rangkuman ide yang tercecer

Minggu, 22 November 2015

sambungan Kepala Daerah Berbasis Kearifan Budaya Batak Toba



3.           Pamuro so mantat sior, Parmahan so mantat batahi.
            Seorang pemimpin harus mampu melindungi, mengayomi, mengarahkan, menggerakkan pihak lain untuk menuju suatu tujuan yang hendak dicapai  yakni;  kebahagiaan seluruh rakyat. Salah satu esensi kepemimpinan menurut  Siahaan (1936) ialah ”Pamuro so mantat sior, parmahan so mantat batahi; na di jolo niehaan, na di pudi paimaon.” Maksudnya ialah seorang pemimpin yang memiliki kharisma kepemimpinan ditandai kemampuan membimbing, mengarahkan, mendorong, menggerakkan pihak lain untuk mencapai tujuan yang dikehendaki pemimpin melalui tindakan keteladanan dan/atau perkataan yang patut dipatuhi, dituruti dengan pendekatan persuasi,  bukan karena sanksi ataupun paksaan.     
            Kepatuhan, penurutan rakyat terhadap seorang pemimpin bukan atas rasa ketakutan, sanksi-sanksi hukum, ataupun paksaan yang diterapkan, melainkan didorong kesadaran serta kemauan tulus terhadap pemimpin bersangkutan. 
 Seorang pemimpin yang mampu memosisikan diri sebagai pelindung, pengayom bagi rakyat tanpa menggunakan otoritas kekuasaan akan mendapat apresiasi positif di mata rakyat. Pemimpin seperti itu lah yang pantas disebut di depan diikuti atau disusul, di belakang ditunggui. 
Dalam ungkapan Batak Toba sering dikatakan, ”Di jolo siuhuthonon, di pudi sipaimaon, di tonga-tonga siharungguan”  yaitu di depan diikuti, di belakang di tunggu, ditengah-tengah dikerumuni. Dan pada suku Jawa juga dikenal, Tut wuri handayani, Ing ngarso sung tulodo, Ing madiya mbangun karso.  
Ungkapan seperti itu ialah cerminan pengakuan, penghargaan, penghormatan terhadap seorang pemimpin yang mampu melindungi, mengayomi, mendorong, mengarahkan serta memberi keamanan, kenyamanan, keteladanan kepada rakyat secara nyata.          
            Ranoh (2006) Menurut Koentjaraningrat skema kekuasaan dalam masyarakat sederhana, tradisional dan masa kini, empat komponen yang senantiasa ada dalam tiap jenis masyarakat yakni: wibawa, kharisma, wewenang dan kemampuan khusus. Skemanya demikian: 
1. Masyarakat sederhana; wibawa, wewenang, kharisma, kemampuan khusus.
2. Masyarakat tradisional; kharisma, wewenang, wibawa, kemampuan khusus.
3. Masyarakat masa kini; wibawa, wewenang, kharisma, kemampuan khusus.
Dari skema kekuasaan di atas, ada dua hal menarik, khususnya dalam kaitan dengan komponen kharisma.
Pertama, pengertian berbeda yang ia berikan pada kharisma. Dalam masyarakat sederhana, kharisma diartikan sebagai kemampuan pemimpin dalam ilmu gaib untuk memperbesar pengaruh. Jadi, kharisma bermakna kesaktian. Dalam masyarakat tradisional, kharisma diartikan sebagai sifat keramat dan pemilik wahyu. Karena itu, untuk menjaga kekeramatan, pemimpin mengambil jarak dengan rakyat. Dalam masyarakat masa kini, kharisma adalah pemilikan sejumlah kualitas spiritual untuk menunjang kekuasaan, dan dengan itu pemimpin disegani. 
      Kedua, adalah cara menempatkan kharisma untuk setiap jenis masyarakat seperti jelas dari skema. Untuk masyarakat sederhana dan masa kini kharisma ditempatkan sebagai komponen ketiga. Untuk masyarakat tradisional, kharisma adalah komponen pertama.
       Lepas dari alasan penempatan, Koentjaraningrat memberikan wawasan yang menarik bahwa kharisma adalah suatu komponen kepemimpinan, baik untuk masyarakat kuno maupun modern. Kharisma bukan konsep yang hanya relevan untuk dunia timur, melainkan untuk semua masyarakat.( Ranoh, Ayub, 2006; hal. 70). 
      Dalam konteks Pamuro so mantat sior, parmahan so mantat batahi ialah  pemimpin berkharisma dipatuhi, dituruti oleh rakyat bukan karena takut atas sanksi-sanksi hukum atau paksaan, melainkan respon positif atas keunggulan karakter moral pemimpin yang mampu menjadikan dirinya sebagai panutan, teladan di masyarakat.  
      Kharisma kepemimpinan dengan sejumlah kualitas spiritual menjadikan seseorang memiliki kewibawaan, marwah, dan keistimewaan di mata rakyat sehingga disegani, dihormati, dituruti bukan karena segenggam kekuasaan melekat  memaksa untuk mendapat pengakuan, penurutan terhadap dirinya.
      Seorang pemimpin tidak harus tangan besi agar dituruti dan dipatuhi, melainkan mampu memberi contoh keteladanan ditengah-tengah masyarakat. Keteladanan itu, dilakukan konsisten, konsekuen, terus-menerus sehingga orang lain memedomani dalam hidup sehari-hari.  Ini lah esensi kepemimpinan sejati yang mendapat pengakuan paripurna dari rakyat.  
      Oleh sebab itu, sungguh sangat keliru besar bila seorang pemimpin menggunakan ’arogansi kekuasaan’ kepada rakyatnya sendiri, seperti; menyeret rakyat ke ranah hukum dan  memenjarakan, membungkam lawan-lawan politik semata-mata diakibatkan adanya kritisi terhadap pemimpin.  
      Tindakan seperti itu, tentu sangat kontraproduktif dengan esensi kepemimpinan yakni; melindungi, mengayomi, menggembalakan,  mengarahkan, membangkitkan, menggerakkan seperti yang dimaksud Pamuro so mantat sior, parmahan so mantat batahi yang merupakan esensi kepemimpinan berdasarkan kultur budaya Batak Toba.   
      Ketidaksiapan seseorang memangku kekuasaan (pemimpin) membuat kekuasaan pedang bermata dua. Di satu sisi kekuasaan ditujukan mengejar dan merengkuh kesenangan, kenikmatan, kepuasan (hedonisme) pribadi sebesar-besarnya. Di sisi lain seharusnya kekuasaan ialah instrumen pengabdian untuk mendorong percepatan terwujudnya kebahagiaan kolektif.     
  Tjahajono (2002) Victor Frankl mengatakan; kesenangan, kenikmatan, atau kepuasan hanyalah konsekuensi logis dari pemenuhan akan ”makna”, sementara kekuasaan hanyalah ”alat” untuk menemukan dan mendapatkan makna. Karenanya, seseorang yang telah mencapai ”kemanusiaannya” (self fulfilling of values and minings) tidak menggunakan kekuasaannya untuk menindas atau menyakiti orang lain. 
      Tentu saja manifestasi ”menindas atau menyakiti orang lain” harus diartikan secara luas, tidak an sich menyakiti seseorang secara fisik. Menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi, saat tanggung jawab yang dipikulnya berkaitan dengan orang banyak (baik fisik atau psikis) – esensinya sama dengan menindas atau menyakiti.(Tjahjono, Herry, 2002; hal. 127). 
        Ranoh (2006), kepemimpinan adalah kemampuan mempengaruhi orang lain, sehingga orang lain itu bersikap dan berlaku sesuai tujuan pemimpin. Sedangkan otoritas atau kewenangan adalah hak yang menjadi dasar bagi seseorang untuk mengontrol dan memerintah orang lain.
        Jadi, walaupun ada kaitan antara dua konsep ini, tekanan masing-masing berbeda. Kepemimpinan menekankan peran dan fungsi memberi pengaruh; sedangkan otoritas menyangkut dasar dan hak yang absah dan mensyaratkan adanya pengakuan pihak yang mengalami pelaksanaan otoritas itu, baik dalam kerangka tradisi, legalitas, maupun kualitas istimewa individu pemimpin.
      Pembedaan konsep kepemimpinan dan otoritas ini menuntun kepada pengertian kepemimpinan kharismatis, sebagai satu jenis kepemimpinan yang dengannya seseorang melakukan kegiatan memimpin berdasarkan kharisma, serta pengakuan terhadap kharisma itu.
      Bila kepemimpinan ini dilaksanakan dalam hubungan dengan rakyat, menyangkut kehidupan bangsa dan negara, maka jenis ini disebut sebagai kepemimpinan politis kharismatis, kepemimpinan yang diterima rakyat karena pengakuan mereka terhadap kharisma pemimpin dalam bidang politik, baik karena dorongan faktor-faktor empiris, maupun karena kenyataan adanya kharisma pemimpin.   
      Willner, berdasarkan teori Weber merumuskan kepemimpinan kharismatik sebagai relasi antara seorang pemimpin dengan pengikut, dengan empat ciri;
      Pertama, pemimpin diakui memiliki kualitas istimewa, kadang-kadang dianggap superhuman. Kedua, pengikut secara tidak kritis menerima pendapat pemimpin sebagai kebenaran. Ketiga, pengikut memberi ketaatan mutlak kepada pemimpin. Keempat, pengikut memperlihatkan komitmen emosional terhadap pemimpin dan misinya. (Ranoh, Ayub, 2006; hal. 72-73).  
      Disinilah salah satu perbedaan nyata antara kepemimpinan formal dengan kepemimpinan informal. Kepemimpinan formal cenderung didasarkan atas otoritas kekuasaan memaksa dengan berbagai sanksi, sedangkan kepemimpinan informal menekankan peran dan fungsi memberi pengaruh tanpa sanksi-sanksi (Pamuro so mantat sior, parmahan so mantat batahi).    
      Pamuro so mantat sior, parmahan so mantat batahi adalah kepemimpinan kharismatis yang mampu melindungi, mengayomi zonder otoritas memaksa, melainkan mampu mengarahkan, memengaruhi orang lain melalui kualitas kepemimpinan istimewa yang mampu melakukan pendekatan persuasi, serta menanamkan nilai-nilai kesadaran  tentang hak dan kewajiban masing-masing dalam segala segmen kehidupan.  
      Jika setiap orang telah memahami dan menyadari hak dan kewajiban dengan baik dan benar maka secara otomatis tiap-tiap orang akan melaksanakan tugas tanggungjawabnya dengan  baik dan benar. inilah yang sering disebut kesadaran hukum.
      Upaya membangun kesadaran hukum masyarakat merupakan salah satu esensi kepemimpinan yang perlu dilakukan maksimal agar setiap orang menyadari hak dan kewajiban dalam berbangsa dan bernegara.
      Membangun kesadaran hukum (kadarkum) masyarakat tentu memerlukan keteladanan dari seorang pemimpin Pamuro so mantat sior, Parmahan so mantat batahi untuk mengubah pola pikir (mindset) masyarakat tanpa kekerasan, paksaan ataupun sanksi-sanksi (sior atau batahi).     
      Bila seorang pemimpin selalu beraksioma, berikhtiar menciptakan rasa takut melalui tekanan atau intimidasi  maka pemimpin tersebut telah keliru memahami esensi kepemimpinan berdasarkan kultur budaya Pamuro so mantat sior, Parmahan so mantat batahi yang diwariskan leluhur Batak Toba.
      Harian Kompas, 27 Februari 2014, halaman; 5, kolom; 6-7 dengan judul ’Warisan’ Hoegeng Iman Santoso Kepala Kepolisian Republik Indonesia 1968-1971 mengatakan,”Baik menjadi orang penting. Tapi yang lebih penting adalah orang baik”.  
      Prinsip yang diwariskan ’Polisi teladan, teladan polisi” ini telah langka ditemukan pada diri para pemimpin di era edan ini, malah berbuat sebaliknya, berambisi dan berebut jadi orang penting dengan menghalalkan segala cara seperti; politik transaksional, pembodohan, pembohongan, kemunafikan, bahkan kekerasan terhadap rakyat. Para ambisius kedudukan, jabatan atau orang penting ini bukanlah orang-orang negarawan yang memiliki keteladan (baik) ditengah-tengah masyarakat, bahkan maniak jadi orang penting ini sepertinya telah putus urat malu atas noda, noktah yang membalut dirinya. Berbagai tebar pesona, penciteraan diri, pengelabuan, berpurak-purak dermawan dijadikan taktik, strategi dalam perebutan jadi orang penting seperti; pemilihan legislatif, presiden, gubernur, bupati/walikota dan lain-lain sebab mereka ingin memperdaya rakyat yang seharusnya diberdayakan agar pintar, cerdas dalam politik. 
      Harian Kompas, 21 Februari 2014, halaman; 4, kolom; 6-7 dengan judul ’Warisan’  WS Rendra (12 Juli 1975) dalam puisinya berjudul ’Doa untuk Anak Cucu’ mengatakan, ”Rakyat adalah Sumber Ilmu. Di dalam masyarakat: pujangga adalah roh, pemerintah adalah badan Tanpa roh, negara adalah robot Tanpa badan, negara adalah hantu Roh dan badan tak bisa dipisahkan. Keduanya harus saling berimbangan kalah atau menang, itulah irama kematian. Imbang berimbang, itulah irama kehidupan.”
      Sebagai pelindung, pengayom seorang pemimpin harus mampu menciptakan keamanan, kenyamanan dan ketertiban agar seluruh rakyat terlepas dari cengkraman rasa takut. Sebab hanya dalam situasi aman, nyaman dan tenang kreasi, inovasi, karya, karsa cemerlang tumbuh subur ditengah-tengah masyarakat. Artinya, rakyat akan giat berkreasi, berinovasi, berkarya bila tidak dibayangi rasa ketakutan, kecemasan dari tekanan kekuasaan. 
Karena itu, segala bentuk legalitas yang mengekang kebebasan atau mematikan kreativitas harus dihilangkan agar setiap orang tidak dibayangi rasa takut mengembangkan diri seluas-luasnya. 
      Seorang pemimpin Pamuro so mantat sior, Parmahan so mantat batahi tak pernah menjadikan dirinya momok ditakuti, justru sebaliknya, selalu berupaya melakukan pendekatan persuasif serta memosisikan diri sebagai seorang bapak yang  melindungi, mengayomi, mendorong  pertumbuhan kemajuan di segala bidang kehidupan. 
      Dukungan, dorongan pemimpin terhadap rakyat yang dipimpin harus pula dipahami suatu energi besar menumbuhkan rasa percaya diri sekaligus membangkitkan semangat rakyat lebih produktif di segala segmen kehidupan.   
      Pendekatan persuasif serta kepedulian terhadap pihak lain melahirkan rasa segan disertai rasa hormat terhadap seorang pemimpin. Karena itu, sungguh sangat keliru besar bila seorang pemimpin mengharapkan kepatuhan, kepenurutan semata-mata dilandaskan pada perintah, komando dibarengi paksaan ataupun sanksi-sanksi.  
      Sebab, setiap perintah atau komando yang dipaksakan akan menimbulkan rasa takut. Sebaliknya, arahan, ajakan, himbauan yang dilakukan melalui pendekatan kemanusiaan (human approach) seperti, mengetahui, memahami kebutuhan pihak lain akan melahirkan kepatuhan, kepenurutan tulus ikhlas dari kesadaran murni. Misalnya, bila masyarakat telah menyadari bahwa menerobos lampu merah akan mencelakakan dirinya dan orang lain maka dia tidak akan menerobos lampu merah walaupun polisi tidak ada di tempat lampu merah. Tapi, bila masyarakat belum menyadari resiko menerobos lampu merah maka ketika polisi tidak ada di tempat akan menerobos lampu merah, sebab dia belum memiliki kesadaran berlalu lintas yang baik dan benar.    
      Peran pemimpin Pamuro so mantat sior, parmahan so mantat batahi membimbing, mengarahkan, menggerakkan melalui berbagai motivasi dan pemahaman tentang hak dan kewajiban, serta pembumian kesadaran tentang nilai-nilai luhur lainnya sangat dibutuhkan dalam berbangsa dan bernegara. Dan di sini lah peran pemimpin untuk memberi pemahaman tentang hak dan tanggung jawab terhadap rakyat yang merupakan esensi kepemimpinan ditengah-tengah masyarakat, bangsa maupun negara.    
      Kesuksesan atau keberhasilan seorang pemimpin juga sangat dipengaruhi kemampuan pendekatan personal (personal approach) yaitu; kemampuan mengetahui kebutuhan individu-individu, yang tentu saja seorang demi seorang mempunyai kebutuhan, kepentingan berbeda-beda, baik jenis, ragam maupun coraknya.  
      Kemampuan pemimpin mengetahui kebutuhan individu-individu akan  melahirkan pendekatan yang berbeda-beda pula terhadap orang yang dipimpin. Sebab, tipe manusia tidak lah sama satu sama lain seperti peribahasa klasik mengatakan ’rambut sama hitam, hati siapa yang tahu’, sehingga sangat kurang tepat menerapkan satu jenis pendekatan terhadap semua orang secara pukul rata. Hal itu, bukan lah pekerjaan yang mudah dan ringan, tetapi seorang pemimpin yang sukses juga melakukan pendekatan individu (personal approach) untuk mengetahui dan memahami perilaku-perilaku bawahannya secara mendetail.
      Seorang manajer atau pemimpin hebat selalu berupaya mengetahui, memahami karakter yang dipimpin se detail-detailnya. Dengan memahami karakter-karakter itu ia mampu melakukan pendekatan yang tepat dan akurat terhadap setiap individu. 
      Pendekatan individu (personal approach) disertai pendekatan kemanusiaan (human approach) terhadap bawahan menjadikan pemimpin sosok ’kebapaan’ yang mengetahui dan memahami keberadaan bawahan atau rakyat.  
      Pemimpin Pamuro so mantat sior, Parmahan so mantat batahi adalah tipe kepemimpinan yang mengedepankan pendekatan kasih sayang (holong) seperti seorang bapak terhadap anak-anaknya. Kepemimpinannya tidak semata-mata dipandang dari sudut otoritas kekuasaan belaka. Segala sesuatu tidak dilihat dari sudut hitam-putih, benar-salah, melainkan sentuhan kasih sayang untuk mengarahkan, membimbing ke arah positif.     
 Pemimpin Pamuro so mantat sior, Parmahan so mantat batahi lebih mengedepankan sifat-sifat ”kebapaan”, bukan kekuasaan dengan segala otoritas memaksa apalagi menimbulkan rasa takut. Karena itu lah maka disebut so mantat sior, so mantat batahi  yang bermakna tanpa ganjaran atau sanksi  yang dianalogikan dengan anak panah (sior)  atau cambuk (batahi).   
Melaksanakan kepemimpinan tanpa sanksi (sior, batahi) harus diakui merupakan hal yang berat apalagi dalam situasi kekinian munculnya fenomena  semakin tidak takut melakukan tindak pelanggaran hukum sekalipun sanksinya berat. Walau demikian, bukan berarti bahwa kepemimpinan Pamuro so mantat sior, Parmahan so mantat batahi mustahil dilaksanakan ditengah-tengah zaman ’edan’ ini. Sebab, bila diamati serta dicermati seksama ’keedanan’ itu tidak lain dan tidak bukan  adalah merupakan ekses dari kealpaan pemimpin memberi keteladanan ditengah-tengah masyarakat, bangsa maupun negara. 
Berbagai perilaku tak patut melanggar norma-norma kerap dilakukan para pemimpin, seperti; korupsi, kolusi, nepotisme, penyelewengan jabatan, pembohongan publik, serta tindakan kotor lainnya menimbulkan hilangnya keteladan pemimpin di mata rakyat.
Hal itu lah salah satu penyebab utama mengapa timbul perlawanan, pembangkangan sosial ditengah-tengah masyarakat. Penyelenggara negara atau pemerintahan yang seharusnya menegakkan peraturan perundang-undangan justru melakukan penyimpangan, pelanggaran demi keuntungan pribadi, kelompok maupun golongan tertentu. 
Djohan & Milwan (2008), Setiap penyelenggara negara (pemimpin) harus memiliki norma etika, antara lain; ”Berakhlak mulia, tepat janji, jujur, adil, arif, disiplin, taat hukum, tanggung jawab dan akuntabel, sopan santun, kehati-hatian, dan kesetaraan.” (Djohan Djohermansyah & Milwan, 2008; hal. 8.3-8.5).  
Etika penyelenggaraan negara kadangkala diabaikan para pemimpin dalam mengemban kepemimpinannya. Kealpaan itu lah salah satu penyebab utama mengapa seseorang tak mampu memosisikan diri pemimpin Pamuro so mantat sior, Parmahan so mantat batahi. 
Dr. Rustam Effendy Nainggolan, MM, Bupati Tapanuli Utara (1999-2004) yang akrab dikenal RE. Nainggolan, mantan Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Sumatera Utara adalah salah satu contoh pemimpin yang mengimplementasikan Pamuro so mantat sior, Parmahan so mantat batahi selama memangku jabatan kepemimpinan. RE. Nainggolan selalu menyapa para bawahannya dengan sapaan ’amang atau inang’ sehingga dia sosok seorang ’bapak’ bagi bawahannya. 
Sapaan ’amang atau inang’ kepada para bawahan disertai senyum manis menjadikan RE. Nainggolan diberi predikat ”Bupati Senyum’ (Smile Bupati) di kalangan masyarakat Sumatera Utara. Hampir jarang terdengar, terlihat tokoh masyarakat Sumatera Utara ini memarahi atau memberi teguran keras terhadap bawahannya, tetapi memberi keteladan dalam mengemban tugas dan tanggung jawab hingga pensiun dari berbagai jabatan penting di daerah Sumatera Utara.
Karena itu, tidak perlu heran ketika mantan bupati ini meninggalkan institusi para bawahannya seperti kehilangan induk, serta mengucurkan air mata karena ditinggalkan pemimpin Pamuro so mantat sior, Parmahan so mantat batahi ini.
Berbagai kesedihan, keharuan para bawahan ketika pemimpinnya mengakhiri tugas kepemimpinan harus pula dimaknai wujud nyata penghargaan, penghormatan terhadap pemimpin yang mampu memosisikan diri ’bapak’ terhadap bawahan ataupun rakyat yang dipimpin.
Pemimpin Pamuro so mantat sior, Parmahan so mantat batahi memahami paripurna ”Kemarahan raja adalah seperti raung singa muda, tetapi kebaikannya seperti embun yang turun ke atas rumput” (Amsal 19;12), dan ”Siapa lekas naik darah, berlaku bodoh, tetapi orang bijaksana, bersabar” (Amsal 14; 17). ”Orang yang sabar besar pengertiannya, tetapi siapa cepat marah membesarkan kebodohan.” (Amsal 14; 29).
”Untuk mengetahui hikmat dan didikan, untuk mengerti kata-kata yang bermakna, untuk menerima didikan yang menjadikan pandai, serta kebenaran, keadilan dan kejujuran, perkataan dan teka-teki orang bijak, Takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan, tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan.” (Amsal 1:2-7).
”Kebijaksanaan akan memelihara engkau, kepandaian akan menjaga engkau supaya engkau terlepas dari jalan yang jahat, dari orang yang mengucapkan tipu muslihat, dari mereka yang meninggalkan jalan yang lurus dan menempuh jalan yang gelap; yang bersukacita melakukan kejahatan, bersorak-sorak karena tipu muslihat yang jahat, yang berliku-liku jalannya dan yang sesat perilakunya.” (Amsal 2: 11-15).
”Neraca serong adalah kekejian bagi TUHAN, tetapi ia berkenan akan batu timbangan yang tepat. Jikalau keangkuhan tiba, tiba juga cemooh, tetapi hikmat ada pada orang yang rendah hati. Orang yang jujur dipimpin oleh ketulusannya, tetapi pengkhianat dirusak oleh kecurangannya.” (Amsal 11: 1-3).


4.   Siduduk na ginjang, Sibalun na bolak.
Salah satu elemen dasar kepemimpinan menurut kultur budaya Batak Toba ialah kredibilitas, kapasitas, kapabilitas, integritas yang didukung kecerdasan dan kebijakan melekat pada diri seorang pemimpin.  
Kemampuan seperti itu merupakan unsur penting yang harus dimiliki  seorang pemimpin supaya mampu Siduduk na ginjang, sibalun na bolak terhadap orang lain. Untuk menyelesaikan suatu permasalahan tentu diperlukan kemampuan, kecerdasan serta kepiawian dalam menangani berbagai masalah ditengah-tengah kehidupan masyarakat. 
Dengan demikian, eksistensi seorang pemimpin benar-benar menjadi solusi masalah, bukan sebaliknya, justru bagian dari masalah. 
Pengertian Siduduk na ginjang, Sibalun na bolak ialah seorang pemimpin yang mampu mengatasi permasalahan atau persoalan besar diperkecil atau dikurangi, yang luas dipersempit atau di hilangkan. Atau dengan perkataan lain, seorang pemimpin harus mampu menyelesaikan berbagai masalah yang besar diperkecil, yang kecil dihilangkan. Bukan sebaliknya, yang tidak ada diada-adakan, yang kecil dibesar-besarkan, yang besar dijadikan sumber malapetaka pada rakyatnya. 
Seorang pemimpin sungguh sangat tidak pantas dan tepat bila berupaya mencari-cari kelemahan atau kesalahan rakyatnya. Jika ada  pemimpin berlakon seperti itu maka pemimpin tersebut telah melakukan wanprestasi, pengingkaran,  pengkhianatan tentang makna atau esensi sejati kepemimpinan melindungi, mengayomi seluruh rakyat.  
Perilaku, tindakan pemimpin seperti itu sangat berbanding terbalik dengan Siduduk na ginjang, Sibalun na bolak sebagaimana dimaksudkan kultur budaya Batak-Toba yang bermakna seorang pemimpin harus mampu menjadi solusi nyata atas berbagai permasalahan ataupun persoalan ditengah-tengah kehidupan masyarakat, bangsa maupun negara.  
            Sebagaimana telah diuraikan pada Raja urat ni uhum, Namora ihot  ni hosa, bahwa pemimpin (raja) adalah sumber hukum serta penegak kebenaran dan keadilan tentu harus lah ditunjang kemampuan, keunggulan karakter moral, serta kemampuan ekonomi memadai agar mampu menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi rakyat.  
            Aneka ragam permasalahan kehidupan ditengah-tengah masyarakat, bangsa harus mampu diselesaikan dengan arif bijaksana supaya kehadiran seorang pemimpin benar-benar menjadi personifikasi Siduduk na ginjang, sibalun na bolak dalam segala hal.  
            Kemampuan, kepiawian seorang pemimpin memberi solusi permasalahan merupakan esensi sejati kepemimpinan karena tidak semua orang memiliki kemampuan, kecerdasan menyelesaikan aneka ragam permasalahan di tengah-tengah kehidupan masyarakat, bangsa maupun negara                                                                                                                                         
            Di sini lah salah satu peran penting dan strategis kehadiran seorang pemimpin terhadap rakyat. Karena itu, memilih, menentukan, mengangkat seorang pemimpin harus benar-benar mempertimbangkan faktor kredibilitas, kapasitas, kapabilitas, integritas, kecerdasan melalui pelacakan rekam jejak seseorang di masa lalu.
Robbins (2009), ”Prediktor terbaik perilaku seseorang di masa depan ialah perilakunya di masa lalu.”
Esensi kepemimpinan ialah kepercayaan. Sebab, mustahil kita memimpin orang yang tidak memercayai. Oleh sebab itu, seorang pemimpin efektif harus mengetahui bagaimana membingkai isu-isu. Pembingkaian (framing) adalah suatu cara menggunakan bahasa untuk mengelola makna.  
Pembingkaian adalah elemen vital dalam kepemimpinan visioner. Dan ada lima bentuk bahasa dalam membingkai isu yakni; metafora, jargon, kontras, plintiran dan cerita. 
Metafora membantu memahami suatu hal dengan menggunakan istilah yang lain. Metafora bekerja dengan baik manakala standar perbandingan dimengerti dengan baik dan berhubungan secara logis dengan hal yang lain.
Jargon adalah bahasa yang khas bagi profesi, organisasi, atau program spesifik tertentu. Jargon menyampaikan makna akurat hanya kepada mereka yang mengenal bahasa sehari-hari.
Kontras adalah menyoroti suatu subyek dengan pengertian yang berlawanan. Karena, terkadang lebih mudah mengatakan suatu subyek dengan pengertian yang sebaliknya.
Plintiran ialah menempatkan suatu subyek dibawah cahaya positif atau negatif. Pemimpin yang bagus dalam memlintir membuat orang lain menafsirkan kepentingan mereka dalam arti positif dan yang berlawanan dalam arti negatif.
Cerita adalah pembingkaian menggunakan isu-isu sebagai bahan cerita yang bertujuan menjelaskan sesuatu terhadap pihak lain sehingga diketahui sebagaimana mestinya. (Robbins, Stephen P, 2009: Terj; hal. 3-88).
Leluhur Batak Toba juga memahami paripurna bagaimana mendeteksi rekam jejak seseorang melalui tarida do imbo sian soarana, tarida do hau sian parbuena, tarida do gaja sian bogas ni patna, tarida do jolma sian pangalahona. Perilaku masa lalu adalah cerminan karakter di masa depan sebab perilaku adalah suatu proses pembiasaan seperti nasehat para orang tua terhadap anak-anak, misalnya; pa somal-somal ma dirim mangulahon na denggan (biasakanlah dirimu berbuat baik). 
Seorang pemimpin tentu tidak cukup hanya mengandalkan kepintaran, kecerdasan dalam kepemimpinan. Selain kepintaran, kecerdasan seorang pemimpin harus pula bekerja dengan hati sehingga mampu menangkap, menyerap getaran denyut jantung yang dipimpin. 
  Saleh (2009)  Seseorang yang bekerja dengan hati nurani memahami, bahwa Hati ibarat cermin, siapa pun dapat mengetahui dirinya dengan cermin itu. Jika di atas cermin dipenuhi dengan debu, tentu ia sulit untuk menangkap cahaya apalagi memantulkannya. Kalaupun ia dapat memantulkan objek, tentu hasil pantulannya menjadi jelek pula. Itulah hati, jika kita kotori, ia akan memantulkan sikap kejelekan.Namun,di saat kita selalu membersihkannya, ia akan tampak bersih dan bercahaya. Jadilah ia perilaku pemiliknya.
  Hati yang bersih akan mudah menerima cahaya kebenaran, menangkapnya, dan memantulkannya. Itulah hati nurani, hati yang bercahaya. (. Saleh, Muwafik Akh, 2009; hal. 51).    
Siduduk na ginjang, sibalun na bolak adalah suatu karakter kepemimpinan yang mampu memberi solusi permasalahan melalui hati nurani sehingga segala sesuatu tidak semata-mata didasarkan atas perhitungan untung rugi ataupun sudut pandang formalistik belaka.
 Orang yang selalu menggunakan hati nurani bersih untuk memandang ataupun menyelesaikan sesuatu masalah akan mampu memberi solusi arif bijaksana, sebab tidak hanya berpedoman pada legal formalistik, tetapi mempertimbangkan nurani keadilan sehingga segala penyelesaian masalah mencerminkan kebenaran dan keadilan universal.
 Karena itu, pemimpin Siduduk na ginjang, sibalun na bolak ialah seorang pemimpin memiliki kepintaran, kecerdasan, kebijakan, kebajikan, serta hati nurani sehingga mampu menerima cahaya kebenaran, menangkapnya, dan memantulkannya melalui program-program keberpihakan terhadap kepentingan publik, serta mengandung kebenaran dan keadilan, tanpa kecuali.  
Ahmad Syafii Ma’arif dalam artikelnya berjudul ’Waktu dan Masalah Kedaulatan’ di Harian Kompas, 4 Februari 2014 sangat menarik digunakan untuk menganalisis esensi kepemimpinan saat ini. 
Ahmad Syafii Maarif mempertanyakan; Mengapa kemunculan seorang Tri Rismaharini (Walikota Surabaya) atau seorang Joko Widodo (mantan Walikota Solo sekarang Gubernur DKI Jakarta) demikian fenomenal dan memikat perhatian publik secara luas ?
Jawabannya sederhana tanpa memerlukan banyak teori: karena keduanya dinilai memberikan contoh sebagai pemimpin yang prorakyat dan menjalankan tugas dengan bahasa hati. Setidak-tidaknya demikianlah kesan publik terhadap keduanya sampai hari ini.
Terpaku dan terpukaunya mata publik terhadap kedua tokoh itu tidaklah terlalu mengherankan. Bukankah ratusan pejabat publik yang lain di seluruh Nusantara lebih banyak disibukkan dengan urusan politik kekuasaan, di samping memikirkan bagaimana cara melunasi utang dana kampanye yang bisa menelan miliaran rupiah ? Termasuk janji-janji mereka kepada cukong yang mahir ”berjudi” dalam mendukung politisi yang sedang bersaing demi melebarkan sayap bisnis mereka, jika pihak yang didukung memenangi persaingan.
Dalam suasana perlombaan terhadap kekuasaan yang sedang berjalan sekarang, kesetiaan pada idealisme sudah lama menguap ke langit tinggi.  Maka, jika tuan dan puan sudah bosan dengan politik, itu masuk akal. Akan tetapi, larut dalam kebosanan sangat berbahaya karena bisa melumpuhkan perjalanan bangsa yang sebenarnya ingin menegakkan sistem demokrasi yang sehat dan kuat.
Manusia, di mana pun di muka bumi, tidak mungkin terhindar dari pusaran politik. Tugas kita sebagai rakyat adalah berupaya dalam batas kemampuan kita masing-masing agar politik itu dijadikan kendaraan untuk kepentingan orang banyak, bukan untuk mengorbankan mereka. 
Politik yang mengorbankan rakyat banyak adalah jenis politik kumuh dan biadab. Sebaliknya, politik yang bersih dan beradab pasti bertujuan mulia membela kepentingan yang lebih besar, jauh melampaui parameter hitung-hitungan untung-rugi jangka pendek.
Apa yang disampaikan Bung Karno dalam pidato ”Nawaksara” pada saat kekuasaannya sedang berada di ujung tanduk pada 22 Juni 1960 patut dicermati. ”Berdaulat dan bebas dalam politik, berkepribadian dalam kebudayaan, dan berdikari dalam ekonomi”. Semua ranah itu kini berada di tikungan sejarah dan dibawah ancaman  asing atau agen domestiknya, sehingga bangsa dan negara ini nyaris kehilangan kedaulatan, kepribadian, dan kemandirian dalam makna yang sejati.” 
Pertanyaan mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah itu tentu saja didasarkan atas fenomena ambisi berkuasa atau munculnya pemimpin zonder  kredibilitas, kapasitas, kapabilitas, serta integritas untuk memimpin.
 Belakangan ini,  banyak muncul sosok-sosok ’pemimpi’ bukan pemimpin sehingga kehadiran mereka bukan solusi masalah, malah menjadi  bahagian masalah. 
Padahal, menurut kultur budaya Batak Toba esensi kepemimpinan adalah Siduduk na ginjang, sibalun na bolak yakni; menyelesaikan aneka masalah, baik berskala kecil maupun besar ditengah-tengah kehidupan rakyat. 
Ada lagi ungkapan Batak Toba Parorot so manggotili, Parmeme so mambonduti yakni; seseorang penggendong atau pengasuh tidak mencubiti, pemberi makan tak memakani. Bukan seperti para pemimpin belakangan ini yang kerap merampas atau merampok hak-hak rakyat demi keuntungan pribadi, kelompok ataupun golongannya. 
Pemimpin Siduduk na ginjang, Sibalun na bolak mengetahui, mengerti, memahami kearifan budaya Batak Toba mengatakan, ”Ndang jadi panganon sian balik ni rere” yang bermakna tidak boleh memakan atau mengambil bukan hak, seperti melakukan tindakan korupsi. Karena,  tindak pidana korupsi dikategorikan tindak kejahatan kemanusiaan, musuh yang harus dipernagi atau dimusnahkan  seluruh insan beradab di atas bumi ini.     
Karena itu, tak perlu heran apabila para pemimpin tak prorakyat selalu memerlukan atau mengutamakan aneka protokoler ketat karena dirinya tak pernah lepas dari bayang-bayang ketakutan atas kekeliruan dan kesalahan yang diperbuat. Sebaliknya, para pemimpin prorakyat yang mampu mendengarkan, menangkap, serta menjabarkan kehendak rakyat tak pernah takut berhadapan dengan rakyat karena mereka mengabdi demi kepentingan rakyat sehingga pantas dan layak disebut, Siduduk na ginjang, sibalun na bolak.  
Mudyono (2010) Seratus panduan bagi pemimpin di Indonesia, bahwa salah satu yang perlu dimiliki seorang pemimpin ialah harus berani mengambil resiko.
Pada saat tertentu seorang pemimpin akan menghadapi pilihan yang sulit, mereka diuji untuk berani mengambil tindakan yang tepat dengan keyakinan tinggi. Bila tindakan itu gagal, seorang pemimpin harus berani mengambil resiko, jangan lari dari tanggung jawab, apalagi mencari kambing hitam.
Karena itu, pantangan seorang pemimpin ialah; dilarang merasa puas karena diri sendiri, jangan bangga karena keturunan, dilarang mempunyai hobby mencela (cemooh), dilarang senda gurau dan olok-olok berlebihan, dilarang mungkir dan dendam. (Mudyono H , 2010; hal. 147-172).     
Siduduk na ginjang, Sibalun na bolak harus juga dimaknai bahwa  seorang pemimpin harus mampu memosisikan diri sebagai bapak melindungi, mengayomi seluruh rakyat, tanpa kecuali.   
5   Parsipitu Lili.
Ungkapan Parsipitu Lili dianologikan dari kemahiran seseorang bertenun. Seseorang dikatakan mahir dalam bertenun bila sudah mampu menggunakan tujuh lidi (pitu lili) untuk menenun ulos pinunsaan. Jalur benang ulos Pinunsaan  banyak dan rumit sehingga seorang penenun harus mampu mengingat jenis benang serta jalur-jalurnya supaya ulos yang ditenun itu rapi dan cantik serta  bermutu tinggi.  
Pada hakekatnya seorang pemimpin juga harus memiliki kualitas istimewa  jika dibandingkan dengan yang dipimpin. Sebab apabila seorang pemimpin tidak memiliki keunggulan dari yang dipimpin maka eksistensinya akan diragukan  memberi solusi atas permasalahan yang ada. 
Seorang pemimpin juga harus memiliki kepintaran, kecerdasan, kejenialan di atas kemampuan yang dipimpin sehingga pantas disebut orang nomor satu. Bila tidak demikian, kepatuhan serta penurutan terhadap pemimpin akan rendah, bahkan tak ada sama sekali. Dan pengaruhnya pun ditengah-tengah rakyat tak tampak sama sekali.
Kondisi demikian tentu tidak menguntungkan pada diri seorang pemimpin sebab keberadaannya tidak dipandang penting  ditengah-tengah masyarakat, bangsa maupun negara. Inilah salah satu faktor penyebab mengapa kepemimpinan tidak efektif memberi solusi permasalahan yang  sering disebut absen di ruang publik.   
Secara de jure pemimpin ada, tapi secara de facto tak ada sama sekali. Sebab tak mampu memberi solusi nyata terhadap permasalahan publik. Untuk itu, seorang pemimpin harus lah memiliki kriteria cerdas, jujur, berani, tegas, konsisten, konsekuen, obyektif, akuntabel serta berintegritas sebagai syarat utama  pemimpin Parsipitu Lili yakni; memiliki keunggulan, kecerdasan serta keistimewaan dibandingkan orang lain.   
Sungguh menarik artikel Ikrar Nusa Bhakti berjudul ’ Membaca Pikiran Megawati’ di Harian Kompas, 5 Februari 2014 yang mengutip kata-kata puitis Mata Najwa di Metro TV 22 Januari 2014, ”Megawati adalah lembar tak terbuka diiringi diam dan hemat kata. Semakin keputusan dinanti, semakin akhir kata terang biasanya didapati. Orang-orang belajar dari sikapnya, lebih banyak dari perkataan dan retorikanya. Cukup lama dia geming membatu, menyindir kekuasaan yang penuh ragu. Visinya tak selalu mudah dimengerti, gagasannya lebur di dalam aksi partai. Megawati hidup di era kesaksian, bukan pengumbar jurus pencitraan. Di kala partai ramai-ramai berkoalisi, Megawati sedikit dari yang tak terbeli. Kini keputusan Megawati dinanti, apakah akan maju kembali atau mengucap permisi.”
Mega memang sosok pribadi yang tegas dan selalu melangkah dalam perhitungan politik yang sulit ditebak. Ia bicara dan bertindak sesuai dengan hati nuraninya, bukan karena perhitungan politiknya semata, melainkan juga didukung oleh pengalaman-pengalaman politiknya yang kelam di masa lalu. 
Mega tentunya tak akan pernah lupa isi surat wasiat yang ditulis Bung Karno di tahanan rumah di Wisma Yaso (kini Museum Tentara Nasional Indonesia Satria Mandala, Jakarta), Februari 1970. Bunyinya: ”Anakku, simpan segala yang kau tahu, Jangan ceritakan deritaku dan sakitku kepada rakyat, biarlah aku yang menjadi korban asal Indonesia tetap bersatu. Ini kulakukan demi kesatuan, persatuan, keutuhan, dan kejayaan bangsa.
Jadikanlah deritaku ini sebagai kesaksian bahwa kekuasaan seseorang Presiden ada batasnya karena kekuasaan yang langgeng hanyalah kekuasaan rakyat dan di atas segalanya adalah kekuasaan Tuhan yang Maha Esa.”
Ketika tak sedikit lembaga survei menyatakan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) menduduki peringkat teratas sebagai bakal capres pilihan rakyat, Mega tetap bergeming. Demokrasi bukan hanya hitungan angka, melainkan juga memilih pemimpin yang berkarakter kebangsaan. Bagi Mega, tampaknya memilih presiden bukan seperti memilih bintang sinetron atau penyanyi pilihan pemirsa televisi.
Seorang pemimpin bangsa yang berkarakter bukan saja memiliki hati nurani, mampu menggerakkan rakyat untuk Indonesia Raya, mau bekerja keras untuk rakyat, mau dekat dengan rakyat, melainkan juga harus memiliki ideologi nasionalisme yang kuat dan paham betul Trisakti-nya Bung Karno (berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian bangsa).
Mega juga sadar 2014 adalah tahun penentuan bagi masa depan bangsa Indonesia apakah kita mampu menyatukan langkah untuk Indonesia Raya atau kita akan tetap menjadi ”Bangsa Kuli” yang sebagian elite politik dan pengusahanya menjadi komprador asing.”
Keunggulan istimewa seorang pemimpin dengan berbagai karya-karya monumental menjadikan dirinya kekal abadi di mata rakyat, bahkan dunia internasional sebagaimana ditunjukkan pemimpin-pemimpin besar yang mampu mengubah wajah dunia.
Mereka adalah pemimpin-pemimpin fenomenal yang memiliki keunggulan istimewa atau Parsipitu Lili sehingga pantas menyandang predikat nomor satu di berbagai level kepemimpinan yang dipangku. Mereka bukanlah sekadar simbol atau boneka, tetapi benar-benar memiliki kompetensi seorang pemimpin pengambil keputusan (decation maker) yang cerdas dan handal. 
Bukankah sangat menggelikan sekaligus memalukan bila seseorang menyandang predikat nomor satu atau pemimpin tetapi tidak memiliki keunggulan istimewa dibandingkan orang lain atau yang dipimpin. Dan hampir dapat dipastikan bahwa kepemimpinan seperti itu tidak akan efektif dan berhasil maksimal.  
 As (1998), peran pemimpin tangguh negarawan dan pemikir besar sangat menentukan dalam proses membangun suatu bangsa atau negeri menjadi kuat dan disegani oleh bangsa atau negeri lain. Keberhasilan dan kegagalan dari satu perjuangan bangsa, absolut tidak dapat dipertanggung jawabkan kepada rakyat bangsa bersangkutan. 
Keberhasilan dan kegagalan satu perjuangan bangsa adalah tergantung jenialitas dan kebijakan sangat tinggi yang dimiliki oleh pemimpin bangsa tersebut. Pemimpin demikian adalah pemimpin yang sangat tangguh dan tegar, yang mana menghentikan gerakan yang diyakininya dan memang benar untuk kebesaran bangsanya menjadi mustahil sebagaimana mustahilnya menghentikan gerakan matahari.” (AS, Fajar,1998; hal. 43).   
Karena itu pula lah Bedell Smith mengatakan, ”Tidak ada alasan untuk menyesali peluang yang hilang... juga untuk mencoba mencari alibi buat menutupi kegagalan-kegagalan masa lalu.” (Weiner Tim, 2008; hal. 77). 
Pemimpin Parsipitu Lili memiliki kepintaran, kecerdasan, kejenialan, keberanian, keperkasaan, kecermatan, kecekatan, konsistensi, konsekuensi, serta prediksi (forcasting) jitu di atas rata-rata orang lain sehingga mampu mendeteksi, memproteksi, mengatasi, menyelesaikan aneka permasalahan yang dihadapi rakyat.  
Dalam situasi demikianlah esensi kepemimpinan atau kehadiran seorang pemimpin  terasa nyata di ruang publik. Sebab tidak semua orang mampu memberi solusi permasalahan dengan arif bijaksana dan dalam situasi seperti itulah diperlukan kehadiran seorang pemimpin untuk memberi solusi kebuntuan.
Pada komunitas Batak Toba memilih dan/atau mengangkat pemimpin tidak selalu didasarkan pada senioritas dalam keluarga, kerabat (trah), melainkan atas kredibilitas, kapasitas, kapabilitas, integritas, serta kompetensi.
 Hal itu, dapat dibuktikan dari ungkapan Batak Toba mengatakan, ”Siahaan di partubu, Sianggian di harajaon”, maksudnya adalah seorang pemimpin ditinjau dari hirarkhi Silsilah atau Tarombo  bukan dari keturunan paling sulung, melainkan keturunan paling bungsu dalam keluarga, kerabat bersangkutan.  
Batak Toba juga mengatakan, Anak na olo tu jolo do sibulang-bulangan  yang bermakna bahwa anak yang mau tampil kedepan (pemimpin) yang pantas di dukung dan di daulat. Sebab, ada juga orang Di togu tu halangulu, sai runsur tu talaga yaitu, orang yang di daulat ke posisi terhormat, malah memilih posisi tak terhormat. 
Pemimpin Parsipitu Lili ialah seorang pemimpin yang memiliki kepintaran, kecerdasan, kejenialan dalam memecahkan masalah (problem solving) dengan arif bijaksana melebihi kemampuan orang lain.
Sejarah Alkitab mencatat pemimpin Parsipitu Lili ialah Raja Salomo yang memiliki kepintaran, kecerdasan, kejenialan luar biasa sehingga raja-raja negeri lain datang berguru kepadanya. Bahkan ada pula dari raja-raja tersebut rela menjadi istrinya sangkin kagum dan terpukau melihat kehebatan, keluarbiasaan Raja Salomo. 
Pemimpin Parsipitu Lili sangat dikagumi, disegani ditengah-tengah masyarakat, bangsa maupun negara, bahkan bangsa-bangsa lain di dunia. Dan bangsa yang memiliki pemimpin Parsipitu Lili  sangat di segani oleh bangsa-bangsa lain.
Bangsa Indonesia ketika dipimpin Soekarno atau Bung Karno menyandang predikat  ”Macan Asia” karena Bung Karno memiliki kepintaran, kecerdasan, kejenialan luar biasa mengubah arah percaturan politik dunia dengan mendirikan Konfrensi Asia Afrika yang menjadi tandingan kekuatan politik Blok Barat dan Blok Timur ketika itu.
Kecerdasan dan kejenialan memainkan kartu-kartu politik menjadikan Bung Karno dijuluki ”Singa Asia” yang sangat dikagumi, disegani seluruh bangsa-bangsa di dunia. Akan tetapi, pada era belakangan ini syarat kepemimpinan berdasarkan kultur budaya Batak Toba  Parsipitu Lili tidak begitu dipertimbangkan lagi dalam memilih dan menghadirkan seorang pemimpin. Karena telah terjebak pada kekuatan kapital atau politik transaksional tanpa dibarengi kemampuan Parsipitu Lili sehingga kerap muncul pemimpin bukan solusi masalah, melainkan bahagian dari masalah.
  Salah satu contoh, bila seseorang pemimpin gemar melakukan pelanggaran hukum serta norma-norma sosial, bagaimana mungkin diharapkan menegakkan kebenaran, keadilan serta norma-norma sosial ditengah-tengah kehidupan masyarakat. Demikian pula, bila seseorang pemimpin tak memiliki kemampuan menyelesaikan masalah diminta untuk menyelesaikannya maka sudah hampir dapat dipastikan tidak akan mampu memberi solusi arif bijaksana. Malah bisa menambah kerumitan, keruwetan semakin luas.
Lihatlah betapa cerdas, jenialnya Ir. Soekarno atau Bung Karno memandang kebangsaan, keindonesiaan yang didalamnya keragaman, kemajemukan suku, agama kepercayaan, bahasa, daerah maupun golongan.
Harian Kompas, 11 Februari 2014, halaman; 4, kolom;6-7 dengan judul ’Warisan’  Soekarno (10 November 1956) mengatakan, ”Negara Proklamasi (Indonesia) itu bukan negara kelas, bukan milik satu golongan, melainkan adalah negara kita bersama, dibangunkan dan dibela oleh kita bersama, dan sebab itu adalah milik kita bersama pula, milik seluruh bangsa. Negara kita bukan negara feodal, bukan negara kapitalis, bukan negara proletar. Negara kita adalah negara milik seluruh rakyat dan tujuannya pun karena itu tidak boleh tidak haruslah keselamatan dan kesejahteraan seluruh rakyat.” 
Demikian juga KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur memandang pluralisme kebangsaan, keindonesiaan itu secara cerdas dan jenial.
Harian Kompas, 10 Februari 2014, halaman; 4, kolom; 6-7 dengan judul ’Warisan’ KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur,  ”Di dalam masyarakat yang isinya beragam, suara mayoritas yang menentukan keputusan bersama. Pendapat mayoritas harus diakui dan ditaati, tetapi harus ada pembatas terhadap kemauan mayoritas. Jika ingin ada demokrasi, maka batas itu adalah sejauhmana kemauan mayoritas tidak melanggar hak minoritas dan meniadakan eksistensi yang kecil.”   

Sebab, harus dipahami paripurna, bahwa kebangsaan dan keindonesiaan itu adalah cara pandang utuh dan bulat terhadap segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia sejak dari Sabang hingga ke Merauke.
Kecerdasan, kejenialan memahami kebangsaan dan keindonesiaan secara paripurna merupakan salah satu syarat utama pemimpin bangsa, dan pemimpin seperti itulah yang pantas dan layak disebut pemimpin Parsipitu Lili.
Simangungsong & Sinuraya (2004) Bumi Nusantara yang terbentang dari 6 derajat Lintang Utara sampai 11 Lintang Selatan dan 92 derajat sampai 142 derajat Bujur Timur, terdiri dari perairan seluas 5,8 juta Km2 dan daratan 1,9 juta Km2, yang terdiri dari 17.508 lebih pulau besar dan kecil, ± 1.068 suku bangsa, ± 665 bahasa daerah. Garis pantai sepanjang 81.000 Km2, terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Indonesia memiliki perairan darat seluas 54 juta hektar, yang terdiri dari 40 juta hektar rawa, 12 juta hektar sungai dan 2 juta hektar danau, juga memiliki 50 buah selat dan 64 buah teluk, keaneka ragaman sumber daya alam perikanan, yang tidak kurang dari 7.000 species ikan terdapat didalamnya.
Itulah sebabnya William Dunn lebih jauh mengingatkan bahwa walaupun rumusan masalah sudah benar, maka belum tentu rumusan pemecahannya benar. Tetapi kalau rumusan masalahnya salah, maka upaya apapun yang dilakukan tetap sia-sia dan tidak mencapai tujuannya, maka akibatnya muncul masalah baru bertumpuk ke masalah lama dan pemecahannya menjadi jauh lebih sulit.” (Simangunsong Bonar & Sinuraya Daulat, 2004; hal. 33). 
Putera-putera Batak-Toba pemimpin Parsipitu Lili seperti disebutkan Fajar As, Intelektual, Cendikiawan, penulis 165 judul buku, diantaranya; Dr. Mangara Tambunan (pernah menjadi Presiden NKRI/Pendiri Partindo), Letjend. TB. Simatupang Pendiri Angkatan Perang/Penasehat Militer Konferensi Meja Bundar/Ketua Dewan Gereja Indonesia (DGI), Dr. Ferdinad Lumban Tobing, Gubernur Militer Tapanuli/Menteri Negara Antar Daerah, Prof. DR. TD Pardede, dan lain-lain.   
6  Hariara na Bolon.
            Hariara na bolon adalah sejenis pohon beringin besar yang ditanam  dekat perkampungan (huta) pada zaman dahulu. Dan dibawah pohon hariara inilah biasanya tempat berkumpul (partungkoan) para penetua (natuatua), raja-raja adat membicarakan  berbagai hal-ikhwal tentang adat budaya maupun permasalahan yang terjadi ditengah-tengah masyarakat.  
            Pohon hariara adalah sejenis pohon besar, kuat, rindang dan sejuk  sehingga sangat enak untuk tempat berteduh apabila matahari terik. Pohon hariara juga salah satu jenis pohon kuat, sehingga walau angin kencang menerpa, batang, ranting, bahkan daunnya tidak mudah patah, gugur ataupun tumbang.  Itulah sebabnya, para penetua (natua-tua), raja-raja adat menjadikan  Hariara na bolon tempat berlindung ketika sinar matahari menyengat. 
            Hariara na bolon dianologikan kepada seorang pemimpin (raja) yang mampu melindungi, mengayomi, memberi rasa aman terhadap seluruh rakyat. 
            Siahaan (1936; hal. 14) ”Hariara na bolon, pangunsandean sihorsihor; Raja na godang pangidoan uhum na tigor.” Maksudnya adalah Hariara na bolon bisa tempat sandaran apapun, demikian juga seorang pemimpin bisa sandaran, tempat mengadu berbagai permasalahan, serta mampu memberi, menegakkan kebenaran dan keadilan atas berbagai hal-ikhwal yang disampaikan kepadanya.   
            Analogi Hariara na bolon, pangunsandean sihorsihor menunjukkan bahwa menurut kultur budaya Batak Toba seorang pemimpin (raja) harus memiliki kemampuan melindungi, mengayomi seluruh rakyat yang dipimpin. Dengan demikian, keamanan, ketertiban, kenyamanan, ketentraman seluruh rakyat bisa terwujud.
Seorang pemimpin harus kuat, berani, tegas, konsisten, konsekuen, obyektif dalam menjalankan kepemimpinannya, tidak boleh ragu, bimbang apalagi dibayangi rasa takut dalam mengambil sesuatu keputusan.
Pemimpin seperti inilah yang mendapat apresiasi, atensi dan dukungan kuat ditengah-tengah masyarakat, bangsa.    
            Menurut kultur budaya Batak Toba seorang pemimpin adalah pelindung, pengayom terhadap seluruh rakyat. Bukan seperti para pemimpin belakangan ini yang suka curhat, merengek, memelas kepada rakyat bila mendapat kritisi dari pihak-pihak lain.
Padahal, bila seorang pemimpin curhat, memelas, merengek, mengadu kepada rakyatnya adalah salah satu cerminan ketidakdewasaan pemimpin yang bersangkutan. Sebab, esensi kepemimpinan menurut kultur budaya Batak Toba adalah Hariara na bolon, pangunsandean sihorsihor; Raja na godang pangidoan uhum na tigor. Bagaimana seorang pemimpin disebut pelindung, pengayom, labuhan bertanya jika dirinya pun masih memelas, miminta perlindungan,  pembelaan dari pihak lain. Bukankah lebih tepat dan pantas pemimpin seperti ini disebut orang belum dewasa dan belum layak mengemban tugas pemimpin  karena belum mampu menunjukkan tanggung jawab pada dirinya. 
Acep Iwan Saidi, Ketua Forum Studi Kebudayaan ITB dalam Artikelnya berjudul ’Nasib Presiden’ di Harian Kompas, 27 Februari 2014 yang merupakan kritisi terhadap buku ’Selalu Ada Pilihan’  karya Susilo Bambang Yudoyono, mengatakan, ”Seorang presiden – predikat yang meniscayakan dirinya sebagai negarawan – semestinya tidak menyikapi hal yang terburuk pada dirinya sebagai ”fitnah”, misalnya. Jika sesuatu yang serupa menimpa rakyat atau bangsanya, barulah hal itu bisa dirasakan sebagai fitnah oleh presidennya. SBY memang manusia biasa, tapi Presiden SBY bukan. Ia subyek utama bangsa. Sebab itu, mau tak mau, suka tak suka, ia harus jadi tidak biasa.
Bukankah begitu pemimpin sejati dipilih sejarah. Ketika pisau bermata dua ditusukkan Abu Lu’lu’ah ke perut Umar bin Khatab, pemimpin besar ini berkata, ”Itu bagian dari titah Tuhan”, bukan buah kedengkian manusia. Umar pun melarang membunuh si penusuknya. Khalifah ini bahkan menyuruh wudu, shalat, dan ibadah haji kepada orang yang telah berucap akan membunuh Lu’lu’ah, jika Umar menghendakinya. Umar sadar betul: takdir menjadi pemimpin besar sering buruk secara fisik, tapi itu resiko yang mesti diambil. Maka, demikianlah pula Gandhi ditembak, dan Soekarno dikucilkan diakhir kehidupannya. Bukalah riwayatnya, bukankah tidak ada keluhan dari mereka ? Mereka menyerahkan kepada sejarah untuk mengambil alih jawabannya.” 
Demikian juga ketika Paus Johannes Paulus II ditembak seorang pemuda, dia tidak membenci, menuruh di hukum, tetapi justru dia menyambangi pemuda yang menembak dirinya, tanpa kebencian.
Inilah karakter kepribadian seorang pemimpin ”Hariara na bolon pangunsandean sihor-sihor; Raja na godang pingidoan uhum na tigor”.
Seorang pemimpin pantas disebut ”Hariara na bolon” atau orang nomor satu, apakah presiden, gubernur, bupati/walikota atau apapun namanya bila dia mampu memberi perlindungan terhadap seluruh rakyatnya, tanpa kecuali.  
            Caporrimo (2006) ”Kedewasaan adalah kesadaran akan kasih, tanggung jawab, pemahaman nilai dan kemampuan mengevaluasi serta bersikap tegas”.
            Orang yang dewasa menerima perhatian melalui jati dirinya dan pemberiannya, bukan melalui tuntutannya. Jika tuntutan akan perhatian atau dominasi menjadi dasar suatu hubungan, hal itu pasti disebabkan adanya ketidakdewasaan. 
            Kedewasaan dimulai dengan kesadaran dan pengetahuan. Anda harus menyadari seluruh dunia dan diri Anda sendiri. Sungguh baik jika seorang bisa menemukan bidang baru ketidaktahuannya dan melanjutkan dengan menyelidiki hal itu lebih mendalam, sebab mendalami sesuatu itu sungguh-sungguh memberi pahala. Kesadaran itu seperti indra, seperti mata atau telinga.
Jika Anda memiliki kesadaran akan kasih, Anda mampu bersikap obyektif dan menjadi bagian dari solusi atas persoalan itu. Jika Anda memberi simpati dan bukan kasih terhadapnya dan bukannya membantu menyelesaikan persoalan itu. Anda menjadi partisipan didalamnya.”(Caporrimo, Bruno, 2006; hal. 136-138).  
Apakah tidak keliru besar, bila seorang pemimpin (raja) memelas, curhat, merengek, mengadu kepada rakyat ketika dirinya dikritisi pihak lain ataupun yang dipimpin? Tetapi fakta berbicara bahwa banyak juga yang menyatakan dirinya pemimpin justru meminta serta memelas perlindungan kepada rakyatnya ketika mendapat kritikan dari pihak lain. Bukankah rakyat yang seharusnya meminta perlindungan kepada pemimpin (raja) apabila mendapat ancaman, tekanan, serta ketidakadilan dari pihak lain ? Inilah salah satu kekeliruan besar memilih atau menentukan seorang pemimpin yang sangat kontroversial dari kultur budaya Batak Toba yakni; ”Hariara na bolon, pangunsandean sihorsihor; Raja na godang pangidoan uhum na tigor”.
            Apakah pantas seseorang yang memiliki sifat ketidakdewasaan (kekanak-kanakan) dipilih atau di daulat menjadi seorang pemimpin ? Kepribadian seperti itu sangat sulit diharapkan memberi perlindungan, pengayoman terhadap pihak lain. Sebab, dia sendiri pun belum mampu memberi perlindungan diri ketika  mendapat kritikan dari pihak lain, konon lagi melindungi, mengayomi orang lain.
            Harian Kompas, 13 Februari 2014 halaman; 4, kolom; 6-7 dengan judul ’Warisan’  Dokter Sutomo dihadapan polisi-polisi Belanda tahun 1928 berkata, ”Lagu ’Indonesia Raya’ akan dinyanyikan,  Semua hadirin berdiri. Yang tidak berdiri adalah kerbau.”
            Harian Kompas, 19 Februari 2014, halaman; 4, kolom; 6-7 dengan judul ’Warisan’ Soe Hok Gie, ”Memang karena disiplin, kita bersedia untuk menderita..., tetapi to the last point, apakah ABRI akan memihak rakyat yang menderita dan bersedia menunjukkan ujung bayonetnya kepada koruptor dan kalau perlu dengan pemerintah yang korup ?.
            Pemimpin-pemimpin pemberani ini adalah ”Hariara na bolon” yang tidak takut terhadap resiko apapun, dari siapa pun menegakkan kebenaran dan keadilan. Mereka mau mengorbankan harta, bahkan nyawa untuk membela rakyat, bangsa maupun negaranya. Berani mengambil resiko untuk melindungi, mengayomi rakyat adalah kepribadian dewasa dan negarawan. Bukan seperti pemimpi-pemimpi di negeri ini yang tipis kuping dan paranoid jika dikritik rakyatnya. Mereka tidaklah seorang pemimpin ”Hariara na bolon”, tapi pemimpi besar yang sangat tidak pantas dan layak disebut seorang pemimpin.   
Turnip (2009), Baron (2000) ”kepribadian atau personality umumnya menunjukkan pola sikap dan perilaku, pikiran serta emosi yang diperlihatkan seseorang. Keyakinan diri (self efficacy)  dapat menggambarkan kepribadian seseorang. Bandura (1997)menyebut bahwa keyakinan diri (self efficacy) merupakan salah satu faktor dari kepribadian. Dalam satu penelitian Bandura dan Locke (2003) menyebut bahwa self efficacy berpengaruh secara signifikan terhadap motivasi kerja.” (  Turnip, Kaiman, 2009; hal. 97).  
            Hariara na bolon, Raja na godang adalah cerminan karakter mental seorang pemimpin yang memiliki kecerdasan, ketegasan, keberanian, kredibilitas, kapabilitas, kapasitas, soliditas,  serta integritas kepribadian yang mampu memberi perlindungan, pengayoman terhadap rakyat. 
            Sifat dan sikap ragu-ragu, bimbang, tak percaya diri menegakkan kebenaran dan keadilan, bertindak subyektif adalah salah satu faktor kegagalan seorang pemimpin mampu memosisikan diri pelindung, pengayom terhadap  pihak lain, tanpa kecuali. Dan di sini lah salah satu kekeliruan besar seorang pemimpin publik yang belum mampu melepaskan diri dari kepentingan subyektif sehingga kehadirannya sebagai seorang pemimpin bukan milik publik, tetapi hanya lah milik kelompok atau golongan tertentu.
            Pemimpin seperti itu telah mengkhianati esksistensinya sebagai pemimpin publik yang berperan dan berfungsi melindungi, mengayomi seluruh rakyat, tanpa kecuali.
Seorang pemimpin tidak boleh membeda-bedakan yang dipimpin (rakyat) walau dengan alasan apapun sebab dirinya pelindung dan pengayom seluruh rakyat  agar tercipta keamanan, kenyamanan, ketertiban, ketentraman ditengah-tengah kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.   
            Seorang pemimpin tidak boleh sekali-sekali berlaku diskriminatif dalam menjalankan kepemimpinannya karena hal itu berpotensi menimbulkan kecemburuan sosial ditengah-tengah masyarakat.  
McChain & Salter (2009) Nelson Mandela percaya ”tidak seorang pun lahir dalam keadaan membenci orang lain karena warna kulit, atau latar belakang, atau agamanya. Orang belajar membenci, dan jika mereka bisa belajar membenci; mereka juga bisa diajar untuk mencintai, karena cinta datang lebih alami ke hati manusia daripada lawannya.”
Ia sungguh-sungguh percaya bahwa cinta adalah kondisi alami dari hati, bahwa kebencian merupakan beban yang sama beratnya bagi yang membenci maupun yang dibenci.
”Saya telah berjuang melawan dominasi kulit putih, dan saya telah berjuang melawan dominasi kulit hitam. Saya telah menghormati cita-cita sebuah masyarakat demokratis dan bebas tempat semua orang bisa hidup bersama dalam keselarasan dan kesempatan yang setara. Ini merupakan cita-cita yang ingin saya hidupi dan capai. Tetapi jika perlu, ini juga merupakan sebuah cita-cita yang saya siap mati untuk mencapainya.”( McChain John & Salter Mark, 2009; hal. 243-248). 
Akan tetapi, tindakan diskriminatif sadar atau tidak sering diperlihatkan atau dilakonkan pemimpin publik dalam menjalankan kepemimpinannya. Hal inilah salah satu penyebab mengapa seorang pemimpin tidak bisa diterima atau diakui publik seluas-luasnya.
            Harus disadari bahwa esensi kepemimpinan ialah melindungi, mengayomi supaya tercipta rasa aman, nyaman ditengah-tengah kehidupan masyarakat, bangsa. Dalam keadaan demikianlah peran pemimpin  tampak dengan nyata. Sebab bila pemimpin tidak mampu memberi rasa aman, nyaman terhadap rakyat maka kehadirannya di ruang publik tidak ada sama sekali.
Munandar (2008) Kaisar Hirohito, ”Menjaga kesejahteraan dan kebahagiaan semua bangsa, serta memerhatikan keamanan dan kebaikan rakyat kami, merupakan kewajiban suci kami yang telah diwariskan oleh para leluhur, yang akan kami pegang teguh.” (Munandar Haris, Terj, 2008; hal. 116).  
Rakyat tidak memiliki perlindungan atau yatim piatu sebab pemimpin tidak mampu berperan sebagai Hariara na bolon pangunsandean sihorsihor; Raja na godang pangidoan uhum na tigor untuk rakyatnya.
            Padahal, sejatinya kehadiran pemimpin ditengah-tengah masyarakat, bangsa memberi perlindungan, keamanan, ketertiban, ketenteraman,  kenyamanan bagi seluruh rakyat, sebab hal itulah yang paling dibutuhkan dalam berbangsa dan bernegara.
            Menciptakan rasa aman, nyaman, tertib dan teratur tidak terlepas dari peran pemimpin memberi keteladanan seperti, keberanian, ketegasan, konsistensi, konsekuen dalam menjalankan, menegakkan kebenaran dan keadilan tanpa terpengaruh oleh faktor apapun selain visi atau program yang telah direncanakan semula. 
            Harian Kompas, 7 Maret 2014, halaman; 5, kolom; 6-7 dengan judul ’Warisan’ Ali Sadikin Gubernur DKI Jakarta (1966-1977) mengatakan, ”Cita-cita dan tujuan Proklamasi Kemerdekaan adalah kemerdekaan bangsa Indonesia dari imperialisme, kolonialisme, dan segala bentuk manifestasinya. Lalu, sebagai bangsa yang merdeka, membebaskan masyarakat dari kemiskinan, kebodohan, feodalisme, perbudakan, pemerkosaan harkat dan martabat manusia, dan ketidakadilan.”    
             Harian Kompas, 8 Maret 2014, halaman; 4, kolom; 6-7 dengan judul ’Warisan’  Tan Malaka menunjukkan keberanian dan ketegasan dalam mempertahankan dan melindungi simbol-simbol negara, dengan tegas mengatakan,”Janganlah kamu biarkan benderamu itu diturunkan atau ditukar oleh siapa pun juga. Lindungi bendera itu dengan bangkaimu, nyawamu, tulangmu. Itulah tempat yang selayaknya bagimu, seorang putra Tanah Air tempat darahmu tumpah.”  
            Pemimpin Hariara na bolon tidak pernah takut, ragu atau bimbang menjalankan, menegakkan kebenaran dan keadilan, serta memberi perlindungan kepada seluruh rakyat dari segala bentuk ancaman, gangguan, tekanan dari mana pun datangnya. Mengorbankan harta, nyawa demi membela dan melindungi seluruh rakyat, segenap tanah air adalah tugas mulia dan kesatria dari seorang pemimpin negarawan (Hariara na Bolon).
            Dengan demikian, rasa aman, nyaman, tertib, tercipta di dalam kehidupan masyarakat, bangsa maupun negara. Dan di sini lah wujud nyata kehadiran pemimpin Hariara na bolon yang mampu melindungi, mengayomi rakyatnya.
            Harus diingat dan digaris bawahi, bahwa seorang Pemimpin Hariara na Bolon tidak pernah lari dari tanggung jawab, seperti; melarikan diri atau mengungsi agar terluput dari sanksi-sanksi atau hukuman, mengorbankan bawahan atau rakyat dengan melahirkan alibi-alibi tak masuk akal, berselingkuh, bersekongkol, bersubahat dengan pihak lain, dll.       
7.   Pardasing so ra teleng, Parhatian so ra monggal.
            Sebagaimana telah diuraikan pada bagian lain buku ini bahwa ’Raja urat ni uhum, namora ihot ni hosa’ adalah seorang pemimpin (raja) yang selain sebagai sumber hukum juga penegak kebenaran dan keadilan ditengah-tengah  masyarakat, bangsa dan negara. 
            Dasing dan hatian adalah timbangan atau neraca mengukur berat suatu benda. Analogi ini ialah cerminan keadilan universal yakni; keseimbangan antara sisi kanan dan sisi kiri. Timbangan ini lah yang menjadi simbol lembaga penegak hukum seperti;  kehakiman, kejaksaan di berbagai negara, termasuk di Republik Indonesia.
            Salah satu catatan sejarah Alkitab paling monumental ialah keluarbiasaan  Raja Salomo mengadili dua orang perempuan yang memperebutkan seorang bayi. Kedua perempuan itu mengklaim bahwa si bayi adalah anaknya. Ketika kasus itu disampaikan kepada Raja Salomo maka dia mempertanyakan kepada kedua ibu itu. Siapa sebenarnya yang punya bayi tersebut. Kedua perempuan itu sama-sama mengaku, dia lah yang punya bayi itu. 
            Dalam situasi tak ada yang mengalah, Raja Salomo mengambil sebuah pedang, lalu meminta agar si bayi diserahkan kepada Raja Salomo. Kemudian, Raja Salomo mengatakan kepada kedua perempuan itu agar si bayi  dibelah dua. 
            Mendengar perkataan Raja Salomo akan membelah dua bayi itu, salah seorang dari perempuan itu mengatakan; jangan lah bayi itu dibelah dua !. Biarlah diserahkan kepada perempuan itu yang mengaku bayinya. Sementara, perempuan yang satu lagi mengatakan; lebih baik bayi itu dibelah dua supaya adil !.
            Mendengarkan pernyataan kedua perempuan itu, Raja Salomo dengan  kearifan, kecerdasan istimewa yang ada pada dirinya, mengambil keputusan arif bijaksana, bahwa yang punya bayi sejatinya adalah perempuan yang mengatakan; biarlah bayi itu diserahkan kepada perempuan itu. Sebab, perempuan yang sejatinya punya bayi tidak rela bayi itu mati.
 Sedangkan perempuan satu lagi berniat jahat,  biarlah bayi itu mati supaya sama-sama tidak punya bayi. Dia sebenarnya tahu bahwa bayinya telah mati, tetapi dia ingin merebut bayi itu dengan tipu daya atau akal busuknya.   
            Gambaran kisah Alkitab monumental itu menunjukkan, bahwa seorang pemimpin (raja) harus mampu Pardasing so ra teleng, Parhatian so ra monggal, yakni; menegakkan kebenaran dan keadilan secara obyektif, tak memihak,  kecuali keberpihakan terhadap kebenaran dan keadilan obyektif universal.  
            Seorang pemimpin harus mampu memosisikan diri obyektif, tidak memihak, sebab dia memegang amanah, Pardasing so ra teleng, Parhatian so ra monggal supaya rakyat bersamaan kedudukan di depan hukum dan pemerintahan serta menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu, tanpa kecuali sebagaimana diamanatkan pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.  
            Sementara  yang sering menjadi perbincangan publik belakangan ini ialah kecenderungan penerapan hukum ’tajam ke bawah, tumpul ke atas’ yaitu; hukum sering dijadikan alat kekuasaan, bukan lagi menegakkan kebenaran dan keadilan materil. Hukum hanya tajam (tegak) kepada orang-orang lemah tak berdaya, sedangkan para pemangku kekuasaan terkesan kebal hukum atau sering luput dari jerat hukum. Rezim kekuasaan justru sering mempermainkan hukum dan keadlian demi mempertahankan, melanggengkan kekuasaan.   
            Deretan kasus-kasus hukum yang menyeret oknum penegak hukum, seperti Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman, serta lembaga-lembaga justisia lainnya menunjukkan, bahwa para penjaga benteng kebenaran dan keadilan di negeri ini telah alpa mengimplementasikan kultur-kultur budaya masyarakat Nusantara, salah satu diantaranya kultur budaya Batak Toba Pardasing so ra teleng, Parhatian so ra monggal.
            Lihatlah betapa luhurnya karakter moral yang diperlihatkan Baharuddin Lopa, Jaksa Agung RI (6 Juni 2001-3 Juli 2001) mempertahankan marwah, martabat Kejaksaan Republik Indonesia yang dipercayakan pada dirinya.            Kejaksaan RI yang memiliki kekuasaan melakukan tuntutan kepada siapa pun atas nama negara tidak luput dari berbagai godaan menggiurkan, apalagi pihak-pihak pelanggar hukum, peraturan perundang-undangan yang terancam diseret ke meja peradilan. 
            Akan tetapi Baharuddin Lopa menunjukkan kesetiaannya terhadap amanah kepercayaan negara di pundaknya.
Harian Kompas, 26 Februari 2014, halaman; 4, kolom; 6-7 dengan judul ’Warisan’ Baharuddin Lopa dengan tegas mengatakan, ”Saya tahu engkau ikhlas, akhlakmu pun terpuji. Saya tahu pula usahamu berjalan di jalur lurus. Namun, maafkan saya, saya tidak bisa menerima uang ini. Kita bersahabat saja.” 
            Dari pernyataan Jaksa Agung RI yang mengalami nasib tragis ini tersirat bahwa Baharuddin Lopa tidak mau terjebak dengan berbagai kebaikan yang menyimpan sejuta makna. Sebab, sangat sulit memisahkan berbagai pemberian dari pihak-pihak tertentu tidak ada udang dibalik batu. Berbagai gratifikasi yang diterima pemangku kekuasaan berpotensi membuka peluang balas budi atau keberpihakan atas berbagai permasalahan, persoalan yang timbul di kemudian hari. Ada pameo di masyarakat mengatakan, ”tidak ada makan siang gratis” seperti itulah makna pemberian dari pengusaha kepada pemangku kekuasaan.
            Harian Kompas, 24 Februari 2014, halaman; 4, kolom; 6-7 dengan judul ’Warisan’ Yap Thiam Hien, pengacara dan pembela hak asasi manusia (1913-1989) mengatakan, ”Jika saudara hendak menang perkara, jangan pilih saya sebagai pengacara Anda karena pasti kita akan kalah. Tetapi, jika saudara merasa cukup puas menemukan kebenaran Saudara, saya mau jadi pembela Saudara.”  
            Oleh sebab itu, berbagai pameo yang tumbuh berkembang di ranah publik seperti; ’kasih uang habis perkara/KUHP’, hubungi aku kalau ingin menang/Hakim’, ’pengangguran banyak cara/Pengacara’, dan lain-lain patut dimaknai puncak gunung es ketidakpercayaan rakyat terhadap lembaga-lembaga penegak hukum yang tidak mampu lagi Pardasing so ra teleng, Parhatian so ra monggal di negeri ini.  
            Kealpaan para pemimpin mengimplementasikan kultur budaya yang tumbuh berkembang di bumi Nusantara mencoreng dan meruntuhkan esensi kepemimpinan di mata masyarakat, bangsa era belakangan ini. Para pemimpin semakin melenceng dan keliru besar memaknai tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) nya sebagai penegak kebenaran dan keadilan sebagaimana dimaksudkan kultur budaya Batak Toba Pardasing so ra teleng, Parhatian so ra monggal yang diwariskan para leluhur. 
Pengabaian nilai luhur kearifan kultur budaya Nusantara sangat berpengaruh besar terhadap pergeseran karakter moral pemimpin yang semakin menyimpang dalam menegakkan kebenaran dan keadilan di republik ini.
Rentetan berbagai kasus yang menyeret Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar, oknum petinggi kehakiman, petinggi kejaksaan, petinggi kepolisian, pengacara/advokad, dan lain-lain yang seharusnya benteng pencari keadilan justru terlibat tindak pidana korupsi mencoreng wajah lembaga-lembaga penegak hukum di negeri ini. 
Kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga penegak hukum hancur berantakan hingga timbul ketidakpercayaan (distrust) rakyat terhadap institusi penegak hukum, serta munculnya main hakim sendiri karena rakyat tidak percaya lagi memperoleh kebenaran dan keadilan dari lembaga-lembaga yang ada di republik ini.   
            Salah satu skandal terbesar yang pernah menghantam kepresidenan Amerika Serikat ialah skandal Watergate yang memaksa Presiden Ricard M Nixon harus mengundurkan diri pada bulan Agustus 1974 dari kursi kepresidenan.
Munandar (2008) Presiden Ricard M Nixon  dalam situasi kritis  skandal Watergate masih memberikan pernyataan yang tidak mudah dilupakan seluruh manusia di kulit bumi ini yakni; ”Kebenaran harus diungkap secara utuh, terlepas dari siapa pun yang terlibat. Keadilan akan ditegakkan secara penuh, jujur, dan tidak memihak.” (Munandar, Haris, Terj, 2008; hal. 176-177).  
Pernyatan presiden Ricard M Nixon ini menjadi salah satu pidato bersejarah serta mengubah dunia, terlepas dari dugaan keterlibatannya dalam skandal Watergate yang memaksa dirinya harus turun dari singgasana kursi kepresidenan negara adi kuasa itu.
Hal positif yang bisa dicontoh dan ditauladani dari Ricard M Nixon pada skandal Watergate ialah keberanian, ketegasan menegakkan keadilan secara penuh, jujur dan tidak memihak, terlepas dari siapa pun yang terlibat, termasuk dirinya sendiri.
Tindakan Ricard M Nixon tersebut sangat berkorelasi linier dengan kearifan kultur budaya Batak Toba Pardasing so ra teleng, Parhatian so ra monggal. Karena itulah, pidato Presiden Ricard M Nixon menjadi salah satu kisah pidato bersejarah yang mengubah dunia.
Seorang pemimpin harus menyadari bahwa segala tindak-tanduknya tidak luput dari catatan sejarah yang lembarannya bisa dibuka generasi ke generasi sepanjang masa.
Seorang pemimpin yang memahami serta menghayati Pardasing so ra teleng, Parhatian so ra monggal  mampu menegakkan kebenaran dan keadilan universal, tanpa kecuali. Sebab dia selalu berikhtiar, beraksioma menghindarkan diri dari tindakan-tindakan subyektivitas. Seperti menguntungkan pribadi, kelompok maupun golongan. Dan dalam diri pemimpin seperti itu lah tercermin kenegarawanan sejati yang sangat didambakan untuk mewujudkan kebahagian seluruh rakyat.  
Sebagai seorang leaderships dituntut kemampuan memosisikan diri ”Pardasing so ra teleng, Parhatian so ra monggal” dalam keadaan demikian lah kesamaan hak di depan hukum (equality before the law)  bisa terjamin konkrit.
Tidak seorang pun kebal di depan hukum adalah jaminan tegaknya kebenaran dan keadilan sesuai kultur budaya Batak Toba Pardasing so ra teleng, Parhatian so ra monggal. Siapa pun yang melakukan pelanggaran hukum pasti mendapat sanksi hukum dan tidak ada yang luput dari sanksi pelanggaran hukum itu. 
Jadi sangat aneh serta mengecewakan bila ada pemimpin menggunakan ”jaring laba-laba atau tebang pilih” dalam menerapkan hukum, peraturan  perundang-undangan, apalagi membelokkan kebenaran dan keadilan demi kepentingan kekuasaan. Pemimpin seperti itu tidak akan berwibawa di mata rakyat serta tidak mungkin diharapkan menegakkan kebenaran dan keadilan.   
Seorang pemimpin juga harus menyadari, bahwa dirinya adalah seorang  dirigen yang mengatur, mengarahkan, membimbing seluruh bawahan sehingga bila bawahan, rakyat ingin menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan maka pemimpin harus memulai dari diri sendiri. Sebab, bawahan selalu berpedoman atau bercermin dari perilaku pemimpinnya. Dan di sini lah esensi serta eksistensi seorang pemimpin memengaruhi, mengarahkan, menggerakkan, bahkan mengubah pola pikir (mindset)  masyarakat ke arah tujuan yang hendak dicapai.
Alfian (1980) Pemimpin harus memiliki integritas diri yang kuat sehingga selalu bisa membedakan mana yang baik dan yang buruk secara moral politik. Sebab pemimpin itu merupakan pendidik politik yang langsung terhadap masyarakat sendiri. Sikap mau mengalah dan mau menenggang perasaan orang lain, itu adalah salah satu yang sangat terhormat.” (Alfian,1980; hal. 294). 
Jadi ada hubungan atau ikatan-ikatan batin yang erat antara pemimpin dengan masyarakat. Hubungan erat antara pemimpin dengan masyarakat melahirkan komunikasi dua arah sehingga saluran aspirasi tidak mengalami hambatan. Pemimpin yang memiliki kepribadian unggul mampu memosisikan dirinya dengan baik dan benar, obyektif, universal dalam menjalankan kepemimpinan sehingga mampu menjadi seorang pemimpin Pardasing so ra teleng, Parhatian so ra monggal.
Robbins  (2009), sejumlah riset yang ekstensif telah mengidentifikasi lima dimensi dasar yang menjelaskan variasi signifikan dalam kepribadian manusia, antara lain; Pertama, Kecenderungan Keluar – Apakah Anda seorang yang extrovert  (ramah, mampu bersosialisasi) atau seorang yang introvert (pendiam, pemalu) ?; Kedua, Menyenangkan – Apakah Anda seorang yang sangat menyenangkan (kooperatif, terpercaya) atau kurang menyenangkan (pemarah, antagonistis) ?; Ketiga, Kesungguhan Hati – Apakah Anda sangat bersungguh-sungguh (bertanggung jawab, terorganisasi) atau kurang bersungguh-sungguh (tidak dapat diandalkan, kacau) ?; Keempat, Stabilitas Emosional – Apakah Anda stabil (tenang, percaya diri) atau tidak stabil (gelisah, merasa tidak aman) ?; Kelima. Keterbukaan Terhadap Pengalaman – Apakah Anda terbuka terhadap pengalaman baru (kreatif, ingin tahu) atau tertutup (konvensional, mencari yang biasa) ?. (  Robbins Stephen P, Terj, 2009; hal. 22).
Kepribadian seorang pemimpin merupakan elemen penting dalam menjalankan suatu kepemimpinan. Karena itu, memilih dan menentukan seorang pemimpin harus juga mempertimbangkan faktor kepribadian disamping elemen-elemen lain sebagaimana telah diuraikan pada pembahasan sebelumnya.
Rakhmat (2007) Dalam psikologi dikenal proyeksi, sebagai salah satu cara pertahanan ego. Proyeksi adalah mengeksternalisasikan pengalaman subyektif secara tidak sadar. Orang melemparkan perasaan bersalahnya pada orang lain. Maling teriak maling adalah contoh tipikal dari proyeksi.
Pada persepsi interpersonal, orang mengenakan pada orang lain sifat-sifat yang ada pada dirinya, yang tidak disenanginya. Sudah jelas, orang yang banyak melakukan proyeksi akan tidak cermat menanggapi personal stimuli, bahkan mengaburkan gambaran sebenarnya.
Sebaliknya, orang yang menerima dirinya apa adanya, orang yang tidak dibebani perasaan bersalah, cenderung menafsirkan orang lain lebih cermat (Norman, 1953; Omwake, 1954; Baker dan Block, 1957). Begitu pula, orang yang tenang, mudah bergaul dan ramah, cenderung memberikan penilaian positif pada orang lain. Ini disebut leniency effect (Bosson dan Maslow, 1957).
Kepribadaian otoriter atau authoritarian personality (Andorno, Frenkel-Brunswile, Levinson, dan Sanford, 1950) adalah sindrom kepribadian yang ditandai oleh ketegaran berpegang pada nilai-nilai konvensional, hasrat berkuasa tinggi, kekakuan dalam hubungan interpersonal, kecenderungan melemparkan tanggung jawab pada sesuatu di luar dirinya, dan memproyeksikan sebab-sebab dari peristiwa yang tidak menyenangkan pada kekuatan di luar dirinya.
Theodor Newcomb (1961) membuktikan dengan penelitiannya, bahwa orang-orang non otoriter cenderung lebih cermat menilai orang lain, lebih mampu melihat nuansa dalam perilaku orang lain; sebaliknya orang-orang otoriter cenderung memproyeksikan kelemahan dirinya kepada orang lain, dan menilai orang lain dalam kategori-kategori yang sempit (hitam-putih, jelek-baik, ekstrem-tidak ekstrem, Pancasilais-tidak Pancasilais).
Bila petunjuk-petunjuk verbal dan nonverbal membantu kita melakukan persepsi yang cermat, beberapa faktor personal ternyata mempersulitnya. Persepsi interpersonal menjadi lebih sulit lagi, karena persona stimuli bukanlah benda mati yang tidak sadar. Manusia secara sadar berusaha menampilkan dirinya kepada orang lain sebaik mungkin. Inilah yang disebut Erving Goffman sebagai self presentation (penyajian diri).
Kemudian, Harry Stack Sullivan (1953) menjelaskan bahwa jika kita diterima orang lain, dihormati, dan disenangi karena keadaan diri kita, kita akan cenderung bersikap menghormati dan menerima diri kita. Sebaliknya, bila orang lain selalu meremehkan kita, menyalahkan kita dan menolak kita, kita akan cenderung tidak menyenangkan diri kita.” ( Rakhmat Jalaluddin, 2007; hal. 91-101). 
Para pejabat mewah yang getol menganjurkan hidup sederhana dan mengecam kemewahan; koruptor kakap yang aktif berteriak lantang memberantas korupsi; om...om senang yang mengkritik dekadensi moral di kalangan anak muda; dan berbagai perilaku kontradiktif lainnya adalah contoh-contoh yang tidak mampu memosisikan dirinya Pardasing so ra teleng, Parhatian so ra monggal. 
Pemimpin yang mampu mengimplementasikan Pardasing  so ra teleng, Parhatian so ra monggal adalah seseorang yang memiliki kepribadian non otoriter sehingga mampu melihat dan memahami segala sesuatu secara obyektif.
Kebenaran adalah kebenaran, keadilan adalah keadilan yang tidak perlu ditafsirkan macam-macam walau dengan alasan apapun. Akan tetapi apa yang kita saksikan hari-hari belakangan ini sungguh menyesakkan dada, dimana para pemimpin cenderung memonopoli kebenaran dan keadilan, sebaliknya memosisikan orang lain tidak mengerti dan memahami kebenaran dan keadilan. 
Effendy (2007)  menurut teori libertarian yang menjadi dasar modifikasi teori tanggung jawab sosial merupakan kebalikan dari teori otoritarian dalam hubungan posisi manusia terhadap negara. Manusia tidak lagi dianggap bebas untuk dipimpin dan diarahkan. Kebenaran bukan lagi milik penguasa. Hak untuk mencari kebenaran merupakan hak kodrati manusia.” ( Effendy Onong Uchjana, 2007; hal. 89). 
Sebab pada hakikatnya, kekuasaan yang melekat pada seorang pemimpin ialah kemampuan memengaruhi tingkah laku orang lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai keinginan dan tujuan yang mempunyai kekuasaan.
Karena itu lah, esensi kepemimpinan amat sangat menentukan perilaku sosial masyarakat. Bila pemimpin menunjukkan perilaku Pardasing so ra teleng, Parhatian so ra monggal maka rakyat pun akan cenderung berperilaku seperti itu juga.
Karena itu, sungguh menarik apa yang dikatakan Ella Fitzgerald ”Jangan menyerah dalam melakukan apa yang benar-benar ingin Anda lakukan. Selama ada cinta dan inspirasi, saya yakin Anda dapat berhasil.” (Wade &Tavris, 2008; hal.142).   
Pemimpin Pardasing so ra teleng, Parhatian so ra monggal mampu menjalankan, menegakkan kebenaran dan keadilan materil, bukan seperti era belakangan ini yang cenderung bersifat pragmatis formalistik, padahal berbagai peraturan perundang-undangan berkelindan dengan boncengan-boncengan kepentingan sektoral, bahkan menyimpang dari undang-undang diatasnya menyebabkan munculnya uji materil (judicial rewieu) di Mahkamah Agung (MA) ataupun  Mahkamah Konstitusi (MK).


8   Paramak so balunon, Parsangkalan so mahiang.
            Paramak so balunon, Parsangkalan so mahiang adalah suatu sifat tak henti-henti kedatangan tamu tanpa mengenal sekat-sekat sosial. Atau dengan perkataan lain, seseorang yang gemar berhubungan, berkomunikasi dengan orang lain tanpa membedakan struktur sosial.  
            Seorang pemimpin adalah public figure yang mengabdikan diri demi kepentingan seluruh rakyat, tanpa mengenal sekat-sekat sosial ataupun alasan-alasan apapun, maka sifat Paramak so balunon, Parsangkalan so mahiang yang merupakan kultur budaya Batak Toba harus dimiliki seseorang pemimpin.     
            Paramak so balunon, Parsangkalan so mahiang menunjukkan sifat terbuka, luwes terhadap pihak lain tanpa membeda-bedakan asal-usul ataupun strata-strata sosial lainnya.  
Bila seseorang gemar menerima tamu, hal itu merupakan cerminan atau pertanda nyata bahwa dirinya suka mendengarkan berbagai hal-ihkwal dari siapa pun. Dia tidak mau menutup pintu terhadap semua orang, baik menyampaikan hal positif maupun hal negatif. Karena itu, seorang pemimpin menurut kultur budaya Batak Toba disebut juga ”Parbahul-bahul na bolon” yaitu; seseorang yang mampu menampung segala jenis aspirasi, serta mampu memberi langkah-langkah pemecahannya.    
            Pemimpin Parbahul-bahul na bolon  memerlukan kemampuan prima, baik kemampuan finansial maupun kemampuan spiritual. Sebab menampung segala bentuk aspirasi rakyat membutuhkan kedua elemen tersebut. Selain daripada itu, kecerdasan, kesabaran, kepedulian, serta solidaritas juga merupakan elemen penting agar bisa Parbahul-bahul na bolon.
            Harian Kompas, 28 Februari 2014, halaman; 4, kolom; 6-7 dengan judul ’Warisan’ Mohammad Hatta, Wakil Presiden RI (1945-1956) mengatakan, ”Tak ada harta pusaka yang sama harganya dengan kejujuran”. Atau, ”Kekayaan tidaklah diukur dengan banyaknya harta, namun kekayaan yang hakiki adalah kekayaan hati” (HR. Bukhari dan Muslim; dari Abu Hurairah).”  
            Kepedulian terhadap orang lain tidak tergantung pada besar tumpukan harta kekayaan, melainkan seberapa tinggi solidaritas, kepedulian, simpati, empati di dalam  diri seseorang. Sebab, adakalanya bila dilihat dari jumlah harta kekayaan seseorang sangat layak dan pantas memberi kepedulian atau membantu orang lain. Tetapi dalam kenyataannya, justru orang tersebut tak pernah mau tahu dengan kesulitan, kesusahan, penderitaan orang lain. Malah, masih menginginkan memperoleh keuntungan di atas penderitaan orang lain. Misalnya, masih tega mengambil jatah orang miskin, menanggok keuntungan mengalaskan rakyat miskin, mengambil keuntungan ketika terjadi bencana dan lain sebagainya.  
            Sumantri (1985) Allport, Vernon dan Lindzey (1951) mengidentifikasikan enam nilai dasar dalam kebudayaan yakni nilai teori, ekonomi, estetika, sosial, politik dan agama. Nilai teori adalah hakikat penemuan kebenaran lewat berbagai metode seperti rasionalisme, empirisme dan metode ilmiah. Nilai ekonomi mencakup kegunaan dari berbagai benda dalam memenuhi kebutuhan manusia. Nilai estetika berhubungan dengan keindahan dan segi-segi artistik yang menyangkut antara lain bentuk, harmoni dan wujud kesenian lainnya yang memberikan kenikmatan kepada manusia. Nilai sosial berorientasi kepada hubungan antar manusia dan penekanan segi-segi kemanusiaan yang luhur. Nilai politik berpusat kepada kekuasaan dan pengaruh baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun dunia politik. Sedangkan nilai agama merengkuh penghayatan yang bersifat mistik dan transedental dalam usaha manusia untuk mengerti dan memberi arti bagi kehadirannya di muka bumi.” (Suriasumantri Jujun S,1985; hal. 266).   
            Salah satu Umpama Batak Toba yang menunjukkan dua dimensi bertolak belakang ialah ”Di buang-buang ganda, Di holit-holit mago” yaitu pemberian yang secara materi rugi, tetapi manfaat berlipat ganda. Sebaliknya, diirit justru semakin tak nampak rimbanya.
            Seorang pemimpin Paramak so balunon, Parsangkalan so mahiang menganut prinsip ”Di buang-buang ganda” sebab seorang pemimpin (raja) harus royal memberi (buas mangalehon) agar semakin dihormati, dihargai orang lain. Seorang pemimpin (raja) dihormati, dihargai pihak lain karena pemimpin itu bersimpati, berempati, serta peduli dengan nasib orang lain.
            Ungkapan klasik Batak Toba yang galib dikenal adalah ”Galang mula ni harajaon, holit mula ni hamoraon”. Dalam terjemahan bebas bermakna; sifat pemberi (panggalang), penolong (mangurupi), peduli (mangkilala) penderitaan  pihak lain adalah awal penghargaan, kehormatan (hasangapon). Sedangkan hemat (holit) adalah pangkal kekayaan (mula ni hamoraon).    
            Seorang pemimpin (raja) haruslah memiliki kedewasaan jiwa atau kebesaran jiwa yang ditandai orientasi diri yang diabadikan melalui perilaku, tindakan terhadap pihak lain. Orang dewasa (orang besar) selalu mengorientasikan dirinya terhadap kepentingan orang lain, sedangkan orang tak dewasa (orang kerdil) mengorientasikan seluruh hidupnya demi kepentingan diri sendiri. 
Karena itulah J. F. Kennedy mengatakan, ”Jangan tanya apa yang bisa dilakukan negaramu untukmu;  tanyalah apa yang bisa kau lakukan untuk negaramu.”   
Caporrimo (2006) ”Orang yang dewasa menerima perhatian melalui jati dirinya dan pemberiannya, bukan melalui tuntutannya. Jika tuntutan akan perhatian atau dominasi menjadi dasar suatu hubungan, hal itu pasti disebabkan adanya ketidakdewasaan.
”Jika Anda memiliki kesadaran akan kasih, Anda mampu bersikap obyektif dan menjadi bagian dari solusi atas persoalan itu. Jika Anda memberi simpati dan bukan kasih, Anda melihat kebutuhan dan menaruh simpati terhadapnya, dan bukannya membantu menyelesaikan persoalan itu”.
Sebelum memperoleh kehormatan, kita harus belajar merendahkan diri. Persiapan untuk mendapat posisi terhormat adalah rendah hati. Orang yang merendahkan diri akan ditinggikan (Mat. 23:12). Persiapan untuk menjadi raja dan tuan bersama Yesus Kristus adalah menjadi rendah hati dan membasuh kaki.
Karena itu, saya ingin memberikan motto yang telah saya ikuti selama bertahun-tahun: ”Kurbankan hal yang baik untuk hal yang lebih baik; kurbankan hal yang lebih baik untuk yang terbaik”. Anda hanya bisa melakukan sebanyak itu untuk menjadi orang yang bisa melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan orang lain. Kemudian semua akan berjalan.
Itu tidak perlu penting; dan tidak perlu di atas orang lain atau dibawahnya. Kadang-kadang dalam hubungan, orang-orang yang dewasa menyadari, ”Saya tidak seharusnya menjadi atasan, tetapi atasan tidak akan menjadi atasan kalau saya tidak menundukkan diri bawahnya dan mendukungnya.” (Caporrimo, Bruno, 2006; hal. 136-142).            
Kedewasaan adalah kesadaran akan kasih, tanggung jawab, pemahaman nilai, dan kemampuan mengevaluasi serta bersikap tegas.
Paramak so balunon, Parsangkalan so mahiang menggambarkan sifat pemberi, penolong, peduli, solider terhadap pihak lain dilandasi kasih  untuk membantu, menolong, membebaskan pihak lain dari aneka kesulitan hidup.
Pemimpin demikian sering disebut seorang pemimpin yang telah selesai kepentingan dirinya, sehingga seluruh hidupnya diorientasikan atau diabdikan ladang pengabdian untuk kepentingan publik.  
Pemimpin Paramak so balunon, Parsangkalan so mahiang menyadari paripurna bahwa kekuasaan atau apapun yang dimiliki adalah instrumen pendukung pengabdian diri terhadap kepentingan pihak lain. Artinya, bahwa seluruh kepunyaan dan kemampuan  ditujukan demi kepentingan publik semata, bukan sebaliknya ditujukan untuk kepentingan pribadi, kelompok maupun golongan.     
Kesadaran paripurna seperti itu akan mendorong, memotivasi seorang pemimpin memiliki tanggung jawab atas kepercayaan atau amanah yang diberikan kepadanya. Dan disini lah pembeda nyata antara seorang pemimpin (orang besar) dengan seorang pemimpi (orang kerdil).
Pemimpin Paramak so balunon, Parsangkalan so mahiang tak pernah berikhtiar, beraksioma menghalalkan segala cara demi mewujudkan kepentingan pribadi, kelompok maupun golongan. Sebab, pemimpin Paramak so balunon, Parsangkalan so mahiang selalu berikhtiar, beraksioma memberi yang terbaik kepada pihak lain sebagai ladang pengabdian diri.
Seorang pemimpin yang baik dan benar adalah seorang pemimpin yang memiliki kesadaran kasih (holong) di dalam dirinya sehingga mampu melihat, mendengarkan, bahkan merasakan kesulitan-kesulitan rakyat yang dipimpin.
Pemimpin Paramak so balunon, Parsangkalan so mahiang menjadikan istananya untuk rakyat, sebab dia tidak pernah berpikir sedikitpun menutup pintu terhadap rakyatnya. Karena itulah, segala kesulitan, penderitaan rakyat tidak penah luput dari perhatiaannya, serta menjadi bagian dari tanggungjawabnya yang perlu diselesaikan dengan tuntas.
Bagi seorang pemimpin Paramak so balunon, Parsangkalan so mahiang segala bentuk pengorbanan terhadap pihak lain adalah wujud tanggung jawab, misi mulia, serta konsekuensi amanah yang dipercayakan pada dirinya. Sehingga mengorbankan yang baik untuk memperoleh yang terbaik adalah wajib hukumnya. Inilah salah satu sifat mulia dari seorang pemimpin yang dilandasi kultur budaya Batak Toba Paramak so balunon, Parsangkalan so mahiang.
 McChain & Salter (2009) Viktor Frankl  percaya bahwa kesejahateraan emosional seseorang tergantung pada kemampuan menemukan makna hidup yang lebih besar daripada kepuasan naluriah. Ia yakin pencarian makna hidup memungkinkan seseorang mangangkat diri lebih tinggi tidak saja dari hasrat egoisnya, tetapi juga melampaui kemalangan dan kekejaman yang dialaminya.
Inilah rahasia martabat yang dipahami Viktor Frankl lebih daripada banyak orang lain. Martabat bukan dipertahankan dengan kesombongan atau kekuasaan. Segala sesuatu bisa direnggut dari Anda kecuali martabat.
Martabat merupakan keputusan moral yang mustahil dihalangi orang lain. Seluruh hidup Anda bisa dikuasai orang lain. Anda dapat dikecilkan sehingga tidak berdaya, terhina, kotor, jasmani yang buruk, tetapi kebebasan dan pilihan tetap ada di tangan Anda, keputusan untuk jadi baik atau buruk.
Kita punya hati nurani, lepas bagaimanapun keadaannya. Dan seberapa baik kita mematuhi, bahkan dalam kondisi terburuk sekalipun, akan menentukan apakah kita akan hidup dan mati dengan bermartabat.
Ketahanan hidup bergantung pada pemahaman dan penerimaan atas harapan hidup; dengan melakukannya, kita menemukan makna hidup bahkan di dalam penderitaan yang terburuk, dan menikmati beberapa harta yang masih kita miliki: keramahan mengejutkan dari orang lain, keindahan matahari terbit, keanggunan pohon yang tumbuh di musim semi.
Segala sesuatu dapat dilakoni dengan bermartabat jika orang punya harapan dan makna. Kebahagiaan muncul dari hidup bermakna, dari pembuatan keputusan moral yang benar, dari mencintai seseorang.” (McChain John, Salter Mark, 2009; hal. 44-49).    
Inilah salah satu kisah anak manusia yang mengajarkan keluhuran martabat ketika menghadapi hukum mati di kamp Auschwitz Nazi Hitler. 
Coba juga lihat betapa mulia martabat Ibu Teresa walau telah menjadi seorang selebritas internasional masih tetap rendah hati sebab dia memahami  arti kehidupan secara paripurna.
Munandar (2008) Ibu Teresa, Masih ada banyak penderitaan di sekitar kita, juga kebencian, kesengsaraan. Kita dengan doa kita, dengan pengorbanan kita, memulai dari rumah. Kasih dimulai di rumah, dan yang penting bukanlah seberapa banyak yang kita lakukan, melainkan seberapa besar kasih yang kita libatkan dalam kita. Bagi Tuhan Yang Maha Kuasa, berapa banyak yang kita lakukan tidaklah penting, karena Dia Maha Besar. Yang penting adalah seberapa besar kasih yang kita libatkan dalam tindakan itu, seberapa banyak persembahan kita kepada Tuhan setiap kali kita melayani orang lain.
...Saya tidak pernah lupa beberapa waktu yang lalu, sekitar empat belas profesor dari berbagai universitas di Amerika Serikat berkunjung. Mereka mendatangi rumah kami, dan kami pun berbicara tentang cinta, kasih, lalu salah seorang bertanya kepada saya. ”Bunda, katakanlah sesuatu yang akan kami ingat”. Maka, saya katakan kepadanya, ”Tersenyumlah kepada satu sama lain, luangkan waktu untuk keluarga Anda dan begitu pun sebaliknya.” (Munandar Haris, Terj, 2008; hal. 190-191).        
Nah, bagaimana dengan para pemimpin yang lahir di era belakangan ini, apakah masih memiliki kerendahan hati dan martabat mulia ? Atau sebaliknya, telah mengubah diri jadi ’monster’ memangsa rakyat yang dipimpin. Jika hal itu yang terjadi maka dapat dipastikan telah menyimpang atau melenceng dari Paramak so balunon, Parsangkalan so mahiang yang merupakan esensi kepemimpinan berdasarkan kultur budaya Batak Toba.  
Membangun tembok pemisah, menutup mata dan telinga, tak peduli kesulitan atau penderitaan rakyat adalah kekeliruan besar seorang pemimpin, sebab esensi sejati kehadiran seorang pemimpin adalah memberi kebahagiaan  seluruh lapisan masyarakat, tanpa kecuali.
Oleh karena itu, Paramak so balunon, Parsangkalan so mahiang adalah cerminan keterbukaan (openess), solidaritas (solidarity) yang harus dimiliki para pemimpin agar aspirasi rakyat terakomodasi optimal di dalam kebijakan publik.
  Partogi pangihutan, Panungkunan pandapotan.
            Pada hakikatnya bahwa seorang pemimpin adalah pembimbing, pembawa arah (partogi) yang diikuti, dipatuhi (pangihutan), tempat bertanya (panungkunan), serta memberi solusi atau jawaban (pandapotan) atas berbagai hal ditengah-tengah perikehidupan masyarakat, bangsa sehari-hari.   
            Sebagai pembimbing, pembawa arah (partogi) seorang pemimpin tentu dituntut kompetensi paripurna tentang berbagai hal yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat. Sebab sangat mustahil memberi bimbingan, arahan bila dirinya sendiri pun tidak memahami permasalahan yang ada di masyarakat.
            Karena itu, seorang pemimpin harus mampu menentukan visi atau platform  hendak dicapai melalui perencanaan yang baik dan benar. Selanjutnya, dijabarkan di dalam misi atau rencana aksi (action plan) terpadu, terintegrasi, konsisten, serta berkesinambungan sebagai pedoman, kompas untuk mencapai tujuan tersebut. 
            Kemampuan jenial seorang pemimpin menentukan rencana besar (grand design) akan sangat mempengaruhi poses kemajuan masyarakat, bangsa maupun negara. Hal itu juga ditegaskan Franklin Delano Roosevelt, bahwa  ”Bangsa yang tidak punya visi akan musnah.”
            Peran sentral dan strategis seorang pemimpin memberi arah, pedoman, kompas sebagai acuan yang harus diikuti adalah salah satu esensi kepemimpinan paling  fundamental. Sebab, apabila pemimpin salah atau keliru menentukan arah kebijakan akan berakibat fatal pada langkah-langkah implementasi selanjutnya, serta berpotensi besar menimbulkan kekeliruan ataupun kesalahan semakin besar dan rumit.
            Selaku seorang manajerial yang menentukan arah kebijakan, otensitas seorang pemimpin Partogi pangihutan, Panungkunan pandapotan harus memiliki kompetensi  layak dan pantas diikuti, ditauladani seluruh masyarakat. Berbagai masalah   memerlukan solusi harus mampu diselesaikan dengan arif bijakasana agar kehadirannya tampak dengan nyata ditengah-tengah masyarakat, bangsa maupun negara.     
            Sebagai Partogi seorang pemimpin tentu harus mampu memberi ketauladanan dalam segala tindak-tanduknya karena perilaku pemimpin akan menjadi acuan bagi orang lain. Selain daripada itu, seorang pemimpin harus mampu ”Panungkunan sekaligus Pandapotan”. yaitu, seorang pemimpin  memiliki kemampuan labuhan pertanyaan sekaligus memberi jawaban atau solusi.
            Harian Kompas, 17 Februari 2014, halaman; 4, kolom; 6-7 dengan judul ’Warisan’ Soe Hok Gie, ”Bagiku sendiri politik adalah barang yang paling kotor, lumpur-lumpur yang kotor. Tetapi suatu saat di mana kita tidak dapat menghindari diri lagi, maka terjunlah. Kadang-kadang, saat ini tiba,  seperti dalam revolusi dahulu. Dan jika sekiranya saatnya sudah sampai, aku akan terjun ke lumpur ini.”
            Karena itu, seorang pemimpin haruslah ”Ompu ni na bisuk, sabungan ni roha. Sisungkunon di bisuk, sialapon nang di roha”(Hutasoit, 2013; hal. 23)  Maksudnya, bahwa seorang pemimpin harus cerdas, arif bijaksana serta memiliki keluhuran jiwa agar bisa menjadi suri tauladan ditengah-tengah masyarakat.
Korelasi antara kata dengan tingkah laku atau perbuatan seorang pemimpin harus lah linier. Bukan seperti ungkapan mengatakan, ”Palo di anak ni mata, angkalau sumuntol bulan. Malo di urat ni hata, hape tarsuntol di parulan” (Hutasoit, 2013, hal. vi)   yaitu; seseorang yang pintar dalam tataran kata-kata, tapi tak sesuai tataran perilaku atau perbuatan. Misalnya, pintar memberi nasehat, tapi tingkah laku, perbuatannya sangat berbanding terbalik dengan nasehat atau ucapannya itu.  Misalnya, para pemimpin sering menganjurkan kepada rakyat agar berpola hidup sederhana, ”kencangkan ikat pinggang” ala Soeharto, tetapi di sisi lain justru pemimpin bersangkutan menunjukkan pola-pola konsumsi serba mewah dan lux. 
Paradoks antara anjuran, ucapan dengan pola tingkah laku seperti itu menunjukkan, bahwa tataran kata-kata dengan pola tingkah laku sangat berbanding terbalik berakibat timbulnya degradasi kepercayaan rakyat  terhadap pemimpinnya. 
Kontradiksi antara ucapan dengan perilaku menjadi penanda nyata inkonsistensi seorang pemimpin di mata masyarakat, bangsa maupun negara.  
            Partogi pangihutan, Panungkunan pandapotan adalah salah satu esensi kepemimpinan berdasarkan kultur budaya Batak Toba yang menunjukkan bahwa seorang pemimpin harus mampu solusi permasalahan, sekaligus patron yang bisa diikuti dalam perikehidupan sehari-hari.
Predikat pemimpin tidak hanya sekadar sebutan nama saja, tapi benar-benar memiliki kredibiltas, kapabilitas, kapasitas, integritas untuk mengemban amanah yang diletakkan di pundaknya. 
  Rafick (2009) mengatakan, Bukan rahasia lagi seberapa keras pun upaya yang dilakukan untuk memperbaiki nasib bangsa, seberapa besar pun biaya yang dikeluarkan, bila pelakunya sendiri tidak tahu di mana letak kerusakan itu dan seberapa besar, maka semuanya akan sia-sia. Sehebat apa pun ilmu dan pengetahuan seorang dokter, bila dia tidak melakukan diagnosa yang benar dan jujur tentang penyakit pasiennya, maka pasien itu tidak akan sembuh-sembuh. Malah penyakitnya akan bertambah akibat salah obat atau over dosis, seperti yang telah dialami negeri ini selama 10 tahun terakhir – meski lima presiden telah berupaya mengatasinya.” (Rafick, Ishak, 2007; hal. xxv).  
Karena itu pula lah, As (1998) dengan tegas mengatakan, bahwa ”Salah satu syarat paling utama dan paling menentukan dalam proses satu bangsa atau negeri membukukan dirinya menjadi bangsa besar yang adidaya dan tangguh adalah adanya pemimpin bangsa dan negeri yang jenial, ambisius menjadikan bangsa atau negerinya menjadi adidaya yang disegani bangsa-bangsa lain. Dan dalam kaitan ini berhasil membangun harga diri dan kebanggaan mayoritas rakyatnya.” (AS, Fajar,1998; hal. 53).  
            Kemajuan, kemunduran suatu bangsa sangat ditentukan kejenialan dan ketangguhan seorang pemimpin. Sebab seorang pemimpin adalah Partogi pangihutan, Panungkunan pandapotan bagi rakyatnya.
Suatu bangsa atau negara akan disegani bangsa-bangsa lain bila pemimpinnya kuat dan tangguh, cerdas jenial memahami keunggulan ataupun kelemahan bangsanya. Dan melalui pemahaman paripurna atas keunggulan, kelemahan yang dimiliki melahirkan gagasan-gagasan besar, jenial untuk mengatasinya.  
            Seorang pemimpin besar akan mampu melahirkan karya-karya monumental yang menjadi kebanggaan bangsanya. Dia tidak mau hanya ’membeo’, meniru atau copy paste pemikiran-pemikiran orang lain. Sebab, ia menyadari bahwa yang baik pada bangsa lain, belum tentu baik untuk bangsanya sendiri.
             Pemimpin besar dan jenial selalu mengarahkan pemikiran dan tindakan untuk menemukan karya-karya monumental yang menjadi kebanggaan seluruh rakyat. Karena, ia menyadari kebanggaan hanya ada bila yang dibanggakan benar-benar ada. Karya-karya besar monumental yang tidak dimiliki bangsa lain adalah simbol kebanggaan yang tidak mudah ditelan zaman. Obsesi besar, ambisius seorang pemimpin untuk menciptakan keunggulan-keunggulan spesifik menjadikan suatu bangsa tampil sebagai pemenang di percaturan antar bangsa-bangsa di atas jagat raya ini.
            Kamil (2007) Horace (65-SM) seorang filosof Romawi mengatakan, ”Sapere Aude !”, ”Dare to know !”, dan ”Have the courage your own understanding !”. Teguhlah pada pemikiran sendiri, jangan hanya membeo, pakailah otakmu, yang diamplifikasikan oleh para pemikir pencerahan dengan tanda seru besar.
            Karenanya, pemikiran pencerahan konsisten menekankan bahwa selama nalar dan kebebasan bergandengan tangan atau beraliansi satu sama lain guna melawan berbagai kepalsuan tradisi dan hambatan alam dan politik. Ini pada akhirnya akan menghantarkan manusia ke gerbang kemajuan. Kebebasan, karenanya, terbit sebagai esensi dari nalar. Proyek pencerahan, menurut Kant, adalah ”ketika kebebasan menjadikan masyarakat berpikir sendiri dengan nalarnya terhadap segala hal ihwal urusannya”.
   Singkatnya, perayaan kemenangan manusia pencerahan mematok harga mati bagi adanya kebebasan berbicara dan berpikir.” (Kamil, Sukron, 2007; hal. 6-7).    
Demikian halnya peran seorang Partogi harus mampu memberikan pencerahan terhadap seluruh rakyat sebab dirinya selain Partogi pangihutan, juga Panungkunan pandapotan atas berbagai hal ikhwal ditengah-tengah rakyatnya.
Seorang pemimpin tak boleh ragu, bimbang, ataupun ketakutan dalam mengambil suatu keputusan, terlepas dari populer atau tidak di mata masyarakat.
Keragu-raguan, kebimbangan seorang pemimpin dalam mengambil suatu keputusan akan sangat berpengaruh besar terhadap eksistensi kepemimpinan di mata masyarakat. Kecepatan, kelugasan, kecermatan, kecerdasan mengambil keputusan juga sangat berpengaruh besar menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada. Dan di sini lah esensi kepemimpinan Panungkunan pandapotan yang sangat diharapkan rakyat dari seorang pemimpin.
 Salah satu contoh, ketika rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) tarik-ulur oleh pemerintah menimbulkan ketidakpastian ditengah-tengah masyarakat. Kelambanan, keragu-raguan mengambil keputusan telah membuka peluang spekulasi yang merugikan kepentingan rakyat. Harga-harga kacau balau dan tak terkendali karena pemimpin tidak mampu memberi kepastian kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dengan cepat disertai alasan yang tepat hingga masyarakat terombang-ambing, curiga, serta melakukan berbagai protes di mana-mana. Disinilah bukti nyata kegagalan seorang pemimpin memosisikan diri Partogi pangihutan, Panungkunan pandapotan bagi rakyat.   
Oleh sebab itu, seorang pemimpin harus memiliki kemampuan Partogi pangihutan, Panungkunan pandapotan secara nyata agar kehadirannya benar-benar tampak dan dirasakan oleh masyarakat, bangsa dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada.
Seorang pemimpin tidak boleh sekali-sekali menularkan kebimbangan, keragu-raguan, pesimisme, apalagi rasa tak percaya diri terhadap rakyat walau menghadapi situasi amat sangat genting sekalipun. Justru sebaliknya, membangkitkan, menumbuhkan semangat serta optimisme masyarakat, bangsa setinggi-tingginya sebagai energi besar api perjuangan menuju cita-cita yang hendak dicapai.
Salah satu seruan besar Jawaharlal Nehru memberi spirit terhadap bangsanya ialah; 
Munandar (2008) Jawaharlal Nehru, ”Masa depan itu tidak akan mudah, melainkan juga akan menuntut perjuangan agar kita dapat memenuhi janji-janji kita, termasuk yang akan kita ikrarkan hari ini. Melayani India sama dengan melayani jutaan orang menderita. Itu berarti tugas maha berat mengatasi kemiskinan, kesia-siaan, wabah penyakit, dan ketimpangan kesempatan.
Ambisi utama para orang besar di zaman kita adalah menghapuskan air mata. Mungkin tugas ini takkan terselesaikan seumur hidup kita. Namun yang jelas, selama masih ada air mata, selama itu pula kita masih harus bekerja.” (Munandar, Haris, Terj, 2008; hal. 121).     
Kesadaran seperti inilah esensi  kepemimpinan Partogi pangihutan, Panungkunan pandapotan yang mampu memberi arah, semangat, serta optimisme terhadap seluruh lapisan masyarakat. Dengan demikian, setiap insan mempunyai gairah hidup dan kebanggaan terhadap pemimpinnya.
Seorang Partogi harus memiliki kemampuan menyemangati, membangun jati diri, martabat, harga diri bangsa di tataran percaturan antar bangsa-bangsa. Dengan kecerdasan, kejenialan mampu mendorong karya-karya unggul berdaya saing yang mendatangkan kemakmuran, kesejahteraan serta kebahagiaan seluruh rakyat. Sebab, tugas utama seorang pemimpin adalah mewujudkan kebahagiaan seluruh rakyat, tanpa kecuali.
Namun, fakta empris membuktikan, bahwa sebahagaian besar pemimpin justru berperilaku sebaliknya. Kebanyakan pemimpin tidak mampu memosisikan diri sebagai Partogi pangihutan, Panungkunan pandapotan terhadap rakyat atau yang dipimpin. Pemimpin yang seharusnya solusi masalah, justru bagian dari masalah yang menimbulkan degradasi kepercayaan terhadap pemimpin pada era belakangan ini.
Berbagai kekeliruan kebijakan kerap digulirkan para pemimpin karena terjebak pada subyektivitas politik, sektarian-primordial yang ditengarai demi mewujudkan kepentingan pribadi, kelompok maupun golongan. Bahkan, banyak pemimpin menempatkan diri di sudut sektarian-primordial. Akibatnya, tak mampu memosisikan diri pemimpin publik yang mengabdi terhadap seluruh lapisan masyarakat, bangsa, tanpa kecuali. 
Fenomena perpolitikan Indonesia di era reformasi ialah munculnya ambisi para pemimpin publik menjadi petinggi partai politik yang notabene partisan dan sektarian. Presiden, menteri, gubernur, bupati/walikota dan pejabat publik lainnya menjadi ketua atau petinggi partai politik tertentu menjadikan mereka tidak jelas apakah pejabat publik atau petinggi partai politik. 
Keterlibatan para pejabat publik di partai politik akan sangat bertentangan dengan posisi pejabat publik milik seluruh rakyat, tanpa kecuali. Karena, biar bagaimana pun bila presiden, menteri, gubernur, bupati/walikota dan lain-lain sebagai pemimpin partai politik akan sulit melepaskan diri dari interst kepentingan sektoral atau kepentingan partai politik tertentu. 
Mono loyalitas terhadap pimpinan akan semakin diragukan, bahkan hilang sama sekali. Sebab seorang pemimpin mempunyai ”dua tuan” sekaligus. Misalnya, seorang menteri, gubernur, bupati/walikota yang tidak satu partai dengan presiden tidak mungkin memiliki mono loyalitas terhadap presiden ataupun pemimpin diatasnya karena pemimpin tersebut cenderung lebih taat dan takut pada garis partai daripada pemimpin diatasnya.   
Kepemimpinan yang tak didukung mono loyalitas bisa dipastikan tak akan berjalan maksimal, malah mengalami hambatan atau ketersumbatan arus kebijakan dari level atas ke level dibawahnya karena para pemimpin mengutamakan kepentingan partai politik masing-masing. Padahal, seharusnya seorang pemimpin adalah Partogi pangihutan, Panungkunan pandapotan bagi seluruh rakyat tanpa sekat-sekat apapun. Seorang pemimpin harus memiliki karakter unggul agar mampu mengatasi seluruh kepentingan rakyat yang dipimpin. Kepentingan umum harus ditempatkan di atas kepentingan pribadi, kelompok maupun golongan.
Kesadaran inilah yang sangat langka ditemukan pada diri seorang pemimpin ditengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini. Jiwa kenegarawanan untuk mengemban tugas-tugas kepemimpinan Partogi pangihutan, Panungkunan pandapotan sudah semakin sulit ditemukan pada diri para pemimpin di negeri ini karena keliru meletakkan peta jalan (road map) pembangunan bangsa, termasuk pembangunan karakter bangsa sebagaimana dianjurkan Bung Karno.
Bila diperhatikan dengan cermat pada era belakangan ini, para pemimpin di segala level kepemimpinan telah terjebak atau terkoptasi nuansa politik kepentingan pribadi, kelompok maupun golongan. Dan sudah sangat jarang ditemui pemimpin berjiwa negarawan yang mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi, kelompok maupun golongan.
Bahkan, presiden, menteri, gubernur, bupati/walikota pun telah menjadikan dirinya ketua umum atau petinggi partai politik tertentu yang notabene mengutamakan kepentingan partai atau kelompoknya dalam penyelenggaraan negara atau pemerintahan yang diamanahkan pada dirinya.
Padahal, presiden/wakil presiden sebelum memangku jabatan harus terlebih dahulu bersumpah sesuai pasal 9 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, selengkapnya berbunyi;
Pasal 9 (1) Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat sebagai berikut.
Sumpah Presiden (Wakil Presiden):
”Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa.”   
Inilah salah satu logika terbalik atau logika aneh yang sangat perlu diperbaiki dan diluruskan agar para pemimpin publik tidak melakukan penyesatan logika, penyelewengan amanah dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) sesuai Sumpah atau Janji Jabatan yang diucapkan pemimpin tersebut.
Kesimpulan.
            Sebagai agenda politik strategis pemilihan kepala daerah (Pemilukada) serentak pada 09 Desember 2015 akan datang, dan khususnya di daerah sekitar Kaldera Toba pemilihan kepala daerah bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota maupun pemilihan gubernur seharusnya digunakan sebaik-baiknya untuk memilih kepala daerah sesuai kearifan budaya Batak Toba agar momentum pemilukada benar-benar mampu menghadirkan pemimpin-pemimpin daerah yang sesuai dengan karakter, jati diri masyarakat beradat dan beradab.
            Seluruh lapisan masyarakat tidak boleh sekali-sekali menjual dan menggadaikan martabat dan harga dirinya demi sejumlah rupiah. Pemimpin atau kepala daerah yang dipilih berdasarkan kemampuan bagi-bagi uang tak akan pernah bisa diharapkan membawa kemajuan pembangunan daerah, malah akan berpotensi masuk penjara dikemudian hari, sebab para calon kepala daerah yang membagi-bagi uang ketika pemilihan akan berupaya mengembalikan modal melalui mata anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) ataupun penempatan pejabat-pejabat daerah di saat berkuasa. Nasib rakyat, pembangunan daerah bukanlah jadi tujuan, tetapi mengembalikan modal ditambah menimbun harta dan kekuasaan.
            Karena itu, jika masyarakat ingin merasakan laju percepatan pembangunan di daerahnya masing-masing, hanya ada satu kata ”TOLAK POLITIK UANG”. 
            Selamat berdemokrasi ! Pilih calon kepala daerah memiliki kompetensi, kejujuran, kredibilitas, kapasitas, kapabilitas, dan integritas sebab hanya ditangan pemimpin seperti itulah harapan, dambaan rakyat terwujud.
Horas !
                                                                                                            Medan, 20 Oktober 2015

                                                                                                            Thomson Hutasoit.