rangkuman ide yang tercecer

Selasa, 31 Juli 2012

Solusi Perbedaan Adat pada Batak-Toba


Bagian pertama.
Oleh : Thomson Hutasoit

 Pendahuluan.

Perbedaan adat pada Batak-Toba merupakan hal wajar-wajar saja sebab perbedaan adat itu merupakan konsekwensi persebaran tempat tinggal atau daerah  domisili Batak-Toba yang bukan terkonsentrasi lagi pada satu daerah tertentu. 

Sesuai perkembangan zaman Batak-Toba yang dulunya berdiam di Sianjur Mula-mula kini telah menyebar ke berbagai daerah bahkan hingga ke penjuru dunia sehingga bentuk, jenis, macam adat semakin variatif antara satu daerah dengan daerah lain.

Variasi bentuk, jenis, macam adat di satu daerah dengan daerah lain harus bisa dimaknai implementasi ungkapan,”Molo asing dolok asing do duhutna, Molo asing luat asing do nang adatna”.

Artinya, bahwa perbedaan daerah bisa menimbulkan perbedaan bentuk, jenis, macam adat antar daerah sehingga berpotensi terjadi pergesekan satu sama lain.

Kebiasaan yang dilakukan terus menerus dan diayakini kebenarannya merupakan adat (aturan) bersama pada suatu daerah tertentu atau adat lokal disebut adat na niadathon. 

Adat (aturan) yang belaku pada suatu daerah belum tentu sama dan indentik dengan daerah lain, tetapi walaupun memiliki perbedaan tidak boleh serta merta memvonis bahwa adat yang berlaku di daerah lain salah. 

Kebiasaan yang berlaku pada daerah tertentu merupakan kesepakatan bersama serta dijadikan adat (aturan) lokal yang berlaku di daerah tersebut. 

Ketika bentuk, jenis, macam adat hanya berhubungan dengan masyarakat setempat tentu tidak ada permasalahan, persoalan apa-apa sebab masyarakat setempat telah mempermaklumkan sebagai adat (aturan) yang berlaku dan mengikat seluruh masyarakat di daerah itu.

Tetapi dikala berhubungan atau berinteraksi  dengan adat  masyarakat daerah lain  maka timbul permasalahan perbedaan adat yang disebabkan kebiasaan daerah domisili masing-masing. 

Misalnya, ketika terjadi perkawinan antar daerah berbeda bentuk, jenis, macam adatnya maka bisa timbul gesekan-gesekan karena masing-masing pihak mempertahankan adat kebiasaan di daerahnya. 

Akibat perbedaan adat itu tidak mustahil terjadi disharmoni diantara pihak-pihak (baca: pihak paranak dohot pihak parboru) hingga sirna makna sejati “Sinuan bulu sibahen na las, Sinuan partuturan sibahen na horas”. 

Artinya, makna hakiki menjalin hubungan kekeluargaan dan kekerabatan (baca: martondong) adalah mendatangkan kebahagiaan kepada seluruh keluarga dan kerabat pasca ulaon adat. 

Akan tetapi, karena masing-masing pihak mempertahankan kebenaran adatnya maka timbul perbedaan pendapat, pergesekan, bahkan perselisihan satu sama lain. 

Oleh karena itu, perlu dicari solusi penyelesaian perbedaan adat secara komprehensif agar perbedaan adat yang disebabkan pebedaan daerah dan lain sebagainya tidak merusak harmoni hubungan pada saat, pasca pelaksanaan adat Batak-Toba.

Perbedaan harus dimaknai pelangi kehidupan sangat indah bukan titik bentur menimbulkan aneka pergesekan, perselisihan dan permasalahan ditengah-tengah masyarakat beradat dan beradab. 

Menemukan solusi permasalahan tentu sangat diperlukan kearifan, kebajikan serta kebesaran jiwa yaitu pemahaman paripurna bagaimana mencapai titik temu untuk mempertemukan aneka perbedaan menjadi sebuah kesepakatan bersama agar kabahagian kolektif bisa terwujud dengan nyata. 

Tanpa itu, energi besar (baca: tingki, gogo, pikiran, hasea, hepeng) yang dihabiskan menggelar sebuah perhelatan adat (baca: ulaon adat) Batak-Toba tidak lebih dan tidak kurang hanya lah sebuah acara seremonial hampa arti dan makna (baca: ulaon si soada na so marlapatan). 

Menurut pemikiran penulis,  ada beberapa cara solusi menyelesaikan perbedaan adat sesuai nilai-nilai luhur nenek moyang Batak-Toba yang perlu dibumikan, antara lain:

Sidapot solup do na ro. 

Kalimat “Sidapot solup do na ro”  bukan lagi kalimat asing bagi Batak-Toba. Tetapi makna sejati dan hakiki dari kalimat itu mungkin masih sebatas makna harfiah sehingga perlu menggali makna sejati kalimat “Sidapot solup do na ro” agar tidak disalahartikan atau disalahtafsirkan untuk menjustifikasi seluruh bentuk, jenis, dan macam adat yang ada pada Batak-Toba. 

Kalimat “Sidapot solup do na ro” perlu dipahami dari dua sudut pandang yakni, pertama; bermakna tempat, dan kedua; bermakna bentuk, jenis dan macam adat. 

Sidapot solup do na ro bermakna tempat (baca: Asing dolok asing do duhutna, Asing luat asing do nang adatna”) yakni ketika salah satu pihak datang ke daerah pihak lain maka adat setempatlah yang berlaku pada saat itu. 

Sebab, ”Molo disi tano ni dege, disi do langit dijungjung”. Artinya, dimana tanah dipijak disutulah langit dijunjung. 

Misalnya, ulaon adat di jabu (baca: ulaon marupa-upa) maka ulaon adat yang berlaku ditempat itulah akan dilaksanakan sesuai dengan “solup” (aturan, ukuran) atau adat setempat. 

Salah satu prinsip dasar adat adalah memberi dan menerima (baca: mangalehon dohot manjalo) sehingga dikenal ungkapan “Holi-holi nibondut holi-holi niutahon”. 

Artinya, apa yang kita beri kepada pihak lain sejenis itu pula lah yang akan kita terima. Sehingga terjadi interaksi adat timbal balik secara otomatis. 

Karena itu lah pada saat menyamakan persepsi (baca: marsirenggetan, marsiarisan) selalu dikatakan oleh parsinabung, parsinabul, parsaut ahli bait atau punya hajatan (baca: bona ni hasuhuton) “Hatitioran di bungkulan ni ruma, pamintoran do dongan sahuta”. 

Artinya, selalu diminta pendapat atau pertimbangan kepada dongan sahuta tentang kebiasaan adat setempat karena “Sidapot solup do na ro”. 

Dongan sahuta adalah saparadatan bona ni hasuhuton seperti ungkapan mengatakan ”solhot partubu sumolhotan do parhundul” , “Tinallik landorung bontar gotana, si sada anak si sada boru do na mardongan sahuta, atik pe asing-asing margana”. 

Walau marga na mardongan sahuta berbeda-beda tetapi mereka satu hajatan (baca: hasuhuton). Akan tetapi istilah dongan sahuta di Bona Pasogit tidak ada,  yang ada  adalah dongan saparadatan, paradatan bius, raja na niontang dan lain sebagainya.

Kemudian, Sidapot solup do na ro bermakna bentuk, jenis dan macam adat yakni; bentuk, jenis, dan macam adat apa yang dilaksanakan itu sebab tidak semua bentuk, jenis dan macam adat memiliki makna sama dan indentik. Karena itu, ada ungkapan Batak-Toba “mamereng sundung ni hau do parpeakna”, artinya, tergantung bentuk, jenis dan macam adat lah pelaksanaannya. 

Ada ulaon adat untuk orang hidup (baca: ulaon ni jolma na mangolu) ada pula ualon adat untuk orang meninggal (baca: ulaon pasae ariari, partuat ni natua-tua) yang tentu saja tidak akan sama dan indentik makna dan pelaksanaannya. 

Makna marunjuk/mangadati/pasahat sulang-sulang ni pahompu huhut manggarar adat na gok adalah membayar hutang (baca: manggarar utang) adat dari pihak paranak kepada pihak parboru sebab mempersunting (baca: mangalap, mangoli) anak perempuan (baca: boru) pihak parboru (baca: hula-hula) sehingga “Solup” atau aturan adat pihak parboru lah yang akan dipakai. 

Makna “Sidapot solup do na ro” pada ulaon adat marunjuk/mangadati/pasahat sulang-sulang ni pahompu huhut manggarar adat na gok adalah makna bentuk, jenis, dan macam adat. 

Artinya, membayar hutang adat oleh pihak paranak kepada pihak parboru tentu seharusnya bentuk, jenis dan macam adat yang berlaku pada pihak parboru lah dituruti pihak paranak supaya utangnya lunas.

Bukan sebaliknya, pihak paranak memaksakan adatnya yang didasarkan pada kebiasaan adat daerah setempat. 

Bila dianologikan, apakah tepat pihak berpiutang tunduk dengan aturan pihak berutang ? Atau pihak berutang mengatakan kepada pihak berpiutang selesai lah hutangku tanpa persetujuan atau restu dari pihak berpiutang ?

Logika seperti itu perlu dipertimbangkan dengan seksama untuk mencari solusi perbedaan adat agar tidak terjadi benturan atau pergesekan dalam pelaksanaan ulaon adat berbeda tempat. 

Misalnya, kebiasaan adat di Humbang memberikan Osang kepada pihak hula-hula, sedangkan di Toba Habinsaran Osang diberikan kepada pihak boru pada pesta perkawinan (baca: marunjuk/mangadati/pasahat sulang-sulang ni pahompu huhut manggarar adat na  gok”. 

Ketika marunjuk/mangadati/pasahat sulang-sulang ni pahompu huhut manggarar adat na gok, boru (baca: parompuan) dari Humbang yang kawin (baca: marhasohotan, marhamulian, marhuta) dengan anak (baca: baoa, lahi-lahi) dari Toba Habinsaran maka pihak parboru (baca: sian Humbang) akan meminta Osang kepada pihak paranak (baca: sian Toba Habinsaran) karena di Humbang Osang adalah jambar hula-hula. 

Sedangkan pihak paranak (baca: sian Toba Habinsaran) mengatakan kepada pihak parboru (baca: sian Humbang) bahwa Osang adalah jambar boru sesuai dengan kebiasaan adat di Toba Habinsaran. 

Parjambaran demikian adalah sah sesuai adat (baca: nunga dihagabehon) yang berlaku di daerah setempat (adat lokal). 

Yang menjadi persoalan adalah ketika terjadi perkawinan antar daerah dengan perbedaan adat masing-masing. 

Misalnya, perbedaan parjambaran Osang antara Humbang dan Toba Habinsaran tidak mustahil  akan menjadi pembicaraan alot serta melelahkan ketika masing-masing pihak mempertahankan adatnya. 

Kadangkala terlontar juga kalimat “Sidapot solup do na ro” akan tetapi kalimat “Sidapot solup do na ro” ada yang didasarkan bermakna tempat, ada pula bermakna bentuk, jenis dan macam adat. 

Akan tetapi menurut pemikiran penulis, yang paling tepat adalah “Sidapot solup do na ro” bermakna bentuk, jenis dan macam adat, bukan bermakna tempat. 

Sebab, marunjuk/mangadati/pasahat sulang-sulang ni pahompu huhut manggarar adat na gok maknanya adalah membayar hutang (baca: manggarar utang) adat. 

Apakah tepat, hutang adat paranak kepada parboru lunas pada saat yang sama pula pihak parboru harus berhutang kepada hula-hulanya ? 

Bukankah hal itu memindahkan hutang kepada pihak parboru akibat tidak bisa memberikan jambar Osang kepada hula-hula (baca: tulang ni na muli) sebab pihak paranak mempertahankan jambar Osang kepada borunya sesuai adat daerah setempat, sembari menggunakan alasan “Sidapot solup do na ro” bermakna tempat, bukan bermakna bentuk, jenis dan macam adat yakni manggarar utang. 

Pengamatan penulis sebagai praktisi adat (baca: parsinabung, parsinabul, parsaut) sering menemui hal-hal demikian sehingga diperlukan pembahasan secara seksama untuk menemukan solusi terbaik agar makna “Sinuan bulu sibahen na las, sinuan partuturan sibahen na horas” yang ditandai pada saat pelaksanaan adat bisa “Marsilanlan uruk-uruk, silanlan aek toba, na metmet ndang marugut-ungut na matua marlas ni roha” sebab pada ulaon adat demikianlah kebahagiaan terwujud dengan nyata.
(Bersambung)




Senin, 30 Juli 2012

Benarkah Hanya Batak Pemilik HOTEL ?


Benarkah Hanya Batak Pemilik HOTEL ?
Oleh : Thomson Hutasoit

Pendahuluan.
Stigma negatif yang selalu dilontarkan di ruang publik adalah Batak, khususnya  Batak-Toba disebut-sebut pemilik HOTEL yakni; Hosom, Teal, Elat, Late, dimana kata-kata itu sadar atau tidak telah menjatuhkan marwah serta karakter luhur Batak di ranah publik. 

Yang paling disayangkan, tudingan bernada miring itu berasal dari orang Batak, khususnya Batak-Toba sendiri sehingga layak disebut “Maneat bibir pataridahon ipon” alias menelanjangi diri sendiri serta mempermalukan komunitas Batak-Toba tanpa landasan kuat. Tindakan demikian sadar atau tidak adalah merupakan tidakan keliru serta tak bertanggung jawab yang sangat disayangkan. Bukankah tindakan mendegradasikan diri sendiri merupakan tindakan bodoh dan konyol ? Akan tetapi, itulah faktanya apalagi sudah banyak orang Batak “merasa”  maju dan terpelajar sehingga sangat mudah membangun dalil-dalil tendensius memojokkan eksistensi Batak, khususnya Batak-Toba ditengah masyarakat, bangsa maupun negara.   
Pelekatan stigma negatif “Hanya Batak Pemilik HOTEL” perlu diwaspadai secara seksama sebab predikat negatif itu tidak mustahil akan dijadikan pihak lain alat justifikasi menjatuhkan karakter moral orang Batak yang berakibat fatal ditengah-tengah masyarakat, bangsa maupun negara. Misalnya, keragu-raguan, kesangsian, serta ketidakpercayaan  mengemban amanah dalam arti seluas-luasnya. Padahal Batak-Toba merupakan salah satu komunitas bangsa di dunia beradat dan beradab. Bahkan tidak terlalu melebih-lebihkan bahwa suku Batak adalah salah satu suku bangsa memiliki peradaban tertinggi di atas jagat raya ini. 

Hal itu bisa dilihat dengan nyata melalui adanya falsafah, adat, budaya, bahasa, aksara, kesenian, alat-alat kesenian, serta ilmu pengetahuan dan teknologi  (Iptek) jauh sebelum zaman millennia ini. Bukankah kebudayaan cerminan peradaban manusia? Dan perbedaan pendidikan antara manusia dengan binatang terutama terletak dalam tujuannya: manusia belajar agar berbudaya sedangkan binatang belajar untuk mempertahankan jenisnya. “Tak pernah ada binatang yang membikin perang” kata Aldous Huxley, ”karena mereka tak mempunyai sesuatu yang dianggap luhur”. Apakah yang lebih luhur lagi bagi seekor harimau selain daging segar dan betinanya ?. “Mungkin saja terdapat genius di antara para gorilla” sambung Aldous Huxley, tetapi karena mereka tidak mempunyai bahasa maka buah pikiran dan penemuan genius itu tidak tercatat dan menghilang begitu saja”. (Jujun S. Suriasumantri, 1982). 

Tudingan bernada miring “Hanya Batak Pemilik HOTEL”  tidak mustahil datang dari oknum-oknum tak bertanggung jawab atau orang tak tahu asal-usul alias Dalle serta memiliki pengetahuan dangkal tentang Batak dan Habatahon sehingga latah melontarkan istilah-istilah tak populer serta tak memiliki landasan kuat. Sebab menurut pemahaman dan analisis penulis sifat-sifat “Hosom, Teal, Elat, Late (HOTEL) dimiliki semua suku di atas bumi ini.  Bukan hanya Batak (Batak-Toba) walaupun dalam bahasa yang berbeda-beda. Sehingga pelekatan stigma negatif seperti itu adalah merupakan “arogansi intelektual” didasari pemahaman dangkal dan keliru yang perlu diuji secara akademik. 

Harus disadari setiap orang bahwa pemberian atau pelekatan predikat, simbol-simbol dengan serampangan akan sangat berbahaya serta berimplikasi luas ditengah-tengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara. Sehingga dituntut kearifan berpikir komprehensif untuk memproteksi ekses-ekses negatif dikemudian hari. Setiap pelabelan akan berimplikasi luas serta sulit dihapus atau dihilangkan apalagi bila label-label negatif itu telah membumi di ranah publik. 
  
Hosom. 

Hosom adalah sifat selalu membenci, dendam terhadap orang lain akibat gesekan ataupun benturan kepentingan satu sama lain. Gesekan atau benturan kepentingan itu menjelma menjadi cikal-bakal saling dendam apalagi tidak bisa diurai dengan tuntas.

 Sifat, sikap demikian tentu saja bukan lah  hanya milik orang Batak-Toba, tetapi seluruh suku bangsa di dunia. Karena itu pula lah leluhur Batak-Toba memberikan solusi penyelesaian gesekan, benturan, perselisihan, permasalahan, persoalan, bahkan konflik melalui “Tuat si puti nangkok si deak, ima na ummuli tu si ma tapareak”. “Purpar pande dorpi tu dimposna do ujungnya, sip parmihim-himin tu rotokna do ujungna”. “Si boru puas si boru bakkara, molo dung puas sae soada mara”. “Gala-gala sitekluk telluk mardagul-dagul, molo adong na sala manat mangapul-apul”. “Molo ias sian losung ias ma di anduri” dan lain-lain. 

Bahkan leluhur Batak-Toba menitahkan jangan mewariskan perselisihan, permasalahan, persoalan terhadap keturunan seperti ungkapan mengatakan,”Ndang paguguthonon na so sira tu ianakhon”. Titah ini merupakan larangan tegas agar tidak mewariskan dosa warisan atau silsilah (baca: pateanhon dosa marsundut-sundut manang tarombo) yang menjadi persoalan sepanjang sejarah. 

Hosom adalah sifat pembenci, pendendam ataupun sifat bermusuhan. Sedangkan orang Batak, khususnya Batak-Toba bukanlah tipe pembenci, pendendam atau gemar bermusuhan walaupun dalam melontarkan kata-kata terkesan keras bahkan kasar. Buktinya, Batak-Toba sangat mudah berinteraksi dengan komunitas-komunitas lain karena memiliki sifat-sifat solider dan bersahabat bukan sekadar kamuflase. 

Andaikan terjadi pergesekan atau perbenturan, bila telah diselesaikan dengan tuntas tidak memiliki dendam berkepanjangan (dendam kesumat) sebagaimana dimiliki suku lain. Artinya, rekonsiliasi hubungan semula pulih kembali seperti sediakala. Karena itu lah ada kearifan lokal Batak-Toba “Tampulon aek do halak na mardongan tubu”. Arinya, hubungan kekeluargaan serta kekerabatan tidak pernah putus selama generasi masih tetap berlanjut sepanjang masa. 

Harus pula dipahami bahwa setiap komunitas suku bangsa di atas dunia ini secara personal ada memiliki konsep diri negatif dan konsep diri positif, tetapi menjeneralisasi sifat personal menjadi gambaran sifat komunal sangat keliru besar, berbahaya serta sangat menyesatkan. Sebab perilaku manusia bukan mutlak ditentukan keturunannya (faktor internal) tetapi juga dipengaruhi lingkungannya (faktor eksternal). Ungkapan “Ndang dao tubis sian bonana” tidak lah suatu dalil mutlak absolut sebab ada keturunan orang baik-baik menjadi penjahat besar. Sebaliknya, ada keturunan orang biasa-biasa menjadi orang sangat luar biasa dan lain sebagainya. Karena itu lah Pdt. Halomoan Marpaung, STh, MPSi mengatakan,” Keberhasilan bukan karena keturunan, tetapi karena ketekunan. Sukses bukan hasil kerja keras, tetapi hasil kerja cerdas”. 

Fenomena tumbuh berkembang belakangan ini adalah “Na malo ndang tarparguruan, na oto ndang tarajaran” sehingga mudah melontarkan ide-ide tak populer semata-mata dilatari “kelatahan” saja. Akibatnya, dalil-dalil, istilah-istilah, idiom-idiom serta simbol-simbol tumbuh bagaikan jamur di musim hujan. Sementara, apabila dalil-dalil, istilah-istilah, idiom-idiom serta simbol-simbol keliru itu dianggap suatu kebenaran akan merusak kesejatian, kemurnian pranata baku ditengah-tengah masyarakat, bangsa maupun negara.  

Menurut William D. Brooks dan Philip Emmert (1976:42-43) ada empat tanda orang yang memiliki konsep diri negatif. Pertama, ia peka terhadap kritikan. Orang ini sangat tidak tahan kritik yang diterimanya, dan mudah marah atau naik pitam. Bagi orang ini, koreksi seringkali dipersepsi sebagai usaha untuk menjatuhkan harga dirinya. Dalam komunikasi, orang yang memiliki konsep diri negatif cenderung menghindari dialog terbuka, dan bersikeras mempertahankan pendapatnya dengan berbagai justifikasi atau logika yang keliru. Kedua, orang yang memiliki konsep diri negatif, responsif sekali terhadap pujian. Walaupun ia mungkin berpura-pura menghindari pujian, ia tidak dapat menyembunyikan antusiasmenya pada waktu menerima pujian. Buat orang-orang seperti ini, segala macam embel-embel yang menunjang harga dirinya menjadi pusat perhatiannya. Bersamaan dengan kesenangannya tehadap pujian, mereka pun bersikap hiperkritis terhadap orang lain. Ia selalu mengeluh, mencela, atau meremehkan apa pun dan siapa pun. Mereka tidak pandai dan tidak sanggup mengungkapkan penghargaan atau pengakuan pada kelebihan orang lain. Ketiga, orang yang konsep dirinya negatif bersikap hiperkritis, cenderung merasa tidak disenangi orang lain. Ia merasa tidak diperhatikan. Karena itulah ia beraksi pada orang lain sebagai musuh, sehingga tidak dapat melahirkan kehangatan dan keakraban persahabatan. Ia tidak akan pernah mempersalahkan dirinya, tetapi akan menganggap dirinya sebagai korban dari sistem sosial yang tidak beres. Keempat, orang yang konsep dirinya negatif, bersikap pesimis terhadap kompetisi seperti terungkap dalam keengganannya untuk bersaing dengan orang lain dalam membuat prestasi. Ia menganggap tidak akan berdaya melawan persaingan yang merugikan dirinya. 

Sedangkan  menurut D.E. Hamachek  ada  11  karateristik orang yang mempunyai konsep diri positif,  antara lain:
1.                  Ia meyakini betul-betul nilai-nilai dan prinsip-prinsip tertentu serta bersedia mempertahankannya, walaupun menghadapi pendapat kelompok yang kuat. Tetapi, dia juga merasa dirinya cukup tangguh untuk mengubah prinsip-prinsip itu bila pengalaman dan bukti-bukti baru menunjukkan ia salah.

2.                  Ia mampu bertindak berdasarkan penilaian yang baik tanpa merasa bersalah yang berlebih-lebihan, atau menyesali tindakannya jika orang lain tidak menyetujui tindakannya.

3.      Ia tidak menghabiskan waktu yang tidak perlu untuk mencemaskan apa yang akan terjadi besok, apa yang telah terjadi waktu yang lalu, dan apa yang sedang terjadi waktu sekarang.

4.      Ia memiliki keyakinan pada kemampuannya untuk mengatasi persoalan, bahkan ketika ia menghadapi kegagalan atau kemunduran.
5.      Ia merasa sama dengan orang lain, sebagai manusia tidak tinggi atau rendah, walaupun terdapat perbedaan dalam kemampuan tertentu, latar belakang keluarga, atau sikap orang lain terhadapnya.

6.      Ia sanggup menerima dirinya sebagai orang yang penting dan bernilai bagi orang lain, paling bagi orang-orang yang ia pilih sebagai sahabatnya.

7.      Ia dapat menerima pujian tanpa berpura-pura rendah hati, dan menerima penghargaan tanpa merasa bersalah.

8.      Ia cenderung menolak usaha orang lain untuk mendominasinya.

9.      Ia sanggup mengaku kepada orang lain bahwa ia mampu merasakan berbagai dorongan akan keinginan, dari perasaan marah sampai cinta, dari sedih sampai bahagia, dari kekecewaan yang mendalam sampai kepuasan yang mendalam pula.

10. Ia mampu menikmati dirinya secara utuh dalam berbagai kegiatan yang meliputi pekerjaan, permainan, ungkapan diri yang kreatif, persahabatan, atau sekadar mengisi waktu.

11.             Ia peka pada kebutuhan orang lain, pada kebiasaan sosial yang telah diterima, dan terutama sekali pada gagasan bahwa ia tidak bisa bersenang-senang dengan mengorbankan orang lain. (Brooks dan Emmert, 1976:56/Drs. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc, 2007).

Konsep-konsep diri positif dan negatif dimiliki setiap personal suku bangsa di atas jagat raya ini sehingga tidak elegan dijadikan alat justifikasi untuk menjeneralisasi sebagai sifat komunitas tertentu, termasuk pada Batak-Toba sebagaimana dilontarkan pihak-pihak tak bertanggung jawab selama ini.

Stigma negatif itu harus ditolak Batak-Toba melalui perilaku-perilaku unggul ditengah-tengah masyarakat, bangsa maupun negara sebab Batak-Toba beradat dan beradab.

Teal. 

Teal adalah sifat, sikap petantang-petenteng yang cenderung dilatari kesombongan diri ataupun keangkuhan pribadi. Sifat serta sikap demikian tentu dimiliki diri personal dari seluruh suku bangsa di atas dunia ini. Tetapi sifat-sifat atau sikap pribadi dari suatu komunitas tidak boleh dijadikan justifikasi suatu suku bangsa memiliki hal serupa. Penjeneralisasian atas sifat atau sikap bersifat pribadi menjadi sifat atau sikap komunal adalah asumsi dangkal dan keliru. 

Angkuh, sombong, patentengan, menganggap segala sesuatu enteng adalah cerminan sifat super ego serta percaya diri berlebihan yang merupakan sifat buruk melekat pada diri manusia. Percaya diri berlebihan (over comfidence)  akan membuat seseorang bertindak sesuka hati (over acting) atau “Teal”. Ada juga orang memiliki sifat angkuh, sombong dan patentengan tanpa ada suatu kebanggaan dimiliki. Inilah yang disebut “Teal so hinallung”. Dan orang seperti itu sering disebut “parhata manggang” yakni sifat hiperbola atau melebih-lebihkan sesuatu obyek diluar fakta empirik. 

Kata “Teal” tidaklah bermakna apa-apa karena kata-kata tidak bermakna; oranglah yang memberi makna. Artinya, seandainya orang Batak-Toba tidak memaknai kata “Teal” sebagai perilaku buruk maka kata “Teal” tidaklah memiliki arti apa-apa. Tetapi ketika kata “Teal” disematkan sebagai salah satu perilaku buruk Batak-Toba justru hal itulah yang sangat berbahaya serta berdampak luas. 

Sejak Plato, John Locke, Wittgenstein, sampai Brodbeck (1963), makna dimaknakan dengan uraian yang lebih sering membingungkan daripada menjelaskan. Borbeck membagi makna pada tiga corak antara lain; Pertama, makna inferensial, yakni makna satu kata (lambang) adalah obyek, pikiran, gagasan, konsep yang dirujuk oleh kata tersebut. Dalam uraian Ogden dan Richards (1946), proses pemberian makna (reference process) terjadi ketika kita menghubungkan lambang dengan yang ditunjukkan lambang (disebut rujukan atau referent). Kedua, menunjukkan arti (significance) yakni suatu istilah sejauh dihubungkan dengan konsep-konsep yang lain. Ketiga, makna intensional yakni makna yang dimaksudkan oleh seorang pemakai lambang. Makna ini tidak boleh divalidasi secara empiris atau dicarikan rujukannya. Makna ini terdapat pada pikiran orang, hanya dimiliki dirinya saja. (Drs. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc, 2007). 

Menjadikan sesuatu jadi kepribadian spesifik apalagi menjeneralisasi tanpa pengkajian komprehensif merupakan “arogansi intelektual” serta bisa mengacau tatanan umum. Thomas Szasz mengatakan, “Orang sering berkata tentang sesamanya, ‘Dia belum menemukan jati dirinya’. Tapi jati diri – diri kita sendiri – bukanlah sesuatu yang kita temukan. Itu adalah sesuatu yang kita bentuk”.(Carol Wade & Carol Tavris, 2007).

Elat. 

Dalam salah satu acara televisi “Empat Mata atau Bukan Empat Mata” yang dinahkodai Tukul Arwana ada salah satu istilah menarik menggoda perhatian penulis yakni “SMS” (Senang Melihat Orang Susah, Susah Melihat Orang Senang) yaitu suatu sifat cemburu, iri, sirik, dengki atau kurang senang melihat kelebihan orang lain (beruntung, sukses dan lain sebagainya). Sifat cemburu, iri, sirik, dengki rupanya dimiliki pribadi-pribadi seluruh komunitas di atas jagat raya ini, bukan hanya Batak-Toba yang disebut “Elat”. 

Elat (cemburu, iri, sirik, dengki) adalah sebuah konsep diri negatif dari diri manusia yang bisa detemukan pada setiap komunitas di sisik bumi bukan hanya dijumpai pada satu suku bangsa tertentu sehingga pelekatan stigma negatif terhadap satu suku bangsa tertentu, misalnya menuduh Batak-Toba pemilik “Elat” sangat terlalu tendensius serta merupakan “arogansi intelektual” (baca: pamalo-malohon, papistar-pistarhon) tak bertanggung jawab.

Sifat Elat (cemburu, iri, sirik, dengki) adalah konsep diri negatif tidak mampu bersaing sehat atau bersaing sempurna (perfect competition) serta ketidakmampuan menerima, mengakui kelebihan atau keunggulan orang lain. Keberhasilan atau kesuksesan pihak lain selalu direspon negatif karena tidak mau dan rela mengakui kemampuan dan keunggulan pihak lain melebihi dirinya. Dia “senang melihat orang susah atau sebaliknya, susah melihat orang senang” (SMS) sebab tidak mampu menempatkan diri obyektif mengakui keberhasilan atau kesuksesan pihak lain. Dikala sifat cemburu, iri, sirik, dengki semakin menebal maka seseorang akan melakukan intrik-intrik untuk merusak keberhasilan atau kesuksesan pihak lain.

Dalam dunia kompetisi sehat dan sempurna diperlukan prinsip sportivitas serta keterbukaan yakni kompetisi berdasarkan kualitas kemampuan seperti kapabilitas, kredibilitas, kapasitas, serta soliditas yang dapat diukur transparan akuntabel obyektif. Dengan demikian keberhasilan dan keunggulan seseorang benar-benar berdasarkan penilaian obyektif. Tapi bagi orang memiliki konsep diri negatif serta memiliki karakteristik dogmatis atau bersikap tertutup hal demikian menjadi suatu kemustahilan. Sebab karakteristik orang dogmatis atau bersikap tertutup menilai pesan berdasarkan motif pribadi. 

Orang dogmatis tidak akan memperhatikan logika suatu proposisi, ia lebih banyak melihat sejauhmana proposisi itu sesuai dengan dirinya. Argumentasi obyektif, logis, cukup bukti akan ditolak mentah-mentah. “Pokoknya aku tidak percaya”, begitu sering diucapkan orang dogmatis. 

Setiap pesan akan dievaluasi berdasarkan desakan dari dalam diri individu (inner pressure). Rokeah menyebut desakan ini, antara lain, kebiasaan, kepercayaan, petunjuk perseptual, motif ego irasional, hasrat berkuasa, dan kebutuhan untuk membesarkan diri. Orang dogmatis sukar menyesuaikan dirinya dengan kebutuhan lingkungan.

Johari Window mengatakan,”Seringkali kita menjadi terbiasa menggunakan topeng, sehingga kita sendiri tidak menyadarinya. Orang lain sebaliknya mengetahuinya. Orang yang rendah diri berusaha jual tampang, meyakinkan orang lain tentang keunggulan dirinya, dan merendahkan orang lain. Ia tidak menyadarinya, tapi orang lain mengetahuinya. Ini termasuk daerah buta (blind area). Tentu ada diri kita yang sebenarnya, yang hanya Allah yang tahu. Ini daerah tidak dikenal (unknown area). Makin luas diri publik kita, makin terbuka kita pada orang lain, makin akrab hubungan kita dengan orang lain. (Drs. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc, 2007). 

Orang selalu dihantui sifat cemburu, iri, sirik, dengki (baca: Elat) sulit menempatkan diri obyektif apalagi mengakui kemampuan dan keunggulan pihak lain sebagai suatu kewajaran atas prestasi kinerja. Respon negatif demikian merupakan konsekuensi konsep diri negatif dimiliki pribadi-pribadi tertentu. Sifat, sikap serta perilaku demikian merupakan cerminan pribadi yang bisa ditemui pada diri insan manusia diatas dunia ini, bukan hanya terdapat pada salah satu komunitas tertentu. Sehingga sangat keliru besar apabila ditudingkan (baca: dituhashon) pada Batak-Toba saja. 

Steven P Robinsons, PhD (2009) mengatakan, sejumlah riset ekstensif telah mengidentifikasi lima dimensi dasar yang menjelaskan variasi signifikan dalam kepribadian manusia. Lima faktor itu antara lain;

1.                  Kecenderungan keluar; Apakah Anda seorang yang extrovert (ramah, mampu bersosialisasi) atau seorang yang introvert (pendiam, pemalu) ?

2.                  Menyenangkan; Apakah Anda seorang yang sangat menyenangkan (kooperatif, terpercaya) atau kurang menyenangkan (pemarah, antagonistis) ?

3.                  Kesungguhan hati; Apakah Anda sangat bersungguh-sungguh (bertanggung jawab, terorganisasi) atau kurang bersungguh-sungguh (tidak dapat diandalkan, kacau) ?

4.                  Stabilitas emosional; Apakah Anda stabil (tenang, percaya diri) atau tidak stabil (gelisah, merasa tidak aman) ?

5.                  Keterbukaan terhadap pengalaman; Apakah Anda terbuka terhadap pengalaman baru (keatif, ingin tahu) atau tertutup (konvensional, mencari yang biasa) ? 

Senang melihat orang susah, susah melihat orang senang (SMS) seperti dikatakan Tukul adalah sifat, sikap serta perilaku buruk yang harus dibuang jauh-jauh dengan mengubah atau mengganti menjadi “Senang melihat orang sukses” (SMS) sebab kesuksesan orang lain akan berdampak positif terhadap diri kita, baik langsung maupun tidak langsung. Sebaliknya, apabila kesusahan semakin meluas di sekitar kita akan berdampak negatif terhadap diri kita, baik langsung maupun tidak langsung. 

Late. 

Late (sirik) adalah sifat atau sikap ingin merusak, menghancurkan keberhasilan, kesuksesan atau kebahagiaan pihak lain. Sifat atau sikap demikian merupakan cerminan karakter buruk seseorang akibat tidak suka atau tidak senang melihat keberhasilan yang dicapai orang lain. 

Gemar mengusik, menggangu atau merusak keberhasilan atau kebahagiaan orang lain lebih cenderung dipengaruhi otak kotor dan hati busuk yang tidak rela melihat keberhasilan atau kebahagiaan pihak lain. Berbagai intrik-intrik jahat dilancarkan untuk merusak, menghancurkan kesuksesan pihak lain, dan ketika taktik jahatnya berhasil untuk merusak atau menghancurkan pihak lain maka dia merasa puas. 

Sebagaimana telah diuraikan dibahagian lain tulisan ini sifat atau sikap demikian adalah merupakan cerminan konsep diri negatif yang dimiliki seseorang. Dia sirik terhadap capaian kesuksesan orang lain sehingga dia berusaha untuk meruntuhkan atau mengahancurkannya. Membuat pihak lain menderita adalah suatu perilaku buruk yang tidak patut dilakukan manusia beradat dan beradab. Sebab perlakuan demikian adalah tindakan jahat membuat orang lain sengsara. 

Sifat, sikap serta perilaku demikian sering dipraktekkan pada persaingan tidak sehat atau tidak sempurna. Memburuk-burukkan, memfitnah pihak lain dengan dalil-dalil subyektif didasari sifat sirik (baca: Late) sering dilancarkan kompetitor hitam untuk menjatuhkan pihak lain atau ingin mencapai sesuatu dengan merusak kompetitor lain.

Sifat, sikap atau perilaku demikian merupakan cerminan ketidakdewasaan berkompetisi dengan sehat. DR. Bruno Caporrimo mengatakan,” Kedewasaan adalah kesadaran akan kasih, tanggung jawab, pemahaman nilai, dan kemampuan mengevaluasi serta bersikap tegas”. “Kadang-kadang Anda merasa bahwa orang yang tidak dewasa selalu berusaha membuktikan sesuatu dalam semua tindakan mereka. Mereka berusaha membangun diri sendiri agar merasa layak dan aman, atau penting. Hal itu muncul karena salah satu ciri ketidakdewasaan adalah menuntut perhatian dan bukan memberikan perhatian. Orang yang dewasa menerima perhatian melalui jati dirinya dan pemberiannya, bukan melalui tuntutannya. Jika tuntutan akan perhatian atau dominasi menjadi dasar suatu hubungan, hal itu pasti disebabkan adanya ketidakdewasaan. 

Tuntutan itu dibuat berdasarkan kebutuhan yang nyata, seperti halnya orang tua menuntut anak-anak yang belum dewasa. Ketidakdewasaan selalu menunjukkan adanya tuntutan. Dalam hubungan dua orang dewasa, salah satu akan mendominasi atau membuat tuntutan jika yang satunya tidak dewasa. Namun orang yang tidak dewasa juga membuat tuntutan dan berusaha mendominasi, karena ia tidak mempunyai cara lain untuk meminta kompensasi karena ia menyadari bahwa ia tidak dewasa. Saya ingin memberikan motto yang telah saya ikuti selama bertahun-tahun: “Kurbankan hal yang baik untuk hal yang lebih baik; kurbankan hal yang lebih baik untuk yang terbaik”. Anda hanya bisa melakukan sebanyak itu untuk menjadi orang yang bisa melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan orang lain. (DR. Bruno Caporrimo, 2007). 

Sifat, sikap atau perilaku tidak dewasa bukanlah milik spesifik salah satu suku bangsa di atas dunia ini, tetapi milik seluruh insan manusia karena itu sifat sirik (baca: late) tidak hanya terdapat pada Batak-Toba sebagaimana ditudingkan pihak-pihak tak bertanggung jawab selama ini. Orang dewasa memahami mana yang baik mana yang buruk sehingga selalu menghindari diri sumber penderitaan, sengsara ataupun malapetaka terhadap orang lain.

Penutup. 

Hosom, Teal, Elat, Late (HOTEL) adalah sifat, sikap ataupun perilaku buruk yang melekat pada diri manusia di setiap suku bangsa walau dengan sebutan-sebutan berbeda dengan Batak-Toba sehingga tidak patut dan wajar ditudingkan hanya milik suku Batak, khususnya Batak-Toba. 

Sifat cemburu, iri, sirik dan dengki, tidak mau dengan suka rela menerima atau mengakui kemampuan, keberhasilan pihak lain merupakan cerminan konsep diri negatif serta ketidakdewasaan  manusia di atas planet bumi ini. Bila konsep diri negatif dan ketidakdewasaan mendominasi jiwa dan pikiran manusia maka akan sulit berpikir positif dan obyektif. Senang melihat orang susah, susah melihat orang senang (SMS) selalu mengantui seseorang yang diselimuti sifat cemburu, iri, sirik dan dengki (baca: HOTEL) karena selalu memandang segala sesuatu hanya dari dalam dirinya sendiri. 

Akan tetapi bila seseorang memiliki konsep diri positif serta dewasa maka dia selalu berikhtiar, beraksioma “senang melihat orang sukses (SMS)” sebab orang berkonsep diri positif memahami paripurna “jika ingin senang buatlah orang lain senang, jika ingin sukses buatlah orang lain sukses, jika ingin bahagia buatlah orang lain bahagia”, dan lain sebagainya. Sebab prinsip hidup Batak-Toba “Molo i sinuan ido tapuon”. Apa yang kita tanam itulah yang akan kita petik. 

Oleh karena itu, pelabelan “Hanya Batak Pemilik HOTEL” harus diluruskan sebab hal itu suatu stigma negatif berdampak luas ditengah masyarakat, bangsa maupun negara. Pemberian stigma negatif seperti itu adalah “arogansi intektual” alias pamalo-malohon serta tak bertangung jawab. Batak, khususnya Batak-Toba beradat dan beradab. Sekali lagi Beradat dan beradab. 

Horas bangso Batak !!!
 Medan, 27 Juli 2012
Thomson Hutasoit.
Penulis: Direktur Eksekutif LSM Kajian Transparansi Kinerja Instansi Publik (ATRAKTIP), Wakil Sekretaris Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) Provinsi Sumatera Utara, Sekretaris Umum Punguan Borsak Bimbinan Hutasoit, Boru, Bere Kota Medan Sekitarnya, Wakil Sekretaris II Pomparan Toga Sihombing (PARTOGI) Kota Medan Sekitarnya, Penasehat Punguan Toga Lumban Gaol dohot Boru Sektor Helvetia Medan, Wakil Pemimpin Redaksi SKI ASPIRASI, tinggal di Medan.  

                                                                                            
                
  
               
             
           

Rabu, 18 Juli 2012

Parsinabung atau Parsaut

Oleh : Thomson Hutasoit
Parsinabung atau Parsaut adalah juru bicara adat yang dipilih melalui kesepakatan berjenjang mulai dari lingkar terdekat ahli bait (baca: Hasuhuton) hingga ke tingkat  paling atas dalam satu ompu ataupun satu kelompok marga Batak-Toba.
Proses kesepakatan berjenjang untuk memilih Parsinabung atau Parsaut di dalam Batak-Toba disebut Marsirenggetan atau Marsiarisan na Mardongan Tubu sebagai implementasi Manat Mardongan Tubu yakni hati-hati, waspada, saling hormat-menghormati, serta seia sekata seperti bunyi umpama,” Mangangkat rap tu ginjang, manimbung rap tu toru”, si sada anak, si sada boru, si sada adat, si sada ulaon, si sada tano, si sada las ni roha, si sada dok ni roha, dan lain sebagainya.
Komunitas Batak-Toba dengan falsafah Dalihan Na Tolu (DNT) yakni somba Marhula-hula, manat Mardongan Tubu, dan elek Marboru merupakan pranata tata hubungan interaksi Batak-Toba, termasuk di dalam melaksanakan adat-budaya yang merupakan peradaban serta jati diri Batak-Toba dimanapun berada.
Batak-Toba terkenal sebagai masyarakat beradat dan beradab yang diwarisi sejak zaman nenek moyang dan hingga kini dipertahankan serta dilestarikan untuk merekat hubungan kekeluargaan dan kekerabatan yakni; marhula-hula, mardongan tubu, dan marboru, bere/ibebere.
Hubungan interaksi kekeluargaan dan kekerabatan na mardongan tubu ataupun satu marga yang  saat ini sudah ada generasi 20-25 (baca: sundut 20-25) tetap sedemikian kompak dan harmonis menjadikan keakraban Batak-Toba suatu hubungan istimewa jika dibandingkan suku-suku bangsa di atas dunia ini.
Bila diperhatikan dengan cermat, bahwa kata kunci perekat hubungan kekeluargaan dan kekerabatan Batak-Toba tidak terlepas dari falsafah Dalihan Na Tolu (DNT) apalagi bisa dilakukan dengan baik dan benar sesuai posisi masing-masing menurut adat-budaya yang diwariskan para leluhur.
Prinsip somba (baca: hormat), manat (baca: hati-hati), elek (baca: sayang, pengayom) adalah salah satu gambaran karakter Batak-Toba dalam berpikir dan bertindak, sehingga apabila prinsip somba, manat, dan elek selalu dikedepankan di dalam hubungan komunikasi maka kekompakan dan keakraban pasti  tercipta dengan baik. Semua pihak menyadari hak dan tanggung jawab sesuai aturan, norma, serta nilai-nilai luhur adat-budaya yang menjadi pedoman pola tingkah laku Batak-Toba. Suka tidak suka, setuju tidak setuju, bahwa kemajuan yang tidak dilandasi karakter dan jati diri bangsa akan mengeliminasi sesorang dari komunitas bangsanya.
Sebaliknya, bila generasi Batak-Toba sudah meninggalkan prinsip somba, manat, dan elek maka akan sulit melakukan komunikasi yang baik dan benar antar sesama karena tidak bisa lagi memosisikan diri dengan tepat sesuai dengan adat-budaya Batak-Toba.
Kembali pada judul Parsinabung atau Parsaut adalah sebuah bentuk demokrasi langsung yang dilakukan dengan musyawarah menuju mufakat bertingkat berjenjang, mulai dari paidua ni suhut, oppu martinodohon, maroppu-oppu, dan/atau tingkatan marga yang menjadi panamboli pada suatu ulaon adat.
Tingkatan Panamboli inilah biasanya (Kota Medan) menjadi Parsinabung atau Parsaut di dalam satu pesta atau ulaon adat Batak-Toba. Kedudukan Parsinabung atau Parsaut pada suatu pesta atau ulaon adat adalah juru bicara yang memiliki otoritas memandu, mengarahkan, mengatur seluruh lalu lintas prosesi adat, baik Parsinabung atau Parsut pihak paranak maupun Parsinabung atau Parsaut pihak Parboru.
Seluruh prosesi ulaon adat dipandu, diarahkan, serta diatur oleh Parsinabung atau Parsaut sebagai juru bicara atas nama satu oppu dan/atau satu marga, sehingga bila prosesi pesta atau ulaon adat telah diserahkan kepada  Parsinabung atau Parsaut maka pihak keluarga dan kerabat pihak paranak maupun pihak parboru sangat tidak elegan apabila masih mencampuri pembicaraan (baca: manjullukhon hatana) ketika Parsinabung atau Parsaut sedang berbicara.
Posisi strategis Parsinabung  atau Parsaut di dalam sebuah pesta atau ulaon adat sama seperti seorang moderator pada sebuah seminar ilmiah yang mengatur lalu lintas seminar agar berjalan dengan baik dan lancar. Demikian halnya, seorang Parsinabung atau Parsaut bertugas dan berperan mengatur seluruh mekanisme berjalannya prosesi pesta atau ulaon adat sejak dari pelimpahan Parsinabung atau parsaut melalui na Marsirenggetan atau Marsiarisan na mardongan tubu.
Umpama Batak-Toba mengatakan,” Molo sandunuk dangkana, sandunuk do rantingna. Molo suhut hahana, angina ma parsautna, dohot sabalikna”. Artinya, jika si abangan hasuhuton maka adiknya lah Parsinabung atau Parsaut nya yang mengatur, mengarahkan, ataupun juru bicara pada pesta atau ulaon adat tersebut.
Karena Parsinabung atau Parsaut diangkat dan/atau ditunjuk melalui musyawarah bertingkat dan berjenjang (baca: Marsirenggetan manang Marsiarisan) maka kedudukan atau posisi seorang Parsinabung atau Parsaut adalah mewakili seluruh hasuhuton, paidua ni suhut, maroppu-oppu, ataupun satu marga tertentu maka seorang Parsinabung atau Parsaut bertindak atas nama seluruh komunitas tersebut.  Sehingga seorang Parsinabung atau Parsaut sering mengatakan,” sada si lompa gadong, dua si lompa puli. Tung sada pe sidok hata, sude ma hita dapotan uli”. Artinya, jika satu orangpun yang berbicara (baca: Parsinabung atau Parsaut) tetapi seluruhnya mendapat berkat atau berbahagia.
Sebagai juru bicara tunggal yang memiliki otoritas seorang Parsinabung atau Parsaut harus mampu memerankan diri perekat seluruh pihak-pihak yang terlibat pada suatu pesta atau ulaon adat dengan selalu berikhtiar atau beraksioma,” Marsilanlan uruk-uruk, si lanlan aek toba, na metmet ndang marungut-ungut, na matua pe tongtong marlas ni roha”. Artinya, Parsinabung atau parsaut harus berupaya keras untuk menciptakan kenyamanan, keamanan, kebahagiaan, suka cita pihak-pihak yang terlibat di dalam pesta atau ulaon adat sehingga tidak ada yang bersungut-sungut atau merengkel mulai dari anak-anak hingga para orang tua.
    Karena itu, seorang Parsinabung atau Parsaut harus memiliki kualifikasi antara lain;
1.    Seseorang yang sudah manggarar adat (baca: Marunjuk/Mangadati) karena menurut konsep adat Batak-Toba, seseorang yang belum manggarar adat tidak layak menerima adat. Konon lagi menjadi Parsinabung atau Parsaut yang memikul hak dan tanggung jawab adat satu marga. Apakah layak dan masuk akal seseorang yang belum mangadati menuntut adat kepada pihak lain ? Bukankah prinsip adat  menerima dan memberi (baca: manjalo dohot mangalehon) ? Sehingga seseorang yang tidak pernah memberi (baca: manggarar adat) bagimana dia berhak menerima (baca: manjalo) adat dari pihak lain. Apalagi bertindak sebagai raja adat (baca: Parsinabung atau Parsaut) ? Ini adalah salah satu elemen paling dasar menentukan layak tidaknya seseorang Parsinabung atau Parsaut.
2.    Seseorang  harus na Gabe (baca: Maranak, Marboru) bukan hanya didasarkan pada kecakapan berbicara saja, tetapi memiliki kualifikasi na Gabe. Karena  seorang raja Parsinabung atau Parsaut di dalam memberikan wejangan, umpasa atau poda natur kepada pihak lain adalah atas nama oppu ataupun marga.  Kedudukan seseorang telah ditentukan Tuhan Yang Maha Kuasa dan tidak seorang pun bisa menolaknya seperti dikatakan umpama,” Tu ginjang ninna porda, tu toru pambarbaran. Tu ginjang ninna roha, patoruhon do sibaran”. “ Ndada simanuk-manuk si bontar andora, Ndada si todo turpuk siahut lomo ni roha”. “Andilo na hinan hadang-hadangan saonari, turpuk ni badan na hinan ingkon jaloon ma saonari”. Artinya, apa yang telah digariskan sang Pencipta terhadap seseorang tidak ada yang mampu menolaknya. Na Gabe, Na Marurat (baca: holan baoa), Na Marbulung (baca: holan boru), dan ada pula tidak berketurunan (baca: purpur). Jenis kategarial ini adalah kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa terhadap diri seseorang, sehingga harus diterima sebagai garis kehidupan (baca: turpuk) manusia.
3.    Kestabilan emosi, sejuk, dan karakter luhur (baca: lambok, sorta, lambas, hormat, raja) agar mampu menjadi panutan dan tiruan kepada pihak lain. Parsinabung atau Parsaut tidak bisa orang yang emosional, merasa paling pintar dan menggurui pihak lain karena ulaon adat adalah, “ aek toba tu aek laut, dos ni roha do sibahen na saut”, bukan hata dokhu. Artinya, bahwa ulaon adat adalah kata sepakat bersama, bukan adu urat leher (baca: jogal baut) memaksakan kehendak kepada pihak lain. Pesta atau ulaon adat bukan seminar atau diskusi publik sehingga harus dihindarkan perdebatan yang memicu pergesekan atau perselisihan. Mengutarakan pendapat atau mengajukan pertanyaan harus selalu diusahakan dengan sopan-santun, lembut, tenang, jelas dan tegas karena pembicaraan yang diutarakan dengan lembut dan tenang akan mendapat respons positif dari lawan bicara. Sebaliknya, setiap perkataan yang terlontar dilatari emosi akan mendapat umpan balik yang keras, bahkan kasar sebagai dampak timbal-balik atau reaksi. Parsinabung atau Parsaut tidak boleh menonjolkan pribadinya, tetapi harus selalu menyadari bahwa dirinya adalah personifikasi komunitas yang diwakilinya. Sehingga segala tindak tanduknya pada saat mengemban tugas Parsinabung atau Parsaut akan berdampak secara langsung terhadap komunitas (baca: oppu, marga) bersangkutan.
4.    Memiliki kehati-hatian (baca: manat), hormat (baca: somba), serta sayang, pengayom (baca: elek) sebagaimana falsafah Dalihan Na Tolu (DNT) dan mampu menjaga harmoni hubungan antar sesama, termasuk kepada Dongan Sahuta. Sikap dan sifat sebagaimana disebutkan merupakan syarat dasar yang perlu dimiliki seorang Parsinabung atau Parsaut karena sangat mustahil mampu menjadi seorang Parsinabung atau Parsaut yang mantap tanpa mengerti, memahami, serta mengamalkan arti dan makna Dalihan Na Tolu (DNT) paopat Sihal-sihal (Baca: Dongan Sahuta). Umpama Batak-Toba mengatakan,” Tarida do imbo sian soarana, tarida do hau sian borasna, tarida do gaja sian bogas ni patna”. Artinya, eksistensi seseorang dibuktikan pola tingkah lakunya. Parsinabung atau Parsaut tidak bisa serampangan tetapi harus hati-hati (baca: anit, enet, ampit, tutur, nonor, jamot, tiar, tiur, tota) seperti umpama mengatakan,” Jamot si ida huta, jamotan si ida gomit. Jamot unang tarrobung, anit sotung tarsulandit”. Karena bisa saja akibat kekurang hati-hatian Parsinabung atau Parsaut menimbulkan ekses negatif kepada hasuhuton, keluarga ataupun kerabat. Parsinabung atau Parsaut tidak boleh berikhtiar memuaskan hasrat dan kehendak pribadi (baca: pasombu-sombu tagas), melainkan berupaya keras memperbaiki yang kurang baik dengan prinsip,” Pauk-pauk hudali,  pauk-pauk  tarugi,  na tading diulahi, na hurang di pauli. Asa nakkok si puti, turun si deak, tusi na ummuli, tusi ma ta pareak”. Artinya, bila ada yang kurang pas pada suatu pesta atau ulaon adat, Parsinabung atau Parsaut harus mampu untuk memberikan solusi yang terbaik, bukan sebaliknya justru menambah kekeruhan (baca: manggunturi, manggaori, manggugai).
5.    Menguasai bahasa Batak-Toba dengan baik dan benar (baca: marhata Batak na polin) karena Parsinabung atau Parsaut adalah personifikasi lembaga adat-budaya Batak-Toba sehingga kemampuan menggunakan bahasa yang baik dan benar sebagai  salah satu unsur budaya merupakan keharusan seorang Parsinabung atau Parsaut. Bila seorang Parsinabung atau Parsaut mampu berbicara dengan bahasa Batak-Toba tulen, termasuk pada penyampaian umpasa ataupun umpasa maka jiwa nurani kebatakan itu akan terasa tersentuh, bergelora, sehingga  umpasa atau umpama akan bernas, penuh arti dan makna original nilai-nilai luhur budaya. Sebaliknya, bila Parsinabung atau Parsaut berbahasa Batak-Toba sepotong-sepotong dan janggal akan mengundang kelucuan, serta perasaan geli bagi pendengarnya.
6.    Tidak tamak dan rakus (baca: ndang mongkus, ndang ahut) pada parjambaran, baik jambar uang maupun jambar daging (baca: jagal). Parsinabung atau Parsaut harus selalu mengutamakan kepentingan umum, bukan sebaliknya, menggunakan segala kesempatan untuk kepentingan pribadi. Bila seorang Parsinabung atau Parsaut selalu berkaedah untuk keuntungan pribadi akan menuai ocehan ataupun cibiran yang pada akhirnya menjatuhkan marwah serta martabat  bersangkutan.  Pendaulatan seseorang sebagai Parsinabung atau Parsaut harus dimaknai pelimpahan kepercayaan dari suatu komunitas terhadap seseorang karena memiliki karakter unggul sesuai dengan aturan, norma, serta nilai-nilai luhur adat-budaya Batak-Toba. Ada adagium mengatakan,” ingkon pos do roha manjaga na pinadar”. Artinya, seseorang harus dipercayai menjaga titipan, jangan seperti pagar makan tanaman. Milik bersama tidak boleh dijadikan milik sendiri yang di dalam bahasa Batak-Toba disebut,” ndang boi ripe-ripe gabe pangumpolan”. Dumenggan do marbagi di bulung ni sarapit-pit unang apala sorat mamboan taban-taban. Artinya, lebih bagus sama rata sama rasa daripada mendapat banyak yang lain tidak  mendapat sama sekali (baca: adong na borat mamboan  jambar, na deba luangan manang ndang dapotan) karena hal itu merupakan cerminan ketidakadilan serta diskriminasi.
7.    Tidak reaktif dan paranoid (baca: ndang olo mananggoi hata, manang pantang so ummalo) yaitu mengomentari, menyela, mengkritik lawan bicara (baca: sesama Parsinabung atau Parsaut) karena merasa paling pintar dan paling tahu apa yang sedang diperbincangkan. Seorang Parsinabung atau Parsaut harus mampu sebagai pendengar yang baik dan pembicara yang baik pula. Mampu menahan diri walaupun ada hal-hal yang kurang tepat (baca: na hurang ampit, dasip, andos) di dalam pembicaraan lawan Parsinabung atau Parsaut. Tidak boleh mendikte lawan bicara, menggurui, apalagi mengintervensi karena hal itu akan menimbulkan ketersinggungan dan ketidaksenangan pihak lain.
8.    Memiliki kemampuan diplomasi yang baik untuk mencari solusi permasalahan kemungkinan perbedaan adat-istiadat antar komunitas dengan pengetahuan, kemahiran nilai-nilai luhur adat-budaya yang menjadi kearifan lokal di dalam  kesetaraan. Parsinabung atau Parsaut harus mampu membangun diplomasi, lobi, serta kespakatan melalui musyawarah diatas fondasi saling menghormati, sehingga tidak ada salah satu pihak dibawah tekanan, intervensi maupun dominasi. Dialog antar Parsinabung atau Parsaut pada suatu pesta atau ulaon adat adalah komunikasi dua arah yang sejajar dan setara saling menguntungkan yang melahirkan kebahagiaan bersama, seperti umpama yang mengatakan,” Sinuan bulu sibahen na las, sinuan partuturan sibahen na horas”. Segala upaya untuk menggapai hal itu menjadi ikhtiar dasar Parsinabung atau Parsaut pada suatu acara pesta atau ulaon adat.
9.    Memahami psikologi massa, yaitu mengetahui dan memahami situsi kondisi pihak-pihak yang terlibat pada acara pesta atau ulaon, bukan sor sendiri. Parsinabung atau Parsaut harus pintar membaca situasi kondisi setempat, waktu, maupun psikologi seluruh pihak-pihak. Hal ini bertujuan agar seluruh prosesi adat-budaya mendatangkan kegembiraan, kebahagiaan, bukan sebaliknya, justru menimbulkan berbagai protes misalnya, Parsinabung atau Parsaut berbicara bertele-tele, melantur, mengambang yang hanya menyita waktu tanpa arti dan makna hakiki.
10.    Demokratis, yakni memberi ruang partisipasi keterlibatan para pihak-pihak karena keterlibatan seluruh pihak-pihak di dalam sebuah pesta atau ulaon adat merupakan sukses pelaksanaan pesta atau ulaon adat yang mendatangkan kegembiraan dan kebahagiaan bagi yang punya hajatan (baca: hasuhuton). Parsinabung atau Parsaut tidak boleh lupa bahwa parjambaran pada Batak-Toba ada tiga jenis, yakni; jambar hata, jambar juhut, dohot jambar hepeng (baca: berbicara, daging, dan uang), sehingga apabila pihak-pihak yang seharusnya berhak mendapatkan parjambaran diabaikan maka akan timbul ekses negatif dikemudian hari. Dalam bahasa Batak-Toba disebut “ di tean mangolu, di tanom jongjong, di apus bulung rata”. Artinya, dihitung tetapi tidak diperhitungkan atau tidak berarti apa-apa. Hal ini sangat menyakitkan karena karena kedatangannya pada sebuah pesta atau ulaon adat seperti “raja naro” yaitu tamu tak diundang.
Dari berbagai kualifikasi seperti diuraikan diatas maka dapat disimpulkan bahwa eksistensi seorang Parsinabung atau Parsaut di dalam sebuah pesta atau ulaon Batak-Toba adalah sangat strategis karena itu merupakan pilihan putera-putera terbaik dari suatu komunitas yang bertindak atas nama komunitas tersebut.

Karena merupakan personifikasi komunitas maka seorang Parsinabung atau Parsaut perlu dipersiapkan melalui kaderisasi secara terencana, terprogram, dan berkesinambungan agar tidak terputus mata rantai regenerasi secara alamiah. Artinya, Parsinabung atau Parsaut yang mumpuni tidak pernah kering pada suatu komunitas tertentu.

Parsinabung atau Parsaut tidak boleh lagi hanya mengandalkan pengetahuan yang sering terjadi (baca: na somal diulahon halak) seperti ungkapan yang mengatakan,” Eme na masak digagat ursa, ima na masa ima taula”, tetapi benar-benar melalui penggalian arti dan makna nilai-nilai luhur adat-budaya agar seluruh pelaksanaan pesta atau ulaon adat-budya tidak hanya bermakna seremonial buang-buang waktu dan biaya saja.

Peranan Parsinabung atau Parsaut untuk mengatur, mengarahkan, serta meningkatkan efektifitas serta efisiensi ulaon adat-budya  dengan tetap mempertahankan dan melestarikan nilai-nilai luhur original adat-budaya walaupun singkat padat, tepat sasaran,  sarat arti  dan makna.

Parsinabung atau Parsaut adalah sistem demokrasi musyawarah bertingkat dan berjenjang yang belakangan ini dikenal paradigma dari bawah ke atas (Bottom Up) yang merupakan salah satu nilai adat-budaya Batak-Toba  yang belum digali maksimal model manajemen publik ataupun pemerintahan.

Nilai-nilai luhur adat-budaya seperti ini tumbuh subur ditengah-tengah komunitas masyarakat bumi Nusantara, dan ada baiknya jika diinventarisasi secara maksimal untuk memperkuat hasanah budaya nasional, dan tidak mustahil akan menjadi kajian akademik bermakna luar biasa dalam sistem pemerintahan berdasar kearifan lokal.
Horas !
                                                                                                     Medan, 28 Nopember 2011

                                                                                                    Drs. Thomson Hutasoit.
Direktur Eksekutif Lembaga Swadaya Masyarakat Kajian Transparansi Kinerja Instansi Publik (ATRAKTIP), Penasehat Punguan Borsak Bimbinan Hutasoit, Boru, Bere Kota Medan Sekitarnya, Wakil Sekretaris II Parsadaan Pomparan Toga Sihombing (PARTOGI) Kota Medan Sekitarnya, Penasehat Punguan Toga Lumban Gaol Sektor Helvetia Medan Sekitarnya, Penulis Buku Keluhuran Budaya Batak-Toba.