rangkuman ide yang tercecer

Sabtu, 15 Maret 2014



Bagian Kedua
Kepemimpinan Kerakyatan.

Secara garis besar tipologi kepemimpinan bisa dibedakan atas  dua jenis, yakni; kepemimpinan kerakyatan dan kepemimpinan elitis. Pembagian itu ditinjau dari sisi orientasi kepemimpinan yang diterapkan di masyarakat, bangsa maupun negara.
Orientasi kepemimpinan dimaksud ialah apakah kepemimpinan itu dijalankan sesuai keinginan, kehendak  rakyat, atau justru sebaliknya,  berdasarkan keinginan, kehendak pemimpin beserta konco-konconya.      
Kepemimpinan kerakyatan ialah suatu kepemimpinan yang didasarkan pada kehendak, keinginan rakyat. Karena itu, seorang pemimpin harus mengetahui, memahami denyut kebutuhan, kepentingan rakyat secara konkrit.
 Dengan demikian,  seorang pemimpin  adalah penjelmaan kehendak rakyat, sekaligus jawaban atas situasi kondisi masyarakat  secara riil.   
             Seorang pemimpin tentu membutuhkan pengetahuan, pemahaman paripurna tentang apa yang diperlukan atau dibutuhkan rakyat. Ketika seorang pemimpin menyuarakan, melontarkan sebuah ide, gagasan atau kebijakan akan mendapat respon positif dari seluruh rakyat karena seluruh ide, gagasan, visi atau kebijakan dilahirkan sesuai dambaan, harapan, kehendak  rakyat itu sendiri. Dalam situasi seperti ini lah otensitas seorang pemimpin tampak dengan nyata di mata rakyat.     
            Seorang pemimpin harus memiliki gagasan, visi, kebijakan yang dijabarkan dari sebuah ideologi, ajaran atau pemikiran yang dapat diterima rakyat sebagai suatu kebenaran.
Suatu ide, gagasan atau visi besar yang diucapkan seorang pemimpin memiliki daya magnit membangkitkan semangat (spirit) masyarakat,  bangsa. Dan di sini lah salah satu peran penting kehadiran seorang pemimpin terhadap kehidupan masyarakat, bangsa maupun negara. Salah satu contoh konkrit ialah isi ideologi Soekarno, bukan pikiran ideal yang tidak kena mengena dengan situasi nyata.
Pada Soekarno ideologi merupakan tanggapan atas realitas pengalaman rakyat dalam sistem kolonial. Soekarno tidak bertolak dari ide untuk merancang realitas; sebaliknya, mengalami realitas kolonial menuntunnya untuk merumuskan ideologi. Jadi, apa yang dikatakannya adalah hasil membaca dan mengamati keadaan nyata sedang terjadi.  
            Dukungan rakyat terhadap ideologi Soekarno merupakan indikasi, bahwa suara dan cita-cita mereka terwakili dalam ideologi itu. Rakyat seolah mendengar suara mereka. Dan kritikannya, kritik rakyat tersuarakan. Ia menyebut dirinya ”mulut” dan ”telinga” rakyat, suatu penamaan yang bukan tanpa dasar. (Pdt. Dr. Ayub Ranoh, 2006).
            Semakin besar kemampuan seorang pemimpin menangkap, menyerap, memahami denyut hati rakyat maka semakin otentik lah kepemimpinan kerakyatan melekat pada dirinya. Karena, kepemimpinan kerakyatan bukan sekadar klaim pencitraan diri yang tidak memiliki korelasi dengan tindakan nyata  keberpihakan pada keinginan, kehendak,  kepentingan rakyat.    
            Kepemimpinan kerakyatan juga tercermin dari sejauhmana hubungan batin antara seorang pemimpin dengan yang dipimpin. Sehingga sangat mudah  membuktikan, apakah seseorang itu benar-benar pemimpin kerakyatan atau justru sebaliknya pemimpin elitis.
            Kepemimpinan kerakyatan yang lahir dari rahim rakyat tentu sangat mengetahui, memahami  kebutuhan, keinginan rakyat melalui pengalaman, serta pengindraan langsung kehidupan rakyat. Oleh sebab itu, apa yang dialami, dirasakan rakyat merupakan bahagian dari kehidupannya sendiri yang harus diselesaikan atau dituntaskan.  
            Seorang pemimpin kerakyatan tak pernah membangun tembok pemisah antara dirinya dengan rakyat, melainkan berusaha mendekatkan diri serta gemar mendengarkan, menyerap aspirasi rakyat seluas-luasnya.  
Selanjutnya, menjabarkan berbagai aspirasi itu ke dalam program atau kebijakan pemerintahan sebagai rencana aksi (action plan) beserta  langkah-langkah konkrit untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi rakyat.    
            Pemimpin kerakyatan tak pernah takut dan/atau menghindari diri dari rakyat. Karena itu,  tidak menginginkan berbagai aturan protokoler kaku yang menimbulkan jurang pemisah antara dirinya dengan rakyat yang dipimpin.  
            Beberapa contoh pemimpin di negeri ini yang tidak terlalu suka  protokoler kaku, antara lain; Presiden RI pertama Ir. Soekarno atau Bung Karno, Presiden RI Keempat KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Gubernur Sumatera Utara EWP. Tambunan, Walikota Surakarta Solo yang kini menjadi Gubernur DKI Jakarta  2012-2017 Joko Widodo (Jakowi), Walikota Surabaya Tri Rismaharini, dan lain-lain. Pemimpin-pemimpin ini sangat dekat dengan rakyat, suka mendengarkan aspirasi, serta peduli nasib orang lain. Mereka tak ingin terpisah dari rakyat yang dipimpin menjadikan kehadirannya benar-benar dirasakan secara nyata.   
            Pemimpin kerakyatan mampu menangkap, menyerap, memahami dan menjabarkan keinginan rakyat secara konkrit karena mereka mau mendengarkan jeritan rakyat dengan hati tulus ikhlas, serta menjadikan aspirasi rakyat itu sebuah rencana aksi dalam program atau kebijakan pengabdian nyata. Keperpihakan itu lah yang melahirkan ekspektasi rakyat semakin meningkat dari waktu ke waktu.    
            Pemimpin kerakyatan bukan lah pakar teori belaka yang dibangun dari asumsi-asumsi, postulat-postulat, melainkan melahirkan ideologi, rencana, program, visi-misi melalui penginderaan empiris pengalaman rakyat. Sehingga program atau kebijakan yang ditelorkan adalah inventarisasi berbagai masalah sekaligus solusi nyata. Bukan sekadar retorika pragmatis bertujuan membangun pencitraan diri sebagaimana dilakonkan para pemimpin elitis di negeri ini.   
            Salah satu hal istimewa dari Presiden Amerika Serikat  Ricard M. Nixon (30 april 1973) ketika terjadi skandal Watergate yang memaksa dirinya mengundurkan diri bulan Agustus 1974. Ia mengatakan “…Apapun yang ditimbulkan oleh kasus ini sebelumnya, dan betapa pun tidak patutnya kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan berkaitan dengan skandal kotor ini, saya ingin agar rakyat Amerika, saya ingin Anda semua tahu bahwa di balik bayangan keraguan yang muncul selama masa jabatan saya selaku presiden, keadilan akan ditregakkan secara penuh, jujur, dan tidak memihak, terlepas dari siapa pun yang terlibat.
Jabatan ini merupakan kepercayaan suci dan saya bertekad untuk menjaga kepercayaan itu.  
            Dalam setiap organisasi, orang yang berada di puncak haruslah memikul tanggung jawab. Oleh karenanya, tanggung jawab atas semua masalah ini ada di sini, di kantor ini. Saya menerimanya. Dan saya bersumpah pada Anda malam ini, dari kantor ini, bahwa saya akan melakukan apa saja dalam batas kekuasaan saya untuk memastikan, bahwa yang salah akan diadili, dan pelanggaran serupa takkan terjadi lagi dalam proses politik kita di tahun-tahun mendatang, jauh sesudah saya meninggalkan kantor ini”.

Kalkulasi Peluang Perolehan Kursi Legislatif



Kalkulasi Peluang Perolehan Kursi Legislatif
Oleh : Drs. Thomson Hutasoit
Direktur Eksekutif LSM Kajian Transparansi Kinerja Instansi Publik (ATRAKTIP) 
            Pemilihan Legislatif (Pileg) 9 April 2014 tinggal menghitung hari dan para calon legislatif (caleg) DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota sudah semakin degdegan apakah berhasil atau tidak memperoleh kursi wakil rakyat yang sangat didambakan.
            Para calon legislatif telah melakukan pendekatan kepada calon konstituen, baik langsung maupun tidak langsung. Berbagai cara sosialisasi untuk memperkenalkan diri yang tentu sangat menguras tenaga, pikiran, bahkan menghabiskan dana yang tidak sedikit. Ada pula siang malam bergerilya berkunjung dari pintu ke pintu ala Ebiet G. Adie orang-orang yang tidak pernah dikenal sebelumnya. Kunjungan ke rumah-rumah calon pemilih bertabur berbagai kebaikan seperti pemberian bingkisan sembako, sandang-pangan, dana-dana sumbangan, bahkan ada pula yang membangun fasilitas umum yang tentu menguras kantong calon legislatif. Hal itu terpaksa dilakukan untuk meraih simpatik calon pemilih agar mau menjatuhkan hak pilih kepada caleg bersangkutan.
            Kondisi seperti itu menggeser makna sejati pemilihan umum (Pemilu) dari pendidikan politik rakyat ke penciteraan diri para caleg sebagai sosok sinterklas yang membagi-bagikan aneka kebaikan seolah-olah dermawan yang sangat peduli penderitaan pihak lain. Padahal, tindakan-tindakan itu hanyalah sebuah kepalsuan, bahkan pembohongan, pembodohan politik yang sangat kental nuansa keberpurak-purakan sebagai salah satu taktik strategi meraih simpatik pemilih. Berbagai kemasan citra diri tak masuk akal dengan memanfaatkan kekurangmampuan masyarakat memahami eksistensi sejati memilih dan menghadirkan calon-calon wakil rakyat sepertinya bergayung sambut antara caleg dengan calon konstituen. Akibatnya, masyarakat terperangkap atas kebaikan palsu tanpa mempertimbangkan kredibilitas, kapabilitas, kapasitas, integritas kepribadian para caleg ditengah-tengah masyarakat sebelum-sebelumnya.
            Sinyalemen para pakar politik yang mengatakan, bahwa memori atau ingatan bangsa ini sangat pendek sepertinya mendekati kenyataan, sebab masyarakat terkesan mudah percaya dan diyakinkan dengan taktik strategi menabur kebaikan palsu seperti pemberian sembako, sumbangan-sumbangan, hingga lupa mencermati rekam jejak kinerja para caleg sebelumnya. Hal itu, tentu sangat berbahaya dalam upaya menghadirkan wakil-wakil rakyat yang mampu mengemban amanah dan memperjuangkan aspirasi rakyat ke depan. Harus diingat setiap pengeluaran atau biaya politik (cost politic) akan dikompensasi setelah kekuasaan diraih. Aspirasi rakyat tidak akan menjadi perioritas sebelum pulang modal, bahkan keuntungan kompensasi politik transaksional yang telah dikeluarkan para caleg. Dan inilah salah satu sebab mengapa para caleg mau menghabiskan dana cukup signifikan dalam tahapan pemilihan. 
            Berharap tentu boleh-boleh saja dan tidak salah, namanya juga usaha ! Akan tetapi, bila seluruh calon legislatif berharap demikian, optimis menang dan memperoleh kursi maka di sini lah berbagai masalah akan timbul seperti; bertambah jumlah orang stres, bertambah angka kemiskinan, meningkat kekecewaan hidup, bahkan tidak mustahil terjadi keretakan hubungan keluarga, kerabat dan lain-lain pasca pemilihan legislatif (Pileg). Bila para Caleg sejak semula mempersiapkan diri  bahwa pemilihan legislatif adalah kompetisi yang sudah pasti ada yang kalah dan menang maka para caleg telah mempersiapkan diri meneima kekalahan atau kemenangan pada 9 April 2014 nanti. Tetapi, jika para Caleg hanya berambisi menang, serta  menghabiskan dana besar untuk mengejar bayang-bayang kelabu atau kemenangan di sini lah timbul pertanyaan besar, bagaimana nantinya Caleg bersangkutan pasca pileg.  Sementara rumor di masyarakat telah dipersiapkan ruangan rumah sakit jiwa untuk menampung para Caleg yang tidak siap menerima kekalahan pada pemilihan legislatif nanti.
            Bila angka pengidap penyakit jiwa meningkat pasca pileg maka sangat disayangkan kejadian demikian, karena telah menciderai makna sejati pemilihan umum legislatif (pileg) wahana pendidikan politik rakyat sekaligus pesta demokrasi yang seharusnya mendatangkan kebahagiaan. Tetapi, bila para caleg kalah nantinya banyak yang menderita stres, sakit jiwa, karena telah menghabiskan harta kekayaan yang ditabur-taburkan pada proses pileg tanpa kalkulasi peluang menang atau mendapat kursi maka hal itu merupakan kesalahan besar yang perlu direnungkan sedalam-dalamnya.
            Dari pengamatan penulis beberapa kali pemilihan umum di negeri ini, bahwa para kandidat legislatif masih banyak yang tidak membuat kalkulasi peluang menang atau memperoleh kursi DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota secara matang. Padahal, kalkulasi peluang menang sangat diperlukan setiap kandidat agar tidak terbuai bayang-banyang semu yang bisa menimbulkan kekecewaan di kemudian hari. Belum lagi, parameter ketokohan seseorang di mata rakyat. Tidak mustahil juga para caleg adalah sosok-sosok yang tak pernah dikenal masyarakat sebelum masa pencalegan sehingga sangat menyulitkan ketika melakukan sosialisasi ke masyarakat. Salah satu rumus instan yang kerap dilakukan caleg-caleg seperti itu adalah menabur-naburkan berbagai kebaikan seperti; memberi sembako, sandang-pangan, sumbangan-sumbangan, memberi papan bunga, dan lain-lain yang tentu membutuhkan biaya sangat besar pula.
            Pemberian seperti itu, belum bisa menjadi jaminan perolehan suara pada pileg nanti, karena fenomena yang tubuh di masyarakat saat ini, siapa pun yang menawarkan, memberi akan di tamping, soal memilih itu urusan nanti. Kondisi inilah yang perlu dicermati para caleg agar tak terlalu optimistis meraih kemenangan sehingga lupa mempersiapkan diri menerima kekalahan.
Sistem pemilihan legislatif 2014 membuka pertarungan terbuka antar caleg dalam internal partai dan pertarungan caleg antara partai. Pertarungan antar caleg di internal partai dengan sistem suara terbanyak memungkinkan antar caleg di dalam satu partai saling bantai-membantai, dan tidak mustahil juga saling menjatuhkan satu sama lain. Padahal, pertarungan antar caleg dalam satu partai seharusnya tidak elegan sebelum partai bersangkutan memperoleh kursi dari alokasi kursi di satu daerah pemilihan (Dapil) tertentu.
Pertarungan paling pertama dan utama sebenarnya adalah bagaimana supaya partai itu  mendapat alokasi kursi pada dapil, karena bila suatu partai tidak mendapat alokasi kursi maka perolehan suara partai akan musnah atau hilang. Pertarungan antar caleg dalam satu partai akan sia-sia. Karena itu, sangat keliru besar apabila caleg-caleg dalam satu partai ‘bantai-membatai’ dengan melancarkan kampanye hitam untuk menyerang caleg separtainya. Selain tidak menarik simpatik konstituen, tindakan itu mencerminkan ambisius caleg sekaligus merugikan partainya.
Kemampuan, kecerdasan membuat kalkulasi peluang menang, selain meminimalisasi biaya para caleg juga mempersiapkan diri menerima apapun hasil pileg nanti supaya tidak stres ataupun sakit jiwa sebagaimana sinyalemen masyarakat terhadap caleg pasca pileg.
Sesuai ketentuan undang-undang pemilihan umum legislatif (Pileg) 2014 jumlah caleg setiap partai 100 persen x alokasi kursi, jumlah partai politik peserta pemilu sebanyak 12 partai.   Misalnya; DPRD Kota Medan sebanyak 50 kursi maka jumlah caleg yang bertarung memperebutkan kursi tersebut, 50 kursi x 12 partai = 600 caleg. Jumlah yang kalah atau tidak memperoleh kursi sebanyak 550 orang. Bila dipertajam lagi dengan pembagian daerah pemilihan (dapil). Alokasi kursi di Dapil Medan 3 sebanyak 8 kursi yang meliputi; Medan Baru, Medan Petisah, Medan Barat, Medan Helvetia yang akan diperebutkan 12 partai x 8 caleg = 96 caleg.
Dalam hal inilah perlu dilakukan kalkulasi peluang menang secara cermat dan cerdas, partai-partai mana yang berpeluang besar memperoleh alokasi kursi. Jika seandainya, seluruh partai mencermati peluang menang dengan seksama maka saat ini juga telah mendapat gambaran hampir dapat dipastikan partai mana saja dari 12 partai tersebut yang berpeluang besar memperoleh jatah kursi di Dapil Medan 3.
Untuk memberi gambaran, pada Pileg 2009 yang pesertanya 48 partai, alokasi 7 kursi, yang berhasil memperoleh kursi di Dapil Medan 3 antara lain; Partai Demokrat 2 kursi, Partai Golkar 1 kursi, PDP-Perjuangan 1 kursi, Partai Damai Sejahtera (PDS) 1 kursi, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 1 kursi, Partai Persatuan Rakyat Nasional (PPRN) 1 kursi. Dari perolehan kursi itu bila dianalisis dengan cermat, cerdas akan memberi gambaran bagi partai-partai peserta di pemilihan legislatif 2014 akan datang, dan hal yang sama bisa dijadikan dasar kalkulasi peluang menang di daerah-daerah lain.
Sebab, alangkah naifnya terlalu optimistis memperoleh kemenangan tanpa  mengkalkulasi peluang menang dengan memperhitungkan langkah-langkah yang telah dilakukan sehingga tidak mimpi di siang bolong. Kecermatan, kecerdasan caleg untuk melakukan kalkulasi peluang menang sebelum 9 Apil 2014 sangat diperlukan supaya tidak terperosok ke dalam lubang sedalam-dalamnya, serta resiko fatal pada diri caleg pasca pemilu.
Mengorbankan segala hal tanpa mengkalkulasi peluang menang adalah tindakan kurang cerdas dan akan menuai segunung kekecewaan, kecuali para caleg sejak semula berniat tulus memberi pendidikan politik kepada rakyat sebagai tanggung jawab warga negara yang baik. Akan tetapi, hal itu masih sangat jauh dari ranah berpikir dan bertindak para kandidat yang bertarung saat ini. Buktinya, sesama satu partai saja pun saling sikut-menyikut, saling menjelekkan, dan perang terbuka antar caleg semata-mata dilatari ambisi dan egoisme pribadi untuk meraih kekuasaan. Jadi, sangat sulit diterima logika akal sehat seorang caleg tidak didorong ambisi berkuasa walaupun mengeluarkan dana cukup signifikan.
Tidaklah terlalu tendensius bila dikatakan, bahwa banyak caleg-caleg yang tidak mampu melakukan kalkulasi peluang menang pada pileg 2014, sebab bukti berbicara para caleg masih cenderung mengandalkan kemampuan finansial daripada menawarkan visi perjuangannya kepada masyarakat seandainya terpilih kelak sebagai wakil rakyat. Bahkan, ada caleg yang tidak mampu menjelaskan visinya secara konkrit ketika masyarakat mempertanyakan pada saat datang sosialisasi. Padahal, pada kesempatan seperti itulah para caleg menjelaskan visi-misinya secara langsung kepada masyarakat supaya bisa diketahui layak tidaknya mengemban aspirasi rakyat.
Para caleg harus memahami rakyat sekarang sudah semakin pintar dan cerdas, dan tidak semua mau “menjual diri” atau memilih caleg karena dapat uang, sembako, sandang-pangan, dan aneka kebaikan sesaat, karena rakyat sudah tahu pemberian itu nanti akan di kompensasi ketika kekuasaan sudah di tangan. Berbagai kasus-kasus korupsi, penyelewengan jabatan, pengabaian aspirasi rakyat dari wakil-wakilnya adalah akibat politik transaksional dalam merebut jabatan. Bila saat ini rakyat menerima pemberian caleg-caleg belum menjamin mereka memilih, bahkan di kalangan masyarakat kini berembus kencang slogan “Terima uangnya jangan pilih orangnya” sebagai puncak gunung es kekecewaan terhadap para penabur janji, pengidap penyakit lupa karena di mabuk kekuasaan. Oleh sebab itu, para caleg kiranya membuat kalkulasi peluang menang sebelum terjerembab pada penyesalan dan kekecewaan amat sangat dalam, termasuk berhati-hati menggelontorkan berbagai kebaikan sesaat seperti, politik uang (money politic) yang belum menjamin suara pemilih. Persiapkan diri siap kalah siap menang supaya tidak stres, sakit jiwa pasca pemilihan legislatif. Pemilihan adalah kompetisi yang di dalamnya ada yang kalah ada pula yang menang. Rakyat berdaulat untuk memilih dan menentukan siapa yang layak dan pantas diserahi amanah sebagai wakil rakyat.
Selamat berdemokrasi ! Pepatah klasik mengatakan’ “Pikir itu pendapatan, sesal kemudian tak berguna. Petarung handal selalu berprinsip “Dalam pertarungan menang dan kalah adalah hal yang wajar dan biasa”.  
                                                                                                            Medan, 9 Maret 2014.
  
                      
                

Sabtu, 08 Maret 2014

DETEKSINEWS: REKAM KUNJUNGAN BONA PASOGIT

DETEKSINEWS: REKAM KUNJUNGAN BONA PASOGIT: REKAM KUNJUNGAN BONA PASOGIT   BORSAK BIMBINAN HUTASOIT DESA TIPANG, KECAMATAN BAKTIRAJA KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN Hari/Tan...

Kepemimpinan ditinjau dari Kultur Budaya Batak-Toba



Bagian Pertama

Pendahuluan.

Salah satu menu diskusi paling menarik diperbincangkan sepanjang masa ialah tipologi kepemimpinan yang dilakonkan para pemimpin, baik pemimpin formal maupun informal di skop lokal, nasional, ataupun internasional.
Tipologi kepemimpinan memiliki korelasi terhadap martabat, marwah serta jati diri suatu bangsa di mata pergaulan antar bangsa-bangsa di dunia. Sebab, tipologi kepemimpinan merupakan salah satu energi besar  membangun kebanggaan serta kewibawaan bangsa. Kepemimpinan suatu bangsa  sangat berpengaruh besar membangun  keunggulan dibandingkan bangsa-bangsa  lain, yang ditandai berbagai karya monumental ataupun keunggulan  spesifik  berdaya saing di fora internasional.    
Menurut Wlliam Marston seperti dikutip oleh Bobinski (2000) mengklasifikasikan pemimpin dalam 4 (empat) jenis, yaitu; pemimpin  Dominance, Influencing, Steadiness, dan Compliance. Model kepemimpinan Marston diberi nama model DISC.
Pemimpin tipe D (Dominance) cenderung menguasai situasi, kaya akan inisiatif, suka tantangan, tidak suka status quo, tegas, memiliki hasrat kuat untuk mencapai prestasi tinggi, tidak suka neko-neko, dan lebih berorientasi pada tugas. Pemimpin ini kadang dijuki hawk (elang) atau lion (singa).
Pemimpin tipe I (Influencing) gemar berinteraksi sosial, menghormati sesama, dan suka dihormati, penuh optimisme, masalah apa pun yang dihadapi diyakini dapat diatasinya, rasa humor yang tinggi, dan pasti minta pendapat orang lain sebelum bertindak.
Pemimpin tipe S (Steadiness) bercirikan loyal, suka melayani orang lain, pencinta damai, rileks namun pekerja keras, bertindak atau berkomunikasi tidak langsung, jika tidak setuju ia tidak mengatakannya terus terang, lamban dalam mengambil keputusan, dan tidak suka konfrontasi. Mereka sering dijuki dove (merpati) atau Golden Retriever (memilih mundur daripada konfrontasi).
Pemimpin tipe C (Compliance) selalu berpedoman pada hukum dan prosedur dalam bertindak. Ia takut jika tidak mengikuti prosedur.
Tipe D juga menghindari konflik, bahkan tidak antusias untuk membalas jika ditantang. Ia memiliki penalaran yang tinggi, selalu mencari fakta dan bukti ketika bertindak sehingga ia dijuluki objective thinker. Satu lagi cirinya perfectionist. (Prof. DR. Tjipta Lesmana, MA, 2009).  
Kepemimpinan ialah kemampuan untuk membimbing, mengarahkan, mendorong, membangkitkan, menggerakkan pihak lain mencapai tujuan. Melalui  kepiawian, kemahiran  berkomunikasi efektif mampu memengaruhi orang lain. Melalui kepiawian, kemahiran kepemimpinan setiap orang merasakan sentuhan-sentuhan batiniah antara pemimpin dengan yang dipimpin.
Seorang pemimpin tentu harus memiliki nilai plus dibanding dengan yang dipimpin seperti, kecerdasan, intelektualitas, karakter mental, kejujuran, keberanian, ketegasan, integritas, serta jati diri yang bisa ditiru dan diteladani.
Misalnya, ketika para pemuda memaksa Bung Karno memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia sebelum tanggal 17 Agustus 1945, dimana ketika itu para pemuda memaksa bahkan mengancam Bung Karno supaya segera memproklamasikan kemerdekaan, tapi dengan tegas Bung Karno menyatakan kepada Adam Malik, Chairul Saleh, B.M. Diah, Sukarni, Wikana dan lain-lain. ”Lalu apa ?” Soekarno berteriak sambil melompat dari kursi dalam keadaan sangat marah. ”Jangan coba-coba mengancamku. Jangan kalian berani memerintahku. Justru kalian harus mengerjakan apa yang kuinginkan. Aku tak akan pernah mau dipaksa menuruti kemauan kalian!” (Hendri F. Isnaeni, 2009).   
Makna sejati kepemimpinan ialah kemampuan seorang pemimpin  menghimpun, melindungi, mengayomi, mendorong, membangkitkan, mengarahkan, menggerakkan, serta memberi keteladanan kepada pihak lain untuk  mencapai tujuan yang telah ditetapkan.     
Untuk melakukan hal itu, seorang pemimpin bisa saja menerapkan model kepemimpinan  kerakyatan ataupun kepemimpinan elitis sebagaimana pola-pola kepemimpinan yang kerap dilakukan di berbagai belahan dunia.
Tipologi kepemimpin memiliki perbedaan paradigma tentang bagaimana kepemimpinan itu dilakukan, bagaimana pengaruhnya terhadap rakyat, bangsa maupun negara. Hal inilah yang selalu jadi menu perbincangan hangat serta pemikiran kritis dikala terjadi pemilihan pemimpin (suksesi) dari masa ke masa.
Salah satu esensi kepemimpinan pada komunitas Batak, khususnya Batak-Toba ialah sebutan ”raja atau panggonggomi” yaitu; seseorang yang mampu melindungi, mengayomi, mengarahkan, mendorong, menyemangati, mengendalikan, mencerdaskan, serta menegakkan kebenaran dan keadilan ditengah-tengah masyarakat, bangsa.     
Kepemimpinan merupakan elemen fundamental serta esensial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara sehingga sangat membutuhkan kualitas manajerial istimewa dari seorang pemimpin. Karenanya, tidak sembarang orang bisa di daulat jadi pemimpin.  Seorang pemimpin harus lah orang-orang pilihan memiliki keunggulan, keistimewaan di atas rata-rata kemampuan orang lain. Keunggulan, keistimewaan itu pula lah membedakannya dengan yang dipimpin.      
            Keunggulan, Keistimewaan yang dimaksud lebih berporos pada parameter karakter moral, mental, seperti; kecerdasan, kejujuran, keluhuran, keberanian, kepedulian, kasih,  keadilan, semangat atau spirit (marsahala) dalam menjalankan amanah yang dipercayakan pada dirinya.    
Faktor karakter moral, mental seperti itu merupakan elemen paling dasar  dalam memilih dan/atau menentukan seorang pemimpin pada komunitas Batak-Toba. Sebab, eksistensi pemimpin pada komunitas Batak-Toba yang menganut hukum adat (hukum tak tertulis)  adalah kemampuan menjalankan tugas-tugas kepemimpinan yang dilandasi musyawarah menuju mufakat, termasuk dalam implementasi, menentukan sanksi-sanksi, serta penegakannya sebagai pranata yang  mengatur tata hidup komunal.   
 Paranata hidup itu, selanjutnya dijadikan aturan hukum yang harus dihormati dan dijunjung tinggi seluruh individu masyarakat Batak-Toba dalam hidup sehari-hari.     
            Fondasi dasar kehidupan Batak-Toba ialah falsafah Dalihan Na Tolu (DNT) yaitu; somba marhula-hula, manat mardongan tubu, elek marboru yang merupakan warisan leluhur. Falsafah Dalihan Na Tolu (DNT) telah membentuk karakter spesifik, jati diri Batak-Toba dari generasi ke generasi.      
            Esensi kepemimpinan pada suatu masyarakat, bangsa tentu memiliki ciri khas sesuai kearifan lokal yang tumbuh berkembang pada suatu masyarakat, bangsa. Sehingga jenis, macam, ragam, corak kepemimpinan tidak bisa diseragamkan satu sama lain.
Dalam ungkapan Batak-Toba hal itu disebut, “Asing dolok asing do sihaporna, Asing luat asing do nang adatna” atau seperti peribahasa klasik,” lain lubuk lain ikannya” yang menunjukkan bahwa ragam,  jenis, macam, corak  kepemimpinan bisa berbeda-beda pula.      
            Keragaman kearifan lokal yang tumbuh subur di masyarakat, bangsa juga melahirkan berbagai  tipologi kepemimpinan yang belum tentu sesuai dan serasi bila diseragamkan (uniform) ataupun diterapkan pada masyarakat, bangsa yang  berbeda. Aneka ragam kepemimpinan berdasarkan kearifan lokal perlu digali,  didalami, serta dikembangkan sebagai salah satu instrumen penting memformulasi kepemimpinan berbasis kearifan lokal supaya benar-benar menyentuh kehidupan nyata sesuai dengan jati diri bangsa bersangkutan.    
            Nilai-nilai luhur kearifan lokal ditengah-tengah kehidupan masyarakat merupakan elemen dasar parameter menganalisis esensi kepemimpinan,  apakah sesuai dengan nilai-nilai kultur budaya yang masih diakui kebenarannya ditengah-tengah komunitas. Sebab, adakalanya, yang dianggap baik pada masyarakat, bangsa tertentu belum tentu baik pada masyarakat, bangsa lain.     
            Esensi kepemimpinan dari sudut perspektif kearifan lokal atau kultur budaya akan lebih sesuai dan serasi diterapkan pada masyarakat, bangsa bersangkutan sehingga perlu digali, dikembangkan untuk memperluas khasanah kepemimpinan berbasis kearifan lokal.
Sebab, suatu tipologi kepemimpinan tidak terlepas dari nilai kultur budaya yang tumbuh berkembang ditengah-tengah kehidupan masyarakat, bangsa itu sendiri.    
Nilai-nilai kearifan lokal mewarnai karakter berpikir, bertindak yang tidak mudah dilepaskan dari suatu komunitas karena sudah menjadi jati diri masyarakat, bangsa yang membedakannya dengan komunitas lain.     
            Pada komunitas Batak-Toba kepemimpinan merupakan hal paling penting serta strategis sehingga seorang pemimpin harus mampu memosisikan diri sebagai panutan, tauladan dalam segala hal, sebab seorang pemimpin bukan bagian dari masalah, melainkan solusi berbagai masalah yang dihadapi masyarakat, bangsa. Karena itu, seorang pemimpin harus mampu menempatkan diri sebagai public figure yang pantas ditiru, digugu, serta ditauladani oleh seluruh elemen masyarakat, bangsa.    
            Sebagai seorang pemimpin (raja, panggomggomi) harus memiliki kemampuan ”raja urat ni uhum, na mora ihot ni hosa, raja si horus na lobi, sitambai na longa, raja parbahul-bahul na bolon, partataring so ra mintop, paramak so balunon, parsangkalan so mahiang, partogi pangihutan, panungkunan pandapotan, panungkunan ni uhum, pangahitan ni roha, raja na marsahala, na tulut di hata na so lupa di poda, raja singa ni uhum na hot di ruhut-ruhut, pamuro so mantat sior, parmahan so mantat batahi, ompu ni na bisuk na pantas di roha,  parorot so manggotili, parmeme so mambonduti, si pasiang ilu sian mata, si paulak hosa loja, raja parhata siat di tonga ni mangajana, na sintong manimbangi na so siida rupa,  pardasing so ra teleng, parhatian so ra monggal dan lain sebagainya.     
            Keunggulan karakter moral, mental, seperti itu lah yang menjadi parameter kepemimpinan pada komunitas Batak-Toba agar kehadiran seorang pemimpin benar-benar solusi nyata seluruh perikehidupan rakyat dan bangsa.    
            Walaupun kepemimpinan pada Batak-Toba cenderung bersifat non formal, tapi kepemimpinan memiliki peran penting dan strategis menjaga tertib sosial sehingga  kepemimpinan harus dilandasi keunggulan karakter moral agar  diakui, dihormati, dituruti seluruh lapisan masyarakat.   
Pengakuan, penurutan, penghormatan kepada seorang pemimpin pada Batak-Toba didasarkan atas kapabilitas, kredibilitas, integritas, soliditas, serta keistimewaan karakter moral yang pantas ditiru dan ditauladani. Bukan karena paksaan atau berbagai sanksi yang diterapkan.    
 Pada komunitas Batak-Toba kepemimpinan bukanlah kekuasaan territorial (kekuasaan formal) seperti pada sistem kepemimpinan pemerintahan, melainkan kepemimpinan non formal yang berfungsi dan berperan sebagai garda terdepan penjaga nilai-nilai luhur budaya warisan nenek moyang.      
Sebagai garda terdepan menjaga, memelihara nilai kultur budaya, seorang pemimpin harus mampu memosisikan diri perekat seluruh elemen masyarakat. Harus pula difahami paripurna, bahwa penyebutan raja pada Batak-Toba seperti; raja ni hula-hula, raja ni dongan tubu, raja ni boru, raja ni dongan sahuta, raja ni ale-ale, tidak lah indentik dengan sistem kerajaan yang dianut sistem pemerintahan di dunia.
Raja Patik Tampubolon mengatakan, ”Di halak Batak, adong do hata raja di pangke tu ganup horong ima; Raja ni Hula-hula, Raja ni Dongan Tubu dohot Raja ni Boru. Jotjot do diartihon halak ”hata raja” sai songon harajaon pamarentaon, hape ndang apala i na tinuju ni hata i, ai na marlapatan doi tu hatomanon, hasortaon, hahormaton, hasangapon, dohot angka na asing pangalaho na raja.  
Jadi hata raja ima patuduhon ianggo halak Batak ingkon marpangalaho na raja do , ndang songon pangalaho ni hatoban na so marhasangapon di tonga-tonga ni huta dohot mangajana” . (Dalam terjemahan bebas, bahwa pengertian raja pada bangso Batak  bukan raja dalam arti pemerintahan, melainkan kualitas karakter moral, sopan santun, kehormatan, kemuliaan, kewibawaan, dan lain sebagainya. Jadi sebutan raja menunjukkan bahwa bangso Batak harus berperilaku seorang raja, bukan seperti perangai, perilaku budak yang tidak memiliki harga diri, kehormatan sama sekali. Orang yang berperilaku seorang raja akan dihormati ditengah-tengah masyarakat, bangsa maupun negara).    
Penyebutan predikat raja pada komunitas Batak-Toba lebih menunjuk  sub struktur elemen masyarakat yang setara, sederajat, serta saling menghormati  satu sama lain. Kedudukan atau posisi Hula-hula, Dongan Tubu, Boru adalah setara dan sederajat, hanya fungsi dan tugas lah yang berbeda  di antara ketiga unsur Dalihan Na Tolu (DNT) itu.     
            Dalam demokrasi Dalihan Na Tolu (DNT) yang didasarkan pada kearifan lokal Batak-Toba memosisikan seluruh unsur setara, sederajat dan seimbang dalam hak dan kewajiban masing-masing.
Oleh sebab itu, model kepemimpinan klasik yang telah terbukti mampu menjamin kelanggengan hubungan harmoni komunitas Batak, khususnya Batak-Toba perlu digali dan dikembangkan salah satu model kepemimpinan, baik ditingkat lokal, nasional maupun internasional.   
            Sehebat, sepesat apa pun capaian kemajuan suatu bangsa, tanpa didasari nilai-nilai luhur kearifan lokal yang telah menjadi identitas atau jati diri bangsa, kemajuan itu hanya lah suatu kemajuan tanpa fondasi kuat.  
Karena itu, kearifan kultur budaya  tidak boleh sekali-sekali disepelekan atau diabaikan dalam proses berbangsa bernegara, sebab nilai-nilai luhur kearifan lokal telah membentuk karakter spesifik bangsa bersangkutan. Bangsa tak berjati diri tak akan pernah tampil menjadi bangsa unggul di percaturan bangsa-bangsa beradab di atas jagat raya ini.  
 Selain daripada itu, harus pula disadari bahwa penyebutan nama suku, bangsa selalu didasarkan atas kearifan lokal bangsa bersangkutan. Misalnya, penyebutan marga pada komunitas Batak, khususnya Batak-Toba didasari adat budaya yang diwariskan para leluhur. Sekalipun pada era belakangan ini, suku-suku lain telah menyandang marga Batak, khususnya Batak-Toba, tetapi penyandangan marga itu  harus lah melalui prosesi adat budaya yang bisa diterima dan diakui komunitas Batak. Tidak boleh asal-asalan, sesuka hati  atau semau gue.   
Kebudayaan adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat. Atau, keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya (KBBI, 2007).  
Budaya (pikiran, akal budi, adat istiadat) tidak mudah dilepaskan dari kepribadian suatu komunitas karena telah mendarah daging atau menjadi jati dirinya. Segala bentuk penyimpangan nilai-nilai budaya yang dianut komunitas merupakan pelanggaran norma-norma hidup yang diakui dan dijunjung tinggi  seluruh elemen masyarakat.  
Oleh karena itu, berbagai kemajuan yang tidak sesuai dengan kultur budaya bangsa belum tentu bisa diterima atau diakui masyarakat, bangsa bersangkutan,  sebab tak  sesuai kultur budaya bangsanya. Misalnya, mode pakaian, gaya bicara, pola tingkah laku, sistem kepemimpinan dan lain sebagainya yang diadopsi dari bangsa lain.   
 Salah satu hal pasti ialah segala sesuatu yang didasarkan atas nilai-nilai hidup atau kultur budaya relatif paling serasi dan efektif karena sesuai dengan jati diri bangsa.
            Selain daripada itu, kemampuan memilih dan/atau menentukan pemimpin negarawan adalah salah satu hal fundamental dalam menentukan arah perjalanan bangsa. Karena hanya ditangan pemimpin berintegritas dan berkepribadian tak tercela dan berkeadilan lah kejayaan bangsa atau negara terjamin.
            Jimly Asshiddiqie mengatakan, ”Negarawan itu orang yang sudah selesai dengan hidupnya, tidak lagi memiliki cita-cita untuk mendapat jabatan lebih tinggi. Tidak lagi punya cita-cita untuk mendapat uang lebih banyak”. (Kompas, 19-02-2014, Hal: 3, Kol: 6).    
            Kehadiran pemimpin negarawan yang mengabdikan seluruh pemikiran dan hidupnya demi kepentingan rakyat salah satu tugas paling dasar, sebab hanya ditangan pemimpin seperti itu lah harapan, cita-cita, dambaan  bisa  suatu kenyataan yakni; kemakmuran, kesejahteraan, keadilan, serta kebahagiaan seluruh masyarakat, bangsa maupun negara.