rangkuman ide yang tercecer

Sabtu, 13 Juli 2013

Paradoks Perubahan Paradigma


Paradoks Perubahan Paradigma
Oleh : Thomson Hutasoit

            Salah satu diskusi paling seksi di era millennia adalah lahirnya paradigma baru dalam pola pikir, pola tindak demokratis, transparan, partisipatif serta akuntabel sebagai ciri masyarakat modern yang merupakan titik balik era ketertutupan serba rahasia, tertata kaku, monopoli tafsir kebenaran dari kekuasaan sentralistik otoritarian yang diusung era reformasi di berbagai bangsa atau negara di atas jagat raya ini. Perubahan paradigma yang mengoreksi berbagai tradisi pengaturan super kaku tentu akan berhadapan dengan berbagai kendala yang tidak mudah diselesaikan dengan tuntas sebab para penganut paradigma lama yang telah merasakan manisnya madu ketertutupan serba kaku akan menafsirkan paradigma baru demokratis, transparan, partisipatif, akuntabel telah terlalu jauh mencampuri ranah sakral tradisi monopoli tafsir kebenaran kekuasaan sentralistik otoritarian yang menjadi area absolut pemangku kekuasaan.
            Perubahan paradigma walau segencar apapun diwacanakan tidak berkorelasi dengan kemauan, kerelaan, kesanggupan menerima paradigma baru sehingga munculkan pameo ‘paradigma telah berubah manusianya tidak mau berubah’ akibatnya makna sejati demokrasi yang ditandai transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas menjadi sebuah paradoks. Artinya, pada tataran kata-kata tidak pernah lupa mempropagandakan paradigma baru akan tetapi pada tataran implementatif justru berupaya menjadikan segala sesuatu serba rahasia. Salah satu contoh nyata adalah  tertutupnya akses publik untuk mengetahui anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) dimana pada rezim pemerintahan sentralistik otoritarian orde baru (Orba) diposisikan “dokumen rahasia negara” sehingga akses publik seluas-luasnya terhadap APBN atau APBD diberangus melalui berbagai legalitas ketat dan kaku. Pandangan sentralistik otoriatarian yang menjadikan APBN atau APBD dokumen rahasia negara di masa era reformasipun masih dipraktekkan penyelenggara negara atau pemerintahan padahal anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) atau anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) telah menjadi dokumen publik di era reformasi sebagaimana amanah Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Undang-undang Nomor 40 tentang Pers, yang kemudian dipertegas Undang-undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik disertai sanksi pidana serta denda atas pengabaian amanah peraturan perundang-undangan tersebut.
            Sungguh menarik artikel J Kristiadi di Harian Kompas 2 Juli 2013 dengan ‘judul Menjadikan RUU Ormas sebagai “Memoria Passionis” Spirit yang mengobarkan semangat publik, yang gigih, tanpa lelah, dan pantang menyerah menolak RUU Organisasi Kemasyarakatan, paling mendasar adalah memori terhadap represi penguasa masa lalu yang melumpuhkan masyarakat sipil (civil society) dengan ne-negara-kan mereka. Masyarakat kehilangan ruang publik yang seharusnya jadi ranah untuk mengembangkan kekuatan masyarakat yang demokratis berhadapan dengan (vis a vis) negara. Perilaku otoritas politik yang memonopoli kekuasaan dan kebenaran telah mengakibatkan luka batin mendalam serta trauma politik yang terekam kuat dalam kenangan publik. Memori semacam itu, secara teknis disebut memori statik. Ia adalah ingatan bermuatan kesumat dan siap meledak, baik dalam bentuk perlawanan maupun pembangkangan politik. Padahal, kenangan yang sarat dengan penderitaan masa lalu selalu dapat ditransformasikan menjadi ingatan memuliakan kehidupan. Dengan syarat, ingatan tersebut menjajinkan harapan kehidupan yang lebih baik. Kenangan itu bersifat dinamis, biasa disebut memoria passionis. Ironisnya, negara yang didalamnya terdapat tokoh-tokoh yang mengaku reformis dan bagaimana getirnya kelaliman rezim masa lalu seakan ingin memaksakan RUU yang dikhawatirkan publik menjadi bibit pemasung kebebasan berserikat menjadi regulasi. Memaksakan putusan politik yang merusak memoria passionis adalah tahap awal cara negara menundukkan masyarakat secara absolut”.
            Sekadar memutar ulang memori masa lalu ketika rezim sentralistik otoriter berkuasa di republik ini adalah setiap perbedaan pandangan berbeda dengan pemerintah berkuasa diposisikan perlawanan serta pembangkangan terhadap negara. Pandangan demikian tentu sangat tidak benar sebab pemerintah berkuasa tidaklah indentik dengan negara sebab pemerintah adalah salah satu pilar kekuasaan yakni kekuasaan eksekutif, legislatif, yudikatif yang menjadi unsur utama demokrasi apabila ketiga pilar ini setara dan seimbang. Oleh karena itu, pembungkaman, pemberangusan, pemasungan perbedaan pendapat apalagi menerapkan “Kematian Perdata” terhadap masyarakat yang tidak seiring sejalan dengan kebijakan pemerintah berkuasa adalah paradoks demokrasi yang selalu dibangga-banggakan di negeri ini.
            Idiom klasik ‘sejarah selalu berulang kembali’ nampaknya kini sedang membuktikan diri setelah 16 tahun era reformasi (1998) yang dimotori para intelektual muda atau mahasiswa di negeri ini, dimana hakikat reformasi merupakan koreksi total kekeliruan sentralistik otoriter rezim Soeharto memonopoli kekuasaan dan kebenaran  ditopang Golkar dengan tiga jalurnya dengan langgeng menguasai kekuasaan sentralistik otoriter selama ± 32 tahun mempraktekkan demokrasi semu. Kekuatan-kekuatan masyarakat madani dibonsai sedemikian rupa melalui rezim stabilitas hingga pembredelan berbagai media massa, menggebuk dan/atau memasung lawan-lawan politik, serta kematian perdata bagi elemen-elemen masyarakat yang berseberangan dengan rezim berkuasa. Akan tetapi, memori demikian nampaknya telah terlupakan dari memori rezim berkuasa saat ini, walaupun rezim ini sebenarnya dilahirkan era reformasi berdarah-darah 16 tahun silam. Apakah ini merupakan keistimewaan karakter bangsa yang mudah memaafkan kesalahan atau kekeliruan masa lalu, atau justru penanda nyata betapa bangsa ini telah dijangkiti virus amnesia atau lupa ingatan sehingga orang-orang yang menamakan dirinya reformis ingin mengulangi kesalahan yang sama ketiga kalinya dalam berbangsa dan bernegara.
            Sikap inkonsistensi untuk mendorong tumbuhnya kekuatan masyarakat madani yang mengusung paradigma transparansi, partisipasi, akuntabilitas wujud nyata demokrasi substantif tidak terlepas dari masih bertenggernya alumni-alumni rezim sentralistik otoriter di masa lalu. Harus diakui bahwa punggawa-punggawa kekuasaan di era reformasi mayoritas masih berada ditangan generasi-generasi rezim sentralistik otoriter sehingga perubahan paradigma baru masih cenderung retorika serta wacana belaka. Bahkan paradigma transparansi, partisipasi, akuntabilitas dianggap salah satu ancaman kelanggengan kekuasaan sehingga perlu diatur, ditata serta dikendalikan dengan bermacam-macam legalitas sesuai kaca mata kekuasaan. Pandangan seperti itu sangat paradoks dengan wacana membangun masyarakat madani (civil society) yang selalu didengung-dengungkan di republik ini.
            Perubahan paradigma akan mengalami hambatan dikala perubahan itu berpotensi mengusik kemapanan apalagi di struktur kekuasaan masih bertengger rezim-rezim sentralistik otoritarian yang telah mendarah daging mengimplementasikan serba ketertutupan, pengaturan ketat dan kaku sebab yang menamakan diri reformis masih produk masa lalu yang sangat alergi terhadap paradigma baru. Para pemangku kekuasaan di era reformasi masih barang baru stok lama yang sangat asing dengan paradigma baru sehingga perubahan paradigma tidak lain dan tidak bukan hanyalah sekadar wacana ataupun retrorika belaka. Buktinya, transparansi, partisipasi, akuntabilitas penyelenggaraan negara atau pemerintahan masih barang langka di republik ini sekalipun gerakan reformasi telah berusia 16 tahun berlalu. Pemangku kekuasaan masih cenderung memaksakan kehendak terhadap rakyat tanpa membuka ruang partisipasi rakyat melalui public hearing seluas-luasnya sebelum melahirkan kebijakan publik yang muaranya berhubungan dengan kepentingan publik. Malah dari kasus-kasus yang terjadi di era reformasi menunjukkan bahwa pemangku kekuasaan masih memosisikan rakyat berhadap-hadapan secara diameteral sebagai lawan atau musuh sehingga kebijakan publik yang hendak ditelorkan pemangku kekuasaan cenderung ditutup-tutupi. Kondisi ini tentu sangat paradoks dengan paradigma baru penyelenggaraan negara atau pemerintahan good governance and clean governance yang ditandai tumbuhnya transparansi, partisipasi dan akuntabilitas. Tindakan kekerasan yang menimpa para jurnalistik, lembaga swadaya masyarakat (LSM) serta organisasi kemasyarakatan yang getol mengkristisi karut-marut kebijakan penyelenggara negara atau pemerintahan merupakan salah satu bukti nyata betapa negeri ini belum mampu menerima atau mengimplementasikan paradigma baru secara empirik karena pemangku kekuasaan masih bahagian dari masa lalu yang alergi dengan transparansi, partisipasi dan akuntabilitas.Bila pemangku kekuasaan telah mengimplementasikan paradigma baru secara nyata kritisi setajam apapun dari media massa, LSM, ormas, penggiat sosial pasti dimaknai wujud nyata partisipasi publik dalam berbangsa dan bernegara. Karena itu, nafsu kekuasaan menelorkan berbagai regulasi yang mengekang ruang partisipasi publik harus pula dipahami sebagai titik balik putaran reformasi 1998 lalu karena pemangku kekuasaan belum berubah dari tabiat-tabiat masa lalu yang super nafsu memasung partisipasi ruang publik.
            Rasa ketakutan terusiknya tahta kekuasaan menjadi salah satu arus utama mengapa pemangku kekuasaan beserta konco-konconya super nafsu melahirkan regulasi-regulasi macam-macam, padahal tanpa diatur, ditata dengan peraturan perundang-undangan bersifat lex specialist pun bisa diselesaikan dengan tuntas apabila pengekan hukum dilaksanakan dengan tegas dan pasti sehingga alasan-alasan rasionalisasi yang dikembangkan pemangku kekuasaan atas penerbitan berbagai regulasi berpotensi memasung partisipasi publik adalah sebuah alibi faktor ketakutan  yang mengusik kelanggengan kekuasaan. Di ruang diskusi, seminar, serta berbagai perhelatan ilmiah lainnya pemangku kekuasaan selalu mempropagandakan betapa pentingnya ruang partisipasi publik, tapi ketika ruang partisipasi publik diimplementasikan media massa, LSM, Ormas, serta para akademisi melalui kritik-kritik keras maka pemangku kekuasaan yang masih bertabiat sentralistik otoriter menjadi lawan atau musuh yang perlu dibungkam melalui rezim regulasi ketat dan kaku. Hal itu tentu sangat berbanding terbalik dengan demokratisasi substansial yang mendorong partisipasi masyarakat dalam berbangsa dan bernegara. Alumni mashab sentralistik otoriter yang masih bercokol di tampuk-tampuk kekuasaan di era reformasi sudah barang pasti sangat alergi dengan era keterbukaan dimotori intelektual muda yang belum berkelindan dengan kekuasaan sentralistik oteriter yang menjadi catatan buram penuh noda di masa lalu.

Era Baru Revolusi Berpikir
            Salah satu langkah fundamental mendorong paradigma baru menuju percepatan demokrasi substansial adalah melakukan revolusi berpikir melalui lembaga-lembaga pendidikan, baik formal maupun informal dengan melibatkan intektual-intelektual muda di jajaran pemangku kekuasaan. Regenerasi kepemimpinan sudah seharusnya  didorong maksimal untuk memangku berbagai jabatan strategis termasuk tampuk kepemimpinan nasional maupun daerah yang masih steril dari paradigma sentralistik otoriter. Sebab sulit diterima akal sehat para pelaku paradigma sentralistik otoriter mampu menerima paradigma baru yang sangat asing dengan dirinya. Misalnya, berteriak dengan lantang melakukan pemberantasan korupsi padahal di masa lalu adalah aktor utama pelaku korupsi menggerogoti keuangan negara ditandai dengan imperium harta kekayaan yang sulit diterima akal apabila dikaitkan dengan besaran gaji ketika mengemban amanah atau jabatan. Dorongan media massa, LSM, Ormas, akademisi, cendikiawan dan lain-lain untuk menerapkan pembuktian terbalik untuk mengungkap harta kekayaan para pemangku kekuasaan hingga kini masih mendapat perlawanan keras. Padahal pembuktian terbalik inilah salah satu instrumen untuk mendorong terwujudnya pemerintahan yang bersih, bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di republik ini.
            Andaikan benar pemangku kekuasaan berkeinginan kuat mengimplementasikan paradigma baru yakni transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas maka penerapan pembuktian terbalik yang disuarakan elemen-elemen masyarakat pasti mendapat respon positif dari pemangku kekuasaan. Tetapi karena pembuktian terbalik itu akan merembet ke jantung kekuasaan yang penuh karut-marut maka pemangku kekuasaan berupaya mengabaikan atau menolaknya dengan berbagai alibi. Malah mencari argumentasi macam-macam seperti berpotensi melanggar hak asasi manusia (HAM) dan lain sebagainya, padahal argumentasi itu hanyalah alibi mengamankan kekuasaan.
            Salah satu kepemimpinan fenomenal di era reformasi ini adalah kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi) dengan Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) yang terlahir dari rahim reformasi. Jokowi dan Ahok yang sama-sama berlatar pengusaha di masa reformasi terjun ke dunia politik masing-masing menjadi walikota Solo dan bupati Kartanegara Timur dengan mengukir prestasi sebagai walikota dan bupati terbaik di kancah nasional maupun internasional. Keserdahanaan, kesahajaan, kejujuran, keterbukaan dalam memangku kekuasaan menjadi sangat fenomenal ketika para pemangku kekuasaan di republik ini membangun tembok-tembok besar memisahkan dirinya dengan rakyat. Jokowi dan Ahok telah menjadikan tahtanya tahta rakyat, sifat pangreh paraja menjadi pamong praja (parhobas-red) dengan gaya komunikasi kearifan lokal sehingga mampu mengajak, mengarahkan rakyat yang dipimpinnya ke arah pencapaian tujuan berbangsa dan bernegara. Keberhasilan kedua pemimpin reformis memimpin kota Solo dan Kertanegara Timur menghantarkan keduanya naik kelas memimpin Provinsi DKI Jakarta yang telah haus merindukan Ali Sadikin muda menata ibu kota negara dengan kesederhanaan, kesahajaan, kejujuran, keterbukaan, ketegasan serta mampu melakukan revolusi berpikir untuk mengangkat potensi bangsanya.
            Jokowi dan Ahok bukanlah alumni kekuasaan sentralistik otoriter melainkan anak reformasi berparadigma baru yang tertanam dalam dirinya transparansi, partisipasi, serta akuntabilitas sehingga gaya kepemimpinannya yang selalu dekat dengan rakyat melalui blusukan hingga ke lorong-lorong kumuh untuk mengetahui secara langsung kondisi empirik rakyatnya menjadi sangat istimewa dan fenomenal ketika rakyat DKI Jakarta khususnya, dan bangsa Indonesia umumnya merindukan kehadiran si Bung (Bung Karno-red), Bang Ali Sadikin memimpin republik ini. Jokowi, Ahok serta pemimpin reformis lainnya berani mengimplementasikan paradigma baru yakni transparansi, partisipasi, akuntabilitas sebab mereka bukanlah anak zaman ketertutupan serba kaku ataupun alumni rezim sentralistik otoritarian sebagaimana sebahagian besar pemangku kekuasaan yang masih bercokol di tampuk-tampuk kekuasaan saat ini.
            Era baru revolusi berpikir adalah mengubah mindset atau pola pikir dan pola tindak secara total dari era ketertutupan ke era keterbukaan dalam alam nyata, bukan sekadar retorika. Sebab sekadar konsep retorika atau wacana akan melahirkan ilusi ke alam outopis yang tidak pernah membumi. Langkah-langkah konkret implementasi paradigma baru yang mendorong tumbuhnya partisipasi publik dalam menentukan kebijakan negara atau pemerintahan yang dikenal dengan model  bottom-up untuk mendorong keterlibatan publik dalam pembangunan. Keterlibatan dan partisipasi publik seluas-luasnya bukan makhluk asing lagi bagi rakyat Nusantara yang disebut gotong-royong. Model bottom-up adalah kebalikan model Top-down yang diterapkan sistem pemerintahan sentralistik otoritarian dimana pusat-pusat kekuasaan mendiktekan kebijakan publik berdasarkan ilusi, halusinasi pusat kekuasaan itu sendiri. Akibatnya, berbagai kebijakan publik yang muaranya untuk kepentingan publik cenderung bias atau tidak tepat sasaran. Pada model sentralistik otoriter peran partisipasi publik tidak diakomodir secara optimal, bahkan tidak dilibatkan sama sekali padahal publiklah yang mengetahui, merasakan langsung di lapangan. Kalau dianalogikan model top-down mirip dengan orang bodoh menggarami laut atau memberi permata kepada bayi yang tidak tahu arti dan maknanya.
            Bias kebijakan publik yang kerap terjadi di negeri ini adalah akibat kurangnya keterlibatan publik dalam proses pembuatan kebijakan publik sebab pemangku kekuasaan masih cenderung menempuh jalan pintas serta gampangan. Peran masyarakat dibonsai karena pemangku kekuasaan yang diisi barang baru stok lama masih belum berubah dari tradisi ketertutupan yang sudah mengkristal dalam dirinya. Sifat-sifat kepangrehan masih kental melekat pada diri sebahagian besar pemangku kekuasaan sehingga sangat sulit menerima paradigma baru sebagai pamong praja (parhobas-red) sekalipun menyatakan diri abdi negara. Padahal dalam sistem pemerintahan demokratis kedaulatan berada ditangan rakyat. Namun dalam tataran implementatif daulat rakyat tidak pernah maksimal diwujudkan, buktinya peran serta masyarakat melalui public hearing selalu diabaikan dengan berbagai alasan seperti keterbatasan waktu dan lain sebagainya. Public hearing seluas-luasnya adalah salah satu wujud nyata daulat rakyat dalam menentukan kebijakan publik agar rakyat tidak sekadar obyek kebijakan tetapi sekaligus subyek kebijakan, dengan demikian partisipasi publik semakin optimal.
            Salah satu contoh konkret adalah musyawarah rencana pembangunan (Musrenbang) yang masih bersifat elitis serta belum melibatkan partisipasi publik seluas-luasnya menimbulkan pembangunan tidak tepat sasaran untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, padahal dana yang digelontorkan cukup besar. Andaikan proyek pembangunan yang dilaksanakan didasarkan pada kebutuhan riil maka output, outcome, serta impact pembangunan itu akan nyata mendongkrak percepatan peningkatan kemakmuran serta kesejahteraan rakyat. Misalnya, peningkatan taraf hidup petani melalui pembangunan sarana irigasi, infrastruktur jalan, pemberian bibit sesuai klimatologi, ketersediaan pupuk serta pestisida, ketersediaan lahan pertanian, jaminan harga hasil pertanian, kredit modal, dan lain sebagainya agar kedaulatan pangan dalam negeri bisa terjamin. Tetapi apa lacur, pemerintah malah menempuh jalan pintas dengan kebijakan sinterklas melalui pemberian beras masyarakat miskin (Raskin) yang tidak pernah sama sekali membangun kemandirian petani. Malah mendorong petani di republik ini fakir miskin yang tergantung pada belas kasihan pemerintah.
            Berbagai argumentasi dilontarkan pemangku kekuasaan disokong pula koloborasi sindikat intektual pesanan untuk menggerogoti keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitif negeri dilintasan khatulistiwa ini, diantaranya membangun aksioma-aksioma kebijakan tidak lagi mengandalkan keunggulan sumber daya alam (SDA) pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan, nelayan, sementara disisi sebaliknya arus impor beras, jagung, kacang kedelai, ikan, garam, daging, buah-buahan, dan lain-lain menginvasi republik ini dari waktu ke waktu. Kedaulatan rakyat tani, pekebun, nelayan serta ekonomi kerakyatan lainnya hanya sebatas pesta demokrasi atau pemilihan umum (Pemilu), baik pemilihan legislatif (Pileg), pemilihan kepala daerah (Pilkada), maupun pemilihan presiden (Pilpres) selain itu mereka tidak pernah memiliki kedaulatan lagi. Menjadikan rakyat komoditas politik adalah pertanda nyata betapa paradigma baru masih sekadar retorika serta barang langka di negeri ini.
            Paradigma baru demokrasi langsung pasca reformasi yang membuka peluang kehadiran pemimpin dari rahim rakyat masih belum secara nyata mendatangkan kepemimpinan kerakyatan untuk mewujudkan daulat rakyat. Hal itu sebagai akibat gerakan reformasi belum murni diusung generasi reformis. Para musang berbulu ayam, harimau berbulu domba masih bercokol di tampuk-tampuk kekuasaan, dan hal yang sama juga dialami republik ini di masa kemerdekaan silam dimana para antek-antek penjajah kolonial memegang tampuk kepemimpinan setelah merdeka. Akibatnya, karakter-karakter feodal yang mendarah daging dipraktekkan terhadap bangsanya. Bila di masa kolonial penjajahan dilakukan bangsa lain maka di masa kemerdekaan penjajahan sesama anak bangsa dilakukan melalui kebijakan kekuasaan untuk mengeksploitasi kedaulatan dari tangan rakyat. Kekeliruan demi kekeliruan, kesalahan demi kesalahan terulang kembali dalam berbangsa dan bernegara sebab negeri ini lupa membangun karakter bangsa (national character building) sebagaimana dianjurkan Bung Karno pendiri bangsa ini.
            Karena itu, pendidikan karakter bangsa sesuai amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) harus segera dilakukan untuk melahirkan generasi-generasi kepemimpinan berkarakter dan berjati diri merubah karakter feodal sebagai wujud paradigma baru dalam berbangsa dan bernegara. Sifat kepangrehan harus direvolusi segera menjadi kepamongprajaan (parhobahas-red) agar daulat rakyat tidak sekadar wacana atau retorika.
            Salah satu langkah konkret adalah merubah arah kebijakan negara atau pemerintahan yang memprioritaskan kepentingan rakyat dalam politik anggaran, baik anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) maupun anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) yang hingga kini masih menitik beratkan pemuasan nafsu birahi kekuasaan. Sebab negara akan kuat jika rakyatnya kuat, negara akan berdaulat bila rakyat berdaulat. Bukan sebaliknya, negara akan kuat jika rakyatnya tak berdaya.

Regenerasi Kepemimpinan
            Salah satu indikator keberhasilan bangsa atau negara berlangsungnya regenerasi kepemimpinan dengan baik dan benar yang ditandai tersedianya kader-kader pemimpin bangsa berkarakter negarawan. Mempersiapkan kader bangsa berkarakter negarawan menjadi salah satu perioritas pembangunan bangsa kedepan sebab regenerasi kepemimpinan secara alamiah tidak bisa ditunda oleh kekuatan manapun juga. Regenerasi kepemimpinan alamiah harus dipersiapkan dengan terencana berkesinambungan karena itu pendidikan kader bangsa melahirkan pemimpin negarawan tidak boleh ditunda-tunda. Pembangunan karakter bangsa (national character building) sebagaimana dianjurkan Bung Karno sangat fundamental karena kejayaan bangsa sangat ditentukan kepemimpinan berkarakter berjati diri, ambisius membangun kebanggaan bangsanya. Sehebat apapun pembangunan fisik tanpa dibarengi kepemimpinan berkarakter berjati diri akan sulit diharapkan membawa bangsa Indonesia negara adidaya, malah berpotensi menjadi bangsa bangkrut, bahkan bangsa gagal serta hilang dari percaturan dunia sebagaimana dialami Yugoslavia, Uni Sovyet Rusia (USR) yang tidak mampu mengenal jati dirinya.
            Karena itu, pendidikan kader bangsa harus segera dilaksanakan untuk melahirkan kader-kader kepemimpinan negarawan yang mengenal keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitif bangsa Indonesia dilintasan khatulistiwa serta memiliki sumber daya alam (SDA) maha besar untuk mewujudkan tujuan berbangsa dan bernegara yakni masyarakat makmur, sejahtera serta berkeadilan. Pembangunan sumber daya manusia (SDM) melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) untuk menggali dan mengefektifkan potensi keunggulan bangsa memperkuat daya saing di fora internasional perlu dilaksanakan dengan tetap berlandaskan karakter kebangsaan dan keindonesiaan. Pancasila, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, Bhinneka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) harus terus menerus dibumikan sejak dini melalui lembaga-lembaga pendidikan, baik formal maupun non formal. Dengan demikian nasionalisme kebangsaan tidak terdegredasi dari generasi ke generasi sepanjang masa.
            Generasi muda sebagai pemegang tongkat estafet kepemimpinan bangsa akan menentukan kelanggengan perjalanan bangsa di masa akan datang, karena itu harus dipersiapkan dengan matang agar proses suksesi kepemimpinan berlangsung mulus tanpa gejolak. Defisit kepemimpinan negarawan sebagaimana menjadi kekhawatiran era belakangan ini akan terjawab karena kader-kader pemimpin negarawan akan lahir melalui pembangunan kader bangsa secara berkesinambungan. Selanjutnya, pemimpin-pemimpin lanjut usia (lansia) sudah saatnya mendorong munculnya kader-kader muda berkualitas berkarakter negarawan memegang tampuk kepemimpinan agar regenerasi alamiah tidak stagnan. Pemimpin-pemimpin berusia lanjut sudah perlu memosisikan diri sebagai guru bangsa dan tidak perlu lagi berupaya menghambat atau menjegal kader-kader muda agar stagnasi kepemimpinan di berbagai level tidak terjadi.
            Selain daripada itu, peran partai politik sebagai pemasok kandidat kepemimpinan harus berbenah diri untuk mempersiapkan kandidat pemimpin melalui kaderisasi terencana, berkesinambungan untuk mempersiapkan kandidat pemimpin muda berdasarkan kualitas, kapasitas, kredibilitas, serta berintegritas, bukan  seperti saat ini yang  cenderung didasari politik transaksional maupun politik trah. Rekrut kader harus terbuka seluas-luasnya terlebih intelektual-intelektual muda dari dunia kampus agar kualitas kandidat pemimpin diberbagai level meningkat terus menerus dari waktu ke waktu.
            Pesta demokrasi 2014 merupakan transisi generasi kedua kepada generasi ketiga mengingat usia republik ini telah 68 tahun pasca kemerdekaan. Sekaitan dengan itu pula maka generasi kedua sudah seharusnya legowo dari tampuk-tampuk kepemimpinan nasional maupun daerah supaya stagnasi kepemimpinan tidak terjadi di masa-masa akan datang. Sejarah membuktikan bahwa aruh perubahan selalu dimotori kawula-kawula muda berkualitas sehingga salah satu indikator keberhasilan partai politik sejauhmana partai tersebut mencetak kader-kader muda mumpuni untuk melanjutkan tongkat estafet kepemimpinan selanjutnya. Hal itulah sebenarnya salah satu kerja politik yang perlu dilakukan optimal bukan hanya perebutan kekuasaan yang penuh kegaduhan. Komunikasi politik sangat rendah, bahkan buruk yang diperlihatkan politisi negeri ini pertanda nyata betapa buruknya kaderisasi yang dilakukan partai-partai politik saat ini. Padahal kepiawian berdiplomasi sangat ditentukan kemampuan komunikasi politik seorang politisi itu sendiri. Argumentasi-argumentasi dangkal serta tak berkualitas acapkali dilontarkan para politisi menambah degradasi kepercayaan (distrust) publik yang ditandai turunnya elektabilitas pemilih.
            Pemilihan legislatif (Pileg), pemilihan presiden (Pilpres) 2014  sudah diambang pintu, bahkan calon legislatif (caleg) serta calon presiden (capres) telah digadang-gadang dengan berbagai kemasan pencitraan sebagai magnit politik untuk meraih simpatik calon pemilih. Barang baru stok lama pun tidak ketinggalan mempropagandakan diri agen perubahan sehingga perubahan paradigma semakin paradoks. Alih-alih rakyat sulit memahami, bahkan bingung tujuh keliling mana sebenarnya paradigma baru, mana pula paradigma lama dikemas atas nama perubahan semakin tak jelas. Kata perubahan memang salah satu kata bahasa politik paling seksi dilontarkan, tapi perubahan dimaksud apakah dari paradigma transparansi, partisipasi, akuntabilitas ke arah serba tertata, serba tertutup, serba rahasia seperti di masa orde baru (Orba) atas nama stabilitas partisipasi publik di bungkam, atau sebaliknya, meningkatkan demokrasi prosedural ke arah demokrasi substansial membangun masyarakat madani. Inilah pekerjaan rumah (PR) seluruh rakyat bangsa ini agar pesta demokrasi 2014 benar-benar mampu melahirkan pemimpin berparadigma baru untuk mengusung bangsa menepati janji Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia mewujudkan masyarakat makmur, sejahtera, serta berkeadilan.
            Harapan bangsa yang sempat pudar atas kepemimpinan kembali bergelora lagi dengan munculnya putra-putra bangsa berkarakter berjati diri dengan kualitas kepemimpinan teruji, misalnya Joko Widodo (Jokowi), Mahfud MD, Anis Baswedan, Dahlan Iskan, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan lain-lain dari generasi kedua dan ketiga. Yang menjadi pertanyaan besar adalah apakah rakyat Indonesia benar-benar menginginkan perubahan paradigma dengan memberi kepercayaan terhadap mereka sebagai pimpinan nasional untuk mengusung paradigma baru di republik ini. Pemimpin-pemimpin demikianlah tumpuan harapan menuju Indonesia jaya, tetapi bila tidak maka paradoks perubahan paradigma lah yang masih berlangsung di republik ini.
                                                                                                                        Medan, 3 Juli 2013

                                                                                                                        Thomson Hutasoit.
Penulis : Direktur Eksekutif Lembaga Swadaya Masyarakat Kajian Transparansi Kinerja Instansi Publik (ATRAKTIP), Mantan Ketua Umum Dewan Pimpinan Daerah Gabungan Pengusaha Kontraktor Indonesia (DPD GABPKIN) Provinsi Sumatera Utara 2008-2012, Wakil Pemimpin Redaksi SKI ASPIRASI, Staf Ahli salah satu Fraksi di DPRD  Kota Medan 2006-2009 dan 2011-2014, penulis buku Indikator Bangsa Bangkrut, Potret Retak Berbangsa Bernegara, Misteri Negara Salah Urus, Keluhuran Budaya Batak-Toba, Meneropong serta Mengamati Visi-Misi Gubernur Sumatera Utara ‘Rakyat Tidak Lapar, Rakyat Tidak Bodoh, Rakyat Tidak sakit, serta Punya Masa Depan’, serta ± 250 artikel di berbagai media massa, tinggal di Medan.      

              
                      
                     
                      
                                                       
                   

Benarkah BLSM Sejahterakan Rakyat ?


Benarkah BLSM Sejahterakan Rakyat ?
Oleh : Thomson Hutasoit

            Salah satu isu seksi pada pertengahan bulan Juni 2013 tepatnya tanggal 17 Juni 2013 adalah Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) tentang penetapan APBN-P 2013 yang dikaitkan dengan rencana kenaikan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dari harga Bensin Rp 4.500 menjadi Rp 6.500, Solar dari Rp 4.500 menjadi Rp 5.500 dengan berbagai kompensasi, dan salah satu diantaranya Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) atau sebutan guyon Balsem sebesar Rp 150.000 per bulan selama 4 bulan kepada 15,5 juta rumah tangga rakyat miskin atau sebesar Rp 9,3 triliun. Infrastruktur dasar Percepatan dan perluasan pembangunan infrastruktur : Permukiman, air minum, dan sumber daya air sebesar Rp 6,0 triliun. Kedua kompenen ini dikategorikan Program Khusus. Kemudian Program Percepatan Perluasan Perlindungan Sosial (P4S) yang terdiri dari; Raskin (beras untuk masyarakat miskin) Bantuan beras bagi 15,5 juta rumah tangga miskin selama 3 bulan sebesar Rp 4,3 triliun. BSM (bantuan siswa miskin) tersedia bagi 16,6 juta siswa sebesar Rp 7,5 triliun. PKH (program keluarga harapan) untuk 2,4 juta rumah tangga sangat miskin/keluarga sangat miskin sebesar Rp 0,7 triliun. Total alokasi dana kompensasi BBM sebesar Rp 27,9 triliun.(Kompas, 18/6).
            Sidang Paripurna DPR RI tentang penetapan APBN-P 2013 yang diwarnai unjuk rasa mahasiswa, buruh, masyarakat di berbagai daerah di dukung/diterima 5 Fraksi DPR RI antara lain; Partai Demokrat 143 suara, Partai Golkar 98 suara, PAN 40 suara, PPP 34 suara, PKB 23 suara, total menerima/mendukung 338 suara. Sementara yang menolak terdiri dari 4 Fraksi antara lain; PDI-Perjuangan 91 suara, PKS 51 suara, Partai Gerindra 25 suara, Partai Hanura 14 suara, total menolak 181 suara.
            Satu hal aneh adalah ketika harga BBM bersubsidi dinaikkan justru pagu subsidi BBM mengalami kenaikan dari Rp 194 triliun pada APBN 2013 menjadi Rp 210 triliun pada APBN-P 2013 atau terjadi kenaikan sebesar Rp 16 triliun. Kompensasi BBM sebesar Rp 27,9 triliun sehingga kenaikan harga BBM bersubsidi tersebut hanya menolong APBN sebesar Rp 11,9 triliun agar tidak jebol sebagaimana didengung-dengungkan pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono (SBY) sebagai salah satu alasan mengapa harus menaikkan harga BBM bersubsidi pada APBN-P 2013.
            Melihat angka Rp 11,9 triliun untuk penyelamatan APBN supaya tidak jebol tentu saja tidak terlalu masuk akal sebab pemerintahan SBY masih getol melakukan pinjaman atau mengutang hingga ratusan triliun rupiah sehingga kenaikan harga BBM bersubsidi semakin mengundang pertanyaan besar apakah memang benar untuk mensejahterakan rakyat atau justru menyengsarakan rakyat pasca kenaikan harga BBM bersubsidi. Karena itu, pemerintahan SBY perlu menjelaskan transparan berapa jumlah pengurangan beban APBN dari kenaikan harga BBM setelah penetapan APBN  2013 dengan rincian perhitungan angka impor riil BBM dikali kenaikan harga BBM pasca APBN-P 2013 agar masyarakat tidak mencurigai bahwa kebijakannya itu tidak bermuatan politis menjelang pemilihan presiden (Pilpres) maupun pemilihan legislatif (Pileg) 2014 akan datang. Sebab menurut logika umum jika subsidi BBM dikurangi melalui kenaikan harga BBM bersubsidi maka pagu anggran subsidi BBM di APBN-P 2013 akan semakin turun, namun dalam kenyataannya justru subsidi BBM mengalami kenaikan sebesar Rp 16 triliun dari APBN 2013 sebesar Rp 194 triliun menjadi APBN-P 2013 sebesar Rp 210 triliun sehingga amat sangat wajar jika  ditengah-tengah masyarakat saat ini muncul berbagai analisis serta kecurigaan dan tudingan menyebut ‘kebijakan sinterklas’, bahkan ada yang menyebut ‘suap politik’ untuk meraih simpatik ataupun meraih suara pemilih pada Pileg dan Pilpres 2014 akan datang.
            Selain daripada itu, yang patut disayangkan serta mengecewakan publik adalah ketidaktahuan pimpinan DPR RI tentang ‘Pasal Lapindo’ muncul di pasal 9 APBN-P 2013 tentang APBN tahun Anggaran 2013 dimana pemerintah menganggarkan Rp 155 miliar untuk korban Lumpur Lapindo menunjukkan betapa tidak profesionalnya DPR RI dalam membahas RAPBN-P 2013. Rakyat semakin curiga terhadap kinerja DPR RI dalam mengemban tugas serta kewenangan konstitusionalnya yakni hak budgeting sehingga perdebatan alot Sidang Paripurna DPR RI tidak lebih dari sandiwara politik gincu pemanis tontonan rakyat di panggung politik Senayan. Sungguh tidak masuk akal menyetujui APBN-P 2013 tetapi yang disetujui tidak tahu sama sekali. Dan pernyataan-pernyataan pimpinan DPR RI patut dicurigai politik cuci tangan ala Pontius Pilatus yang menyalipkan Yesus Kristus pada zaman kerajaan Romawi. Betapa kejam dan kejinya para politisi republik ini yang sehari-hari tidak pernah lupa mengklaim diri wakil rakyat melihat gelombang unjuk rasa yang dimotori mahasiswa dan buruh hingga  berdarah-darah sementara “tuan-tuan” di Senayan masih mampu tertawa terbahak-bahak, tidak tahu yang diputuskan, serta saling ejek ala “TK” sebagaimana dikatakan Presiden KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.
            Belum lagi alokasi anggaran sosialisasi kompensasi kenaikan harga BBM bersubsidi 400-an miliar rupiah terhadap 15,5 juta rakyat miskin “tumbal” APBN-P 2013 yang dihadang gelombang unjuk rasa atau demontrasi di seluruh Indonesia menambah kecurigaan ada apa dibalik keputusan politik mengalaskan penyelamatan APBN tidak jebol itu.
            Sungguh menarik Artikel Donny Gahral Adian di Harian Kompas, Rabu 19 Juni 2013 dengan ‘judul Politik Tanpa Keputusan’ dimana dikatakan bahwa, “Tidak ada keputusan politik apa pun di rapat paripurna tentang APBN-P kemarin. Rapat itu menunjukkan betapa politisi kita bercakap dengan kosakata yang sama, kosakata ekonomi. Ekonomi adalah soal aturan (nomos) yang bergeming. Aturan mati ekonomi berbunyi: :”Jika subsidi BBM tidak dikurangi, maka APBN jebol”. Maka, mereka yang menolak pengurangan subsidi BBM berarti setuju APBN jebol. Padahal, terlepas dari subsidi yang sebagian besar dinikmati orang kaya, kita masih bisa berdebat, apakah APBN jebol oleh subsidi atau oleh korupsi. Kita juga bisa berdebat, apakah layak negara sekaya Indonesia APBN-nya hanya Rp 1.600 triliun ? Kita sibuk mempersoalkan pengeluaran, tetapi malas mendongkrak pemasukan.
            Namun apa mau dikata, aturan emas ekonomi mendominasi jalan pikiran politisi Senayan. Koalisi (yang mulai retak) pun satu suara soal aturan emas tersebut. Subsidi BBM wajib dikurangi untuk menyelamatkan APBN. Pertanyaannya, apakah menyelamatkan APBN sekonyong-konyong menyelamatkan rakyat ? Siapa yang diselamatkan APBN atau rakyat ? Kita bisa berkeras bahwa APBN yang sehat akan menyejahterakan rakyat. Masalahnya, ke mana uang hasil desubsidisasi yang pernah dilakukan selama ini ? Apakah uang tersebut sungguh dipakai untuk perbaikan kesejahteraan rakyat ? Atau itu sepenuhnya dipakai untuk kebijakan populis yang berdampak politik jangka pendek” tanya Dosen Filsafat Politik Universitas Indonesia.
Pelaksana Tugas Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Bambang Permadi Soemantri mengatakan, “sebenarnya kenaikan harga BBM bersubsidi tidak menghemat anggaran dalam arti kemudian muncul sisa dana tunai. Namun kebijakan itu sifatnya mengerem pembengkakan subsidi. Oleh sebab itu, tidak serta merta kemudian tersedia dana untuk menambah pagu anggaran atas sejumlah program yang sudah ada atau mendanai program baru” (Kompas, 19-06-2013).
Postur APBN-P 2013 antara lain: A. Pendapatan Negara pada APBN 2013 sebesar Rp 1.529, 70 triliun sementara pada APBN-P 2013 sebesar Rp 1.502,00 triliun atau mengalami penurunan sebesar Rp 27,70 triliun, terdiri dari: (I) Pendapatan Dalam Negeri pada APBN 2013 sebesar Rp 1.525,20 triliun sementara pada APBN-P 2013 sebesar Rp 1.497,50 triliun atau mengalami penurunan sebesar Rp 27,70 triliun. (II) Penerimaan Hibah pada APBN 2013 sebesar Rp 4.483,60 triliun sementara pada APBN-P 2013 sebesarRp 4.483,60 triliun atau tidak mengalami perubahan. B. Belanja Negara pada APBN 2013 sebesar Rp 1.683,01 triliun sementara pada APBN-P 2013 sebesar Rp 1.726,20 triliun atau mengalami kenaikan sebesar Rp 43, 19 triliun, terdiri dari: (I) Belanja pemerintah Pusat pada APBN 2013 sebesar Rp 1.154,40 triliun sementara pada APBN-P sebesar Rp 1.196,20 triliun atau mengalami kenaikan sebesar Rp 42,40 triliun. (II) Transfer ke Daerah pada APBN 2013 sebesar Rp 528,60 triliun sementara pada APBN-P 2013 sebesar Rp 529,40 triliun atau mengalami kenaikan sebesar Rp 0,80 triliun. C. Keseimbangan Primer pada APBN 2013 minus (-) sebesar Rp 40,09 triliun sementara pada APBN-P 2013 minus (-) sebesar Rp 111,70 triliun atau mengalami kenaikan minus (-) sebesar Rp 71,61 triliun. Defisit Anggaran pada APBN 2013  minus (-) sebesar Rp 153,40 triliun sementara pada APBN-P 2013 minus (-) sebesar Rp 224,20 triliun atau mengalami kenaikan minus (-) sebesar Rp 70,80 triliun (sumber data Kompas, 19/06/2013).
Dari gambaran postur APBN-P 2013 diatas Pendapatan Negara mengalami penurunan sebesar Rp 27,70 triliun, sebaliknya disisi Belanja Negara mengalami kenaikan sebesar Rp 43,19 triliun sehingga alasan pemerintahan SBY menaikkan harga BBM bersubsidi untuk menyelamatkan APBN tidak jebol semakin tidak masuk akal. Sementara dampak negatif dari kenaikan harga BBM bersubsidi akan berpotensi melahirkan “Pemiskinan Sistemik”. Jika terjadi kenaikan angka kemiskinan, pengangguran, penurunan daya beli karena harga-harga kebutuhan rakyat melambung tinggi pasca kenaikan harga BBM bersubsidi maka pemerintahan SBY telah melakukan kebijakan inkonstitusional karena gagal melaksanakan perintah Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh rakyat Indonesia serta memajukan kesejahteraan umum dan seterusnya. Pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) bahwa kenaikan harga BBM bersubsidi merupakan pilihan paling pahit menyelamatkan perekonomian Indonesia serta mengurangi beban pemerintahan akan datang sepertinya sulit diterima akal sehat serta sangat tidak sesuai dengan perintah konstitusi sebab postur APBN selama ini masih belum menunjukkan efisiensi serta efektifitas optimal karena pos mata anggaran masih mayoritas (± 70-80 persen) untuk kepentingan penyelenggara negara atau pemerintahan, pembayaran pokok pinjaman beserta bunganya yang setiap tahun hampir menyerupai deret ukur. Sehingga kenaikan besaran APBN setiap tahun tidak berkorelasi langsung dengan peningkatan kemakmuran, kesejahteraan rakyat mayoritas di negeri ini.
Peta jalan pembangunan nasional jangka pendek, jangka menengah, jangka panjang yang dikenal Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) di masa lalu yang dijabarkan selanjutnya dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) yang menjadikan republk ini pernah dijuki “Macan Asia” sebab mampu swasembada pangan kini berubah menjadi importir riil beras, kacang kedelai, jagung, buah-buahan, ikan asin, garam, gula, BBM, dan kebutuhan primer rakyat lainnya harus pula dimaknai hasil kekeliruan mengelola negeri ‘kolam susu’ ini sesuai amanat pasal 33 UUD Republik Indonesia 1945. Infrastruktur jalan, iringasi, pemberdayaan petani, pekebun, nelayan, yang merupakan penyerap tenaga kerja terbesar di negeri agraris ini tidak pernah dijadikan prioritas pembangunan sehingga anak-anak republik ini terpaksa jadi ‘kuli’ di negeri orang lain karena di negeri sendiri tidak ada lowongan kerja memadai. Sebutan “pahlawan devisa” terhadap Tenaga Kerja Indonesia (TKI) hanyalah pelipur lara sebagai kompensasi wanprestasi serta kekeliruan negara atau pemerintah mengemban perintah konstitusi melindungi seluruh rakyatnya.             
Seharusnya, pemerintahan SBY lebih bijaksana bila melakukan efisiensi pos mata anggaran dengan memangkas pos-pos alokasi anggaran tak terlalu urgen termasuk memangkas belanja perjalanan dinas, belanja gedung, belanja kendaraan dinas super lux, belanja sosialisasi, menghilangkan kebocoran anggaran, efisiensi sektor energi, memotong mata rantai distribusi, memberantas penyelundupan BBM  serta tindak korupsi di berbagai institusi penyelenggara negara yang menjadi predator keuangan republik ini. Pengembangan sumber energi terbarukan secara konsisten berkelanjutan tidak pernah nyata dilakukan supaya tercipta kedaulatan energi dalam negeri di masa akan datang. Malah sebaliknya menerapkan kebijakan menambah beban rakyat ketika menjelang Idul Fitri, tahun ajaran baru yang sudah pasti terjadi lonjakan kenaikan harga-harga kebutuhan rakyat. Bukankah APBN ditujukan untuk  kepentingan meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, tapi mengapa demi menyelamatkan APBN rakyat harus dikorbankan ? Inilah salah satu bukti logika terbalik manajemen pengelolaan negara atau pemerintahan amat sangat bias kewajiban negara atau pemerintahan mewujudkan kemakmuran, kesejahteraan berkeadilan sesuai amanat konstitusi.
Selain daripada itu, pemerintahan SBY harus menjelaskan transparan apakah menaikkan harga BBM bersubsidi merupakan jalan satu-satunya menyelamatkan fiskal disertai perhitungan rinci berapa biaya produksi, biaya distribusi BBM agar rakyat bisa menerima kebijakan pemerintahan SBY menaikkan harga BBM bersubsidi bukan hanya menonjolkan pemberian kompensasi kenaikan BBM bersubsidi sebagai wujud mencerdaskan bangsa serta implementasi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik wujud nyata hak asasi manusia (HAM) dalam berbangsa dan bernegara.                               
            Sekadar mengingatkan bahwa menurut data BPS (2010) jumlah penduduk miskin sebesar 13,3 persen atau setara dengan 31,02 juta serta dilaporkan ke Pertemuan Tingkat Tinggi PBB mengenai Tujuan Pembangunan Millenium yang berlangsung pada tanggal 20-22 September 2010 di New York. Sementara Program Kesehatan Masyarakat yang diperuntukkan bagi orang miskin penerima iuran dari pemerintah berjumlah 76,4 juta orang (Kompas, 10/3/2011, Thomson Hutasoit, Potret Retak Berbangsa Bernegara, 2011, Hal 170) menunjukkan betapa absurdnya akurasi data rakyat miskin di negeri ini. Belum lagi tidak masuk akal penetapan Nominal Indikator Kemiskinan (NIKI) yang didasarkan pada Standar Kemiskinan pengeluaran rata-rata Rp 211.000 perbulan perorang, dengan perincian pemenuhan makanan Rp 5.000 perhari, perorang atau Rp 155.615 perbulan, dan non makanan sebesar Rp 56.000 perbulan (BPS, 210) menambah kecurigaan bukan hanya 13,3 persen atau setara dengan 31,02 juta rakyat miskin di republik ini di tahun 2010 lalu. Yang paling aneh adalah klaim pemerintah bahwa berhasil meningkatkan pendapatan perkapita sebesar Rp 27 juta pertahun atau sebesar Rp 2,5 juta perbulan sementara upah minimum provinsi (UMP), upah minimum kota/kabupaten (UMK) masih dikisaran Rp 1.600.000 hingga Rp 1.750.000 perbulan menambah semakin terang benderang betapa negeri ini telah keliru mengelola negara sesuai amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 yang mewajibkan negara “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh rakyat Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, turut serta mewujudkan perdamaian dunia, serta keadilan sosial” bagi seluruh rakyatnya. Hal itu adalah perintah konstitusi sehingga setiap kebijakan yang berlawanan dengan perintah konstitusi harus dimaknai wanprestasi serta penyelewengan konstitusi berkonsekwensi inkonstitusional. Artinya, jika negara atau pemerintahan mengeluarkan kebijakan berdampak menimbulkan “Kemiskinan Sistemik” negara atau pemerintahan harus memikul tanggung jawab konstitusional.
            Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Menko Kesra (2010), anggaran untuk pengentasan warga dari kemiskinan naik setiap tahun, bahkan kenaikannya cukup spektakuler. Tahun 2004, misalnya anggaran kemiskinan sekitar Rp 16,7 triliun, tahun berikutnya naik menjadi 23 triliun, dan tahun 2006 naik menjadi Rp 43 triliun . Tahun berikutnya berturut-turut naik menjadi Rp 51 triliun (2007), Rp 68 triliun (2008), Rp 66 triliun (2009) dan tahun 2010 melonjak menjadi Rp 94 triliun. Namun lonjakan anggaran itu tidak disertai penurunan angka kemiskinan yang signifikan. Jumlah penduduk miskin pada kurun waktu yang sama 16,7 persen (2004), lalu turun menjadi 16 persen (2005), naik lagi menjadi 17,8 persen (2006), kemudian turun menjadi 16,6 persen (2007), 15,4 persen (2008), 14,2 persen (2009), dan terakhir sekitar 13,3 persen (2010).
            Penurunan itu jauh lebih lambat dibandingkan dengan China. Tahun 1990, jika menggunakan angka kemiskinan absolut 1 dollar AS perkapita pertahun, saat itu di China jumlahnya 31 persen, sedangkan di Indonesia hanya 26 persen. Kini angka kemiskinan absolut di China tinggal 6,1 persen, sedangkan di Indonesia 5,9 persen (Kompas, 10/03/2011, Thomson Hutasoit, 2011, Hal 168-169).
            Dari catatan penulis selama pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) kebijakan kenaikan/penurunan harga BBM bersubsidi tidak pernah dikomunikasikan secara transparan sehingga mengundang kecurigaan di ruang publik. Pada bulan Agustus 2005 kenaikan harga BBM bersubsidi rata-rata sebesar 125 persen, pada tahun 2008 harga BBM bersubsidi seharga Rp 6.000. Tapi pada Januari 2009 turun dua kali menjadi Rp 5.500/per liter dan Rp 4.500/ per liter ketika menjelang Pilpres 2009. Kemudian menaikkan kembali pada 21 Juni 2013 pukul 00.00 Wib dari harga premium Rp 4.500/per liter menjadi Rp 6.500/per liter dan Solar dari Rp 4.500/per liter menjadi Rp 5.500/per liter tanpa menjelaskan perhitungan angka-angka produksi, distribusi secara transparan.   
            Dari  data-data tersebut tentu ada perbedaan paradigma yang diterapkan China dengan Indonesia yakni negeri China menggenjot pembangunan infrastruktur untuk mendorong pertumbuhan perekonomian rakyat mayoritas, sementara di Indonesia lebih cenderung menerapkan “politik sinterklas” membagi-bagi uang dalam program Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan terulang kembali dengan program Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) atau Balsem sebagaimana tergambar pada postur APBN-P 2013.
            Rakyat negeri ini mungkin tidak akan keberatan atau menolak untuk berkorban menyelamatkan negara sebagai wujud kewajiban bela negara sebagaimana dilakukan rakyat Thailand ketika krisis ekonomi tahun 1998 yang lalu asalkan saja pengelolaan manajemen penyelenggaraan negara atau pemerintahan telah dilakukan dengan baik dan benar. Tetapi bila kehadiran negara absen di ruang publik maka rakyat tentu berpikir sejuta kali mendukung kebijakan negara atau pemerintahan secara optimal, termasuk kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi walau dibarengi program sinterklas macam-macam. Rakyat tidak pernah menginginkan program belas kasihan dari negara atau pemerintah seperti bantuan langsung tunai (BLT), beras rakyat miskin (Raskin), bantuan siswa miskin (BSM), bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) dan lain sebagainya tapi program pemberdayaan rakyat mandiri agar rakyat mampu berdiri diatas kaki sendiri (BERDIKARI) seperti pemikiran jenial, monumental Bung Karno ‘TRI SAKTI’ yakni Berdaulat dalam politik, Berkepribadian dalam kebudayaan, Berdikari dalam ekonomi. Karena sungguh tidak masuk akal petani, pekebun,  nelayan menjadi sasaran beras rakyat miskin (Raskin) di negeri agraris.            

Multiplier Efek Pasca Kenaikan Harga BBM Bersubsidi
            Salah satu cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasi oleh negara (pasal 33 ayat 2 UUD RI 1945) adalah bahan bakar minyak (BBM). Karena menguasai hajat hidup orang banyak negara atau pemerintah tidak boleh sembarangan menentukan kebijakan bahan bakar minyak (BBM) sebab akan menimbulkan multiplier efek terhadap perikehidupan rakyat secara kolektif. Alasan menaikkan harga BBM bersubsidi karena sebagian besar dinikmati kalangan masyarakat menengah ke atas bukanlah alasan brilian sebab masih ada instrumen lain seperti menaikkan pajak progresif kendaraan bermotor sebagai program subsidi silang antara si kaya dengan rakyat kurang mampu. Dengan penerapan pajak progresif kendaraan bermotor maka bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi tidak perlu dinaikkan sebab para pemilik kendaraan bermotor telah menanggung pajak semakin besar atas penggunaan bahan bakar minyak (BBM) kendaraannya. Penerapan pajak progresif kendaraan bermotor selain mencerminkan rasa keadilan juga melindungi rakyat tidak mampu dari multiplier efek kenaikan BBM seperti ongkos transportasi, kenaikan harga-harga kebutuhan rakyat. Akan tetapi, kebijakan tersebut masih belum diterapkan maksimal padahal kebijakan seperti itu jauh lebih cerdas daripada kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi yang sangat berpotensi melahirkan pemiskinan sistemik pada level masyarakat diatas angka kemiskinan absolut.
            Kompensasi kenaikan BBM bersubsidi berupa Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) atau Balsem sebesar Rp 150.000 perbulan selama 4 bulan   terhadap 15,5 juta rumah tangga miskin sangat tidak menolong dari dampak multiplier efek kenaikan harga BBM bersubsidi sebab harga-harga kebutuhan kehidupan sehari-hari akan mengalami kenaikan secara otomatis. Bila kita asumsikan program keluarga berencana (KB) di negeri ini telah berhasil maka satu keluarga terdiri dari suami, istri dan tiga orang anak sehingga jumlah satu keluarga lima orang. Maka BLSM atau Balsem sebesar Rp 150.000 : 30 hari : 5 orang sama dengan Rp 1.000 perorang/perhari. Seandainya kelima orang tersebut beraktivitas dengan menggunakan transpotasi umum satu estafel saja dengan kenaikan ongkos transportasi pasca kenaikan BBM bersubsidi rata-rata Rp 1.000-Rp 1.500 maka kenaikan ongkos transportasi yang harus ditanggung Rp 30.000 hingga Rp 45.000 per orang/per bulan sehingga satu rumah tangga miskin akan menanggung kenaikan  ongkos transportasi 5 orang x Rp 30.000-Rp 45.000 = Rp 150.000 hingga Rp 225.000. sementara yang diterima sebesar Rp 150.000 per bulan/per rumah tangga miskin. Ongkos transportasi ini masih satu komponen kebutuhan belum lagi kenaikan harga-harga kebutuhan lain akan mengalami kenaikan harga-harga akibat kenaikan harga BBM bersubsidi menambah kemelaratan rakyat semakin berat.
            Kebijakan jalan pintas tanpa memperhitungkan dampak multiplier efek kebijakan adalah cerminan ketidakberpihakan penyelenggara negara atau pemerintahan terhadap rakyatnya sekaligus pelanggaran terhadap konstitusi yang mengamanatkan melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh rakyat Indonesia. Perintah konstitusi itu merupakan parameter untuk mengevalusi berhasil tidaknya suatu rezim pemerintahan berkuasa termasuk pemerintahan SBY saat ini. Alasan-alasan rasionalisasi adalah suatu tindakan kejahatan yang dilakukan negara atau pemerintahan terhadap rakyatnya. Sigmund Freud mengatakan “ Manusia bukan saja pandai membikin rasional namun juga cerdas membikin rasionalisasi. Dalih yang berbahaya adalah rasionalisasi yang disusun secara sistematis dan menyakinkan. Dalih semacam ini bisa memukau apalagi bila didukung oleh sarana seperti kekuasaan” (Jujun S Suriasumantri, 1982; hal: 243). Alasan rasionalisasi adalah suatu tindak kejahatan yang membikin sesuatu seolah-olah rasional apalagi didukung kekuasaan sehingga masyarakat dipaksa menerima kebijakan itu walau tidaklah bijaksana. Apa yang dirasakan anak-anak negeri ini sangat berkorelasi dengan pendapat Sigmund Freud dimana pemerintahan SBY membangun alasan menyelamatkan APBN, menyelamatkan  perekonomian, BBM bersubsidi lebih banyak digunakan masyarakat menengah ke atas adalah sebuah alasan rasionalisasi yang seolah-olah rasional. Padahal alasan itu amat sangat tidak masuk akal.
            Pasal 3 ayat (1) UU RI Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dikatakan, ”Keuangan Negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan”. Dan pada pasal 7 ayat (1) dikatakan, “Kekuasaan atas pengelolaan keuangan negara digunakan untuk mencapai tujuan bernegara”. Selanjutnya pada penjelasan poin 4 Azas-azas Umum Pengelolaan Keuangan Negara dikatakan, “Dalam rangka mendukung terwujudnya good governance dalam penyelenggaraan negara, pengelolaan keuangan negara perlu diselenggarakan secara profesional, terbuka, dan bertanggung jawab sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar. Sesuai dengan amanat Pasal 23 C Undang-Undang Dasar 1945 tentang Keuangan Negara tersebut ke dalam asas-asas umum yang meliputi baik asas-asas yang telah lama dikenal dalam keuangan negara, seperti asas tahunan, asas universalitas, asas kesatuan, dan asas spesialitas maupun asas baru sebagai percerminan best practices (penerapan kaidah-kaidah yang baik) dalam pengelolaan keuangan negara, antara lain: akuntabilitas berorientasi pada hasil, profesionalitas, proporsionalitas, keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara, pemerikasaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri”. Dari amanat konstitusi tersebut apakah sudah benar alasan menyelamatkan APBN dan perekonomian pemerintahan SBY menambah beban rakyat. Bukankah tujuan pengelolaan keuangan negara mewujudkan tujuan bernegara yakni kemakmuran, kesejahteraan, serta keadilan ? Tapi mengapa justru rakyat yang dipaksa menyelamaykan APBN. Selain daripada itu, bukankah pengawasan yang lemah maka terjadi inefisiensi di sektor energi, penyelundupan BBM, penggunaan BBM tidak tepat sasaran, serta postur APBN tidak pro rakyat mayoritas mencerminkan ketidakprofesionalan dalam pengelolaan keuangan negara ? Apakah sesuai asas kepatutan dan asas keadilan menggeser kelemahan, ketidakprofesionalan pemerintahan berkuasa mengelola keuangan negara dibebankan kepada rakyat ? Inilah berbagai kejanggalan dibalik kebijakan pemerintahan SBY menaikkan harga BBM bersubsidi yang mulai berlaku pukul 00.00 wib 21 Juni 2013 lalu.
            Kenaikan harga BBM bersubsidi mau tidak mau, suka tidak suka, bijak tidak bijak, sudah menjadi keputusan politik di republik ini sebagai pilihan paling pahit ala Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) dan dampak multiplier efek pasca kenaikan harga BBM bersubsidi harus dipertanggungjawabkan rezim berkuasa di masa mendatang. Pertanggungjawaban dimaksud adalah dampak-dampak negatif seperti turunnya daya beli, kenaikan harga-harga kebutuhan rakyat, termasuk potensi pemiskinan sistemik akibat kenaikan harga BBM bersubsidi ke depan.
            Demikian juga “tuan-tuan” anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia yang mendukung dan mengamini kenaikan harga BBM bersubsidi harus juga dimintai pertanggungjawaban apabila kelak angka rakyat miskin bertambah di negeri ini, dan bila perlu rakyat harus menghukum mereka pada pemilihan legislatif (Pileg) 2014 dengan tidak memilihnya sebab mereka bukan wakil rakyat melainkan “Stempel” rezim berkuasa melegalisasi kebijakan menambah penderitaan rakyat.
            Sebagai keputusan politik kenaikan harga BBM bersubsidi tentu tidak bisa diukur dari logika linier atau logika ekonomi an sich karena bila menggunakan logika-logika tersebut pasti tak akan nyambung serta masih bisa diperdebatkan apakah kenaikan harga BBM bersubsidi satu-satunya pilihan paling tepat untuk menyelamatkan APBN, menyelamatkan perekonomian, serta mengendalikan BBM bersubsidi agar tepat sasaran. Pengakuan Presiden SBY bahwa kenaikan harga BBM bersubsidi merupakan pilihan paling pahit tidak pula serta merta tindakan penyelamatan negara sebab pemerintah belum menunjukkan kinerja maksimal dalam manajemen energi di negeri ini. Bahkan merupakan out put serta impact ketidakmampuan pemerintahan SBY selama dua periode membangun peta jalan kedaulatan energi dalam negeri melalui pengembangan energi terbarukan secara optimal. Belum lagi keragu-raguan mengambil keputusan menimbulkan ketidakpastian hingga kehadiran negara absen di ruang publik. Berbagai rencana kerap diwacanakan tapi eksekusinya tak kunjung-kunjung direalisasi, misalnya pengembangan energi dari pohon jarak tapi hingga kini pabrik pengelolahannya tidak pernah terlaksana sehingga pohon jarak yang telah ditanami masyarakat dibakar sia-sia. Ini salah satu contoh kecil dari berbagai kebijakan yang diwacanakan pemerinatahan SBY.
            Oleh sebab itu, pemerintahan SBY tidak boleh berhenti pada titik menaikkan harga BBM bersubsidi saja tetapi merencanakan, melaksanakan pengembangan energi terbarukan secara konsisten berkesinambungan agar tidak terulang lagi kebijakan “jalan pintas” menaikkan harga BBM bersubsidi dengan berbagai alasan rasionalisasi yang sangat berbahaya dalam berbangsa dan bernegara. Selain daripada itu, pernyataan-pernyataan pemerintah yang mengatakan bahwa distribusi kompensasi kenaikan harga BBM bersubsidi akan tepat sasaran harus dipertanggungjawabkan bila data-data rumah tangga miskin nantinya melenceng sebab pernyataan-pernyataan itu adalah pernyataan resmi pemerintahan SBY sehingga perlu diawasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) termasuk proses pendataan, distribusi supaya tidak terulang lagi penyimpangan-penyimpangan seperti sebelum-sebelumnya.
            Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selaku lembaga independen di republik ini harus mendalami proses kenaikan harga BBM bersubsidi karena belum menunjukkan transparansi sebagaimana amanat peraturan perundang-undangan di negeri ini agar pengorbanan rakyat tidak sia-sia serta APBN-P 2013 tidak menjadi bancakan partai-partai politik ataupun politisi menjelang Pileg dan Pilpres 2014 mendatang. KPK harus pro aktif mengungkap kemungkinan terjadinya persekongkolan politik dibalik kenaikan harga BBM bersubsidi agar para pengunjuk rasa atau demonstrasi penolakan kenaikan harga BBM bersubsidi pada APBN-P 2013 mendapat penjelasan transparan karena APBN-P 2013 merupakan dokumen publik serta menggunakan uang rakyat. Hal itu juga merupakan langkah konkret terwujudnya good governance and clean governace di negeri ini. Sebab hingga kini transparansi masih sebatas retorika karena walau paradigma telah berubah tapi penyelenggara negara atau pemerintahan masih belum berubah. Akuntabilitas kebijakan publik harus menjadi elemen fundamental agar suatu kebijakan tidak seperti melesatkan anak panah menyasar tak tahu juntrungannya.      

                                                                                                          Medan, 24 Juni 2013

                                                                                                         Thomson Hutasoit.
Penulis : Direktur Eksekutif Lembaga Swadaya Masyarakat Kajian Transparansi Kinerja Instansi Publik (ATRAKTIP), Mantan Ketua Umum Dewan Pimpinan Daerah Gabungan Pengusaha Kontraktor Indonesia (DPD GABPKIN) Provinsi Sumatera Utara 2008-2012, Wakil Pemimpin Redaksi SKI ASPIRASI, Staf Ahli salah satu Fraksi di DPRD  Kota Medan 2006-2009 dan 2011-2014, penulis buku Indikator Bangsa Bangkrut, Potret Retak Berbangsa Bernegara, Misteri Negara Salah Urus, Keluhuran Budaya Batak-Toba, Meneropong serta Mengamati Visi-Misi Gubernur Sumatera Utara ‘Rakyat Tidak Lapar, Rakyat Tidak Bodoh, Rakyat Tidak sakit, serta Punya Masa Depan’, serta ± 250 artikel di berbagai media massa, tinggal di Medan.