rangkuman ide yang tercecer

Kamis, 16 Agustus 2012

Jokowi dan Kedewasaan Kebangsaan

 
Oleh : Thomson Hutasoit
Direktur Eksekutif LSM Kajian Transparansi Kinerja Instansi Publik (ATRAKTIP)


Ketika bangsa ini merayakan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia ke 67 pada tanggal 17 Agustus 2012 sontak terlindas dibenak penulis pemilihan gubernur (Pilgub) DKI Jakarta dimana pasangan calon gubernur Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama vs Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli akan bertarung di putaran kedua untuk memperebutkan kursi DKI Jakarta 1 (gubernur-red).

Pertarungan kedua pasangan ini di putaran kedua setelah pasangan Jokowi mengantongi 1.847.157 suara (42,6 persen) sedangkan pasangan Foke hanya mampu mendapat 1.476.648 suara (34,05 persen).

Jumlah pemilih yang terdata dalam daftar pemilih tetap berjumlah 6.962.348 orang sedangkan yang menggunakan hak pilih hanya 4.429.533 orang  ( 63,62 persen). Ada 36,38 persen pemilih tidak menggunakan hak pilihnya.  (kompas, 20/7/2012).

Sebagai calon gubernur petahana (incumbent) Fauzi Bowo pada putaran pertama terkesan dikeroyok sama-sama oleh pasangan gubernur lain seperti pasangan Hidayat Nurhidayat-Didik J Rachbini yang hanya mendapat 508.113 suara (11,72 persen), pasangan Faisal Basri-Biem T Benjamin hanya mendapat 215.935 suara (4,98 persen), pasangan Alex Noerdin-Nono Sampono hanya mampu mendapat 202.643 suara (4,67 persen), dan pasangan Hendardji Soepandji-A Riza Patria hanya mampu mendapat 85.990 suara (1,98 persen).

Kemenangan sementara Jokowi-Ahok yang didukung dua partai nasionalis yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-Perjuangan) dengan Partai Gerakan Indonesia Raya (Partai Gerindra) merupakan unpredictible bagi berbagai survey-survey sebelumnya. Sehingga kemenangan pasangan Jakowi-Ahok dianggap merupakan sebuah fenomena baru di kancah perpolitikan nasional.
Secara kasat mata pertarungan kedua pasangan itu merupakan pertarungan keserdahanaan dan kesahajaan (Jokowi-red) versus keperkasaan, elitis (Foke-red).

Sebab Jokowi adalah walikota Solo sementara Foke Gubernur DKI Jakarta petahana (incumbent) yang pada periode sebelumnya ber trade mark serahkan pada ”Ahlinya”.

Pasca kemenangan Jokowi-Ahok diputaran pertama berbagai dikotomi pun bermunculan seperti membandingkan Jakarta dengan Solo, putera  daerah dengan pendatang, bahkan isu-isu sektarianis-primordialis tidak luput mewarnai pertarungan jilid dua Pilgub DKI Jakarta  pada bulan September 2012 mendatang.

Mengangkat isu-isu sektarianis-primordialis seperti suku, agama, ras, antar golongan/SARA dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) di usia 67 tahun kemerdekaan Republik Indonesia tentu mengundang pertanyaan besar, sudah sejauhmana kah kedewasaan kebangsaan rakyat di republik ini ?

Sebab mempertentangkan perbedaan, keragaman, kemajemukan atau pluralisme di republik Berbhinneka Tunggal Ika ini sama artinya mempersoalkan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila dan UUD Republik Indonesia 1945.

Bukankah tindakan demikian merupakan pengingkaran terhadap negara-bangsa Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945 oleh Bung Karno dan Bung Hatta atas nama seluruh rakyat Indonesia ?

Sampai dimanakah tingkat kedewasaan bangsa ini dalam kebangsaan dan keindonesiaan bila demi memenangkan pemilihan gubernur (Pilgub), pemilihan bupati (Pilbup), pemilihan walikota (Pilkot) ataupun pemilihan presiden (Pilpres) masih gemar mengangkat isu-isu sektarianis-primordialis menu kampanye.
           
Tindakan-tindakan demikian adalah pola pikir mundur jauh sebelum republik ini merdeka, dan para pendiri bangsa ini telah menyadari dengan paripurna bahwa pola pikir demikian adalah anti kemerdekaan bangsa Indonesia.

Di usia 67 tahun kemerdekaan bangsa ini tentu pola pikir demikian amat sangat bertentangan sekaligus pengingkaran arti kemerdekaan bangsa Indonesia rumah pluralisme.
Bangsa ini telah menjamin kesamaan kedudukan di depan hukum dan pemerintahan tanpa kecuali sebagaimana diamanatkan pada pasal 27 ayat (1) UUD Republik Indonesia 1945.

Tidak satu pun walau dengan alasan apa pun merasa paling berhak dan paling istimewa di republik ini sebab republik ini tidak pernah didirikan diatas sentimen sektarianis-primordialis.

Kedewasaan kebangsaan dan keindonesiaan republik ini akan nampak dengan nyata bila calon presiden,  gubernur, bupati/walikota,  partai politik, tokoh masyarakat, pengamat serta seluruh rakyat tidak lagi mempersoalkan isu-isu sektarianis-primordialis di arena pesta demokrasi rakyat.

Kompetisi politik dengan adu program, visi-misi, serta solusi yang jelas dan terukur untuk menyelesaikan persoalan bangsa merupakan cerminan kematangan berpolitik serta kedewasaan kebangsaan dan keindonesiaan.

Figur-figur inilah yang layak diberi amanah kepemimpinan di segala level karena figur-figur pemimpin seperti itu pantas menjadi gantungan harapan masa depan.

DKI Jakarta adalah wajah Republik Indonesia maka Jokowi walikota terbaik di Asia bahkan calon walikota terbaik dunia yang membawa visi kerakyatan ke Jakarta disertai kesederhanaan dan kesahajaan menjadi tolok ukur kedewasaan kebangsaan dalam berpolitik di negeri ini.

Rakyat DKI Jakarta harus cerdas melihat konsistensi visi-misi, program calon gubernur termasuk partai-partai pendukungnya agar tidak terjebak pada kamuflase politik yang semata-mata haus kekuasaan.

Karena sangat tidak masuk akal ketika di putaran pertama mencerca visi-misi, program calon lain tetapi di putaran kedua justru bergabung mendukung visi-misi, program yang dicercanya.
Ini adalah perilaku aneh yang perlu dicermati seluruh rakyat dengan seksama walau dengan alibi apa pun.

Bila Jokowi mampu memenangkan Pilgubsu DKI Jakarta 2012 maka Jakarta kembali memproklamasikan kemenangan kedewasaan kebangsaan Indonesia dalam berpolitik sesuai makna sejati Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 oleh para pendiri bangsa di masa silam.

Dan kedewasaan kebangsaan Indonesia dalam berpolitik bermartabat dan beradab akan menyebar keseluruh penjuru nusantara sehingga negeri ini benar-benar bumi pluralisme rumah seluruh rakyat Indonesia tanpa kecuali.

Sebaliknya, bila peta pertarungan politik Pilgub DKI Jakarta 2012 masih diwarnai isu-isu sektarianis-primordialis maka usia 67 tahun kemerdekaan republik ini masih belum mampu atau gagal membangun politik bermartabat dan beradab.

Medan, 16 Agustus 2012

Thomson Hutasoit.      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.