rangkuman ide yang tercecer

Rabu, 22 Agustus 2012

Mengukur Kedewasaan Kebangsaan Indonesia


Bagian Ketiga (Habis)

Indonesia menjadi Adidaya.    

 Usia 67 tahun adalah suatu usia cukup matang untuk membangun kedewasaan kebangsaan keindonesiaan seandainya seluruh rakyat republik ini konsisten dengan konsensus nasional proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 berdasarkan Pancasila dan UUD Republik Indonesia 1945.

Akan tetapi, selama kurun waktu 67 tahun pula negeri ini masih berkutat dipusaran perdebatan siapa penggali Pancasila, kapan lahir Pancasila yang menguras energi bangsa  banyak terbuang sia-sia.

Perdebatan itu dipicu pemutarbalikan fakta sejarah untuk kepentingan rezim berkuasa pada pemerintahan otoriter Soeharto yang diduga ingin menghapus dan menghilangkan peran Bung Karno di republik ini.

Padahal, peran besar Bung Karno di republik ini tidak seorang pun mampu menenggelamkannya walau dengan alasan apa pun.

Sebab seluruh dunia sudah tahu bahwa proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia lahir dari mulut Bung Karno pada tanggal 17 Agustus 1945 didampingi Bung Hatta atas nama seluruh rakyat Indonesia.

Ini adalah fakta sejarah yang tidak bisa diingkari atau dipungkiri oleh siapa pun  di republik ini, termasuk negara-negara di dunia selama Indonesia masih tetap langgeng sebagai negara merdeka.

Pemutarbalikan fakta sejarah bahwa Bung Karno bukan penggali Pancasila dan hari lahir Pancasila bukan 1 Juni 1945 yang dilancarkan ”Nugroho Notosusanto” mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di zaman rezim otoriter Seoharto telah membawa dampak besar penyelundupan sejarah bangsa.

Untung saja masih ada tokoh-tokoh bangsa yang tetap teguh memegang  kebenaran tentang peristiwa bersejarah itu sekaligus melakukan kritik keras terhadap Nugroho Notosusanto sembari berpendapat bahwa Soekarno adalah satu-satunya Penggali Pancasila.

Nugroho Notosusanto dituduh memutarbalikkan fakta, membuat ”dongeng” dan bukan menulis sejarah. (Pdt. Dr. Ayub Ranoh,  hal: 99, 2006).

Menurut Pdt. Dr. Ayub Ranoh, bahwa Soekarno memegang peran utama, juga bukan sekadar nama Pancasila yang jelas berasal dari Soekarno, melainkan terutama secara historis.

Hal itu dapat dilihat dari perkembangan ide-ide Soekarno sejak ia terjun dalam gerakan kemerdekaan sampai dengan saat percakapan tentang dasar negara.

Ketuhanan Yang Maha Esa menunjukkan pergumulan tentang kemajemukan agama, dan pergumulan tentang Islam.

Kemanusiaan yang adil dan beradab mencerminkan pendirian Soekarno tentang martabat manusia yang ditindas dalam sistem kolonial.

Persatuan Indonesia mencerminkan ide tentang nasionalisme, dan kegandrungannya pada persatuan.

Ide ini merupakan alat Soekarno untuk menggalang kebersamaan sejak ia mulai berjuang.

Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan adalah ciri demokrasi asli pribumi yang dikemukakan sebagai alternatif terhadap demokrasi liberal Barat.

Pola demokrasi asli inilah yang diterapkan dalam ”Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia” (PPPKI).

Keadilan sosial bagi seluruh rakyat adalah perhatian Soekarno pada kesejahteraan kaum pribumi (Marhaen) yang terabaikan dalam sistem kolonial. (Pdt. Dr. Ayub Ranoh, hal: 100, 2006).

Pancasila adalah salah satu ”Keajaiban dunia” yang merupakan fondasi kuat  tegak berdirinya ”Rumah Besar Pluralisme Indonesia” dari pemikiran jenius Bung Karno warisan seluruh rakyat Indonesia sepanjang sejarah.  

Berbagai bangsa di atas dunia berusaha dan berupaya untuk mempelajari keluarbiasaan, keistimewaan Pancasila mempersatukan aneka perbedaan, keragaman, kemajemukan atau pluralisme di bumi nusantara menjadi satu bangsa  yakni INDONESIA.

Sayangnya, keajaiban dunia itu belum maksimal digunakan untuk mewujudkan ”Indonesia Negara Adidaya” sebab pembangunan fisik gagal melahirkan pemimpin-pemimpin negarawan jenial untuk membangun kebanggaan bangsa.

Bila Bung Karno pernah mengatakan,” Berikan saya sepuluh orang putera-puteri terbaik yang mencintai bangsanya akan saya guncang dunia” maka yang terjadi era belakangan ini adalah lahirnya berjuta-juta ”jongos” feodal tidak memiliki urat malu memperhamba diri kepada kepentingan asing.

Gemar dan gila-gila pujian, serta sanjungan lembaga-lembaga internasional, bangga di atas angka-angka statistik hasil rekayasa, takut tak mendapat pinjaman utang luar negeri, karakter pemburu rente dan komisi, menjual martabat untuk mendapatkan martabak, menjual kedaulatan, jati diri untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan, mabuk kepayang di atas predikat-predikat internasional, degradasi karakter moral, dan paranoid dan lain-lain.

Faktor-faktor inilah yang menjadi interuptor mengapa republik ini belum bisa mewujudkan ”Indonesia Negara Adidya”.

Oleh karena itu, diperlukan ”revolusi berpikir” yakni mengakhiri perdebatan-perdebatan sejarah perjalanan bangsa sembari meluruskan pembelokan, pembelotan, penyelundupan, serta pemutarbalikan fakta sejarah agar bangsa ini tidak menjadi bangsa tidak tahu asal-usul.

Bangsa besar serta Adidaya adalah bangsa yang memiliki keluhuran karakter dan memilik jati diri sehingga mampu menjadi kampiun di dunia internasional.

Kehadiran seorang pemimpin negarawan jenial menahkodai republik ini menuju ”Indonesia Negara Adidaya” merupakan keharusan yang perlu segera direalisasi  melalui proses demokrasi yang baik dan benar.

Fajar As (1998) mengatakan, ”negara-negara Adidya di dunia memiliki perbedaan-perbedaan yang menonjol, tetapi faktor utama yang mendukung mereka menjadi Adidaya adalah Pembangunan Harga Diri Bangsa yang discenario oleh para pemimpin negeri tersebut”.

Peran pemimpin yang tangguh yang merupakan Negarawan dan Pemikir Besar memang sangat menentukan dalam proses membangun satu bangsa atau satu negeri menjadi kuat dan disegani oleh bangsa-bangsa atau negeri-negeri lainnya.

Dan tidak ada satu raspun di muka bumi ini, tidak ada satu warna kulitpun atau tidak ada satu etnis di planet bumi ini yang tidak tangguh, tidak ada satu ras yang lebih tinggi dari ras lainnya.

Keberhasilan dan kegagalan dari satu perjuangan bangsa, absolut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat bangsa yang bersangkutan.

Tetapi keberhasilan dan kegagalan satu perjuangan bangsa adalah tergantung jenialitas dan kebijakan sangat tinggi yang dimiliki oleh pemimpin bangsa tersebut.

Pemimpin demikian itu adalah pemimpin yang sangat tangguh dan tegar, yang mana menghentikan gerakannya yang diyakininya dan memang benar untuk kebesaran bangsanya menjadi mustahil sebagaimana mustahilnya menghentikan gerakan matahari.

Misalnya, negeri Vietnam memiliki keunggulan-keunggulan yang amat prima yaitu: lahan yang amat subur, minyak bumi, berbagai logam yang bernilai ekonomi sangat tinggi, hutan yang amat potensial, kekayaan maritim, dan titik-titik terindah planet bumi yang memiliki peluang menjadi Daerah Tujuan Wisata.

Kekayaan negeri Vietnam yang nilainya sangat sangat tinggi dan sangat sulit ditakar dengan ukuran ekonomi, adalah sumber daya manusia (SDM) Vietnam atau mayoritas rakyat Vietnam yang sangat ambisi belajar, sangat gemar membaca literatur, sangat suka bekerja keras dan dengan disiplin hidup yang sangat kuat.

Ditambah lagi dengan elit bangsa Vietnam yang kelihatannya mayoritas jenius dan memiliki karakter yang sangat tinggi.

Demikian juga negara China dibawah pemimpin besarnya Deng Zhiaoping yang melakukan terobosan-terobosan sangat konstruktif, menyelenggarakan reformasi ekonomi yang oleh Deng Zhiaoping disebut sebagai Socialist market economy, ”Miskin bukan sosialisme”, ”Menjadi kaya adalah Mulia”, adalah motto yang selalu dikemukakan dengan vokal oleh Deng Zhiaoping.

Yang paling utama dari kebijakan reformasi ekonomi China adalah membangkitkan pertumbuhan perekonomian negeri China yang membuka negeri China kepada dunia di luar China.

”Tak ada bedanya kucing, apakah warnanya hitam, atau warnanya putih sejauh gesit menangkap tikus, maka kucing tersebut adalah kucing yang baik” merupakan prinsip-prinsip kerja Deng Zhiaoping.

Salah satu syarat paling utama dan yang paling menentukan dalam proses satu bangsa atau satu negeri membukukan dirinya menjadi bangsa besar yang Adidaya dan Tangguh, adalah dalam hal adanya Pemimpin Bangsa dan negeri tersebut yang jenial, ambisius menjadikan negerinya menjadi Negeri Adidaya yang disegani oleh negeri-negeri lain, dan dalam kaitan ini berhasil membangun harga diri dan kebanggaan mayoritas rakyatnya.  
(Fajar As, hal: 39-53; 1998).

Apakah tidak keliru besar bila di usia 67 tahun kemerdekaan republik ini masih banyak rakyat Indonesia belum merasakan arti kemerdekaan sebab menunaikan ibadah agama dan kepercayaannya pun masih tertindas dan tidak nyaman.

Padahal, kebebasan menunaikan ibadah agama dan kepercayaan merupakan hak asasi manusia (HAM) paling dasar serta dijamin pasal 29 UUD Republik Indonesia 1945.

Bukankah hal itu salah satu bukti nyata kegagalan negara melindungi segenap rakyat Indonesia serta cerminan ketidakadilan yang masih menghantui negara berdasarkan Pancasila ini hingga usia 67 tahun ?.

Belum lagi pencaplokan wilayah Republik Indonesia yang dilakukan negara-negara lain seperti Sipadan dan Ligitan, serta aneka tindakan kriminal terhadap tenaga kerja Indonesia (TKI) di dalam dan luar negeri disebabkan negara alpa di ruang publik melakukan jaminan perlindungan terhadap rakyatnya sesuai amanat Pembukaan UUD Republik Indonesia 1945.

Karena itu, perlu segera dilakukan pendidikan karakter bangsa untuk melahirkan Bung Karno-Bung Karno muda untuk merevitalisasi konsep besar TRI SAKTI agar berdaulat di bidang politik, berdaulat di bidang kebudayaan, berdaulat di bidang ekonomi atau berdiri di atas kaki sendiri/ BERDIKARI.

Sebab, hanya bangsa berdaulat di bidang politik, berdaulat di bidang kebudayaan, berdaulat di bidang ekonomi bisa menjadi NEGARA ADIDAYA.

Penutup.

Mengukur kedewasaan kebangsaan Indonesia di usia 67 tahun pasca kemerdekaan 17 Agustus 1945 tentu haruslah menggunakan parameter  Pancasila dan UUD Republik Indonesia 1945 sebab di atas itu lah berdiri sebuah negara yang bernama INDONESIA.

Menggunakan parameter lain yang tidak sesuai dengan dasar republik ini merupakan suatu kekeliruan besar karena tidak sesuai dengan tujuan sejati pendirian bangsa yang dimaksudkan para pendiri bangsa (founding fathers).

Pancasila adalah fondasi dasar ”Rumah Besar Pluralisme Indonesia” sehingga setiap penolakan, pengingkaran terhadap perbedaan, keragaman, kemajemukan atau pluralisme sama artinya menolak dan mengingkari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila dan UUD Republik Indonesia 1945 yang menjunjung tinggi Bhinneka Tunggal Ika.

 Kemampuan menerima perbedaan, keragaman, kemajemukan atau pluralisme merupakan cerminan kedewasaan kebangsaan Indonesia karena hal itu merupakan konstruksi Ilahi serta kesadaran nasional para pendiri bangsa menjadi fondasi dasar ”Rumah Besar Pluralisme Indonesia” yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Di dalam rumah besar pluralisme itu lah bangsa Indonesia menjadi sebuah Negara Adidaya sekaligus keajaiban dunia karena mampu menyatukan, mengelola aneka perbedaan, keragaman, kemajemukan atau pluralisme sebagai energi besar bangsa Indonesia.

Potensi sumber daya alam (SDA) yang memiliki keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitif harus mampu dikelola efektif, efisien oleh sumber daya manusia (SDM) berkualitas serta memiliki nasionalisme Indonesia yang selalu mengutamakan kepentingan bangsa diatas kepentingan apa pun.

Untuk mewujudkan hal itu, perlu segera dilakukan pendidikan karakter bangsa guna melahirkan pemimpin-pemimpin negarawan jenial, ambisius  yang mampu membangkitkan kebanggaan dan harga diri, martabat, kedaulatan, serta jati diri bangsa Indonesia.

Medan, 19 Agustus 2012

Thomson Hutasoit.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.