3.
Pamuro so mantat sior, Parmahan so mantat batahi.
Seorang
pemimpin harus mampu melindungi, mengayomi, mengarahkan, menggerakkan pihak
lain untuk menuju suatu tujuan yang hendak dicapai yakni;
kebahagiaan seluruh rakyat. Salah satu esensi kepemimpinan menurut Siahaan (1936) ialah ”Pamuro so mantat sior,
parmahan so mantat batahi; na di jolo niehaan, na di pudi paimaon.” Maksudnya
ialah seorang pemimpin yang memiliki kharisma kepemimpinan ditandai kemampuan
membimbing, mengarahkan, mendorong, menggerakkan pihak lain untuk mencapai
tujuan yang dikehendaki pemimpin melalui tindakan keteladanan dan/atau
perkataan yang patut dipatuhi, dituruti dengan pendekatan persuasi, bukan karena sanksi ataupun paksaan.
Kepatuhan,
penurutan rakyat terhadap seorang pemimpin bukan atas rasa ketakutan,
sanksi-sanksi hukum, ataupun paksaan yang diterapkan, melainkan didorong
kesadaran serta kemauan tulus terhadap pemimpin bersangkutan.
Seorang pemimpin
yang mampu memosisikan diri sebagai pelindung, pengayom bagi rakyat tanpa
menggunakan otoritas kekuasaan akan mendapat apresiasi positif di mata rakyat.
Pemimpin seperti itu lah yang pantas disebut di depan diikuti atau disusul, di
belakang ditunggui.
Dalam ungkapan Batak Toba sering dikatakan, ”Di jolo
siuhuthonon, di pudi sipaimaon, di tonga-tonga siharungguan” yaitu di depan diikuti, di belakang di
tunggu, ditengah-tengah dikerumuni. Dan pada suku Jawa juga dikenal, Tut wuri
handayani, Ing ngarso sung tulodo, Ing madiya mbangun karso.
Ungkapan seperti itu ialah cerminan pengakuan,
penghargaan, penghormatan terhadap seorang pemimpin yang mampu melindungi,
mengayomi, mendorong, mengarahkan serta memberi keamanan, kenyamanan,
keteladanan kepada rakyat secara nyata.
Ranoh
(2006) Menurut Koentjaraningrat skema kekuasaan dalam masyarakat sederhana,
tradisional dan masa kini, empat komponen yang senantiasa ada dalam tiap jenis
masyarakat yakni: wibawa, kharisma, wewenang dan kemampuan khusus. Skemanya
demikian:
1. Masyarakat sederhana; wibawa,
wewenang, kharisma, kemampuan khusus.
2. Masyarakat tradisional; kharisma,
wewenang, wibawa, kemampuan khusus.
3. Masyarakat masa kini; wibawa,
wewenang, kharisma, kemampuan khusus.
Dari skema kekuasaan di atas, ada dua hal menarik,
khususnya dalam kaitan dengan komponen kharisma.
Pertama, pengertian berbeda yang ia berikan pada
kharisma. Dalam masyarakat sederhana, kharisma diartikan sebagai kemampuan
pemimpin dalam ilmu gaib untuk memperbesar pengaruh. Jadi, kharisma bermakna
kesaktian. Dalam masyarakat tradisional, kharisma diartikan sebagai sifat
keramat dan pemilik wahyu. Karena itu, untuk menjaga kekeramatan, pemimpin
mengambil jarak dengan rakyat. Dalam masyarakat masa kini, kharisma adalah
pemilikan sejumlah kualitas spiritual untuk menunjang kekuasaan, dan dengan itu
pemimpin disegani.
Kedua, adalah cara menempatkan kharisma
untuk setiap jenis masyarakat seperti jelas dari skema. Untuk masyarakat
sederhana dan masa kini kharisma ditempatkan sebagai komponen ketiga. Untuk
masyarakat tradisional, kharisma adalah komponen pertama.
Lepas dari alasan
penempatan, Koentjaraningrat memberikan wawasan yang menarik bahwa kharisma
adalah suatu komponen kepemimpinan, baik untuk masyarakat kuno maupun modern.
Kharisma bukan konsep yang hanya relevan untuk dunia timur, melainkan untuk
semua masyarakat.( Ranoh, Ayub, 2006; hal. 70).
Dalam konteks
Pamuro so mantat sior, parmahan so mantat batahi ialah pemimpin berkharisma dipatuhi, dituruti oleh
rakyat bukan karena takut atas sanksi-sanksi hukum atau paksaan, melainkan
respon positif atas keunggulan karakter moral pemimpin yang mampu menjadikan
dirinya sebagai panutan, teladan di masyarakat.
Kharisma
kepemimpinan dengan sejumlah kualitas spiritual
menjadikan seseorang memiliki kewibawaan, marwah, dan keistimewaan di mata
rakyat sehingga disegani, dihormati, dituruti bukan karena segenggam kekuasaan
melekat memaksa untuk mendapat
pengakuan, penurutan terhadap dirinya.
Seorang
pemimpin tidak harus tangan besi agar dituruti dan dipatuhi, melainkan mampu
memberi contoh keteladanan ditengah-tengah masyarakat. Keteladanan itu,
dilakukan konsisten, konsekuen, terus-menerus sehingga orang lain memedomani
dalam hidup sehari-hari. Ini lah esensi
kepemimpinan sejati yang mendapat pengakuan paripurna dari rakyat.
Oleh sebab
itu, sungguh sangat keliru besar bila seorang pemimpin menggunakan ’arogansi
kekuasaan’ kepada rakyatnya sendiri, seperti; menyeret rakyat ke ranah hukum
dan memenjarakan, membungkam lawan-lawan
politik semata-mata diakibatkan adanya kritisi terhadap pemimpin.
Tindakan
seperti itu, tentu sangat kontraproduktif dengan esensi kepemimpinan yakni;
melindungi, mengayomi, menggembalakan,
mengarahkan, membangkitkan, menggerakkan seperti yang dimaksud Pamuro so
mantat sior, parmahan so mantat batahi yang merupakan esensi kepemimpinan berdasarkan
kultur budaya Batak Toba.
Ketidaksiapan
seseorang memangku kekuasaan (pemimpin) membuat kekuasaan pedang bermata dua.
Di satu sisi kekuasaan ditujukan mengejar dan merengkuh kesenangan, kenikmatan,
kepuasan (hedonisme) pribadi
sebesar-besarnya. Di sisi lain seharusnya kekuasaan ialah instrumen pengabdian
untuk mendorong percepatan terwujudnya kebahagiaan kolektif.
Tjahajono (2002)
Victor Frankl mengatakan; kesenangan, kenikmatan, atau kepuasan hanyalah
konsekuensi logis dari pemenuhan akan ”makna”, sementara kekuasaan hanyalah
”alat” untuk menemukan dan mendapatkan makna. Karenanya, seseorang yang telah
mencapai ”kemanusiaannya” (self
fulfilling of values and minings) tidak menggunakan kekuasaannya untuk
menindas atau menyakiti orang lain.
Tentu saja
manifestasi ”menindas atau menyakiti orang lain” harus diartikan secara luas,
tidak an sich menyakiti seseorang secara
fisik. Menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi, saat tanggung jawab
yang dipikulnya berkaitan dengan orang banyak (baik fisik atau psikis) –
esensinya sama dengan menindas atau menyakiti.(Tjahjono, Herry, 2002; hal. 127).
Ranoh (2006),
kepemimpinan adalah kemampuan mempengaruhi orang lain, sehingga orang lain itu
bersikap dan berlaku sesuai tujuan pemimpin. Sedangkan otoritas atau kewenangan
adalah hak yang menjadi dasar bagi seseorang untuk mengontrol dan memerintah
orang lain.
Jadi, walaupun ada kaitan antara dua
konsep ini, tekanan masing-masing berbeda. Kepemimpinan menekankan peran dan
fungsi memberi pengaruh; sedangkan otoritas menyangkut dasar dan hak yang absah
dan mensyaratkan adanya pengakuan pihak yang mengalami pelaksanaan otoritas
itu, baik dalam kerangka tradisi, legalitas, maupun kualitas istimewa individu
pemimpin.
Pembedaan
konsep kepemimpinan dan otoritas ini menuntun kepada pengertian kepemimpinan
kharismatis, sebagai satu jenis kepemimpinan yang dengannya seseorang melakukan
kegiatan memimpin berdasarkan kharisma, serta pengakuan terhadap kharisma itu.
Bila
kepemimpinan ini dilaksanakan dalam hubungan dengan rakyat, menyangkut
kehidupan bangsa dan negara, maka jenis ini disebut sebagai kepemimpinan politis
kharismatis, kepemimpinan yang diterima rakyat karena pengakuan mereka terhadap
kharisma pemimpin dalam bidang politik, baik karena dorongan faktor-faktor
empiris, maupun karena kenyataan adanya kharisma pemimpin.
Willner,
berdasarkan teori Weber merumuskan kepemimpinan kharismatik sebagai relasi
antara seorang pemimpin dengan pengikut, dengan empat ciri;
Pertama,
pemimpin diakui memiliki kualitas istimewa, kadang-kadang dianggap superhuman. Kedua, pengikut secara tidak
kritis menerima pendapat pemimpin sebagai kebenaran. Ketiga, pengikut memberi
ketaatan mutlak kepada pemimpin. Keempat, pengikut memperlihatkan komitmen
emosional terhadap pemimpin dan misinya. (Ranoh, Ayub, 2006; hal. 72-73).
Disinilah
salah satu perbedaan nyata antara kepemimpinan formal dengan kepemimpinan informal.
Kepemimpinan formal cenderung
didasarkan atas otoritas kekuasaan memaksa dengan berbagai sanksi, sedangkan
kepemimpinan informal menekankan
peran dan fungsi memberi pengaruh tanpa sanksi-sanksi (Pamuro so mantat sior,
parmahan so mantat batahi).
Pamuro so
mantat sior, parmahan so mantat batahi adalah kepemimpinan kharismatis yang
mampu melindungi, mengayomi zonder otoritas memaksa, melainkan mampu
mengarahkan, memengaruhi orang lain melalui kualitas kepemimpinan istimewa yang
mampu melakukan pendekatan persuasi, serta menanamkan nilai-nilai
kesadaran tentang hak dan kewajiban
masing-masing dalam segala segmen kehidupan.
Jika setiap
orang telah memahami dan menyadari hak dan kewajiban dengan baik dan benar maka
secara otomatis tiap-tiap orang akan melaksanakan tugas tanggungjawabnya
dengan baik dan benar. inilah yang
sering disebut kesadaran hukum.
Upaya
membangun kesadaran hukum masyarakat merupakan salah satu esensi kepemimpinan
yang perlu dilakukan maksimal agar setiap orang menyadari hak dan kewajiban
dalam berbangsa dan bernegara.
Membangun
kesadaran hukum (kadarkum) masyarakat tentu memerlukan keteladanan dari seorang
pemimpin Pamuro so mantat sior, Parmahan so mantat batahi untuk mengubah pola
pikir (mindset) masyarakat tanpa
kekerasan, paksaan ataupun sanksi-sanksi (sior atau batahi).
Bila seorang
pemimpin selalu beraksioma, berikhtiar menciptakan rasa takut melalui tekanan
atau intimidasi maka pemimpin tersebut
telah keliru memahami esensi kepemimpinan berdasarkan kultur budaya Pamuro so
mantat sior, Parmahan so mantat batahi yang diwariskan leluhur Batak Toba.
Harian Kompas,
27 Februari 2014, halaman; 5, kolom; 6-7 dengan judul ’Warisan’ Hoegeng Iman
Santoso Kepala Kepolisian Republik Indonesia 1968-1971 mengatakan,”Baik menjadi
orang penting. Tapi yang lebih penting adalah orang baik”.
Prinsip yang
diwariskan ’Polisi teladan, teladan polisi” ini telah langka ditemukan pada
diri para pemimpin di era edan ini, malah berbuat sebaliknya, berambisi dan
berebut jadi orang penting dengan menghalalkan segala cara seperti; politik
transaksional, pembodohan, pembohongan, kemunafikan, bahkan kekerasan terhadap
rakyat. Para ambisius kedudukan, jabatan atau orang penting ini bukanlah
orang-orang negarawan yang memiliki keteladan (baik) ditengah-tengah
masyarakat, bahkan maniak jadi orang penting ini sepertinya telah putus urat
malu atas noda, noktah yang membalut dirinya. Berbagai tebar pesona, penciteraan
diri, pengelabuan, berpurak-purak dermawan dijadikan taktik, strategi dalam
perebutan jadi orang penting seperti; pemilihan legislatif, presiden, gubernur,
bupati/walikota dan lain-lain sebab mereka ingin memperdaya rakyat yang
seharusnya diberdayakan agar pintar, cerdas dalam politik.
Harian Kompas,
21 Februari 2014, halaman; 4, kolom; 6-7 dengan judul ’Warisan’ WS Rendra (12 Juli 1975) dalam puisinya
berjudul ’Doa untuk Anak Cucu’ mengatakan, ”Rakyat adalah Sumber Ilmu. Di dalam
masyarakat: pujangga adalah roh, pemerintah adalah badan Tanpa roh, negara
adalah robot Tanpa badan, negara adalah hantu Roh dan badan tak bisa
dipisahkan. Keduanya harus saling berimbangan kalah atau menang, itulah irama
kematian. Imbang berimbang, itulah irama kehidupan.”
Sebagai
pelindung, pengayom seorang pemimpin harus mampu menciptakan keamanan,
kenyamanan dan ketertiban agar seluruh rakyat terlepas dari cengkraman rasa
takut. Sebab hanya dalam situasi aman, nyaman dan tenang kreasi, inovasi,
karya, karsa cemerlang tumbuh subur ditengah-tengah masyarakat. Artinya, rakyat
akan giat berkreasi, berinovasi, berkarya bila tidak dibayangi rasa ketakutan,
kecemasan dari tekanan kekuasaan.
Karena itu, segala bentuk legalitas yang mengekang
kebebasan atau mematikan kreativitas harus dihilangkan agar setiap orang tidak
dibayangi rasa takut mengembangkan diri seluas-luasnya.
Seorang
pemimpin Pamuro so mantat sior, Parmahan so mantat batahi tak pernah menjadikan
dirinya momok ditakuti, justru sebaliknya, selalu berupaya melakukan pendekatan
persuasif serta memosisikan diri sebagai seorang bapak yang melindungi, mengayomi, mendorong pertumbuhan kemajuan di segala bidang
kehidupan.
Dukungan,
dorongan pemimpin terhadap rakyat yang dipimpin harus pula dipahami suatu energi
besar menumbuhkan rasa percaya diri sekaligus membangkitkan semangat rakyat
lebih produktif di segala segmen kehidupan.
Pendekatan
persuasif serta kepedulian terhadap pihak lain melahirkan rasa segan disertai
rasa hormat terhadap seorang pemimpin. Karena itu, sungguh sangat keliru besar
bila seorang pemimpin mengharapkan kepatuhan, kepenurutan semata-mata
dilandaskan pada perintah, komando dibarengi paksaan ataupun
sanksi-sanksi.
Sebab, setiap
perintah atau komando yang dipaksakan akan menimbulkan rasa takut. Sebaliknya,
arahan, ajakan, himbauan yang dilakukan melalui pendekatan kemanusiaan (human approach) seperti, mengetahui,
memahami kebutuhan pihak lain akan melahirkan kepatuhan, kepenurutan tulus ikhlas
dari kesadaran murni. Misalnya, bila masyarakat telah menyadari bahwa menerobos
lampu merah akan mencelakakan dirinya dan orang lain maka dia tidak akan
menerobos lampu merah walaupun polisi tidak ada di tempat lampu merah. Tapi,
bila masyarakat belum menyadari resiko menerobos lampu merah maka ketika polisi
tidak ada di tempat akan menerobos lampu merah, sebab dia belum memiliki
kesadaran berlalu lintas yang baik dan benar.
Peran pemimpin
Pamuro so mantat sior, parmahan so mantat batahi membimbing, mengarahkan,
menggerakkan melalui berbagai motivasi dan pemahaman tentang hak dan kewajiban,
serta pembumian kesadaran tentang nilai-nilai luhur lainnya sangat dibutuhkan
dalam berbangsa dan bernegara. Dan di sini lah peran pemimpin untuk memberi
pemahaman tentang hak dan tanggung jawab terhadap rakyat yang merupakan esensi
kepemimpinan ditengah-tengah masyarakat, bangsa maupun negara.
Kesuksesan
atau keberhasilan seorang pemimpin juga sangat dipengaruhi kemampuan pendekatan
personal (personal approach) yaitu;
kemampuan mengetahui kebutuhan individu-individu, yang tentu saja seorang demi
seorang mempunyai kebutuhan, kepentingan berbeda-beda, baik jenis, ragam maupun
coraknya.
Kemampuan
pemimpin mengetahui kebutuhan individu-individu akan melahirkan pendekatan yang berbeda-beda pula
terhadap orang yang dipimpin. Sebab, tipe manusia tidak lah sama satu sama lain
seperti peribahasa klasik mengatakan ’rambut sama hitam, hati siapa yang tahu’,
sehingga sangat kurang tepat menerapkan satu jenis pendekatan terhadap semua
orang secara pukul rata. Hal itu, bukan lah pekerjaan yang mudah dan ringan,
tetapi seorang pemimpin yang sukses juga melakukan pendekatan individu (personal approach) untuk mengetahui dan
memahami perilaku-perilaku bawahannya secara mendetail.
Seorang
manajer atau pemimpin hebat selalu berupaya mengetahui, memahami karakter yang
dipimpin se detail-detailnya. Dengan memahami karakter-karakter itu ia mampu
melakukan pendekatan yang tepat dan akurat terhadap setiap individu.
Pendekatan
individu (personal approach) disertai
pendekatan kemanusiaan (human approach)
terhadap bawahan menjadikan pemimpin sosok ’kebapaan’ yang mengetahui dan
memahami keberadaan bawahan atau rakyat.
Pemimpin
Pamuro so mantat sior, Parmahan so mantat batahi adalah tipe kepemimpinan yang
mengedepankan pendekatan kasih sayang (holong) seperti seorang bapak terhadap
anak-anaknya. Kepemimpinannya tidak semata-mata dipandang dari sudut otoritas
kekuasaan belaka. Segala sesuatu tidak dilihat dari sudut hitam-putih,
benar-salah, melainkan sentuhan kasih sayang untuk mengarahkan, membimbing ke
arah positif.
Pemimpin Pamuro so
mantat sior, Parmahan so mantat batahi lebih mengedepankan sifat-sifat
”kebapaan”, bukan kekuasaan dengan segala otoritas memaksa apalagi menimbulkan
rasa takut. Karena itu lah maka disebut so mantat sior, so mantat batahi yang bermakna tanpa ganjaran atau sanksi yang dianalogikan dengan anak panah
(sior) atau cambuk (batahi).
Melaksanakan kepemimpinan tanpa sanksi (sior, batahi)
harus diakui merupakan hal yang berat apalagi dalam situasi kekinian munculnya
fenomena semakin tidak takut melakukan
tindak pelanggaran hukum sekalipun sanksinya berat. Walau demikian, bukan
berarti bahwa kepemimpinan Pamuro so mantat sior, Parmahan so mantat batahi
mustahil dilaksanakan ditengah-tengah zaman ’edan’ ini. Sebab, bila diamati
serta dicermati seksama ’keedanan’ itu tidak lain dan tidak bukan adalah merupakan ekses dari kealpaan pemimpin
memberi keteladanan ditengah-tengah masyarakat, bangsa maupun negara.
Berbagai perilaku tak patut melanggar norma-norma kerap
dilakukan para pemimpin, seperti; korupsi, kolusi, nepotisme, penyelewengan
jabatan, pembohongan publik, serta tindakan kotor lainnya menimbulkan hilangnya
keteladan pemimpin di mata rakyat.
Hal itu lah salah satu penyebab utama mengapa timbul
perlawanan, pembangkangan sosial ditengah-tengah masyarakat. Penyelenggara
negara atau pemerintahan yang seharusnya menegakkan peraturan
perundang-undangan justru melakukan penyimpangan, pelanggaran demi keuntungan
pribadi, kelompok maupun golongan tertentu.
Djohan & Milwan (2008), Setiap penyelenggara negara
(pemimpin) harus memiliki norma etika, antara lain; ”Berakhlak mulia, tepat
janji, jujur, adil, arif, disiplin, taat hukum, tanggung jawab dan akuntabel,
sopan santun, kehati-hatian, dan kesetaraan.” (Djohan Djohermansyah &
Milwan, 2008; hal. 8.3-8.5).
Etika penyelenggaraan negara kadangkala diabaikan para
pemimpin dalam mengemban kepemimpinannya. Kealpaan itu lah salah satu penyebab
utama mengapa seseorang tak mampu memosisikan diri pemimpin Pamuro so mantat
sior, Parmahan so mantat batahi.
Dr. Rustam Effendy Nainggolan, MM, Bupati Tapanuli Utara
(1999-2004) yang akrab dikenal RE. Nainggolan, mantan Sekretaris Daerah (Sekda)
Provinsi Sumatera Utara adalah salah satu contoh pemimpin yang
mengimplementasikan Pamuro so mantat sior, Parmahan so mantat batahi selama
memangku jabatan kepemimpinan. RE. Nainggolan selalu menyapa para bawahannya
dengan sapaan ’amang atau inang’ sehingga dia sosok seorang ’bapak’ bagi
bawahannya.
Sapaan ’amang atau inang’ kepada para bawahan disertai
senyum manis menjadikan RE. Nainggolan diberi predikat ”Bupati Senyum’ (Smile Bupati) di kalangan masyarakat
Sumatera Utara. Hampir jarang terdengar, terlihat tokoh masyarakat Sumatera
Utara ini memarahi atau memberi teguran keras terhadap bawahannya, tetapi
memberi keteladan dalam mengemban tugas dan tanggung jawab hingga pensiun dari
berbagai jabatan penting di daerah Sumatera Utara.
Karena itu, tidak perlu heran ketika mantan bupati ini
meninggalkan institusi para bawahannya seperti kehilangan induk, serta
mengucurkan air mata karena ditinggalkan pemimpin Pamuro so mantat sior,
Parmahan so mantat batahi ini.
Berbagai kesedihan, keharuan para bawahan ketika
pemimpinnya mengakhiri tugas kepemimpinan harus pula dimaknai wujud nyata
penghargaan, penghormatan terhadap pemimpin yang mampu memosisikan diri ’bapak’
terhadap bawahan ataupun rakyat yang dipimpin.
Pemimpin Pamuro so mantat sior, Parmahan so mantat batahi
memahami paripurna ”Kemarahan raja adalah seperti raung singa muda, tetapi
kebaikannya seperti embun yang turun ke atas rumput” (Amsal 19;12), dan ”Siapa
lekas naik darah, berlaku bodoh, tetapi orang bijaksana, bersabar” (Amsal 14;
17). ”Orang yang sabar besar pengertiannya, tetapi siapa cepat marah
membesarkan kebodohan.” (Amsal 14; 29).
”Untuk mengetahui hikmat dan didikan, untuk mengerti
kata-kata yang bermakna, untuk menerima didikan yang menjadikan pandai, serta
kebenaran, keadilan dan kejujuran, perkataan dan teka-teki orang bijak, Takut
akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan, tetapi orang bodoh menghina hikmat dan
didikan.” (Amsal 1:2-7).
”Kebijaksanaan akan memelihara engkau, kepandaian akan
menjaga engkau supaya engkau terlepas dari jalan yang jahat, dari orang yang
mengucapkan tipu muslihat, dari mereka yang meninggalkan jalan yang lurus dan
menempuh jalan yang gelap; yang bersukacita melakukan kejahatan, bersorak-sorak
karena tipu muslihat yang jahat, yang berliku-liku jalannya dan yang sesat
perilakunya.” (Amsal 2: 11-15).
”Neraca serong adalah kekejian bagi TUHAN, tetapi ia
berkenan akan batu timbangan yang tepat. Jikalau keangkuhan tiba, tiba juga
cemooh, tetapi hikmat ada pada orang yang rendah hati. Orang yang jujur
dipimpin oleh ketulusannya, tetapi pengkhianat dirusak oleh kecurangannya.”
(Amsal 11: 1-3).
4.
Siduduk na ginjang, Sibalun na bolak.
Salah satu elemen dasar kepemimpinan menurut kultur
budaya Batak Toba ialah kredibilitas, kapasitas, kapabilitas, integritas yang
didukung kecerdasan dan kebijakan melekat pada diri seorang pemimpin.
Kemampuan seperti itu merupakan unsur penting yang harus
dimiliki seorang pemimpin supaya mampu
Siduduk na ginjang, sibalun na bolak terhadap orang lain. Untuk menyelesaikan
suatu permasalahan tentu diperlukan kemampuan, kecerdasan serta kepiawian dalam
menangani berbagai masalah ditengah-tengah kehidupan masyarakat.
Dengan demikian, eksistensi seorang pemimpin benar-benar
menjadi solusi masalah, bukan sebaliknya, justru bagian dari masalah.
Pengertian Siduduk na ginjang, Sibalun na bolak ialah
seorang pemimpin yang mampu mengatasi permasalahan atau persoalan besar diperkecil
atau dikurangi, yang luas dipersempit atau di hilangkan. Atau dengan perkataan
lain, seorang pemimpin harus mampu menyelesaikan berbagai masalah yang besar
diperkecil, yang kecil dihilangkan. Bukan sebaliknya, yang tidak ada
diada-adakan, yang kecil dibesar-besarkan, yang besar dijadikan sumber
malapetaka pada rakyatnya.
Seorang pemimpin sungguh sangat tidak pantas dan tepat
bila berupaya mencari-cari kelemahan atau kesalahan rakyatnya. Jika ada pemimpin berlakon seperti itu maka pemimpin
tersebut telah melakukan wanprestasi, pengingkaran, pengkhianatan tentang makna atau esensi
sejati kepemimpinan melindungi, mengayomi seluruh rakyat.
Perilaku, tindakan pemimpin seperti itu sangat berbanding
terbalik dengan Siduduk na ginjang, Sibalun na bolak sebagaimana dimaksudkan
kultur budaya Batak-Toba yang bermakna seorang pemimpin harus mampu menjadi
solusi nyata atas berbagai permasalahan ataupun persoalan ditengah-tengah
kehidupan masyarakat, bangsa maupun negara.
Sebagaimana
telah diuraikan pada Raja urat ni uhum, Namora ihot ni hosa, bahwa pemimpin (raja) adalah sumber
hukum serta penegak kebenaran dan keadilan tentu harus lah ditunjang kemampuan,
keunggulan karakter moral, serta kemampuan ekonomi memadai agar mampu
menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi rakyat.
Aneka
ragam permasalahan kehidupan ditengah-tengah masyarakat, bangsa harus mampu
diselesaikan dengan arif bijaksana supaya kehadiran seorang pemimpin
benar-benar menjadi personifikasi Siduduk na ginjang, sibalun na bolak dalam
segala hal.
Kemampuan,
kepiawian seorang pemimpin memberi solusi permasalahan merupakan esensi sejati
kepemimpinan karena tidak semua orang memiliki kemampuan, kecerdasan
menyelesaikan aneka ragam permasalahan di tengah-tengah kehidupan masyarakat,
bangsa maupun negara
Di sini
lah salah satu peran penting dan strategis kehadiran seorang pemimpin terhadap
rakyat. Karena itu, memilih, menentukan, mengangkat seorang pemimpin harus
benar-benar mempertimbangkan faktor kredibilitas, kapasitas, kapabilitas,
integritas, kecerdasan melalui pelacakan rekam jejak seseorang di masa lalu.
Robbins (2009), ”Prediktor terbaik perilaku seseorang di
masa depan ialah perilakunya di masa lalu.”
Esensi kepemimpinan ialah kepercayaan. Sebab, mustahil
kita memimpin orang yang tidak memercayai. Oleh sebab itu, seorang pemimpin
efektif harus mengetahui bagaimana membingkai isu-isu. Pembingkaian (framing) adalah suatu cara menggunakan
bahasa untuk mengelola makna.
Pembingkaian adalah elemen vital dalam kepemimpinan
visioner. Dan ada lima bentuk bahasa dalam membingkai isu yakni; metafora,
jargon, kontras, plintiran dan cerita.
Metafora membantu memahami suatu hal dengan menggunakan
istilah yang lain. Metafora bekerja dengan baik manakala standar perbandingan
dimengerti dengan baik dan berhubungan secara logis dengan hal yang lain.
Jargon adalah bahasa yang khas bagi profesi, organisasi,
atau program spesifik tertentu. Jargon menyampaikan makna akurat hanya kepada
mereka yang mengenal bahasa sehari-hari.
Kontras adalah menyoroti suatu subyek dengan pengertian
yang berlawanan. Karena, terkadang lebih mudah mengatakan suatu subyek dengan
pengertian yang sebaliknya.
Plintiran ialah menempatkan suatu subyek dibawah cahaya
positif atau negatif. Pemimpin yang bagus dalam memlintir membuat orang lain
menafsirkan kepentingan mereka dalam arti positif dan yang berlawanan dalam
arti negatif.
Cerita adalah pembingkaian menggunakan isu-isu sebagai
bahan cerita yang bertujuan menjelaskan sesuatu terhadap pihak lain sehingga
diketahui sebagaimana mestinya. (Robbins, Stephen P, 2009: Terj; hal. 3-88).
Leluhur Batak Toba juga memahami paripurna bagaimana
mendeteksi rekam jejak seseorang melalui tarida do imbo sian soarana, tarida do
hau sian parbuena, tarida do gaja sian bogas ni patna, tarida do jolma sian
pangalahona. Perilaku masa lalu adalah cerminan karakter di masa depan sebab
perilaku adalah suatu proses pembiasaan seperti nasehat para orang tua terhadap
anak-anak, misalnya; pa somal-somal ma dirim mangulahon na denggan (biasakanlah
dirimu berbuat baik).
Seorang pemimpin tentu tidak cukup hanya mengandalkan
kepintaran, kecerdasan dalam kepemimpinan. Selain kepintaran, kecerdasan
seorang pemimpin harus pula bekerja dengan hati sehingga mampu menangkap,
menyerap getaran denyut jantung yang dipimpin.
Saleh (2009) Seseorang yang bekerja dengan hati nurani
memahami, bahwa Hati ibarat cermin, siapa pun dapat mengetahui dirinya dengan
cermin itu. Jika di atas cermin dipenuhi dengan debu, tentu ia sulit untuk
menangkap cahaya apalagi memantulkannya. Kalaupun ia dapat memantulkan objek,
tentu hasil pantulannya menjadi jelek pula. Itulah hati, jika kita kotori, ia
akan memantulkan sikap kejelekan.Namun,di saat kita selalu membersihkannya, ia
akan tampak bersih dan bercahaya. Jadilah ia perilaku pemiliknya.
Hati yang bersih
akan mudah menerima cahaya kebenaran, menangkapnya, dan memantulkannya. Itulah
hati nurani, hati yang bercahaya. (. Saleh, Muwafik Akh, 2009; hal. 51).
Siduduk na ginjang, sibalun na bolak adalah suatu
karakter kepemimpinan yang mampu memberi solusi permasalahan melalui hati
nurani sehingga segala sesuatu tidak semata-mata didasarkan atas perhitungan
untung rugi ataupun sudut pandang formalistik belaka.
Orang yang selalu
menggunakan hati nurani bersih untuk memandang ataupun menyelesaikan sesuatu
masalah akan mampu memberi solusi arif bijaksana, sebab tidak hanya berpedoman
pada legal formalistik, tetapi mempertimbangkan nurani keadilan sehingga segala
penyelesaian masalah mencerminkan kebenaran dan keadilan universal.
Karena itu,
pemimpin Siduduk na ginjang, sibalun na bolak ialah seorang pemimpin memiliki
kepintaran, kecerdasan, kebijakan, kebajikan, serta hati nurani sehingga mampu
menerima cahaya kebenaran, menangkapnya, dan memantulkannya melalui
program-program keberpihakan terhadap kepentingan publik, serta mengandung
kebenaran dan keadilan, tanpa kecuali.
Ahmad Syafii Ma’arif dalam artikelnya berjudul ’Waktu dan
Masalah Kedaulatan’ di Harian Kompas, 4 Februari 2014 sangat menarik digunakan
untuk menganalisis esensi kepemimpinan saat ini.
Ahmad Syafii Maarif mempertanyakan; Mengapa kemunculan
seorang Tri Rismaharini (Walikota Surabaya) atau seorang Joko Widodo (mantan
Walikota Solo sekarang Gubernur DKI Jakarta) demikian fenomenal dan memikat
perhatian publik secara luas ?
Jawabannya sederhana tanpa memerlukan banyak teori:
karena keduanya dinilai memberikan contoh sebagai pemimpin yang prorakyat dan
menjalankan tugas dengan bahasa hati. Setidak-tidaknya demikianlah kesan publik
terhadap keduanya sampai hari ini.
Terpaku dan terpukaunya mata publik terhadap kedua tokoh
itu tidaklah terlalu mengherankan. Bukankah ratusan pejabat publik yang lain di
seluruh Nusantara lebih banyak disibukkan dengan urusan politik kekuasaan, di
samping memikirkan bagaimana cara melunasi utang dana kampanye yang bisa
menelan miliaran rupiah ? Termasuk janji-janji mereka kepada cukong yang mahir
”berjudi” dalam mendukung politisi yang sedang bersaing demi melebarkan sayap
bisnis mereka, jika pihak yang didukung memenangi persaingan.
Dalam suasana perlombaan terhadap kekuasaan yang sedang
berjalan sekarang, kesetiaan pada idealisme sudah lama menguap ke langit
tinggi. Maka, jika tuan dan puan sudah
bosan dengan politik, itu masuk akal. Akan tetapi, larut dalam kebosanan sangat
berbahaya karena bisa melumpuhkan perjalanan bangsa yang sebenarnya ingin
menegakkan sistem demokrasi yang sehat dan kuat.
Manusia, di mana pun di muka bumi, tidak mungkin
terhindar dari pusaran politik. Tugas kita sebagai rakyat adalah berupaya dalam
batas kemampuan kita masing-masing agar politik itu dijadikan kendaraan untuk
kepentingan orang banyak, bukan untuk mengorbankan mereka.
Politik yang mengorbankan rakyat banyak adalah jenis
politik kumuh dan biadab. Sebaliknya, politik yang bersih dan beradab pasti
bertujuan mulia membela kepentingan yang lebih besar, jauh melampaui parameter
hitung-hitungan untung-rugi jangka pendek.
Apa yang disampaikan Bung Karno dalam pidato ”Nawaksara”
pada saat kekuasaannya sedang berada di ujung tanduk pada 22 Juni 1960 patut
dicermati. ”Berdaulat dan bebas dalam politik, berkepribadian dalam kebudayaan,
dan berdikari dalam ekonomi”. Semua ranah itu kini berada di tikungan sejarah
dan dibawah ancaman asing atau agen
domestiknya, sehingga bangsa dan negara ini nyaris kehilangan kedaulatan,
kepribadian, dan kemandirian dalam makna yang sejati.”
Pertanyaan mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah itu tentu
saja didasarkan atas fenomena ambisi berkuasa atau munculnya pemimpin
zonder kredibilitas, kapasitas,
kapabilitas, serta integritas untuk memimpin.
Belakangan
ini, banyak muncul sosok-sosok ’pemimpi’
bukan pemimpin sehingga kehadiran mereka bukan solusi masalah, malah
menjadi bahagian masalah.
Padahal, menurut kultur budaya Batak Toba esensi
kepemimpinan adalah Siduduk na ginjang, sibalun na bolak yakni; menyelesaikan
aneka masalah, baik berskala kecil maupun besar ditengah-tengah kehidupan
rakyat.
Ada lagi ungkapan Batak Toba Parorot so manggotili,
Parmeme so mambonduti yakni; seseorang penggendong atau pengasuh tidak
mencubiti, pemberi makan tak memakani. Bukan seperti para pemimpin belakangan
ini yang kerap merampas atau merampok hak-hak rakyat demi keuntungan pribadi,
kelompok ataupun golongannya.
Pemimpin Siduduk na ginjang, Sibalun na bolak mengetahui,
mengerti, memahami kearifan budaya Batak Toba mengatakan, ”Ndang jadi panganon
sian balik ni rere” yang bermakna tidak boleh memakan atau mengambil bukan hak,
seperti melakukan tindakan korupsi. Karena,
tindak pidana korupsi dikategorikan tindak kejahatan kemanusiaan, musuh
yang harus dipernagi atau dimusnahkan
seluruh insan beradab di atas bumi ini.
Karena itu, tak perlu heran apabila para pemimpin tak
prorakyat selalu memerlukan atau mengutamakan aneka protokoler ketat karena
dirinya tak pernah lepas dari bayang-bayang ketakutan atas kekeliruan dan
kesalahan yang diperbuat. Sebaliknya, para pemimpin prorakyat yang mampu mendengarkan,
menangkap, serta menjabarkan kehendak rakyat tak pernah takut berhadapan dengan
rakyat karena mereka mengabdi demi kepentingan rakyat sehingga pantas dan layak
disebut, Siduduk na ginjang, sibalun na bolak.
Mudyono (2010) Seratus panduan bagi pemimpin di
Indonesia, bahwa salah satu yang perlu dimiliki seorang pemimpin ialah harus
berani mengambil resiko.
Pada saat tertentu seorang pemimpin akan menghadapi
pilihan yang sulit, mereka diuji untuk berani mengambil tindakan yang tepat
dengan keyakinan tinggi. Bila tindakan itu gagal, seorang pemimpin harus berani
mengambil resiko, jangan lari dari tanggung jawab, apalagi mencari kambing
hitam.
Karena itu, pantangan seorang pemimpin ialah; dilarang
merasa puas karena diri sendiri, jangan bangga karena keturunan, dilarang
mempunyai hobby mencela (cemooh), dilarang senda gurau dan olok-olok
berlebihan, dilarang mungkir dan dendam. (Mudyono H , 2010; hal. 147-172).
Siduduk na ginjang, Sibalun na bolak harus juga dimaknai
bahwa seorang pemimpin harus mampu
memosisikan diri sebagai bapak melindungi, mengayomi seluruh rakyat, tanpa
kecuali.
5
Parsipitu Lili.
Ungkapan Parsipitu Lili dianologikan dari kemahiran
seseorang bertenun. Seseorang dikatakan mahir dalam bertenun bila sudah mampu
menggunakan tujuh lidi (pitu lili) untuk menenun ulos pinunsaan. Jalur benang
ulos Pinunsaan banyak dan rumit sehingga
seorang penenun harus mampu mengingat jenis benang serta jalur-jalurnya supaya
ulos yang ditenun itu rapi dan cantik serta
bermutu tinggi.
Pada hakekatnya seorang pemimpin juga harus memiliki
kualitas istimewa jika dibandingkan
dengan yang dipimpin. Sebab apabila seorang pemimpin tidak memiliki keunggulan
dari yang dipimpin maka eksistensinya akan diragukan memberi solusi atas permasalahan yang ada.
Seorang pemimpin juga harus memiliki kepintaran,
kecerdasan, kejenialan di atas kemampuan yang dipimpin sehingga pantas disebut
orang nomor satu. Bila tidak demikian, kepatuhan serta penurutan terhadap
pemimpin akan rendah, bahkan tak ada sama sekali. Dan pengaruhnya pun
ditengah-tengah rakyat tak tampak sama sekali.
Kondisi demikian tentu tidak menguntungkan pada diri
seorang pemimpin sebab keberadaannya tidak dipandang penting ditengah-tengah masyarakat, bangsa maupun
negara. Inilah salah satu faktor penyebab mengapa kepemimpinan tidak efektif
memberi solusi permasalahan yang sering
disebut absen di ruang publik.
Secara de jure
pemimpin ada, tapi secara de facto
tak ada sama sekali. Sebab tak mampu memberi solusi nyata terhadap permasalahan
publik. Untuk itu, seorang pemimpin harus lah memiliki kriteria cerdas, jujur,
berani, tegas, konsisten, konsekuen, obyektif, akuntabel serta berintegritas
sebagai syarat utama pemimpin Parsipitu
Lili yakni; memiliki keunggulan, kecerdasan serta keistimewaan dibandingkan
orang lain.
Sungguh menarik artikel Ikrar Nusa Bhakti berjudul ’
Membaca Pikiran Megawati’ di Harian Kompas, 5 Februari 2014 yang mengutip
kata-kata puitis Mata Najwa di Metro TV 22 Januari 2014, ”Megawati adalah lembar tak terbuka diiringi diam dan hemat kata.
Semakin keputusan dinanti, semakin akhir kata terang biasanya didapati.
Orang-orang belajar dari sikapnya, lebih banyak dari perkataan dan retorikanya.
Cukup lama dia geming membatu, menyindir kekuasaan yang penuh ragu. Visinya tak
selalu mudah dimengerti, gagasannya lebur di dalam aksi partai. Megawati hidup
di era kesaksian, bukan pengumbar jurus pencitraan. Di kala partai ramai-ramai
berkoalisi, Megawati sedikit dari yang tak terbeli. Kini keputusan Megawati
dinanti, apakah akan maju kembali atau mengucap permisi.”
Mega memang sosok pribadi yang tegas dan selalu melangkah
dalam perhitungan politik yang sulit ditebak. Ia bicara dan bertindak sesuai
dengan hati nuraninya, bukan karena perhitungan politiknya semata, melainkan
juga didukung oleh pengalaman-pengalaman politiknya yang kelam di masa
lalu.
Mega tentunya tak akan pernah lupa isi surat wasiat yang
ditulis Bung Karno di tahanan rumah di Wisma Yaso (kini Museum Tentara Nasional
Indonesia Satria Mandala, Jakarta), Februari 1970. Bunyinya: ”Anakku, simpan
segala yang kau tahu, Jangan ceritakan deritaku dan sakitku kepada rakyat,
biarlah aku yang menjadi korban asal Indonesia tetap bersatu. Ini kulakukan
demi kesatuan, persatuan, keutuhan, dan kejayaan bangsa.
Jadikanlah deritaku ini sebagai kesaksian bahwa kekuasaan
seseorang Presiden ada batasnya karena kekuasaan yang langgeng hanyalah
kekuasaan rakyat dan di atas segalanya adalah kekuasaan Tuhan yang Maha Esa.”
Ketika tak sedikit lembaga survei menyatakan Gubernur DKI
Jakarta Joko Widodo (Jokowi) menduduki peringkat teratas sebagai bakal capres
pilihan rakyat, Mega tetap bergeming. Demokrasi bukan hanya hitungan angka,
melainkan juga memilih pemimpin yang berkarakter kebangsaan. Bagi Mega,
tampaknya memilih presiden bukan seperti memilih bintang sinetron atau penyanyi
pilihan pemirsa televisi.
Seorang pemimpin bangsa yang berkarakter bukan saja
memiliki hati nurani, mampu menggerakkan rakyat untuk Indonesia Raya, mau
bekerja keras untuk rakyat, mau dekat dengan rakyat, melainkan juga harus
memiliki ideologi nasionalisme yang kuat dan paham betul Trisakti-nya Bung
Karno (berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian bangsa).
Mega juga sadar 2014 adalah tahun penentuan bagi masa
depan bangsa Indonesia apakah kita mampu menyatukan langkah untuk Indonesia
Raya atau kita akan tetap menjadi ”Bangsa Kuli” yang sebagian elite politik dan
pengusahanya menjadi komprador asing.”
Keunggulan istimewa seorang pemimpin dengan berbagai
karya-karya monumental menjadikan dirinya kekal abadi di mata rakyat, bahkan
dunia internasional sebagaimana ditunjukkan pemimpin-pemimpin besar yang mampu
mengubah wajah dunia.
Mereka adalah pemimpin-pemimpin fenomenal yang memiliki
keunggulan istimewa atau Parsipitu Lili sehingga pantas menyandang predikat
nomor satu di berbagai level
kepemimpinan yang dipangku. Mereka bukanlah sekadar simbol atau boneka, tetapi
benar-benar memiliki kompetensi seorang pemimpin pengambil keputusan (decation maker) yang cerdas dan
handal.
Bukankah sangat menggelikan sekaligus memalukan bila
seseorang menyandang predikat nomor satu atau pemimpin tetapi tidak memiliki
keunggulan istimewa dibandingkan orang lain atau yang dipimpin. Dan hampir
dapat dipastikan bahwa kepemimpinan seperti itu tidak akan efektif dan berhasil
maksimal.
As (1998), peran
pemimpin tangguh negarawan dan pemikir besar sangat menentukan dalam proses
membangun suatu bangsa atau negeri menjadi kuat dan disegani oleh bangsa atau
negeri lain. Keberhasilan dan kegagalan dari satu perjuangan bangsa, absolut
tidak dapat dipertanggung jawabkan kepada rakyat bangsa bersangkutan.
Keberhasilan dan kegagalan satu perjuangan bangsa adalah
tergantung jenialitas dan kebijakan sangat tinggi yang dimiliki oleh pemimpin
bangsa tersebut. Pemimpin demikian adalah pemimpin yang sangat tangguh dan
tegar, yang mana menghentikan gerakan yang diyakininya dan memang benar untuk
kebesaran bangsanya menjadi mustahil sebagaimana mustahilnya menghentikan
gerakan matahari.” (AS, Fajar,1998; hal. 43).
Karena itu pula lah
Bedell Smith mengatakan, ”Tidak ada alasan untuk menyesali peluang yang
hilang... juga untuk mencoba mencari alibi buat menutupi kegagalan-kegagalan
masa lalu.” (Weiner Tim, 2008; hal. 77).
Pemimpin Parsipitu Lili memiliki kepintaran, kecerdasan,
kejenialan, keberanian, keperkasaan, kecermatan, kecekatan, konsistensi,
konsekuensi, serta prediksi (forcasting)
jitu di atas rata-rata orang lain sehingga mampu mendeteksi, memproteksi,
mengatasi, menyelesaikan aneka permasalahan yang dihadapi rakyat.
Dalam situasi demikianlah esensi kepemimpinan atau
kehadiran seorang pemimpin terasa nyata
di ruang publik. Sebab tidak semua orang mampu memberi solusi permasalahan
dengan arif bijaksana dan dalam situasi seperti itulah diperlukan kehadiran
seorang pemimpin untuk memberi solusi kebuntuan.
Pada komunitas Batak Toba memilih dan/atau mengangkat
pemimpin tidak selalu didasarkan pada senioritas dalam keluarga, kerabat (trah), melainkan atas kredibilitas,
kapasitas, kapabilitas, integritas, serta kompetensi.
Hal itu, dapat
dibuktikan dari ungkapan Batak Toba mengatakan, ”Siahaan di partubu, Sianggian
di harajaon”, maksudnya adalah seorang pemimpin ditinjau dari hirarkhi Silsilah
atau Tarombo bukan dari keturunan paling
sulung, melainkan keturunan paling bungsu dalam keluarga, kerabat
bersangkutan.
Batak Toba juga mengatakan, Anak na olo tu jolo do
sibulang-bulangan yang bermakna bahwa
anak yang mau tampil kedepan (pemimpin) yang pantas di dukung dan di daulat.
Sebab, ada juga orang Di togu tu halangulu, sai runsur tu talaga yaitu, orang
yang di daulat ke posisi terhormat, malah memilih posisi tak terhormat.
Pemimpin Parsipitu Lili ialah seorang pemimpin yang
memiliki kepintaran, kecerdasan, kejenialan dalam memecahkan masalah (problem solving) dengan arif bijaksana
melebihi kemampuan orang lain.
Sejarah Alkitab mencatat pemimpin Parsipitu Lili ialah
Raja Salomo yang memiliki kepintaran, kecerdasan, kejenialan luar biasa
sehingga raja-raja negeri lain datang berguru kepadanya. Bahkan ada pula dari
raja-raja tersebut rela menjadi istrinya sangkin kagum dan terpukau melihat
kehebatan, keluarbiasaan Raja Salomo.
Pemimpin Parsipitu Lili sangat dikagumi, disegani
ditengah-tengah masyarakat, bangsa maupun negara, bahkan bangsa-bangsa lain di
dunia. Dan bangsa yang memiliki pemimpin Parsipitu Lili sangat di segani oleh bangsa-bangsa lain.
Bangsa Indonesia ketika dipimpin Soekarno atau Bung Karno
menyandang predikat ”Macan Asia” karena
Bung Karno memiliki kepintaran, kecerdasan, kejenialan luar biasa mengubah arah
percaturan politik dunia dengan mendirikan Konfrensi Asia Afrika yang menjadi
tandingan kekuatan politik Blok Barat dan Blok Timur ketika itu.
Kecerdasan dan kejenialan memainkan kartu-kartu politik
menjadikan Bung Karno dijuluki ”Singa Asia” yang sangat dikagumi, disegani
seluruh bangsa-bangsa di dunia. Akan tetapi, pada era belakangan ini syarat
kepemimpinan berdasarkan kultur budaya Batak Toba Parsipitu Lili tidak begitu dipertimbangkan
lagi dalam memilih dan menghadirkan seorang pemimpin. Karena telah terjebak
pada kekuatan kapital atau politik transaksional tanpa dibarengi kemampuan
Parsipitu Lili sehingga kerap muncul pemimpin bukan solusi masalah, melainkan
bahagian dari masalah.
Salah satu
contoh, bila seseorang pemimpin gemar melakukan pelanggaran hukum serta
norma-norma sosial, bagaimana mungkin diharapkan menegakkan kebenaran, keadilan
serta norma-norma sosial ditengah-tengah kehidupan masyarakat. Demikian pula,
bila seseorang pemimpin tak memiliki kemampuan menyelesaikan masalah diminta
untuk menyelesaikannya maka sudah hampir dapat dipastikan tidak akan mampu
memberi solusi arif bijaksana. Malah bisa menambah kerumitan, keruwetan semakin
luas.
Lihatlah betapa cerdas, jenialnya Ir. Soekarno atau Bung
Karno memandang kebangsaan, keindonesiaan yang didalamnya keragaman,
kemajemukan suku, agama kepercayaan, bahasa, daerah maupun golongan.
Harian Kompas, 11 Februari 2014, halaman; 4, kolom;6-7
dengan judul ’Warisan’ Soekarno (10
November 1956) mengatakan, ”Negara Proklamasi (Indonesia) itu bukan negara
kelas, bukan milik satu golongan, melainkan adalah negara kita bersama,
dibangunkan dan dibela oleh kita bersama, dan sebab itu adalah milik kita
bersama pula, milik seluruh bangsa. Negara kita bukan negara feodal, bukan
negara kapitalis, bukan negara proletar. Negara kita adalah negara milik
seluruh rakyat dan tujuannya pun karena itu tidak boleh tidak haruslah
keselamatan dan kesejahteraan seluruh rakyat.”
Demikian juga KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur
memandang pluralisme kebangsaan, keindonesiaan itu secara cerdas dan jenial.
Harian Kompas, 10
Februari 2014, halaman; 4, kolom; 6-7 dengan judul ’Warisan’ KH. Abdurrahman
Wahid atau Gus Dur, ”Di dalam masyarakat
yang isinya beragam, suara mayoritas yang menentukan keputusan bersama.
Pendapat mayoritas harus diakui dan ditaati, tetapi harus ada pembatas terhadap
kemauan mayoritas. Jika ingin ada demokrasi, maka batas itu adalah sejauhmana
kemauan mayoritas tidak melanggar hak minoritas dan meniadakan eksistensi yang
kecil.”
Sebab, harus dipahami paripurna, bahwa kebangsaan dan
keindonesiaan itu adalah cara pandang utuh dan bulat terhadap segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia sejak dari Sabang hingga ke Merauke.
Kecerdasan, kejenialan memahami kebangsaan dan
keindonesiaan secara paripurna merupakan salah satu syarat utama pemimpin
bangsa, dan pemimpin seperti itulah yang pantas dan layak disebut pemimpin
Parsipitu Lili.
Simangungsong & Sinuraya (2004) Bumi Nusantara yang
terbentang dari 6 derajat Lintang Utara sampai 11 Lintang Selatan dan 92
derajat sampai 142 derajat Bujur Timur, terdiri dari perairan seluas 5,8 juta
Km2 dan daratan 1,9 juta Km2, yang terdiri dari 17.508 lebih pulau besar dan
kecil, ± 1.068 suku bangsa, ± 665 bahasa daerah. Garis pantai sepanjang 81.000
Km2, terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Indonesia memiliki perairan
darat seluas 54 juta hektar, yang terdiri dari 40 juta hektar rawa, 12 juta
hektar sungai dan 2 juta hektar danau, juga memiliki 50 buah selat dan 64 buah
teluk, keaneka ragaman sumber daya alam perikanan, yang tidak kurang dari 7.000
species ikan terdapat didalamnya.
Itulah sebabnya William Dunn lebih jauh mengingatkan
bahwa walaupun rumusan masalah sudah benar, maka belum tentu rumusan
pemecahannya benar. Tetapi kalau rumusan masalahnya salah, maka upaya apapun
yang dilakukan tetap sia-sia dan tidak mencapai tujuannya, maka akibatnya
muncul masalah baru bertumpuk ke masalah lama dan pemecahannya menjadi jauh lebih
sulit.” (Simangunsong Bonar & Sinuraya Daulat, 2004; hal. 33).
Putera-putera
Batak-Toba pemimpin Parsipitu Lili seperti disebutkan Fajar As, Intelektual,
Cendikiawan, penulis 165 judul buku, diantaranya; Dr. Mangara Tambunan (pernah
menjadi Presiden NKRI/Pendiri Partindo), Letjend. TB. Simatupang Pendiri
Angkatan Perang/Penasehat Militer Konferensi Meja Bundar/Ketua Dewan Gereja
Indonesia (DGI), Dr. Ferdinad Lumban Tobing, Gubernur Militer Tapanuli/Menteri
Negara Antar Daerah, Prof. DR. TD Pardede, dan lain-lain.
6
Hariara na Bolon.
Hariara
na bolon adalah sejenis pohon beringin besar yang ditanam dekat perkampungan (huta) pada zaman dahulu.
Dan dibawah pohon hariara inilah biasanya tempat berkumpul (partungkoan) para penetua
(natuatua), raja-raja adat membicarakan
berbagai hal-ikhwal tentang adat budaya maupun permasalahan yang terjadi
ditengah-tengah masyarakat.
Pohon
hariara adalah sejenis pohon besar, kuat, rindang dan sejuk sehingga sangat enak untuk tempat berteduh
apabila matahari terik. Pohon hariara juga salah satu jenis pohon kuat,
sehingga walau angin kencang menerpa, batang, ranting, bahkan daunnya tidak
mudah patah, gugur ataupun tumbang.
Itulah sebabnya, para penetua (natua-tua), raja-raja adat
menjadikan Hariara na bolon tempat
berlindung ketika sinar matahari menyengat.
Hariara
na bolon dianologikan kepada seorang pemimpin (raja) yang mampu melindungi,
mengayomi, memberi rasa aman terhadap seluruh rakyat.
Siahaan
(1936; hal. 14) ”Hariara na bolon, pangunsandean sihorsihor; Raja na godang
pangidoan uhum na tigor.” Maksudnya adalah Hariara na bolon bisa tempat
sandaran apapun, demikian juga seorang pemimpin bisa sandaran, tempat mengadu
berbagai permasalahan, serta mampu memberi, menegakkan kebenaran dan keadilan
atas berbagai hal-ikhwal yang disampaikan kepadanya.
Analogi
Hariara na bolon, pangunsandean sihorsihor menunjukkan bahwa menurut kultur
budaya Batak Toba seorang pemimpin (raja) harus memiliki kemampuan melindungi,
mengayomi seluruh rakyat yang dipimpin. Dengan demikian, keamanan, ketertiban,
kenyamanan, ketentraman seluruh rakyat bisa terwujud.
Seorang pemimpin harus kuat, berani, tegas, konsisten,
konsekuen, obyektif dalam menjalankan kepemimpinannya, tidak boleh ragu,
bimbang apalagi dibayangi rasa takut dalam mengambil sesuatu keputusan.
Pemimpin seperti inilah yang mendapat apresiasi, atensi
dan dukungan kuat ditengah-tengah masyarakat, bangsa.
Menurut
kultur budaya Batak Toba seorang pemimpin adalah pelindung, pengayom terhadap
seluruh rakyat. Bukan seperti para pemimpin belakangan ini yang suka curhat,
merengek, memelas kepada rakyat bila mendapat kritisi dari pihak-pihak lain.
Padahal, bila seorang pemimpin curhat, memelas, merengek,
mengadu kepada rakyatnya adalah salah satu cerminan ketidakdewasaan pemimpin
yang bersangkutan. Sebab, esensi kepemimpinan menurut kultur budaya Batak Toba
adalah Hariara na bolon, pangunsandean sihorsihor; Raja na godang pangidoan
uhum na tigor. Bagaimana seorang pemimpin disebut pelindung, pengayom, labuhan
bertanya jika dirinya pun masih memelas, miminta perlindungan, pembelaan dari pihak lain. Bukankah lebih
tepat dan pantas pemimpin seperti ini disebut orang belum dewasa dan belum
layak mengemban tugas pemimpin karena
belum mampu menunjukkan tanggung jawab pada dirinya.
Acep Iwan Saidi, Ketua Forum Studi Kebudayaan ITB dalam
Artikelnya berjudul ’Nasib Presiden’ di Harian Kompas, 27 Februari 2014 yang
merupakan kritisi terhadap buku ’Selalu
Ada Pilihan’ karya Susilo Bambang
Yudoyono, mengatakan, ”Seorang presiden – predikat yang meniscayakan dirinya
sebagai negarawan – semestinya tidak menyikapi hal yang terburuk pada dirinya
sebagai ”fitnah”, misalnya. Jika sesuatu yang serupa menimpa rakyat atau
bangsanya, barulah hal itu bisa dirasakan sebagai fitnah oleh presidennya. SBY
memang manusia biasa, tapi Presiden SBY bukan. Ia subyek utama bangsa. Sebab
itu, mau tak mau, suka tak suka, ia harus jadi tidak biasa.
Bukankah begitu pemimpin sejati dipilih sejarah. Ketika
pisau bermata dua ditusukkan Abu Lu’lu’ah ke perut Umar bin Khatab, pemimpin
besar ini berkata, ”Itu bagian dari titah Tuhan”, bukan buah kedengkian
manusia. Umar pun melarang membunuh si penusuknya. Khalifah ini bahkan menyuruh
wudu, shalat, dan ibadah haji kepada orang yang telah berucap akan membunuh Lu’lu’ah,
jika Umar menghendakinya. Umar sadar betul: takdir menjadi pemimpin besar
sering buruk secara fisik, tapi itu resiko yang mesti diambil. Maka,
demikianlah pula Gandhi ditembak, dan Soekarno dikucilkan diakhir kehidupannya.
Bukalah riwayatnya, bukankah tidak ada keluhan dari mereka ? Mereka menyerahkan
kepada sejarah untuk mengambil alih jawabannya.”
Demikian juga ketika Paus Johannes Paulus II ditembak
seorang pemuda, dia tidak membenci, menuruh di hukum, tetapi justru dia
menyambangi pemuda yang menembak dirinya, tanpa kebencian.
Inilah karakter kepribadian seorang pemimpin ”Hariara na
bolon pangunsandean sihor-sihor; Raja na godang pingidoan uhum na tigor”.
Seorang pemimpin pantas disebut ”Hariara na bolon” atau
orang nomor satu, apakah presiden, gubernur, bupati/walikota atau apapun
namanya bila dia mampu memberi perlindungan terhadap seluruh rakyatnya, tanpa
kecuali.
Caporrimo
(2006) ”Kedewasaan adalah kesadaran akan kasih, tanggung jawab, pemahaman nilai
dan kemampuan mengevaluasi serta bersikap tegas”.
Orang
yang dewasa menerima perhatian melalui jati dirinya dan pemberiannya, bukan
melalui tuntutannya. Jika tuntutan akan perhatian atau dominasi menjadi dasar
suatu hubungan, hal itu pasti disebabkan adanya ketidakdewasaan.
Kedewasaan
dimulai dengan kesadaran dan pengetahuan. Anda harus menyadari seluruh dunia
dan diri Anda sendiri. Sungguh baik jika seorang bisa menemukan bidang baru
ketidaktahuannya dan melanjutkan dengan menyelidiki hal itu lebih mendalam,
sebab mendalami sesuatu itu sungguh-sungguh memberi pahala. Kesadaran itu
seperti indra, seperti mata atau telinga.
Jika Anda memiliki kesadaran akan kasih, Anda mampu
bersikap obyektif dan menjadi bagian dari solusi atas persoalan itu. Jika Anda
memberi simpati dan bukan kasih terhadapnya dan bukannya membantu menyelesaikan
persoalan itu. Anda menjadi partisipan didalamnya.”(Caporrimo, Bruno, 2006; hal.
136-138).
Apakah tidak keliru besar, bila seorang pemimpin (raja)
memelas, curhat, merengek, mengadu kepada rakyat ketika dirinya dikritisi pihak
lain ataupun yang dipimpin? Tetapi fakta berbicara bahwa banyak juga yang
menyatakan dirinya pemimpin justru meminta serta memelas perlindungan kepada
rakyatnya ketika mendapat kritikan dari pihak lain. Bukankah rakyat yang
seharusnya meminta perlindungan kepada pemimpin (raja) apabila mendapat
ancaman, tekanan, serta ketidakadilan dari pihak lain ? Inilah salah satu kekeliruan
besar memilih atau menentukan seorang pemimpin yang sangat kontroversial dari
kultur budaya Batak Toba yakni; ”Hariara na bolon, pangunsandean sihorsihor;
Raja na godang pangidoan uhum na tigor”.
Apakah
pantas seseorang yang memiliki sifat ketidakdewasaan (kekanak-kanakan) dipilih
atau di daulat menjadi seorang pemimpin ? Kepribadian seperti itu sangat sulit
diharapkan memberi perlindungan, pengayoman terhadap pihak lain. Sebab, dia
sendiri pun belum mampu memberi perlindungan diri ketika mendapat kritikan dari pihak lain, konon lagi
melindungi, mengayomi orang lain.
Harian
Kompas, 13 Februari 2014 halaman; 4, kolom; 6-7 dengan judul ’Warisan’ Dokter Sutomo dihadapan polisi-polisi Belanda
tahun 1928 berkata, ”Lagu ’Indonesia Raya’ akan dinyanyikan, Semua hadirin berdiri. Yang tidak berdiri
adalah kerbau.”
Harian
Kompas, 19 Februari 2014, halaman; 4, kolom; 6-7 dengan judul ’Warisan’ Soe Hok
Gie, ”Memang karena disiplin, kita bersedia untuk menderita..., tetapi to the last point, apakah ABRI akan memihak
rakyat yang menderita dan bersedia menunjukkan ujung bayonetnya kepada koruptor
dan kalau perlu dengan pemerintah yang korup ?.
Pemimpin-pemimpin
pemberani ini adalah ”Hariara na bolon” yang tidak takut terhadap resiko
apapun, dari siapa pun menegakkan kebenaran dan keadilan. Mereka mau
mengorbankan harta, bahkan nyawa untuk membela rakyat, bangsa maupun negaranya.
Berani mengambil resiko untuk melindungi, mengayomi rakyat adalah kepribadian
dewasa dan negarawan. Bukan seperti pemimpi-pemimpi di negeri ini yang tipis
kuping dan paranoid jika dikritik rakyatnya. Mereka tidaklah seorang pemimpin
”Hariara na bolon”, tapi pemimpi besar yang sangat tidak pantas dan layak
disebut seorang pemimpin.
Turnip (2009), Baron (2000) ”kepribadian atau personality umumnya menunjukkan pola
sikap dan perilaku, pikiran serta emosi yang diperlihatkan seseorang. Keyakinan
diri (self efficacy) dapat menggambarkan kepribadian seseorang.
Bandura (1997)menyebut bahwa keyakinan diri (self efficacy) merupakan salah satu faktor dari kepribadian. Dalam
satu penelitian Bandura dan Locke (2003) menyebut bahwa self efficacy berpengaruh secara signifikan terhadap motivasi
kerja.” ( Turnip, Kaiman, 2009; hal. 97).
Hariara
na bolon, Raja na godang adalah cerminan karakter mental seorang pemimpin yang
memiliki kecerdasan, ketegasan, keberanian, kredibilitas, kapabilitas,
kapasitas, soliditas, serta integritas
kepribadian yang mampu memberi perlindungan, pengayoman terhadap rakyat.
Sifat
dan sikap ragu-ragu, bimbang, tak percaya diri menegakkan kebenaran dan
keadilan, bertindak subyektif adalah salah satu faktor kegagalan seorang
pemimpin mampu memosisikan diri pelindung, pengayom terhadap pihak lain, tanpa kecuali. Dan di sini lah
salah satu kekeliruan besar seorang pemimpin publik yang belum mampu melepaskan
diri dari kepentingan subyektif sehingga kehadirannya sebagai seorang pemimpin
bukan milik publik, tetapi hanya lah milik kelompok atau golongan tertentu.
Pemimpin
seperti itu telah mengkhianati esksistensinya sebagai pemimpin publik yang
berperan dan berfungsi melindungi, mengayomi seluruh rakyat, tanpa kecuali.
Seorang pemimpin tidak boleh membeda-bedakan yang
dipimpin (rakyat) walau dengan alasan apapun sebab dirinya pelindung dan
pengayom seluruh rakyat agar tercipta
keamanan, kenyamanan, ketertiban, ketentraman ditengah-tengah kehidupan
masyarakat, bangsa dan negara.
Seorang
pemimpin tidak boleh sekali-sekali berlaku diskriminatif dalam menjalankan
kepemimpinannya karena hal itu berpotensi menimbulkan kecemburuan sosial
ditengah-tengah masyarakat.
McChain & Salter (2009) Nelson Mandela percaya ”tidak
seorang pun lahir dalam keadaan membenci orang lain karena warna kulit, atau
latar belakang, atau agamanya. Orang belajar membenci, dan jika mereka bisa
belajar membenci; mereka juga bisa diajar untuk mencintai, karena cinta datang
lebih alami ke hati manusia daripada lawannya.”
Ia sungguh-sungguh percaya bahwa cinta adalah kondisi
alami dari hati, bahwa kebencian merupakan beban yang sama beratnya bagi yang
membenci maupun yang dibenci.
”Saya telah berjuang melawan dominasi kulit putih, dan
saya telah berjuang melawan dominasi kulit hitam. Saya telah menghormati
cita-cita sebuah masyarakat demokratis dan bebas tempat semua orang bisa hidup
bersama dalam keselarasan dan kesempatan yang setara. Ini merupakan cita-cita
yang ingin saya hidupi dan capai. Tetapi jika perlu, ini juga merupakan sebuah
cita-cita yang saya siap mati untuk mencapainya.”( McChain John & Salter
Mark, 2009; hal. 243-248).
Akan tetapi, tindakan diskriminatif sadar atau tidak
sering diperlihatkan atau dilakonkan pemimpin publik dalam menjalankan
kepemimpinannya. Hal inilah salah satu penyebab mengapa seorang pemimpin tidak
bisa diterima atau diakui publik seluas-luasnya.
Harus
disadari bahwa esensi kepemimpinan ialah melindungi, mengayomi supaya tercipta
rasa aman, nyaman ditengah-tengah kehidupan masyarakat, bangsa. Dalam keadaan
demikianlah peran pemimpin tampak dengan
nyata. Sebab bila pemimpin tidak mampu memberi rasa aman, nyaman terhadap
rakyat maka kehadirannya di ruang publik tidak ada sama sekali.
Munandar (2008) Kaisar
Hirohito, ”Menjaga kesejahteraan dan kebahagiaan semua bangsa, serta
memerhatikan keamanan dan kebaikan rakyat kami, merupakan kewajiban suci kami
yang telah diwariskan oleh para leluhur, yang akan kami pegang teguh.” (Munandar
Haris, Terj, 2008; hal. 116).
Rakyat tidak memiliki
perlindungan atau yatim piatu sebab pemimpin tidak mampu berperan sebagai
Hariara na bolon pangunsandean sihorsihor; Raja na godang pangidoan uhum na
tigor untuk rakyatnya.
Padahal,
sejatinya kehadiran pemimpin ditengah-tengah masyarakat, bangsa memberi
perlindungan, keamanan, ketertiban, ketenteraman, kenyamanan bagi seluruh rakyat, sebab hal
itulah yang paling dibutuhkan dalam berbangsa dan bernegara.
Menciptakan
rasa aman, nyaman, tertib dan teratur tidak terlepas dari peran pemimpin
memberi keteladanan seperti, keberanian, ketegasan, konsistensi, konsekuen
dalam menjalankan, menegakkan kebenaran dan keadilan tanpa terpengaruh oleh
faktor apapun selain visi atau program yang telah direncanakan semula.
Harian
Kompas, 7 Maret 2014, halaman; 5, kolom; 6-7 dengan judul ’Warisan’ Ali Sadikin
Gubernur DKI Jakarta (1966-1977) mengatakan, ”Cita-cita dan tujuan Proklamasi
Kemerdekaan adalah kemerdekaan bangsa Indonesia dari imperialisme,
kolonialisme, dan segala bentuk manifestasinya. Lalu, sebagai bangsa yang
merdeka, membebaskan masyarakat dari kemiskinan, kebodohan, feodalisme,
perbudakan, pemerkosaan harkat dan martabat manusia, dan ketidakadilan.”
Harian Kompas, 8 Maret 2014, halaman; 4,
kolom; 6-7 dengan judul ’Warisan’ Tan
Malaka menunjukkan keberanian dan ketegasan dalam mempertahankan dan melindungi
simbol-simbol negara, dengan tegas mengatakan,”Janganlah kamu biarkan benderamu
itu diturunkan atau ditukar oleh siapa pun juga. Lindungi bendera itu dengan
bangkaimu, nyawamu, tulangmu. Itulah tempat yang selayaknya bagimu, seorang
putra Tanah Air tempat darahmu tumpah.”
Pemimpin
Hariara na bolon tidak pernah takut, ragu atau bimbang menjalankan, menegakkan
kebenaran dan keadilan, serta memberi perlindungan kepada seluruh rakyat dari
segala bentuk ancaman, gangguan, tekanan dari mana pun datangnya. Mengorbankan
harta, nyawa demi membela dan melindungi seluruh rakyat, segenap tanah air
adalah tugas mulia dan kesatria dari seorang pemimpin negarawan (Hariara na
Bolon).
Dengan
demikian, rasa aman, nyaman, tertib, tercipta di dalam kehidupan masyarakat,
bangsa maupun negara. Dan di sini lah wujud nyata kehadiran pemimpin Hariara na
bolon yang mampu melindungi, mengayomi rakyatnya.
Harus
diingat dan digaris bawahi, bahwa seorang Pemimpin Hariara na Bolon tidak
pernah lari dari tanggung jawab, seperti; melarikan diri atau mengungsi agar
terluput dari sanksi-sanksi atau hukuman, mengorbankan bawahan atau rakyat
dengan melahirkan alibi-alibi tak masuk akal, berselingkuh, bersekongkol,
bersubahat dengan pihak lain, dll.
7.
Pardasing so ra teleng, Parhatian so ra monggal.
Sebagaimana telah diuraikan pada bagian lain buku ini
bahwa ’Raja urat ni uhum, namora ihot ni hosa’ adalah seorang pemimpin (raja)
yang selain sebagai sumber hukum juga penegak kebenaran dan keadilan
ditengah-tengah masyarakat, bangsa dan
negara.
Dasing
dan hatian adalah timbangan atau neraca mengukur berat suatu benda. Analogi ini
ialah cerminan keadilan universal yakni; keseimbangan antara sisi kanan dan
sisi kiri. Timbangan ini lah yang menjadi simbol lembaga penegak hukum seperti; kehakiman, kejaksaan di berbagai negara,
termasuk di Republik Indonesia.
Salah
satu catatan sejarah Alkitab paling monumental ialah keluarbiasaan Raja Salomo mengadili dua orang perempuan
yang memperebutkan seorang bayi. Kedua perempuan itu mengklaim bahwa si bayi
adalah anaknya. Ketika kasus itu disampaikan kepada Raja Salomo maka dia
mempertanyakan kepada kedua ibu itu. Siapa sebenarnya yang punya bayi tersebut.
Kedua perempuan itu sama-sama mengaku, dia lah yang punya bayi itu.
Dalam
situasi tak ada yang mengalah, Raja Salomo mengambil sebuah pedang, lalu
meminta agar si bayi diserahkan kepada Raja Salomo. Kemudian, Raja Salomo
mengatakan kepada kedua perempuan itu agar si bayi dibelah dua.
Mendengar
perkataan Raja Salomo akan membelah dua bayi itu, salah seorang dari perempuan
itu mengatakan; jangan lah bayi itu dibelah dua !. Biarlah diserahkan kepada
perempuan itu yang mengaku bayinya. Sementara, perempuan yang satu lagi
mengatakan; lebih baik bayi itu dibelah dua supaya adil !.
Mendengarkan
pernyataan kedua perempuan itu, Raja Salomo dengan kearifan, kecerdasan istimewa yang ada pada
dirinya, mengambil keputusan arif bijaksana, bahwa yang punya bayi sejatinya
adalah perempuan yang mengatakan; biarlah bayi itu diserahkan kepada perempuan
itu. Sebab, perempuan yang sejatinya punya bayi tidak rela bayi itu mati.
Sedangkan
perempuan satu lagi berniat jahat,
biarlah bayi itu mati supaya sama-sama tidak punya bayi. Dia sebenarnya
tahu bahwa bayinya telah mati, tetapi dia ingin merebut bayi itu dengan tipu
daya atau akal busuknya.
Gambaran
kisah Alkitab monumental itu menunjukkan, bahwa seorang pemimpin (raja) harus
mampu Pardasing so ra teleng, Parhatian so ra monggal, yakni; menegakkan
kebenaran dan keadilan secara obyektif, tak memihak, kecuali keberpihakan terhadap kebenaran dan
keadilan obyektif universal.
Seorang
pemimpin harus mampu memosisikan diri obyektif, tidak memihak, sebab dia
memegang amanah, Pardasing so ra teleng, Parhatian so ra monggal supaya rakyat
bersamaan kedudukan di depan hukum dan pemerintahan serta menjunjung tinggi
hukum dan pemerintahan itu, tanpa kecuali sebagaimana diamanatkan pasal 27 ayat
(1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Sementara yang sering menjadi perbincangan publik
belakangan ini ialah kecenderungan penerapan hukum ’tajam ke bawah, tumpul ke
atas’ yaitu; hukum sering dijadikan alat kekuasaan, bukan lagi menegakkan
kebenaran dan keadilan materil. Hukum hanya tajam (tegak) kepada orang-orang
lemah tak berdaya, sedangkan para pemangku kekuasaan terkesan kebal hukum atau
sering luput dari jerat hukum. Rezim kekuasaan justru sering mempermainkan
hukum dan keadlian demi mempertahankan, melanggengkan kekuasaan.
Deretan
kasus-kasus hukum yang menyeret oknum penegak hukum, seperti Kepolisian, Kejaksaan,
Kehakiman, serta lembaga-lembaga justisia lainnya menunjukkan, bahwa para
penjaga benteng kebenaran dan keadilan di negeri ini telah alpa
mengimplementasikan kultur-kultur budaya masyarakat Nusantara, salah satu diantaranya
kultur budaya Batak Toba Pardasing so ra teleng, Parhatian so ra monggal.
Lihatlah
betapa luhurnya karakter moral yang diperlihatkan Baharuddin Lopa, Jaksa Agung
RI (6 Juni 2001-3 Juli 2001) mempertahankan marwah, martabat Kejaksaan Republik
Indonesia yang dipercayakan pada dirinya.
Kejaksaan RI yang
memiliki kekuasaan melakukan tuntutan kepada siapa pun atas nama negara tidak
luput dari berbagai godaan menggiurkan, apalagi pihak-pihak pelanggar hukum,
peraturan perundang-undangan yang terancam diseret ke meja peradilan.
Akan
tetapi Baharuddin Lopa menunjukkan kesetiaannya terhadap amanah kepercayaan
negara di pundaknya.
Harian Kompas, 26 Februari 2014, halaman; 4, kolom; 6-7
dengan judul ’Warisan’ Baharuddin Lopa dengan tegas mengatakan, ”Saya tahu
engkau ikhlas, akhlakmu pun terpuji. Saya tahu pula usahamu berjalan di jalur
lurus. Namun, maafkan saya, saya tidak bisa menerima uang ini. Kita bersahabat
saja.”
Dari
pernyataan Jaksa Agung RI yang mengalami nasib tragis ini tersirat bahwa
Baharuddin Lopa tidak mau terjebak dengan berbagai kebaikan yang menyimpan
sejuta makna. Sebab, sangat sulit memisahkan berbagai pemberian dari
pihak-pihak tertentu tidak ada udang dibalik batu. Berbagai gratifikasi yang
diterima pemangku kekuasaan berpotensi membuka peluang balas budi atau
keberpihakan atas berbagai permasalahan, persoalan yang timbul di kemudian
hari. Ada pameo di masyarakat mengatakan, ”tidak ada makan siang gratis”
seperti itulah makna pemberian dari pengusaha kepada pemangku kekuasaan.
Harian
Kompas, 24 Februari 2014, halaman; 4, kolom; 6-7 dengan judul ’Warisan’ Yap
Thiam Hien, pengacara dan pembela hak asasi manusia (1913-1989) mengatakan,
”Jika saudara hendak menang perkara, jangan pilih saya sebagai pengacara Anda
karena pasti kita akan kalah. Tetapi, jika saudara merasa cukup puas menemukan
kebenaran Saudara, saya mau jadi pembela Saudara.”
Oleh
sebab itu, berbagai pameo yang tumbuh berkembang di ranah publik seperti;
’kasih uang habis perkara/KUHP’, hubungi aku kalau ingin menang/Hakim’,
’pengangguran banyak cara/Pengacara’, dan lain-lain patut dimaknai puncak
gunung es ketidakpercayaan rakyat terhadap lembaga-lembaga penegak hukum yang
tidak mampu lagi Pardasing so ra teleng, Parhatian so ra monggal di negeri
ini.
Kealpaan
para pemimpin mengimplementasikan kultur budaya yang tumbuh berkembang di bumi
Nusantara mencoreng dan meruntuhkan esensi kepemimpinan di mata masyarakat,
bangsa era belakangan ini. Para pemimpin semakin melenceng dan keliru besar
memaknai tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) nya sebagai penegak kebenaran dan
keadilan sebagaimana dimaksudkan kultur budaya Batak Toba Pardasing so ra
teleng, Parhatian so ra monggal yang diwariskan para leluhur.
Pengabaian nilai luhur kearifan kultur budaya Nusantara
sangat berpengaruh besar terhadap pergeseran karakter moral pemimpin yang
semakin menyimpang dalam menegakkan kebenaran dan keadilan di republik ini.
Rentetan berbagai kasus yang menyeret Ketua Mahkamah
Konstitusi (MK) Akil Mochtar, oknum petinggi kehakiman, petinggi kejaksaan,
petinggi kepolisian, pengacara/advokad, dan lain-lain yang seharusnya benteng
pencari keadilan justru terlibat tindak pidana korupsi mencoreng wajah
lembaga-lembaga penegak hukum di negeri ini.
Kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga penegak hukum
hancur berantakan hingga timbul ketidakpercayaan (distrust) rakyat terhadap institusi penegak hukum, serta munculnya
main hakim sendiri karena rakyat tidak percaya lagi memperoleh kebenaran dan
keadilan dari lembaga-lembaga yang ada di republik ini.
Salah
satu skandal terbesar yang pernah menghantam kepresidenan Amerika Serikat ialah
skandal Watergate yang memaksa
Presiden Ricard M Nixon harus mengundurkan diri pada bulan Agustus 1974 dari
kursi kepresidenan.
Munandar (2008) Presiden
Ricard M Nixon dalam situasi kritis skandal Watergate
masih memberikan pernyataan yang tidak mudah dilupakan seluruh manusia di
kulit bumi ini yakni; ”Kebenaran harus diungkap secara utuh, terlepas dari
siapa pun yang terlibat. Keadilan akan ditegakkan secara penuh, jujur, dan
tidak memihak.” (Munandar, Haris, Terj, 2008;
hal. 176-177).
Pernyatan presiden Ricard M Nixon ini menjadi salah satu
pidato bersejarah serta mengubah dunia, terlepas dari dugaan keterlibatannya
dalam skandal Watergate yang memaksa
dirinya harus turun dari singgasana kursi kepresidenan negara adi kuasa itu.
Hal positif yang bisa dicontoh dan ditauladani dari
Ricard M Nixon pada skandal Watergate
ialah keberanian, ketegasan menegakkan keadilan secara penuh, jujur dan tidak
memihak, terlepas dari siapa pun yang terlibat, termasuk dirinya sendiri.
Tindakan Ricard M Nixon tersebut sangat berkorelasi
linier dengan kearifan kultur budaya Batak Toba Pardasing so ra teleng,
Parhatian so ra monggal. Karena itulah, pidato Presiden Ricard M Nixon menjadi
salah satu kisah pidato bersejarah yang mengubah dunia.
Seorang pemimpin harus menyadari bahwa segala
tindak-tanduknya tidak luput dari catatan sejarah yang lembarannya bisa dibuka
generasi ke generasi sepanjang masa.
Seorang pemimpin yang memahami serta menghayati Pardasing
so ra teleng, Parhatian so ra monggal
mampu menegakkan kebenaran dan keadilan universal, tanpa kecuali. Sebab
dia selalu berikhtiar, beraksioma menghindarkan diri dari tindakan-tindakan
subyektivitas. Seperti menguntungkan pribadi, kelompok maupun golongan. Dan
dalam diri pemimpin seperti itu lah tercermin kenegarawanan sejati yang sangat
didambakan untuk mewujudkan kebahagian seluruh rakyat.
Sebagai seorang leaderships
dituntut kemampuan memosisikan diri ”Pardasing so ra teleng, Parhatian so
ra monggal” dalam keadaan demikian lah kesamaan hak di depan hukum (equality before the law) bisa terjamin konkrit.
Tidak seorang pun kebal di depan hukum adalah jaminan
tegaknya kebenaran dan keadilan sesuai kultur budaya Batak Toba Pardasing so ra
teleng, Parhatian so ra monggal. Siapa pun yang melakukan pelanggaran hukum
pasti mendapat sanksi hukum dan tidak ada yang luput dari sanksi pelanggaran
hukum itu.
Jadi sangat aneh serta mengecewakan bila ada pemimpin
menggunakan ”jaring laba-laba atau tebang pilih” dalam menerapkan hukum,
peraturan perundang-undangan, apalagi
membelokkan kebenaran dan keadilan demi kepentingan kekuasaan. Pemimpin seperti
itu tidak akan berwibawa di mata rakyat serta tidak mungkin diharapkan
menegakkan kebenaran dan keadilan.
Seorang pemimpin juga harus menyadari, bahwa dirinya adalah
seorang dirigen yang mengatur, mengarahkan, membimbing seluruh bawahan
sehingga bila bawahan, rakyat ingin menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan
maka pemimpin harus memulai dari diri sendiri. Sebab, bawahan selalu berpedoman
atau bercermin dari perilaku pemimpinnya. Dan di sini lah esensi serta
eksistensi seorang pemimpin memengaruhi, mengarahkan, menggerakkan, bahkan
mengubah pola pikir (mindset) masyarakat ke arah tujuan yang hendak
dicapai.
Alfian (1980) Pemimpin harus memiliki integritas diri
yang kuat sehingga selalu bisa membedakan mana yang baik dan yang buruk secara
moral politik. Sebab pemimpin itu merupakan pendidik politik yang langsung
terhadap masyarakat sendiri. Sikap mau mengalah dan mau menenggang perasaan
orang lain, itu adalah salah satu yang sangat terhormat.” (Alfian,1980; hal.
294).
Jadi ada hubungan atau ikatan-ikatan batin yang erat
antara pemimpin dengan masyarakat. Hubungan erat antara pemimpin dengan
masyarakat melahirkan komunikasi dua arah sehingga saluran aspirasi tidak
mengalami hambatan. Pemimpin yang memiliki kepribadian unggul mampu memosisikan
dirinya dengan baik dan benar, obyektif, universal dalam menjalankan
kepemimpinan sehingga mampu menjadi seorang pemimpin Pardasing so ra teleng,
Parhatian so ra monggal.
Robbins (2009),
sejumlah riset yang ekstensif telah mengidentifikasi lima dimensi dasar yang
menjelaskan variasi signifikan dalam kepribadian manusia, antara lain; Pertama,
Kecenderungan Keluar – Apakah Anda seorang yang extrovert (ramah, mampu
bersosialisasi) atau seorang yang introvert
(pendiam, pemalu) ?; Kedua, Menyenangkan – Apakah Anda seorang yang sangat
menyenangkan (kooperatif, terpercaya) atau kurang menyenangkan (pemarah, antagonistis) ?; Ketiga, Kesungguhan
Hati – Apakah Anda sangat bersungguh-sungguh (bertanggung jawab, terorganisasi)
atau kurang bersungguh-sungguh (tidak dapat diandalkan, kacau) ?; Keempat,
Stabilitas Emosional – Apakah Anda stabil (tenang, percaya diri) atau tidak
stabil (gelisah, merasa tidak aman) ?; Kelima. Keterbukaan Terhadap Pengalaman
– Apakah Anda terbuka terhadap pengalaman baru (kreatif, ingin tahu) atau
tertutup (konvensional, mencari yang biasa) ?. ( Robbins Stephen P, Terj, 2009; hal. 22).
Kepribadian seorang pemimpin merupakan elemen penting
dalam menjalankan suatu kepemimpinan. Karena itu, memilih dan menentukan
seorang pemimpin harus juga mempertimbangkan faktor kepribadian disamping
elemen-elemen lain sebagaimana telah diuraikan pada pembahasan sebelumnya.
Rakhmat (2007) Dalam psikologi dikenal proyeksi, sebagai salah satu cara
pertahanan ego. Proyeksi adalah
mengeksternalisasikan pengalaman subyektif secara tidak sadar. Orang
melemparkan perasaan bersalahnya pada orang lain. Maling teriak maling adalah
contoh tipikal dari proyeksi.
Pada persepsi interpersonal, orang mengenakan pada orang
lain sifat-sifat yang ada pada dirinya, yang tidak disenanginya. Sudah jelas,
orang yang banyak melakukan proyeksi akan tidak cermat menanggapi personal
stimuli, bahkan mengaburkan gambaran sebenarnya.
Sebaliknya, orang yang menerima dirinya apa adanya, orang
yang tidak dibebani perasaan bersalah, cenderung menafsirkan orang lain lebih
cermat (Norman, 1953; Omwake, 1954; Baker dan Block, 1957). Begitu pula, orang
yang tenang, mudah bergaul dan ramah, cenderung memberikan penilaian positif
pada orang lain. Ini disebut leniency
effect (Bosson dan Maslow, 1957).
Kepribadaian otoriter
atau authoritarian personality
(Andorno, Frenkel-Brunswile, Levinson, dan Sanford, 1950) adalah sindrom
kepribadian yang ditandai oleh ketegaran berpegang pada nilai-nilai
konvensional, hasrat berkuasa tinggi, kekakuan dalam hubungan interpersonal, kecenderungan melemparkan
tanggung jawab pada sesuatu di luar dirinya, dan memproyeksikan sebab-sebab
dari peristiwa yang tidak menyenangkan pada kekuatan di luar dirinya.
Theodor Newcomb (1961) membuktikan dengan penelitiannya,
bahwa orang-orang non otoriter
cenderung lebih cermat menilai orang lain, lebih mampu melihat nuansa dalam
perilaku orang lain; sebaliknya orang-orang otoriter
cenderung memproyeksikan kelemahan dirinya kepada orang lain, dan menilai
orang lain dalam kategori-kategori yang sempit (hitam-putih, jelek-baik,
ekstrem-tidak ekstrem, Pancasilais-tidak Pancasilais).
Bila petunjuk-petunjuk verbal dan nonverbal membantu kita
melakukan persepsi yang cermat, beberapa faktor personal ternyata
mempersulitnya. Persepsi interpersonal menjadi lebih sulit lagi, karena persona
stimuli bukanlah benda mati yang tidak sadar. Manusia secara sadar berusaha
menampilkan dirinya kepada orang lain sebaik mungkin. Inilah yang disebut
Erving Goffman sebagai self presentation
(penyajian diri).
Kemudian, Harry Stack Sullivan (1953) menjelaskan bahwa
jika kita diterima orang lain, dihormati, dan disenangi karena keadaan diri
kita, kita akan cenderung bersikap menghormati dan menerima diri kita.
Sebaliknya, bila orang lain selalu meremehkan kita, menyalahkan kita dan
menolak kita, kita akan cenderung tidak menyenangkan diri kita.” ( Rakhmat
Jalaluddin, 2007; hal. 91-101).
Para pejabat mewah yang getol menganjurkan hidup
sederhana dan mengecam kemewahan; koruptor kakap yang aktif berteriak lantang
memberantas korupsi; om...om senang yang mengkritik dekadensi moral di kalangan
anak muda; dan berbagai perilaku kontradiktif lainnya adalah contoh-contoh yang
tidak mampu memosisikan dirinya Pardasing so ra teleng, Parhatian so ra
monggal.
Pemimpin yang mampu mengimplementasikan Pardasing so ra teleng, Parhatian so ra monggal adalah
seseorang yang memiliki kepribadian non
otoriter sehingga mampu melihat dan memahami segala sesuatu secara
obyektif.
Kebenaran adalah kebenaran, keadilan adalah keadilan yang
tidak perlu ditafsirkan macam-macam walau dengan alasan apapun. Akan tetapi apa
yang kita saksikan hari-hari belakangan ini sungguh menyesakkan dada, dimana
para pemimpin cenderung memonopoli kebenaran dan keadilan, sebaliknya
memosisikan orang lain tidak mengerti dan memahami kebenaran dan keadilan.
Effendy (2007)
menurut teori libertarian yang menjadi dasar modifikasi teori tanggung
jawab sosial merupakan kebalikan dari teori otoritarian
dalam hubungan posisi manusia terhadap negara. Manusia tidak lagi dianggap
bebas untuk dipimpin dan diarahkan. Kebenaran bukan lagi milik penguasa. Hak
untuk mencari kebenaran merupakan hak kodrati manusia.” ( Effendy Onong
Uchjana, 2007; hal. 89).
Sebab pada hakikatnya, kekuasaan yang melekat pada
seorang pemimpin ialah kemampuan memengaruhi tingkah laku orang lain sedemikian
rupa sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai keinginan dan tujuan yang
mempunyai kekuasaan.
Karena itu lah, esensi kepemimpinan amat sangat
menentukan perilaku sosial masyarakat. Bila pemimpin menunjukkan perilaku
Pardasing so ra teleng, Parhatian so ra monggal maka rakyat pun akan cenderung
berperilaku seperti itu juga.
Karena itu, sungguh menarik apa yang dikatakan Ella
Fitzgerald ”Jangan menyerah dalam melakukan apa yang benar-benar ingin Anda
lakukan. Selama ada cinta dan inspirasi, saya yakin Anda dapat berhasil.” (Wade
&Tavris, 2008; hal.142).
Pemimpin Pardasing so ra teleng, Parhatian so ra monggal
mampu menjalankan, menegakkan kebenaran dan keadilan materil, bukan seperti era belakangan ini yang cenderung bersifat pragmatis
formalistik, padahal berbagai
peraturan perundang-undangan berkelindan dengan boncengan-boncengan kepentingan
sektoral, bahkan menyimpang dari undang-undang diatasnya menyebabkan munculnya
uji materil (judicial rewieu) di
Mahkamah Agung (MA) ataupun Mahkamah
Konstitusi (MK).
8
Paramak so balunon, Parsangkalan so mahiang.
Paramak
so balunon, Parsangkalan so mahiang adalah suatu sifat tak henti-henti
kedatangan tamu tanpa mengenal sekat-sekat sosial. Atau dengan perkataan lain,
seseorang yang gemar berhubungan, berkomunikasi dengan orang lain tanpa
membedakan struktur sosial.
Seorang
pemimpin adalah public figure yang
mengabdikan diri demi kepentingan seluruh rakyat, tanpa mengenal sekat-sekat
sosial ataupun alasan-alasan apapun, maka sifat Paramak so balunon,
Parsangkalan so mahiang yang merupakan kultur budaya Batak Toba harus dimiliki
seseorang pemimpin.
Paramak
so balunon, Parsangkalan so mahiang menunjukkan sifat terbuka, luwes terhadap
pihak lain tanpa membeda-bedakan asal-usul ataupun strata-strata sosial lainnya.
Bila seseorang gemar menerima tamu, hal itu merupakan
cerminan atau pertanda nyata bahwa dirinya suka mendengarkan berbagai
hal-ihkwal dari siapa pun. Dia tidak mau menutup pintu terhadap semua orang,
baik menyampaikan hal positif maupun hal negatif. Karena itu, seorang pemimpin
menurut kultur budaya Batak Toba disebut juga ”Parbahul-bahul na bolon” yaitu;
seseorang yang mampu menampung segala jenis aspirasi, serta mampu memberi
langkah-langkah pemecahannya.
Pemimpin
Parbahul-bahul na bolon memerlukan
kemampuan prima, baik kemampuan finansial
maupun kemampuan spiritual. Sebab
menampung segala bentuk aspirasi rakyat membutuhkan kedua elemen tersebut.
Selain daripada itu, kecerdasan, kesabaran, kepedulian, serta solidaritas juga
merupakan elemen penting agar bisa Parbahul-bahul na bolon.
Harian
Kompas, 28 Februari 2014, halaman; 4, kolom; 6-7 dengan judul ’Warisan’
Mohammad Hatta, Wakil Presiden RI (1945-1956) mengatakan, ”Tak ada harta pusaka
yang sama harganya dengan kejujuran”. Atau, ”Kekayaan tidaklah diukur dengan
banyaknya harta, namun kekayaan yang hakiki adalah kekayaan hati” (HR. Bukhari
dan Muslim; dari Abu Hurairah).”
Kepedulian
terhadap orang lain tidak tergantung pada besar tumpukan harta kekayaan,
melainkan seberapa tinggi solidaritas, kepedulian, simpati, empati di dalam diri seseorang. Sebab, adakalanya bila dilihat
dari jumlah harta kekayaan seseorang sangat layak dan pantas memberi kepedulian
atau membantu orang lain. Tetapi dalam kenyataannya, justru orang tersebut tak
pernah mau tahu dengan kesulitan, kesusahan, penderitaan orang lain. Malah,
masih menginginkan memperoleh keuntungan di atas penderitaan orang lain.
Misalnya, masih tega mengambil jatah orang miskin, menanggok keuntungan
mengalaskan rakyat miskin, mengambil keuntungan ketika terjadi bencana dan lain
sebagainya.
Sumantri
(1985) Allport, Vernon dan Lindzey (1951) mengidentifikasikan enam nilai dasar
dalam kebudayaan yakni nilai teori, ekonomi, estetika, sosial, politik dan
agama. Nilai teori adalah hakikat penemuan kebenaran lewat berbagai metode
seperti rasionalisme, empirisme dan metode ilmiah. Nilai ekonomi mencakup
kegunaan dari berbagai benda dalam memenuhi kebutuhan manusia. Nilai estetika
berhubungan dengan keindahan dan segi-segi artistik yang menyangkut antara lain
bentuk, harmoni dan wujud kesenian lainnya yang memberikan kenikmatan kepada
manusia. Nilai sosial berorientasi kepada hubungan antar manusia dan penekanan
segi-segi kemanusiaan yang luhur. Nilai politik berpusat kepada kekuasaan dan
pengaruh baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun dunia politik. Sedangkan
nilai agama merengkuh penghayatan yang bersifat mistik dan transedental dalam
usaha manusia untuk mengerti dan memberi arti bagi kehadirannya di muka bumi.”
(Suriasumantri Jujun S,1985; hal. 266).
Salah
satu Umpama Batak Toba yang menunjukkan dua dimensi bertolak belakang ialah ”Di
buang-buang ganda, Di holit-holit mago” yaitu pemberian yang secara materi
rugi, tetapi manfaat berlipat ganda. Sebaliknya, diirit justru semakin tak
nampak rimbanya.
Seorang
pemimpin Paramak so balunon, Parsangkalan so mahiang menganut prinsip ”Di
buang-buang ganda” sebab seorang pemimpin (raja) harus royal memberi (buas
mangalehon) agar semakin dihormati, dihargai orang lain. Seorang pemimpin
(raja) dihormati, dihargai pihak lain karena pemimpin itu bersimpati,
berempati, serta peduli dengan nasib orang lain.
Ungkapan
klasik Batak Toba yang galib dikenal adalah ”Galang mula ni harajaon, holit
mula ni hamoraon”. Dalam terjemahan bebas bermakna; sifat pemberi (panggalang),
penolong (mangurupi), peduli (mangkilala) penderitaan pihak lain adalah awal penghargaan,
kehormatan (hasangapon). Sedangkan hemat (holit) adalah pangkal kekayaan (mula
ni hamoraon).
Seorang
pemimpin (raja) haruslah memiliki kedewasaan jiwa atau kebesaran jiwa yang
ditandai orientasi diri yang diabadikan melalui perilaku, tindakan terhadap
pihak lain. Orang dewasa (orang besar) selalu mengorientasikan dirinya terhadap
kepentingan orang lain, sedangkan orang tak dewasa (orang kerdil)
mengorientasikan seluruh hidupnya demi kepentingan diri sendiri.
Karena itulah J. F. Kennedy mengatakan, ”Jangan tanya apa
yang bisa dilakukan negaramu untukmu;
tanyalah apa yang bisa kau lakukan untuk negaramu.”
Caporrimo (2006) ”Orang yang dewasa menerima perhatian
melalui jati dirinya dan pemberiannya, bukan melalui tuntutannya. Jika tuntutan
akan perhatian atau dominasi menjadi dasar suatu hubungan, hal itu pasti
disebabkan adanya ketidakdewasaan.
”Jika Anda memiliki kesadaran akan kasih, Anda mampu
bersikap obyektif dan menjadi bagian dari solusi atas persoalan itu. Jika Anda
memberi simpati dan bukan kasih, Anda melihat kebutuhan dan menaruh simpati
terhadapnya, dan bukannya membantu menyelesaikan persoalan itu”.
Sebelum memperoleh kehormatan, kita harus belajar
merendahkan diri. Persiapan untuk mendapat posisi terhormat adalah rendah hati.
Orang yang merendahkan diri akan ditinggikan (Mat. 23:12). Persiapan untuk
menjadi raja dan tuan bersama Yesus Kristus adalah menjadi rendah hati dan
membasuh kaki.
Karena itu, saya ingin memberikan motto yang telah saya
ikuti selama bertahun-tahun: ”Kurbankan hal yang baik untuk hal yang lebih
baik; kurbankan hal yang lebih baik untuk yang terbaik”. Anda hanya bisa
melakukan sebanyak itu untuk menjadi orang yang bisa melakukan sesuatu yang
tidak dapat dilakukan orang lain. Kemudian semua akan berjalan.
Itu tidak perlu penting; dan tidak perlu di atas orang
lain atau dibawahnya. Kadang-kadang dalam hubungan, orang-orang yang dewasa
menyadari, ”Saya tidak seharusnya menjadi atasan, tetapi atasan tidak akan
menjadi atasan kalau saya tidak menundukkan diri bawahnya dan mendukungnya.” (Caporrimo,
Bruno, 2006; hal. 136-142).
Kedewasaan adalah kesadaran akan kasih, tanggung jawab,
pemahaman nilai, dan kemampuan mengevaluasi serta bersikap tegas.
Paramak so balunon, Parsangkalan so mahiang menggambarkan
sifat pemberi, penolong, peduli, solider terhadap pihak lain dilandasi
kasih untuk membantu, menolong,
membebaskan pihak lain dari aneka kesulitan hidup.
Pemimpin demikian sering disebut seorang pemimpin yang
telah selesai kepentingan dirinya, sehingga seluruh hidupnya diorientasikan
atau diabdikan ladang pengabdian untuk kepentingan publik.
Pemimpin Paramak so balunon, Parsangkalan so mahiang
menyadari paripurna bahwa kekuasaan atau apapun yang dimiliki adalah instrumen
pendukung pengabdian diri terhadap kepentingan pihak lain. Artinya, bahwa
seluruh kepunyaan dan kemampuan
ditujukan demi kepentingan publik semata, bukan sebaliknya ditujukan untuk
kepentingan pribadi, kelompok maupun golongan.
Kesadaran paripurna seperti itu akan mendorong,
memotivasi seorang pemimpin memiliki tanggung jawab atas kepercayaan atau
amanah yang diberikan kepadanya. Dan disini lah pembeda nyata antara seorang
pemimpin (orang besar) dengan seorang pemimpi (orang kerdil).
Pemimpin Paramak so balunon, Parsangkalan so mahiang tak
pernah berikhtiar, beraksioma menghalalkan segala cara demi mewujudkan
kepentingan pribadi, kelompok maupun golongan. Sebab, pemimpin Paramak so
balunon, Parsangkalan so mahiang selalu berikhtiar, beraksioma memberi yang
terbaik kepada pihak lain sebagai ladang pengabdian diri.
Seorang pemimpin yang baik dan benar adalah seorang
pemimpin yang memiliki kesadaran kasih (holong) di dalam dirinya sehingga mampu
melihat, mendengarkan, bahkan merasakan kesulitan-kesulitan rakyat yang
dipimpin.
Pemimpin Paramak so balunon, Parsangkalan so mahiang
menjadikan istananya untuk rakyat, sebab dia tidak pernah berpikir sedikitpun
menutup pintu terhadap rakyatnya. Karena itulah, segala kesulitan, penderitaan rakyat
tidak penah luput dari perhatiaannya, serta menjadi bagian dari
tanggungjawabnya yang perlu diselesaikan dengan tuntas.
Bagi seorang pemimpin Paramak so balunon, Parsangkalan so
mahiang segala bentuk pengorbanan terhadap pihak lain adalah wujud tanggung
jawab, misi mulia, serta konsekuensi amanah yang dipercayakan pada dirinya.
Sehingga mengorbankan yang baik untuk memperoleh yang terbaik adalah wajib
hukumnya. Inilah salah satu sifat mulia dari seorang pemimpin yang dilandasi
kultur budaya Batak Toba Paramak so balunon, Parsangkalan so mahiang.
McChain &
Salter (2009) Viktor Frankl percaya
bahwa kesejahateraan emosional seseorang tergantung pada kemampuan menemukan
makna hidup yang lebih besar daripada kepuasan naluriah. Ia yakin pencarian
makna hidup memungkinkan seseorang mangangkat diri lebih tinggi tidak saja dari
hasrat egoisnya, tetapi juga melampaui kemalangan dan kekejaman yang
dialaminya.
Inilah rahasia martabat yang dipahami Viktor Frankl lebih
daripada banyak orang lain. Martabat bukan dipertahankan dengan kesombongan
atau kekuasaan. Segala sesuatu bisa direnggut dari Anda kecuali martabat.
Martabat merupakan keputusan moral yang mustahil
dihalangi orang lain. Seluruh hidup Anda bisa dikuasai orang lain. Anda dapat
dikecilkan sehingga tidak berdaya, terhina, kotor, jasmani yang buruk, tetapi
kebebasan dan pilihan tetap ada di tangan Anda, keputusan untuk jadi baik atau
buruk.
Kita punya hati nurani, lepas bagaimanapun keadaannya.
Dan seberapa baik kita mematuhi, bahkan dalam kondisi terburuk sekalipun, akan
menentukan apakah kita akan hidup dan mati dengan bermartabat.
Ketahanan hidup bergantung pada pemahaman dan penerimaan
atas harapan hidup; dengan melakukannya, kita menemukan makna hidup bahkan di
dalam penderitaan yang terburuk, dan menikmati beberapa harta yang masih kita
miliki: keramahan mengejutkan dari orang lain, keindahan matahari terbit,
keanggunan pohon yang tumbuh di musim semi.
Segala sesuatu dapat dilakoni dengan bermartabat jika
orang punya harapan dan makna. Kebahagiaan muncul dari hidup bermakna, dari
pembuatan keputusan moral yang benar, dari mencintai seseorang.” (McChain John,
Salter Mark, 2009; hal. 44-49).
Inilah salah satu kisah anak manusia yang mengajarkan
keluhuran martabat ketika menghadapi hukum mati di kamp Auschwitz Nazi
Hitler.
Coba juga lihat betapa mulia martabat Ibu Teresa walau
telah menjadi seorang selebritas internasional masih tetap rendah hati sebab dia
memahami arti kehidupan secara
paripurna.
Munandar (2008) Ibu Teresa, Masih ada banyak penderitaan
di sekitar kita, juga kebencian, kesengsaraan. Kita dengan doa kita, dengan
pengorbanan kita, memulai dari rumah. Kasih dimulai di rumah, dan yang penting
bukanlah seberapa banyak yang kita lakukan, melainkan seberapa besar kasih yang
kita libatkan dalam kita. Bagi Tuhan Yang Maha Kuasa, berapa banyak yang kita
lakukan tidaklah penting, karena Dia Maha Besar. Yang penting adalah seberapa
besar kasih yang kita libatkan dalam tindakan itu, seberapa banyak persembahan
kita kepada Tuhan setiap kali kita melayani orang lain.
...Saya tidak pernah lupa beberapa waktu yang lalu,
sekitar empat belas profesor dari berbagai universitas di Amerika Serikat
berkunjung. Mereka mendatangi rumah kami, dan kami pun berbicara tentang cinta,
kasih, lalu salah seorang bertanya kepada saya. ”Bunda, katakanlah sesuatu yang
akan kami ingat”. Maka, saya katakan kepadanya, ”Tersenyumlah kepada satu sama
lain, luangkan waktu untuk keluarga Anda dan begitu pun sebaliknya.” (Munandar
Haris, Terj, 2008; hal. 190-191).
Nah, bagaimana dengan para pemimpin yang lahir di era
belakangan ini, apakah masih memiliki kerendahan hati dan martabat mulia ? Atau
sebaliknya, telah mengubah diri jadi ’monster’ memangsa rakyat yang dipimpin.
Jika hal itu yang terjadi maka dapat dipastikan telah menyimpang atau melenceng
dari Paramak so balunon, Parsangkalan so mahiang yang merupakan esensi
kepemimpinan berdasarkan kultur budaya Batak Toba.
Membangun tembok pemisah, menutup mata dan telinga, tak
peduli kesulitan atau penderitaan rakyat adalah kekeliruan besar seorang
pemimpin, sebab esensi sejati kehadiran seorang pemimpin adalah memberi
kebahagiaan seluruh lapisan masyarakat,
tanpa kecuali.
Oleh karena itu, Paramak so balunon, Parsangkalan so
mahiang adalah cerminan keterbukaan (openess),
solidaritas (solidarity) yang harus
dimiliki para pemimpin agar aspirasi rakyat terakomodasi optimal di dalam
kebijakan publik.
9
Partogi pangihutan, Panungkunan pandapotan.
Pada
hakikatnya bahwa seorang pemimpin adalah pembimbing, pembawa arah (partogi)
yang diikuti, dipatuhi (pangihutan), tempat bertanya (panungkunan), serta
memberi solusi atau jawaban (pandapotan) atas berbagai hal ditengah-tengah
perikehidupan masyarakat, bangsa sehari-hari.
Sebagai
pembimbing, pembawa arah (partogi) seorang pemimpin tentu dituntut kompetensi
paripurna tentang berbagai hal yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat.
Sebab sangat mustahil memberi bimbingan, arahan bila dirinya sendiri pun tidak
memahami permasalahan yang ada di masyarakat.
Karena
itu, seorang pemimpin harus mampu menentukan visi atau platform hendak dicapai
melalui perencanaan yang baik dan benar. Selanjutnya, dijabarkan di dalam misi
atau rencana aksi (action plan)
terpadu, terintegrasi, konsisten, serta berkesinambungan sebagai pedoman,
kompas untuk mencapai tujuan tersebut.
Kemampuan
jenial seorang pemimpin menentukan rencana besar (grand design) akan sangat mempengaruhi poses kemajuan masyarakat,
bangsa maupun negara. Hal itu juga ditegaskan Franklin Delano Roosevelt,
bahwa ”Bangsa yang tidak punya visi akan
musnah.”
Peran
sentral dan strategis seorang pemimpin memberi arah, pedoman, kompas sebagai
acuan yang harus diikuti adalah salah satu esensi kepemimpinan paling fundamental. Sebab, apabila pemimpin salah
atau keliru menentukan arah kebijakan akan berakibat fatal pada langkah-langkah
implementasi selanjutnya, serta berpotensi besar menimbulkan kekeliruan ataupun
kesalahan semakin besar dan rumit.
Selaku
seorang manajerial yang menentukan arah kebijakan, otensitas seorang pemimpin
Partogi pangihutan, Panungkunan pandapotan harus memiliki kompetensi layak dan pantas diikuti, ditauladani seluruh masyarakat.
Berbagai masalah memerlukan solusi harus mampu diselesaikan
dengan arif bijakasana agar kehadirannya tampak dengan nyata ditengah-tengah
masyarakat, bangsa maupun negara.
Sebagai
Partogi seorang pemimpin tentu harus mampu memberi ketauladanan dalam segala
tindak-tanduknya karena perilaku pemimpin akan menjadi acuan bagi orang lain.
Selain daripada itu, seorang pemimpin harus mampu ”Panungkunan sekaligus
Pandapotan”. yaitu, seorang pemimpin
memiliki kemampuan labuhan pertanyaan sekaligus memberi jawaban atau
solusi.
Harian
Kompas, 17 Februari 2014, halaman; 4, kolom; 6-7 dengan judul ’Warisan’ Soe Hok
Gie, ”Bagiku sendiri politik adalah barang yang paling kotor, lumpur-lumpur
yang kotor. Tetapi suatu saat di mana kita tidak dapat menghindari diri lagi,
maka terjunlah. Kadang-kadang, saat ini tiba,
seperti dalam revolusi dahulu. Dan jika sekiranya saatnya sudah sampai,
aku akan terjun ke lumpur ini.”
Karena
itu, seorang pemimpin haruslah ”Ompu ni na bisuk, sabungan ni roha. Sisungkunon
di bisuk, sialapon nang di roha”(Hutasoit, 2013; hal. 23) Maksudnya, bahwa seorang pemimpin harus
cerdas, arif bijaksana serta memiliki keluhuran jiwa agar bisa menjadi suri
tauladan ditengah-tengah masyarakat.
Korelasi antara kata dengan tingkah laku atau perbuatan
seorang pemimpin harus lah linier. Bukan seperti ungkapan mengatakan, ”Palo di
anak ni mata, angkalau sumuntol bulan. Malo di urat ni hata, hape tarsuntol di
parulan” (Hutasoit, 2013, hal. vi) yaitu; seseorang yang pintar dalam tataran
kata-kata, tapi tak sesuai tataran perilaku atau perbuatan. Misalnya, pintar
memberi nasehat, tapi tingkah laku, perbuatannya sangat berbanding terbalik
dengan nasehat atau ucapannya itu.
Misalnya, para pemimpin sering menganjurkan kepada rakyat agar berpola
hidup sederhana, ”kencangkan ikat pinggang” ala Soeharto, tetapi di sisi lain
justru pemimpin bersangkutan menunjukkan pola-pola konsumsi serba mewah dan
lux.
Paradoks antara anjuran, ucapan dengan pola tingkah laku
seperti itu menunjukkan, bahwa tataran kata-kata dengan pola tingkah laku
sangat berbanding terbalik berakibat timbulnya degradasi kepercayaan
rakyat terhadap pemimpinnya.
Kontradiksi antara ucapan dengan perilaku menjadi penanda
nyata inkonsistensi seorang pemimpin di mata masyarakat, bangsa maupun negara.
Partogi pangihutan,
Panungkunan pandapotan adalah salah satu esensi kepemimpinan berdasarkan kultur
budaya Batak Toba yang menunjukkan bahwa seorang pemimpin harus mampu solusi
permasalahan, sekaligus patron yang bisa diikuti dalam perikehidupan
sehari-hari.
Predikat pemimpin tidak hanya sekadar sebutan nama saja,
tapi benar-benar memiliki kredibiltas, kapabilitas, kapasitas, integritas untuk
mengemban amanah yang diletakkan di pundaknya.
Rafick (2009) mengatakan, Bukan rahasia lagi
seberapa keras pun upaya yang dilakukan untuk memperbaiki nasib bangsa,
seberapa besar pun biaya yang dikeluarkan, bila pelakunya sendiri tidak tahu di
mana letak kerusakan itu dan seberapa besar, maka semuanya akan sia-sia.
Sehebat apa pun ilmu dan pengetahuan seorang dokter, bila dia tidak melakukan
diagnosa yang benar dan jujur tentang penyakit pasiennya, maka pasien itu tidak
akan sembuh-sembuh. Malah penyakitnya akan bertambah akibat salah obat atau over dosis, seperti yang telah dialami
negeri ini selama 10 tahun terakhir – meski lima presiden telah berupaya
mengatasinya.” (Rafick, Ishak, 2007; hal. xxv).
Karena itu pula lah, As (1998) dengan tegas mengatakan,
bahwa ”Salah satu syarat paling utama dan paling menentukan dalam proses satu
bangsa atau negeri membukukan dirinya menjadi bangsa besar yang adidaya dan
tangguh adalah adanya pemimpin bangsa dan negeri yang jenial, ambisius
menjadikan bangsa atau negerinya menjadi adidaya yang disegani bangsa-bangsa
lain. Dan dalam kaitan ini berhasil membangun harga diri dan kebanggaan
mayoritas rakyatnya.” (AS, Fajar,1998; hal. 53).
Kemajuan,
kemunduran suatu bangsa sangat ditentukan kejenialan dan ketangguhan seorang
pemimpin. Sebab seorang pemimpin adalah Partogi pangihutan, Panungkunan
pandapotan bagi rakyatnya.
Suatu bangsa atau negara akan disegani bangsa-bangsa lain
bila pemimpinnya kuat dan tangguh, cerdas jenial memahami keunggulan ataupun
kelemahan bangsanya. Dan melalui pemahaman paripurna atas keunggulan, kelemahan
yang dimiliki melahirkan gagasan-gagasan besar, jenial untuk mengatasinya.
Seorang
pemimpin besar akan mampu melahirkan karya-karya monumental yang menjadi
kebanggaan bangsanya. Dia tidak mau hanya ’membeo’, meniru atau copy paste pemikiran-pemikiran orang
lain. Sebab, ia menyadari bahwa yang baik pada bangsa lain, belum tentu baik
untuk bangsanya sendiri.
Pemimpin besar dan jenial selalu mengarahkan
pemikiran dan tindakan untuk menemukan karya-karya monumental yang menjadi
kebanggaan seluruh rakyat. Karena, ia menyadari kebanggaan hanya ada bila yang
dibanggakan benar-benar ada. Karya-karya besar monumental yang tidak dimiliki
bangsa lain adalah simbol kebanggaan yang tidak mudah ditelan zaman. Obsesi
besar, ambisius seorang pemimpin untuk menciptakan keunggulan-keunggulan
spesifik menjadikan suatu bangsa tampil sebagai pemenang di percaturan antar
bangsa-bangsa di atas jagat raya ini.
Kamil
(2007) Horace (65-SM) seorang filosof Romawi mengatakan, ”Sapere Aude !”, ”Dare to know
!”, dan ”Have the courage your own
understanding !”. Teguhlah pada pemikiran sendiri, jangan hanya membeo,
pakailah otakmu, yang diamplifikasikan oleh para pemikir pencerahan dengan
tanda seru besar.
Karenanya,
pemikiran pencerahan konsisten menekankan bahwa selama nalar dan kebebasan
bergandengan tangan atau beraliansi satu sama lain guna melawan berbagai
kepalsuan tradisi dan hambatan alam dan politik. Ini pada akhirnya akan
menghantarkan manusia ke gerbang kemajuan. Kebebasan, karenanya, terbit sebagai
esensi dari nalar. Proyek pencerahan, menurut Kant, adalah ”ketika kebebasan
menjadikan masyarakat berpikir sendiri dengan nalarnya terhadap segala hal
ihwal urusannya”.
Singkatnya,
perayaan kemenangan manusia pencerahan mematok harga mati bagi adanya kebebasan
berbicara dan berpikir.” (Kamil, Sukron, 2007; hal. 6-7).
Demikian halnya peran seorang Partogi harus mampu
memberikan pencerahan terhadap seluruh rakyat sebab dirinya selain Partogi
pangihutan, juga Panungkunan pandapotan atas berbagai hal ikhwal
ditengah-tengah rakyatnya.
Seorang pemimpin tak boleh ragu, bimbang, ataupun
ketakutan dalam mengambil suatu keputusan, terlepas dari populer atau tidak di
mata masyarakat.
Keragu-raguan, kebimbangan seorang pemimpin dalam
mengambil suatu keputusan akan sangat berpengaruh besar terhadap eksistensi
kepemimpinan di mata masyarakat. Kecepatan, kelugasan, kecermatan, kecerdasan
mengambil keputusan juga sangat berpengaruh besar menyelesaikan berbagai
permasalahan yang ada. Dan di sini lah esensi kepemimpinan Panungkunan
pandapotan yang sangat diharapkan rakyat dari seorang pemimpin.
Salah satu contoh,
ketika rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) tarik-ulur oleh
pemerintah menimbulkan ketidakpastian ditengah-tengah masyarakat. Kelambanan,
keragu-raguan mengambil keputusan telah membuka peluang spekulasi yang
merugikan kepentingan rakyat. Harga-harga kacau balau dan tak terkendali karena
pemimpin tidak mampu memberi kepastian kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM)
dengan cepat disertai alasan yang tepat hingga masyarakat terombang-ambing, curiga,
serta melakukan berbagai protes di mana-mana. Disinilah bukti nyata kegagalan
seorang pemimpin memosisikan diri Partogi pangihutan, Panungkunan pandapotan
bagi rakyat.
Oleh sebab itu, seorang pemimpin harus memiliki kemampuan
Partogi pangihutan, Panungkunan pandapotan secara nyata agar kehadirannya
benar-benar tampak dan dirasakan oleh masyarakat, bangsa dalam menyelesaikan
berbagai permasalahan yang ada.
Seorang pemimpin tidak boleh sekali-sekali menularkan
kebimbangan, keragu-raguan, pesimisme, apalagi rasa tak percaya diri terhadap
rakyat walau menghadapi situasi amat sangat genting sekalipun. Justru
sebaliknya, membangkitkan, menumbuhkan semangat serta optimisme masyarakat,
bangsa setinggi-tingginya sebagai energi besar api perjuangan menuju cita-cita
yang hendak dicapai.
Salah satu seruan besar Jawaharlal Nehru memberi spirit terhadap bangsanya ialah;
Munandar (2008) Jawaharlal Nehru, ”Masa depan itu tidak
akan mudah, melainkan juga akan menuntut perjuangan agar kita dapat memenuhi
janji-janji kita, termasuk yang akan kita ikrarkan hari ini. Melayani India
sama dengan melayani jutaan orang menderita. Itu berarti tugas maha berat
mengatasi kemiskinan, kesia-siaan, wabah penyakit, dan ketimpangan kesempatan.
Ambisi utama para orang besar di zaman kita adalah
menghapuskan air mata. Mungkin tugas ini takkan terselesaikan seumur hidup
kita. Namun yang jelas, selama masih ada air mata, selama itu pula kita masih
harus bekerja.” (Munandar, Haris, Terj, 2008;
hal. 121).
Kesadaran seperti inilah esensi kepemimpinan Partogi pangihutan, Panungkunan
pandapotan yang mampu memberi arah, semangat, serta optimisme terhadap seluruh
lapisan masyarakat. Dengan demikian, setiap insan mempunyai gairah hidup dan
kebanggaan terhadap pemimpinnya.
Seorang Partogi harus memiliki kemampuan menyemangati,
membangun jati diri, martabat, harga diri bangsa di tataran percaturan antar
bangsa-bangsa. Dengan kecerdasan, kejenialan mampu mendorong karya-karya unggul
berdaya saing yang mendatangkan kemakmuran, kesejahteraan serta kebahagiaan
seluruh rakyat. Sebab, tugas utama seorang pemimpin adalah mewujudkan
kebahagiaan seluruh rakyat, tanpa kecuali.
Namun, fakta empris membuktikan, bahwa sebahagaian besar
pemimpin justru berperilaku sebaliknya. Kebanyakan pemimpin tidak mampu
memosisikan diri sebagai Partogi pangihutan, Panungkunan pandapotan terhadap
rakyat atau yang dipimpin. Pemimpin yang seharusnya solusi masalah, justru
bagian dari masalah yang menimbulkan degradasi kepercayaan terhadap pemimpin
pada era belakangan ini.
Berbagai kekeliruan kebijakan kerap digulirkan para
pemimpin karena terjebak pada subyektivitas politik, sektarian-primordial yang
ditengarai demi mewujudkan kepentingan pribadi, kelompok maupun golongan.
Bahkan, banyak pemimpin menempatkan diri di sudut sektarian-primordial.
Akibatnya, tak mampu memosisikan diri pemimpin publik yang mengabdi terhadap
seluruh lapisan masyarakat, bangsa, tanpa kecuali.
Fenomena perpolitikan Indonesia di era reformasi ialah munculnya
ambisi para pemimpin publik menjadi petinggi partai politik yang notabene partisan dan sektarian.
Presiden, menteri, gubernur, bupati/walikota dan pejabat publik lainnya menjadi
ketua atau petinggi partai politik tertentu menjadikan mereka tidak jelas
apakah pejabat publik atau petinggi partai politik.
Keterlibatan para pejabat publik di partai politik akan
sangat bertentangan dengan posisi pejabat publik milik seluruh rakyat, tanpa
kecuali. Karena, biar bagaimana pun bila presiden, menteri, gubernur,
bupati/walikota dan lain-lain sebagai pemimpin partai politik akan sulit
melepaskan diri dari interst
kepentingan sektoral atau kepentingan partai politik tertentu.
Mono
loyalitas terhadap pimpinan akan
semakin diragukan, bahkan hilang sama sekali. Sebab seorang pemimpin mempunyai
”dua tuan” sekaligus. Misalnya, seorang menteri, gubernur, bupati/walikota yang
tidak satu partai dengan presiden tidak mungkin memiliki mono loyalitas terhadap presiden ataupun pemimpin diatasnya karena
pemimpin tersebut cenderung lebih taat dan takut pada garis partai daripada pemimpin
diatasnya.
Kepemimpinan yang tak didukung mono loyalitas bisa dipastikan tak akan berjalan maksimal, malah
mengalami hambatan atau ketersumbatan arus kebijakan dari level atas ke level
dibawahnya karena para pemimpin mengutamakan kepentingan partai politik
masing-masing. Padahal, seharusnya seorang pemimpin adalah Partogi pangihutan,
Panungkunan pandapotan bagi seluruh rakyat tanpa sekat-sekat apapun. Seorang
pemimpin harus memiliki karakter unggul agar mampu mengatasi seluruh
kepentingan rakyat yang dipimpin. Kepentingan umum harus ditempatkan di atas
kepentingan pribadi, kelompok maupun golongan.
Kesadaran inilah yang sangat langka ditemukan pada diri
seorang pemimpin ditengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini.
Jiwa kenegarawanan untuk mengemban tugas-tugas kepemimpinan Partogi pangihutan,
Panungkunan pandapotan sudah semakin sulit ditemukan pada diri para pemimpin di
negeri ini karena keliru meletakkan peta jalan (road map) pembangunan bangsa, termasuk pembangunan karakter bangsa
sebagaimana dianjurkan Bung Karno.
Bila diperhatikan dengan cermat pada era belakangan ini,
para pemimpin di segala level kepemimpinan
telah terjebak atau terkoptasi nuansa politik kepentingan pribadi, kelompok
maupun golongan. Dan sudah sangat jarang ditemui pemimpin berjiwa negarawan
yang mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi, kelompok
maupun golongan.
Bahkan, presiden, menteri, gubernur, bupati/walikota pun
telah menjadikan dirinya ketua umum atau petinggi partai politik tertentu yang notabene mengutamakan kepentingan partai
atau kelompoknya dalam penyelenggaraan negara atau pemerintahan yang
diamanahkan pada dirinya.
Padahal, presiden/wakil presiden sebelum memangku jabatan
harus terlebih dahulu bersumpah sesuai pasal 9 Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945, selengkapnya berbunyi;
Pasal 9 (1) Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan
Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di
hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat sebagai
berikut.
Sumpah
Presiden (Wakil Presiden):
”Demi
Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia
(Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya,
memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan
peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan
Bangsa.”
Inilah salah satu logika terbalik atau logika aneh yang
sangat perlu diperbaiki dan diluruskan agar para pemimpin publik tidak melakukan
penyesatan logika, penyelewengan amanah dalam menjalankan tugas pokok dan
fungsi (Tupoksi) sesuai Sumpah atau Janji Jabatan yang diucapkan pemimpin
tersebut.
Kesimpulan.
Sebagai
agenda politik strategis pemilihan kepala daerah (Pemilukada) serentak pada 09
Desember 2015 akan datang, dan khususnya di daerah sekitar Kaldera Toba
pemilihan kepala daerah bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota maupun
pemilihan gubernur seharusnya digunakan sebaik-baiknya untuk memilih kepala
daerah sesuai kearifan budaya Batak Toba agar momentum pemilukada benar-benar
mampu menghadirkan pemimpin-pemimpin daerah yang sesuai dengan karakter, jati
diri masyarakat beradat dan beradab.
Seluruh
lapisan masyarakat tidak boleh sekali-sekali menjual dan menggadaikan martabat
dan harga dirinya demi sejumlah rupiah. Pemimpin atau kepala daerah yang
dipilih berdasarkan kemampuan bagi-bagi uang tak akan pernah bisa diharapkan
membawa kemajuan pembangunan daerah, malah akan berpotensi masuk penjara
dikemudian hari, sebab para calon kepala daerah yang membagi-bagi uang ketika
pemilihan akan berupaya mengembalikan modal melalui mata anggaran pendapatan
dan belanja daerah (APBD) ataupun penempatan pejabat-pejabat daerah di saat
berkuasa. Nasib rakyat, pembangunan daerah bukanlah jadi tujuan, tetapi
mengembalikan modal ditambah menimbun harta dan kekuasaan.
Karena
itu, jika masyarakat ingin merasakan laju percepatan pembangunan di daerahnya
masing-masing, hanya ada satu kata ”TOLAK
POLITIK UANG”.
Selamat berdemokrasi ! Pilih calon
kepala daerah memiliki kompetensi, kejujuran, kredibilitas, kapasitas,
kapabilitas, dan integritas sebab hanya ditangan pemimpin seperti itulah
harapan, dambaan rakyat terwujud.
Horas !
Medan, 20 Oktober 2015
Thomson
Hutasoit.