segala peraturan perundang-undangan, peraturan daerah (Perda) yang didasarkan atas sentimen sektarianis-primordialis seperti Perda Syariah harus segera dicabut dan dihilangkan agar diskriminasi atau pengkotak-kotakan sesama anak bangsa tidak terjadi di republik ini.
(Bersambung).




Kamis, 16 Agustus 2012

Jokowi dan Kedewasaan Kebangsaan

 
Oleh : Thomson Hutasoit
Direktur Eksekutif LSM Kajian Transparansi Kinerja Instansi Publik (ATRAKTIP)


Ketika bangsa ini merayakan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia ke 67 pada tanggal 17 Agustus 2012 sontak terlindas dibenak penulis pemilihan gubernur (Pilgub) DKI Jakarta dimana pasangan calon gubernur Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama vs Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli akan bertarung di putaran kedua untuk memperebutkan kursi DKI Jakarta 1 (gubernur-red).

Pertarungan kedua pasangan ini di putaran kedua setelah pasangan Jokowi mengantongi 1.847.157 suara (42,6 persen) sedangkan pasangan Foke hanya mampu mendapat 1.476.648 suara (34,05 persen).

Jumlah pemilih yang terdata dalam daftar pemilih tetap berjumlah 6.962.348 orang sedangkan yang menggunakan hak pilih hanya 4.429.533 orang  ( 63,62 persen). Ada 36,38 persen pemilih tidak menggunakan hak pilihnya.  (kompas, 20/7/2012).

Sebagai calon gubernur petahana (incumbent) Fauzi Bowo pada putaran pertama terkesan dikeroyok sama-sama oleh pasangan gubernur lain seperti pasangan Hidayat Nurhidayat-Didik J Rachbini yang hanya mendapat 508.113 suara (11,72 persen), pasangan Faisal Basri-Biem T Benjamin hanya mendapat 215.935 suara (4,98 persen), pasangan Alex Noerdin-Nono Sampono hanya mampu mendapat 202.643 suara (4,67 persen), dan pasangan Hendardji Soepandji-A Riza Patria hanya mampu mendapat 85.990 suara (1,98 persen).

Kemenangan sementara Jokowi-Ahok yang didukung dua partai nasionalis yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-Perjuangan) dengan Partai Gerakan Indonesia Raya (Partai Gerindra) merupakan unpredictible bagi berbagai survey-survey sebelumnya. Sehingga kemenangan pasangan Jakowi-Ahok dianggap merupakan sebuah fenomena baru di kancah perpolitikan nasional.
Secara kasat mata pertarungan kedua pasangan itu merupakan pertarungan keserdahanaan dan kesahajaan (Jokowi-red) versus keperkasaan, elitis (Foke-red).

Sebab Jokowi adalah walikota Solo sementara Foke Gubernur DKI Jakarta petahana (incumbent) yang pada periode sebelumnya ber trade mark serahkan pada ”Ahlinya”.

Pasca kemenangan Jokowi-Ahok diputaran pertama berbagai dikotomi pun bermunculan seperti membandingkan Jakarta dengan Solo, putera  daerah dengan pendatang, bahkan isu-isu sektarianis-primordialis tidak luput mewarnai pertarungan jilid dua Pilgub DKI Jakarta  pada bulan September 2012 mendatang.

Mengangkat isu-isu sektarianis-primordialis seperti suku, agama, ras, antar golongan/SARA dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) di usia 67 tahun kemerdekaan Republik Indonesia tentu mengundang pertanyaan besar, sudah sejauhmana kah kedewasaan kebangsaan rakyat di republik ini ?

Sebab mempertentangkan perbedaan, keragaman, kemajemukan atau pluralisme di republik Berbhinneka Tunggal Ika ini sama artinya mempersoalkan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila dan UUD Republik Indonesia 1945.

Bukankah tindakan demikian merupakan pengingkaran terhadap negara-bangsa Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945 oleh Bung Karno dan Bung Hatta atas nama seluruh rakyat Indonesia ?

Sampai dimanakah tingkat kedewasaan bangsa ini dalam kebangsaan dan keindonesiaan bila demi memenangkan pemilihan gubernur (Pilgub), pemilihan bupati (Pilbup), pemilihan walikota (Pilkot) ataupun pemilihan presiden (Pilpres) masih gemar mengangkat isu-isu sektarianis-primordialis menu kampanye.
           
Tindakan-tindakan demikian adalah pola pikir mundur jauh sebelum republik ini merdeka, dan para pendiri bangsa ini telah menyadari dengan paripurna bahwa pola pikir demikian adalah anti kemerdekaan bangsa Indonesia.

Di usia 67 tahun kemerdekaan bangsa ini tentu pola pikir demikian amat sangat bertentangan sekaligus pengingkaran arti kemerdekaan bangsa Indonesia rumah pluralisme.
Bangsa ini telah menjamin kesamaan kedudukan di depan hukum dan pemerintahan tanpa kecuali sebagaimana diamanatkan pada pasal 27 ayat (1) UUD Republik Indonesia 1945.

Tidak satu pun walau dengan alasan apa pun merasa paling berhak dan paling istimewa di republik ini sebab republik ini tidak pernah didirikan diatas sentimen sektarianis-primordialis.

Kedewasaan kebangsaan dan keindonesiaan republik ini akan nampak dengan nyata bila calon presiden,  gubernur, bupati/walikota,  partai politik, tokoh masyarakat, pengamat serta seluruh rakyat tidak lagi mempersoalkan isu-isu sektarianis-primordialis di arena pesta demokrasi rakyat.

Kompetisi politik dengan adu program, visi-misi, serta solusi yang jelas dan terukur untuk menyelesaikan persoalan bangsa merupakan cerminan kematangan berpolitik serta kedewasaan kebangsaan dan keindonesiaan.

Figur-figur inilah yang layak diberi amanah kepemimpinan di segala level karena figur-figur pemimpin seperti itu pantas menjadi gantungan harapan masa depan.

DKI Jakarta adalah wajah Republik Indonesia maka Jokowi walikota terbaik di Asia bahkan calon walikota terbaik dunia yang membawa visi kerakyatan ke Jakarta disertai kesederhanaan dan kesahajaan menjadi tolok ukur kedewasaan kebangsaan dalam berpolitik di negeri ini.

Rakyat DKI Jakarta harus cerdas melihat konsistensi visi-misi, program calon gubernur termasuk partai-partai pendukungnya agar tidak terjebak pada kamuflase politik yang semata-mata haus kekuasaan.

Karena sangat tidak masuk akal ketika di putaran pertama mencerca visi-misi, program calon lain tetapi di putaran kedua justru bergabung mendukung visi-misi, program yang dicercanya.
Ini adalah perilaku aneh yang perlu dicermati seluruh rakyat dengan seksama walau dengan alibi apa pun.

Bila Jokowi mampu memenangkan Pilgubsu DKI Jakarta 2012 maka Jakarta kembali memproklamasikan kemenangan kedewasaan kebangsaan Indonesia dalam berpolitik sesuai makna sejati Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 oleh para pendiri bangsa di masa silam.

Dan kedewasaan kebangsaan Indonesia dalam berpolitik bermartabat dan beradab akan menyebar keseluruh penjuru nusantara sehingga negeri ini benar-benar bumi pluralisme rumah seluruh rakyat Indonesia tanpa kecuali.

Sebaliknya, bila peta pertarungan politik Pilgub DKI Jakarta 2012 masih diwarnai isu-isu sektarianis-primordialis maka usia 67 tahun kemerdekaan republik ini masih belum mampu atau gagal membangun politik bermartabat dan beradab.

Medan, 16 Agustus 2012

Thomson Hutasoit.      

Membangun Sumatera Utara dari Desa


Bagian Kedua (Habis)

Meningkatkan daya saing daerah.

Salah satu tujuan hakiki otonomi daerah adalah menggali seluruh potensi daerah untuk selanjutnya dijadikan komoditi unggulan spesifik berdaya saing baik skala nasional maupun internasional.

Dengan demikian dituntut kemampuan serta kreativitas kepala daerah untuk mengenali keunggulan dan kelemahan daerah masing-masing secara paripurna.

Memperpendek rentang kendali pemerintahan daerah diwujudkan melalui kebijakan-kebijakan peningkatkan daya saing daerah dengan melakukan inventarisasi, pemetaan sekaligus membuat matriks-matriks peluang  investasi sembari tetap menjaga, merawat,  melestarikan kearifan lokal. 

Partisipasi masyarakat di dalam pembangunan didorong seefektif mungkin agar seluruh potensi daerah benar-benar dipergunakan sebesar-besar kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Ekonom Swedia, Gunnar Myrdal, penulis buku ‘The Asian Drama, An Inquiry into the Poverty of Nations (1968) sejak lama menyadari “bahwa apabila pemerintah tidak secara aktif campur tangan di dalam kegiatan ekonomi, yang diatur oleh mekanisme pasar, maka tingkat pembangunan yang berbeda di antara berbagai daerah akan memberikan akibat yang buruk pada corak pembangunan selanjutnya. 

Kesejahteraan dan tingkat pembangunan antara daerah miskin dan daerah kaya menjadi bertambah lebar. 

Hal ini disebabkan oleh kegiatan sektor industri, perdagangan, keuangan dan berbagai kegiatan ekonomi lainnya di daerah kaya berjalan lebih lancar dan menguntungkan daripada di daerah yang lebih miskin”. (Ir. Adri Said, PhD & N. Ika Widjaja, SE,MM, KAS, 2007).

Perbedaan potensi sumber daya alam (SDA), sumber daya manusia (SDM) diantara daerah berbeda memungkinkan satu daerah dengan daerah lain memiliki konsep pembangunan  berbeda pula. 

Berbagai terobosan untuk mendorong investasi sebagai pengungkit percepatan pembangunan merupakan keharusan dilakukan kepala daerah. 

Investasi dimaksudkan bukanlah penanaman modal an sich     tetapi setiap kegiatan yang dapat menggerakkan pertumbuhan ekonomi. 

Pada tahun 2000-2001, Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan, Bank Indonesia melakukan penelitian tentang kedayasaingan daerah, dan menemukan 9 indikator, yaitu:

1.  Perekonomian daerah, merupakan ukuran kinerja secara umum dari perekonomian daerah yang meliputi penciptaan nilai tambah akumulasi kapital, tingkat konsumsi, kinerja sektoral, dan biaya hidup.
2. Keterbukaan, merupakan ukuran seberapa jauh perekonomian suatu daerah berhubungan dengan daerah lain atau negara lain.
3.  Sistim keuangan, merefleksikan kemampuan sistem finansial perbankan dan non
     perbankan di daerah untuk memfasilitasi aktivitas perekonomian yang memberikan
     nilai tambah.
1.      Infrastruktur sumberdaya alam, merupakan indikator seberapa sumberdaya
   alam yang tersedia.
2.      Ilmu pengetahuan dan teknologi, yang mengukur kemampuan daerah dalam kapasitas IPTEK dan penerapannya dalam perekonomian daerah.
3.      Sumberdaya manusia, ditunjukkan dari ketersediaan dan kualitas sumberdaya
       manusia.
4.      Kelembagaan, merupakan indikator yang mengukur seberapa jauh iklim sosial,
      politik, hukum dan aspek keamanan daerah.
5.      Governance dan Kebijakan Pemerintah, yang mengukur kualitas administrasi
      pemerintahan daerah.
6.      Manajemen  dan ekonomi mikro, yang berkenaan dengan seberapa baik
      pengelolaan perusahaan-perusahaan di daerah. (Ir. Ahmad Syamsuddin Suryana &
       Dr. Marsuki, SE, DEA, KAS, 2007). 

Pemerintah daerah harus mampu menciptakan kondusivitas daerah yang mantap agar para investor memiliki jaminan dalam berinvestasi. 

Kondusivitas daerah didukung legalitas kepastian hukum serta partisipasi masyarakat yang mantap menjadikan daerah tempat investasi menjanjikan.

Sebab menurut Jana Marie Mehrtens & Benjamin Abdurahman, “Mata investor sangat mementingkan wilayah ekonomi, sedangkan wilayah ekonomi tersebut tidak mengenal batas administrasi kabupaten/kota.

Citra atau dengan kata lain martabat suatu wilayah harus dianggap sebagai sesuatu yang sangat berkaitan dalam hal pengambilan keputusan untuk investasi.

Hal ini menjadikan ilmu pemasaran sebagai suatu metode yang sangat valid untuk meningkatkan posisi daya saing suatu wilayah di tingkat pasar.

Pengelolaan dan Regional Marketing adalah instrumen penting dan tidak dapat disepelekan untuk pertumbuhan ekonomi, baik di tingkat daerah maupun di tingkat nasional secara tidak langsung. 

Sesuai dengan desentralisasi Indonesia, inisiatif untuk tugas-tugas ini harus datang dari tingkat daerah, bukan dari tingkat provinsi ataupun tingkat nasional”. 

Secara umum sebab-sebab perlunya suatu kerjasama antar daerah dapat digambarkan antara lain sebagai berikut:

1.      Faktor Keterbatasan Daerah (Kebutuhan); hal ini dapat terjadi dalam konteks
     sumber daya manusia, alam, teknologi dan keuangan, sehingga suatu
     ‘kebersamaan’ dapat menutupi kelemahan dan mengisinya dengan kekuatan
      potensi daerah lainnya.
2.      Faktor Kesamaan Kepentingan; adanya persamaan visi pembangunan dan
      memperbesar peluang memperoleh ‘keuntungan’ baik finansial maupun non
      finansial untuk mencapainya.
3.      Berkembangnya paradigma baru di masyarakat; perlunya pengembangan sistem
      perencanaan dan pembangunan komunikatif-partisipatif sesuai dengan semangat
      otonomi daerah.
4.      Menjawab kekhawatiran disintegrasi; di mana kerjasama dapat menjadi instrumen
      yang efektif dalam rangka menggalang persatuan dan kesatuan nasional
      (sinkronisasi dan harmonisasi).
5.      Sinergi antar daerah; tumbuhnya kesadaran, bahwa dengan kerjasama antar
      daerah, dapat meningkatkan dampak positif dari berbagai kegiatan pembangunan
      yang semula sendiri-sendiri menjadi suatu kekuatan regional.
6.      Sebagai Pendorong dalam mengefektifkan potensi dan menggalang kekuatan
      endogen dalam kegiatan pembangunan wilayah. (Jana Marie Mehrtens & Benjamin
      Abdurahman, KAS, 2007). 

Kemampuan gubernur sebagai perpanjangan tangan pemerintah mengkoordinasi bupati/walikota tentu harus didukung pengalaman nyata memimpin di kabupaten/kota dan lebih baik lagi bila pernah memimpin desa atau kelurahan yang merupakan ruang partisipasi rakyat di level pemerintahan daerah terendah.

Seorang mantan kepala desa maupun bupati/walikota yang dipilih rakyat secara langsung tentu sangat memahami kebutuhan rakyat daerah secara riil. 

Dan pemahaman itu sangat berguna untuk menelorkan kebijakan-kebijakan pembangunan di level provinsi. 

Seorang gubernur berasal dari mantan kepala desa maupun bupati/walikota memahami betul apa permasalahan krusial di daerah sehingga mampu melahirkan kebijakan-kebijakan relevan dengan kebutuhan daerah bawahannya. 

Permasalahan selama ini adalah terjadinya bias kebijakan dari pemerintah, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota dengan pemerintah desa/kelurahan sebab pemerintah, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota gagal menyerap kebutuhan riil rakyat daerah di level paling rendah. 

Akibatnya, berbagai program pembangunan yang digelontorkan tidak efektif mendorong peningkatkan pemberdayaan rakyat pedesaan termasuk meningkatkan daya saing daerah. 

Berbagai hasil komoditi rakyat gagal mendatangkan kemakmuran dan kesejahteraan karena pemerintah daerah tidak pernah nyata-nyata menjamin harga-harga serta membuka peluang pasar komoditi baik marketing regional maupun marketing internasional. 

Belum lagi penyediaan infrastruktur yang mendukung pertumbuhan perekonomian rakyat pedesaan seperti ketersediaan bibit unggul, pupuk, pestisida, irigasi, pergudangan, serta dana penyangga. 

Padahal, instrumen- instrumen inilah syarat utama membangun fondasi ekonomi kuat serta daya saing secara nyata. 

Oleh sebab itu, Pilgubsu 2013 harus mampu menghadirkan calon Gubernur Sumatera Utara bervisi “Membangun Sumatera Utara dari Desa” sebab potensi daerah Sumatera Utara paling banyak berada di pedesaan hingga saat ini belum tergarap optimal.

Bila desa-desa sudah tumbuh dengan kuat dan mantap maka urbanisasi ke perkotaan bisa di rem atau dihentikan. 

Pertumbuhan ekonomi antar daerah menjadi lebih merata dan seimbang sehingga tidak muncul lagi dikotomi Pantai Barat dengan Pantai Timur seperti fameo selama ini. 

Perubahan paradigma pembangunan “Membangun Sumatera Utara dari Desa” merupakan wujud nyata otonomi daerah sekaligus implementasi pasal 33 UUD Republik Indonesia 1945 agar terwujud Tri Sakti Bung Karno, “Berdaulat dalam politik, Berdaulat dalam kebudayaan, Berdaulat dalam ekonomi atau Berdiri di atas kaki sendiri/Berdikari”.

Desa-desa tumbuh menjadi kekuatan ekonomi baru serta mampu sebagai pemasok komoditi ke perkotaan. 

Dengan demikian impor komoditi kebutuhan rakyat yang telah mempermalukan bangsa ini benar-benar bisa dihentikan dengan nyata. 

Pemerintah daerah Sumatera Utara  tidak perlu lagi direpotkan program-program “belas kasihan” terhadap rakyatnya. 

Malah mendapat tumpahan rezeki dari sektor pajak, retribusi, dan lain-lain karena ekonomi pedesaan sudah tumbuh menjadi kekuatan ekonomi baru.

Penutup. 

Salah satu agenda  besar sekaligus “pekerjaan rumah/PR” rakyat Sumatera Utara adalah menganalisis visi-misi para  bakal calon (balon) Gubernur Sumatera Utara periode 2013-2018 mendetail komprehensif sebelum menjatuhkan pilihan pada bulan Maret 2013. 

Hal itu dilakukan agar gubernur lima tahun kedepan benar-benar membawa perubahan signifikan terhadap perkembangan kemajuan pembangunan serta pertumbuhan perekonomian pada level ekonomi pedesaan secara nyata. 

Visi-misi “Membangun Sumatera Utara dari Desa” merupakan visi-misi paling tepat agar seluruh potensi daerah Sumatera Utara yang notabene berada di/dan sekitar rakyat pedesaan bisa digali optimal demi mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat Sumatera Utara. 

Paradigma pembangunan yang diletakkan pada perkuatan ekonomi pedesaan adalah visi-misi paling sesuai dengan otonomi daerah serta perwujudan nyata pasal 33 UUD Republik Indonesia 1945. 

Visi-misi demikian meluruskan kekeliruan serta kesalahan paradigma Top Down yang selalu bias dengan kebutuhan riil rakyat daerah atau pedesaan selama ini. 

Paradigma Top Down diterapkan selama ini ternyata gagal memberikan kemakmuran dan kesejahteraan kepada rakyat daerah. 

Bahkan pertumbuhan investasi yang didengung-dengungkan pemerintah ternyata tidak memperkuat daya saing daerah ?. 

Malah investasi-investasi tersebut telah menggusur rakyat dari ruang aktivitas ekonomi yang menjadi mata pencaharian mereka sebelum republik ini merdeka. 

Berbagai program pembangunan Top Down  yang memandang rakyat hanya obyek pembangunan telah gagal mendorong pertumbuhan pedesaan sebagai kekuatan ekonomi baru sehingga rakyat pedesaan masih menjadi sasaran program “belas kasihan” seperti beras rakyat miskin (Raskin), bantuan langsung tunai (BLT) dan lain-lain. 

Kekeliruan, kesalahan seperti itu harus segera diluruskan dan diakhiri sehingga momentum Pilgubsu 2013 harus bena-benar dimanfaatkan seluruh rakyat Sumatera Utara untuk memilih calon Gubernur Sumatera Utara 2013-2018 bervisi “Membangun Sumatera Utara dari Desa”. 

Siapa pun calon gubernur memiliki visi-misi demikian merupakan pilihan paling tepat tanpa membedakan sentimen sektarianis-primordialis agar Sumatera Utara berpacu lebih cepat menggapai kemajuan. 

Sudah saatnya Pilgubsu 2013 dijadikan momentum strategis serta titik awal memilih calon gubernur berdasarkan visi-misi terbaik agar rakyat Sumatera Utara benar-benar miniatur Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjunjung pluralisme.

Pilgubsu 2013 adalah momen memilih putera-puteri terbaik untuk memimpin provinsi Sumatera Utara lima tahun kedepan.

Bukan memilih pemimpin haus kuasa yang melakukan segala cara termasuk membenturkan isu-isu sektarianis-primordialis (suku, agama, ras, antar golongan/ SARA) untuk mewujudkan libido maniak kuasanya. 

Tanda-tanda atau ciri-ciri calon gubernur maniak kuasa adalah gemar melakukan politik uang (money politics), mengumbar janji-janji kosong, mempertentangkan perbedaan, keragaman, kemajemukan atau pluralisme, memolitisasi agama, memfitnah, paranoid, memanfaatkan atau menyelewengkan jabatan, wanprestasi serta tidak mampu berkompetisi sehat. 

Rakyat berdaulat menentukan pilihan pada calon gubernur yang diharapkan mampu membawa kebahagiaan di daerah ini. 

Medan, 14 Agustus 2012
Thomson Hutasoit.
Penulis: Direktur Eksekutif Lembaga Swadaya Masyarakat Kajian Transparansi Kinerja Instansi Publik (ATRAKTIP), Wakil Sekretaris Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) Provinsi Sumatera Utara, Ketua Umum Dewan Pimpinan Daerah Gabungan Pengusaha Kontraktor Indonesia (DPD GABPKIN) Provinsi Sumatera Utara, Sekretaris Umum Punguan Borsak Bimbinan Hutasoit, Boru, Bere Kota Medan Sekitarnya, Wakil Sekretaris II Parsadaan Pomparan Toga Sihombing (PARTOGI) Kota Medan Sekitarnya, Penasehat Punguan Toga Lumban Gaol, Boru Sektor Helvetia Sekitarnya, Wakil Pemimpin Redaksi SKI ASPIRASI, Penasehat Koordinator Wartawan Unit DPRD Provinsi Sumatera Utara, tinggal di Medan.