Kepala Daerah Berbasis Kearifan Budaya Batak Toba
Oleh: Thomson Hutasoit
Direktur Eksekutif LSM Kajian Transparansi Kinerja
Instasi Publik (ATRAKTIP)
Pendahuluan.
Salah
satu diskusi, pembicaraan tak pernah sepi sepanjang masa ialah tentang kepemimpinan,
baik kepemimpinan lokal, nasional maupun internasional. Hal itu disebabkan
peran penting strategis seorang pemimpin menentukan arah perjalanan suatu
masyarakat, bangsa maupun negara.
Kecermatan, kecerdasan menghadirkan
pemimpin yang tepat dan akurat adalah salah satu faktor utama meraih kemajuan,
keberhasilan di masa depan. Menghadirkan pemimpin jenial, ambisius yang mampu
melahirkan karya-karya cemerlang monumental akan memberi kebanggaan terhadap
bangsa maupun negara. Dan, melalui kecerdasan, kejenialan, serta ambisiusnya itu
membawa bangsa maupun negara kampiun di
percaturan politik antar bangsa-bangsa di dunia.
Dari berbagai pengamatan tentang
pemimpin-pemimpin besar di dunia ternyata kehebatan, kedigdayaan para pemimpin
itu tak terlepas dari pemahaman paripurna tentang kultur budaya yang tumbuh
berkembang di masyarakat, bangsanya sendiri. Nilai-nilai kearifan kultur budaya yang
menjadi jati diri digali serta dikembangkan menjadi model-model kepemimpinan spesifik
sebab kepemimpinan berbasis kearifan budaya sangat berkorelasi dengan karakter,
jati diri bangsa bersangkutan.
Sebagai karakter dan jati diri,
nilai-nilai kearifan kultur budaya juga turut mewarnai tipologi kepemimpinan
antara satu bangsa dengan bangsa lain, sehingga amat sangat keliru besar bila
model-model kepemimpinan asing diadopsi secara serampangan dari bangsa-bangsa
lain yang belum tentu sesuai dan serasi dengan kultur budaya tumbuh subuh
ditengah masyarakat, bangsa itu sendiri.
Pengabaian nilai-nilai kearifan
budaya yang notabene jati diri bangsa
adalah suatu kekeliruan besar serta sesat pikir sangat mengecewakan sekaligus
memalukan. Di satu sisi mengagung-agungkan kultur budaya pihak lain, sementara
di sisi berbeda justru membuang kultur budaya sendiri yang telah menjadi jati
diri adalah cermin berpikir kacaubalau sebagaimana ungkapan Batak Toba
“humungkus hosa ni halak sian hosa niba” dalam terjemahan bebas bermakna lebih
harum nafas orang lain daripada nafas sendiri. Cara berpikir seperti ini ialah
cara berpikir orang tak berjati diri serta tidak menghargai kemampuan diri sendiri.
Fenomena seperti itu sadar atau
tidak sering muncul dalam proses suksesi kepemimpinan pada era belakangan ini.
Padahal, pengabaian nilai-nilai kearifan budaya merupakan salah satu faktor utama
mengapa eksistensi kepemimpinan semakin pudar, bahkan terdegradasi hingga
menyentuh titik nadir kepercayaan (distrust)
ditengah masyarakat, bangsa maupun negara.
Kepemimpinan sejatinya ialah amanah,
kepercayaan yang diberikan kepada seseorang didasari penilaian tentang
kredibilitas, kapasitas, kapabilitas, integritas, serta kompetensi mengemban
amanah kepemimpinan di masyarakat, bangsa maupun negara. Faktor-faktor inilah
pertimbangan paling dasar menentukan layak tidaknya seseorang di daulat menjadi
pemimpin ditengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara.
Seorang pemimpin harus memiliki
keunggulan, keistimewan agar mampu menjadi panutan bagi masyarakat, bangsa
maupun negara karenanya dituntut kepintaran, kecerdasan, kejenialan, serta
integritas kepribadian yang pantas ditiru, digugu dan diteladani oleh pihak
lain.
Pemimpin
juga harus mampu menjadi solusi masalah, bukan malah jadi bahagian masalah. Dan
di sinilah salah satu bukti nyata otensitas seorang pemimpin ditengah
masyarakat, bangsa dan negara. Artinya, semakin besar peran penting seorang
pemimpin memberi solusi permasalahan yang dihadapi rakyat semakin otentik lah
pemimpin itu di mata rakyat.
Untuk mengukur, menganalisis
otensitas kepemimpinan di era millenia ini, penulis mencoba menggali serta
mendalami berbagai kepemimpinan ditinjau dari kultur budaya BatakToba yang
merupakan warisan leluhur dalam memilih dan/atau menentukan seorang pemimpin
yang mampu menjadi tumpuan harapan untuk memberi kemajuan dan peningkatan taraf
hidup masyarakat secara nyata berdasarkan kultur budaya Batak Toba.
Hal itu dimaksudkan sebagai salah
satu instrumen pembanding model-model kepemimpinan modern yang selalu
diangung-agungkan di zaman millennia
ini. Sebab, model-model kepemimpinan berdasarkan kultur budaya sepertinya telah
diabaikan atau dianggap tidak penting lagi pada zaman saiki ini. Padahal, bila
diamati cermat, cerdas dan seksama,
model-model kepemimpinan yang diterapkan para pemimpin besar dunia tidak
terlepas dari nilai-nilai kearifan budaya masing-masing.
Para pemimpin besar dunia memahami
paripurna, bahwa nilai-nilai kearifan kultur budaya yang tumbuh berkembang
ditengah-tengah kehidupan masyakat, bangsa dan negaranya adalah modal besar
membangun bangsa unggul dan digdaya karena sesuai karakter dan jati diri sendiri. Sementara, di
sisi lain muncul para pemimpin tak menghargai kultur budayanya sendiri malah
lebih mengagungkan budaya bangsa lain, termasuk model-model kepemimpinan yang
cenderung copy paste belaka.
Esensi
kepemimpinan sejatinya ialah melindungi, mengayomi, menghimpun, mengarahkan,
menggerakkan mendorong orang lain untuk mencapai tujuan yang telah
direncanakan. Hal-hal seperti itu sangat berkorelasi linier dengan kepemimpinan
ditinjau dari kultur budaya Batak Toba.
Untuk
melihat korelasi kepemimpinan era modern dengan kepemimpinan ditinjau dari kultur budaya Batak Toba
penulis juga memberi contoh pemimpin-pemimpin besar fenomenal dunia yang sangat
relevan dengan kultur budaya warisan leluhur. Hal itu dimaksudkan untuk menambah
khasanah pemahaman betapa pentingnya menggali dan mengembangkan nilai-nilai
kearifan kultur budaya dalam menentukan model kepemimpinan sesuai karakter,
jati diri bangsa.
Kepemimpinan
didasarkan pada kultur budaya akan memperkuat pembangunan karakter bangsa (national character building) sekaligus
memperkokoh jati diri dengan berbagai keunggulan dan keistimewaan bangsa di
mata dunia internasional.
Sebab
keunggulan serta keistimewaan suatu bangsa ditandai sejauhmana kemampuan bangsa
tersebut membangun dan/atau membentuk
karakter unggul, jati diri spesifik. Karena bangsa tak berkarakter,
berjati diri tak akan pernah keluar sebagai pemenang dalam percaturan antar
bangsa-bangsa di atas dunia, malah sebaliknya akan menjadi bangsa pecundang,
dependen terhadap bangsa lain. Itulah sebabnya, para pemimpin besar dunia
selalu meletakkan seluruh proses pembangunan bangsanya di atas fondasi kultur
budaya sebagai jati diri spesifik.
Sekaitan
dengan pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) serentak 09 Desember 2015 di ±
266 daerah provinsi, kabupaten/kota di seluruh Indonesia yang merupakan sejarah
demokrasi paling fenomenal di atas jagat raya, dimana 23 kabupaten/kota
diantaranya akan digelar di Provinsi Sumatera Utara menjadi sangat istimewa
untuk menganalisis calon-calon kepala daerah (bupati/walikota) untuk lima tahun
ke depan.
Dari
23 kabupaten/kota yang menyelenggarakan Pemilukada 09 Desember 2015 enam (6)
kabupaten di sekitar Kaldera Toba yakni; Kabupaten Humbang Hasundutan, Samosir,
Toba Samosir, Simalungun, Karo, dan Pakpak Bharat adalah daerah Bona Pasogit
Batak yang memiliki kultur budaya kepemimpinan warisan leluhur. Walau tidak
sama dan indentik kultur budaya di enam kabupaten sekitar Kaldera Toba, tetapi
dipandang sangat urgen mendasarkan pemilihan pasangan calon bupati/wakil bupati
berbasis kearifan budaya Batak, khususnya budaya Batak Toba untuk menghadirkan
kepala daerah yang relatif sesuai dan selaras dengan kultur budaya setempat.
Masyarakat
sekitar Kaldera Toba adalah masyarakat adat dengan berbagai kearifan budaya,
memiliki model kepemimpinan warisan leluhur akan lebih efektif jika dipimpin
bupati/wakil bupati memahami model kepemimpinan berbasis kearifan budaya
komprehensif paripurna. Kepemimpinan dengan pendekatan budaya (culture approach) dilakukan dengan baik
dan benar akan lebih efektif, efisien mendorong laju perkembangan pembangunan di
daerah bona pasogit sehingga partisipasi rakyat dalam proses pembangunan bisa
dimaksimalkan lima tahun ke depan.
Karena
itu, sungguh arif dan bijaksana apabila pada Pemilukada 09 Desember 2015 akan
datang calon-calon bupati/wakil bupati yang akan dipilih memiliki kepemimpinan
berbasis kultur budaya Batak Toba antara lain;
1.
Raja
urat ni uhum, Namora ihot ni hosa.
seorang pemimpin yang mampu memberi kepastian
hukum, kebenaran dan keadilan serta mampu menyejahterakan seluruh rakyat dalam
kepemimpinannya. Seorang kepala daerah
(bupati/wakil bupati) harus mampu menelorkan peraturan perundang-undangan
berkualitas dalam hal ini peraturan daerah (Perda) yang mampu memberi kepastian
hukum, bertindak adil dalam pemerintahan sehingga seluruh rakyat terlindungi
menjalankan aktivitasnya.
Berbagai regulasi
seperti peraturan daerah (Perda), peraturan bupati (Perbup) dan lain
sebagainya harus benar-benar
mencerminkan kebenaran dan keadilan serta penegakannya pasti dan tegas untuk
memberi jaminan beraktivitas bagi seluruh rakyat.
Raja urat ni uhum,
Namora ihot ni hosa bermakna bahwa eksistensi seorang pemimpin (raja) pada Batak
Toba adalah akar atau sumber hukum yang benar dan adil. Disinilah salah satu
alasan mengapa sering disebut “mulut raja adalah hukum” yang dalam konteks
kepala daerah, bahwa bupati/wakil bupati bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) adalah pembentuk peraturan daerah (Perda) yang baik dan benar serta adil
bagi seluruh rakyat. Sedangkan Namora ihot ni hosa bermakna orang kaya menolong
orang-orang menderita kesusahan, kesulitan (miskin) bukan malah sebaliknya
memperdaya, membodoh-bodohi dan menambah kesusahan rakyatnya.
Karena itu dalam
pemilukada 09 Desember 2015 masyarakat harus mampu menolak pasangan calon
bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota yang menggunakan taktik dan
strategi bagi-bagi uang,sembako maupun bantuan sosial yang patut diduga hanya
kedermawanan sesaat untuk meraih simpati rakyat memilihnya. Politik uang (money politics) adalah salah satu
indikasi awal bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota berpotensi menjadi
penghuni hotel prodeo atau terpenjara di kemudian hari, sebab sudah pasti arus
utama dalam pikiran dan tindakan bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota terpilih
tidak lain dan tidak bukan adalah mengembalikan uangnya yang dibagi-bagikan
ketika pemilihan. Nasib rakyat, pembangunan daerah bukan lagi tujuan utama, bahkan segala
regulasi akan diarahkan untuk kepentingan menguntungkan kepentingan diri,
kelompok maupun pendukungnya. Hal itu haruslah menjadi perhatian serius bagi
rakyat pemilih sehingga tidak menuai kekecewaan lima tahun ke depan.
Calon pasangan kepala
daerah (bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota) yang sejak awal sudah
menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan mustahil akan mampu memosisikan
dirinya “Raja urat ni uhum, Namora ihot ni hosa” malah sebaliknya akan
menjadikan dirinya raja penguasa berkuasa mutlak absolut sebab rakyat telah
“dibeli” bagaikan barang dagangan di pasar loak. Berbagai kekecewaan pada
kepemimpinan kepala daerah di masa lalu hendaknya dijadikan pelajaran berharga
dalam memilih dan menentukan bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota pada
pemilukada 09 Desember 2015 akan datang. Sebab Bung Karno mengatakan, “Hanya
keledai yang mau dua kali terperosok pada satu lobang yang sama”. Artinya, jika
ketika pada pemilihan-pemilihan sebelumnya masyarakat terkecoh, tertipu dengan
politik kedermawanan sesaat (politik uang) hingga salah memilih pasangan calon
bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota yang tak berkompeten, kredibel,
kapabel, serta tak berintegritas memimpin daerah menghadirkan kemajuan
pembangunan daerah maka cara berpikir nomor piro wani piro (NPWP) alias “jelas
do, sadia dilehon” harus segera disadari adalah kekeliruan besar memilih calon kepala
daerah.
Sesungguhnya,
masyarakat beradat dan berbudaya tidak akan pernah mau menggadaikan dan menjual
harkat dan harga dirinya demi sekeping uang, kecuali orang tersebut pengikut
Yudas Iskariot yang mau menjual Tuhannya demi 30 keping uang atau Esau yang mau
menjual hak kesulungannya demi semangkuk kacang merah. Orang-orang beradat dan
beradab selalu berprinsip ‘lebih baik menjual martabak di pinggir jalan untuk
meraih martabat” sebaliknya, orang-orang tak beradat dan beradab menjual
martbatnya di hotel berbintang lima untuk mendapat sepotong martabak. Harus
disadari komprehensif paripurna, memilih pasangan calon gubernur/wakil
gubernur, bupati/wakil bupati,
walikota/wakil walikota karena mampu membagi-bagi uang Rp 50 ribu hingga Rp 100
ribu adalah kekeliruan besar dan sesat pikir sebab telah menjual martabat dan
harga diri seperti Yudas Iskariot dan Esau yang menjadi legenda memalukan di
atas bumi ini sepanjang masa. Betapa sedih dan memilukan bila anak-anak cucu
akan menyandang predikat keturunan orang-orang bisa dibeli sejumlah rupiah.
Anak cucu akan mewarisi stigma negatif dari kakek moyangnya dikemudian hari
sehingga anak cucu akan “maraprap na so magulang, turukon na so
marngenge”semata-mata kesalahan pendahulunya yang berprinsip “Nikmat membawa
sengsara” dalam pemilihan. Janganlah kita gunakan, “Pat ni manuk patu rengreng,
marrara mata mida hepeng” sebab uang bisa membutakan mata orang melihat terang
atas kemampuan dan keyalakan calon pemimpin. Padahal, leluhur Batak, khususnya
Batak Toba mengatakan, “Anak na boi tu jolo do sibulang-bulangan” maknanya ialah
orang berkompetensi lah pantas dijadikan pemimpin.
Hata
Umpama mengatakan, “Maronding-onding gaja, di langkat ni si mareme-eme. Ianggo
raja dohot namora, pangondingi do di na metmet” artinya, pemimpin (raja) dan
orang kaya (namora) melindungi, mengayomi orang tak berdaya.
Siahaan
(1936) kualifikasi kepemimpinan (harajaon) dahulu kala di bangso Batak, antara
lain;
1. Habolonon, (asal raja hian) ai sumangap i
jala sumaut pandohanna. (berwibawa,
terhormat di masyarakat sebab berasal dari keturunan raja sehingga lebih
dihormati serta dituruti perkataannya).
2. Na tuk mangaramoti, umbahen na didok
umpama; siramoti pitu jae dohot pitu julu. (mampu melindungi, mengayomi, tujuh
tempat di hulu, tujuh tempat di hilir).
3. Na tuk hapistaran, habisuhon dohot
parbinotoan, i ma alana umbahen didok; sipasinur na pinahan, sipagabe na niula,
mandok; na malo jala na ringgas paturehon pandaraman. (orang pintar, bijaksana
serta cerdas, mampu mengembangkan usaha peternakan, pertanian. Cerdik-pandai,
rajin serta mampu mengembangkan dan meningkatkan mata pencaharian rakyat).
4. Na malo martahi do dipillit raja (orang
pintar berencana lah dipilih jadi raja).
Seperti Hata Umpasa; Tangke ma ualang, garinggang jala garege. Tubu anak
partahi jala ulubalang, boru parmas jala pareme. Artinya, lahirlah anak
laki-laki perencana, perkasa dan kesatria, anak perempuan banyak emas dan padi
(kaya-raya).
5. Paruhum na tigor, na so pargeduk na
ringkot tu na saharajaon i ( orang yang mampu menegakkan kebenaran dan keadilan
kepada seluruh rakyat. Dan tidak mau melakukan perbuatan-perbuatan tercela
serta tindakan kejahatan lainnya). Seperti Hata Umpama mengatakan, Pardasing so
ra teleng, parhatian so ra monggal. Dasing dan hatian adalah timbangan atau
ukuran maka seorang pemimpin adalah seorang penegak kebenaran dan keadilan yang
tidak berat sebelah.
6. Pardame jala na lambas roha tu na nirajaan
na ( orang berhati damai, panjang sabar terhadap yang dipimpin). Seorang
pemimpin harus lah berhati damai serta panjang sabar tehadap rakyat. Seperti
hata Umpama; Parbahul-bahul na bolon, parpinggol harpe yakni; orang yang mampu
menerima keberadaan orang lain, tidak tipis kuping dan paranoid.
7. Ingkon olo loja dohot rugi, gari sumeahon
diri molo tung ringkot di hamamasana humongkop na torop, ido na marroha raja
(orang yang mau capek dan rugi, bila perlu menyerahkan nyawa demi membela
rakyat). Orang seperti itu lah berjiwa pemimpin. Bukan seperti yang terjadi
belakangan ini, justru para pemimpin mengorbankan rakyat, bawahan demi
mewujudkan kepentingan diri sendiri.( Siahaan, H.B Gelar Mangaraja Asal,1936;hal.
41-42).
Kualifikasi
kepemimpinan (harajaon) seperti itu, merupakan salah satu elemen dasar memilih
dan/atau menentukan layak tidaknya seseorang di daulat menjadi pemimpin (raja). Sebab sangat lah
keliru besar mendaulat seseorang jadi pemimpin tanpa dibarengi kredibilitas,
kapasitas, kapabilitas serta integritas kepribadian mulia.
Sebab,
esensi kepemimpinan adalah melindungi, mengayomi dan mendatangkan kebahagiaan
terhadap orang yang dipimpin. Bagaimana seseorang bisa melindungi, mengayomi,
serta mendatangkan kebahagiaan terhadap pihak lain, bila di dalam dirinya saja
pun tidak tertanam keluhuran jiwa, keberpihakan pada kebenaran dan keadilan,
serta solidaritas kemanusiaan.
Kehadiran
seorang pemimpin harus benar-benar solusi masalah, bukan sebaliknya, bagian dari
masalah supaya kehadiran pemimpin tampak dengan nyata memberi solusi masalah
yang dihadapi seluruh rakyat.
Pemimpin
Raja urat ni uhum sangat berperan penting melahirkan hukum atau peraturan
perundang-undangan yang menjamin kebenaran dan keadilan universal di
masyarakat, bangsa maupun negara.
Bila seorang pemimpin mampu memosisikan diri
milik seluruh rakyat dia akan mampu melahirkan hukum atau peraturan
perundang-undangan yang menjamin kebenaran dan keadilan obyektif.
Produk
hukum, peraturan perundang-undangan yang dilahirkan akan terbebas dari interst kepentingan subyektif, serta
boncengan kepentingan sektoral lainnya. Sebaliknya, bila seorang pemimpin
terjebak pada muatan kepentingan sektoral maka produk hukum, peraturan
perundang-undangan yang ditelorkan akan semakin subyektif.
Akibatnya,
eksistensi kepemimpinan bukan lagi ditujukan untuk kepentingan seluruh rakyat,
melainkan ditujukan pada kepentingan pihak tertentu. Dalam situasi demikian,
esensi Raja urat ni uhum jadi sirna di mata rakyat.
Seseorang
bisa disebut pemimpin Raja urat ni uhum
apabila dia mampu memosisikan diri milik seluruh rakyat, tanpa
membeda-bedakan siapa pun, alasan apa pun. Inilah hakikat Raja urat ni uhum
yang perlu dimiliki setiap pemimpin agar mampu menjamin kebenaran dan keadilan
masyarakat, bangsa secara maksimal.
Sifat
konsisten, konsekuen, tegas, obyektif, universal adalah salah satu instrumen
terwujudnya kesamaan hak di depan hukum (equality
before the law) sebagaimana sering dipahami masyarakat hukum di berbagai bangsa
di dunia.
Kecenderungan
pemimpin era belakangan ini ialah menelorkan berbagai peraturan
perundang-undangan yang menguntungkan diri dan konco-konco, serta pelanggengan
kekuasaan dengan memasukkan pasal-pasal
karet dan multitafsir untuk melanggengkan kekuasaan dan lain sebagainya,
melalui persubahatan, persekongkolan jahat menggunakan otoritas kekuasaan.
Symbiosis-mutualistis
yang dirancang di ruang persubahatan, persekongkolan jahat antara penguasa
korup (raja) dengan pengusaha hitam (namora) melahirkan berbagai produk hukum,
peraturan perundang-undangan yang semakin jauh dari nurani keadilan publik
karena produk-produk hukum cenderung membonceng kepentingan sektoral, ataupun
pesanan pihak tertentu, termasuk kepentingan asing.
Sumantri
(2009) Forum Bandung dalam Pokok-Pokok Permasalahan Bangsa, bahwa “Penegakan
hukum berdasarkan kebenaran hukum yang dijiwai norma keadilan yang bersifat
universal dan bebas dari pengaruh kekuatan dari manapun datangnya, merupakan
fungsi dan misi suci negara. Tegaknya hukum yang berkeadilan dan adanya
kepastian hukum adalah satu-satunya tolok ukur kepercayaan warga negara dan
warga dunia terhadap negara, terlebih di era globalisasi.” (Soemantri, Sri, dkk,
2009; hal. 13).
Tindakan-tindakan
pemimpin yang tidak mampu menelorkan produk hukum, perundang-undangan yang mencerminkan
kebenaran dan keadilan universal akan sangat merusak upaya-upaya membangun
kesamaan derajat di depan hukum dan pemerintahan, tanpa kecuali sebagaimana
diamanatkan pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945.
Kesalahan
tetap lah kesalahan, tanpa pandang bulu, termasuk pemimpin itu sendiri. Hukum
harus dihormati secara penuh, jujur, tegas, tanpa kecuali agar kebenaran dan
keadilan bisa terwujud nyata di mata publik.
Di
sini lah peran penting dan strategis seorang pemimpin yang mampu memberi
keteladanan terhadap seluruh rakyat, bagaimana menghormati, menjunjung hukum,
peraturan perundang-undangan yang telah dilahirkan untuk menjamin tegaknya
kebenaran dan keadilan di masyarakat, bangsa maupun negara.
Sebagai
pemegang otoritas kekuasaan seorang pemimpin memiliki ruang seluas-luasnya
untuk menelorkan, melaksanakan, menegakkan hukum dan peraturan
perundang-undangan yang menjamin terwujudnya kebenaran dan keadilan materil
terhadap seluruh rakyat, tanpa kecuali.
Seorang
pemimpin tidak pantas dan layak
menggunakan dalil, “Ijuk di para-para hotang di parlabian, Na bisuk nampuna
hata na oto tu pargadisan” yaitu; menggunakan kepintaran, kelicikan
membodoh-bodohi rakyat, justru seharusnya selalu berupaya sekuat pikiran dan
tenaga mencerdaskan, memajukan kesejahteraan supaya terwujud kebahagiaan
seluruh rakyat.
Harus
pula disadari, bahwa perlawanan, pembangkangan publik terhadap pemimpin maupun
institusi publik adalah protes keras atas kekeliruan, kebobrokan peraturan
perundang-undangan yang dilahirkan para pemimpin yang tidak mampu menjadikan
dirinya Raja urat ni uhum.
Munandar
(2008) Martin Luther King, Jr, “Sekali melangkahkan kaki, kita harus terus
melangkah ke depan. Kita tidak bisa berpaling kembali. Anda yang bertanya
kepada para penganjur hak-hak sipil, “Kapan kalian terpuaskan?” Kita tidak akan
pernah puas selama kaum Negro terus menjadi korban kebrutalan polisi. Kita
tidak akan puas selama tubuh kita yang kelelahan karena perjalanan jauh ini
tidak boleh beristirahat di motel-motel di sepanjang jalan raya bebas hambatan
atau di hotel-hotel di pusat kota. Kita tidak akan puas selama kaum Negro di
Missisippi tidak boleh ikut pemilu dan kaum Negro di New York tidak boleh
mengajukan calon sendiri untuk dipilih. Tidak, tidak, kita tidak puas dan tidak
akan puas sampai keadilan benar-benar mengalir bagaikan air dan kebenaran
menderas bagaikan arus jeram”.( Munandar, Haris, 2008: Terj; hal. 151).
McChain
& Salter (2009) Martin Luther King, Jr, “Mereka salah karena memberi
nasihat soal kesabaran, salah menyarankan diam, salah menganjurkan penghormatan
kepada hukum yang tidak adil. Mereka berada di sisi yang salah dari keadilan,
dan seperti kemudian diketahui, sisi yang salah dari sejarah. Dan meskipun
mereka percaya telah bertindak dengan bertanggung jawab dan adil, konsep
keadilan mereka tidak obyektif. Balasannya ialah mereka mendapat respons
penjelasan yang utuh dan jujur tentang keadilan yang akan diberikan oleh para
pemimpin hak-hak sipil yang penilaian dan taktiknya mereka ragukan, dan yang
usaha campur tangannya ke dalam perundang-undangan Birmingham ingin mereka
halangi. Sebuah seruan autentik terhadap keadilan akan datang dari sebuah sel
penjara Birmingham, dari pena dan hati Martin Luther King, Jr.”(McChain John
& Salter Mark, 2009; hal. 266).
2.
Monang
maralohon musu, Talu maralohon dongan.
Seorang pemimpin (raja) pada bangso
Batak, khususnya Batak-Toba harus memahami dengan baik dan benar keberadaan
dirinya terhadap orang yang dipimpin.
Salah
satu Hata Umpama Batak Toba yang menunjukkan hal itu ialah “Gala di gala bulu,
panggalaan ni bonang; Molo naeng monang maralohon musu, jolo talu ma maralohon
dongan” (Siahaan, 1936; hal; 12). Arti dari Hata Umpama ini ialah bila ingin
menang melawan musuh (musu) maka harus terlebih dahulu kalah melawan rakyat, teman, kawan, sahabat, keluarga
maupun kerabat (dongan).
Mengapa demikian ? Sebab menurut
pandangan Batak-Toba bila seorang pemimpin tidak selalu berupaya menang
terhadap yang dipimpin maka pemimpin itu akan dihormati, dituruti, serta
dicintai oleh rakyatnya.
Seorang
pemimpin harus mampu mendengarkan, menerima aspirasi yang dipimpin agar
mendapat simpatik, dukungan, apresiasi rakyat. Selanjutnya, memberi solusi
nyata atas permasalahan yang dihadapi rakyat. Bukan sebaliknya, memberi
alasan-alasan pembenaran diri ataupun menyalahkan rakyat dengan berbagai alibi
tak masuk akal.
Dengan demikian, rakyat merasakan
sentuhan nyata kehadiran pemimpin sehingga lahir rasa simpatik terhadap seorang
pemimpin. Kepercayaan (trust) meningkat dari waktu ke waktu, dan dikala
pemimpin mampu menunjukkan keberpihakan pada rakyat melalui sikap
kesederhanaan, kesahajaan, konsisten, konsekuen dalam melaksanakan
kepemimpinannya otensitas pemimpin di mata rakyat semakin tampak dengan nyata.
Dan, bila suatu ketika terjadi gangguan, ancaman, rongrongan dari pihak
tertentu maka rakyat akan bangkit memberikan dukungan, sokongan membela
pemimpinnya. Sebaliknya, jika seorang
pemimpin selalu menang terhadap rakyat maka simpatik semakin berkurang dari
waktu ke waktu, bahkan hilang sama sekali. Dan seandainya terjadi gangguan,
ancaman, rongrongan terhadap seorang pemimpin maka rakyat tidak mau tahu, tidak
mau peduli sama sekali, bahkan tidak mustahil justru rakyat bangkit jadi musuh
dan/atau turut memberi bantuan, dukungan
kepada lawan politik pemimpin selalu
menang terhadap rakyatnya.
Menurut pemahaman Batak Toba seorang pemimpin
harus lah seseorang yang menang melawan musuh, kalah melawan teman atau
rakyat. Sebab yang perlu dilawan atau
dikalahkan adalah musuh bukan teman atau rakyat. Sehingga sangat keliru besar
bila seorang pemimpin memamerkan, mempertontonkan kekuatan, kehebatan,
keperkasaan terhadap rakyatnya yang notabene teman, kawan (dongan), bukan musuh
(musu).
Elektabilitas seorang pemimpin tidak
terlepas dari sejauhmana dukungan, apresiasi,atensi serta kepercayaan (trust) rakyat terhadap pemimpin. Karena
itu lah, bila diamati beberapa pemimpin pada awal kepemimpinannya mendapat
dukungan besar dari rakyat, tetapi ketika mencalonkan untuk kedua kalinya justru tidak mendapat
dukungan dari pendukung sebelumnya. Hal itu, terjadi akibat tindakan pemimpin yang mengecewakan, menyakiti hati rakyat, serta
selalu berkaidah, beraksioma mengalahkan pendukung atau rakyat dalam proses
kepemimpinan ketika kekuasaan digenggam.
Kemampuan seorang pemimpin menjaga,
memelihara, merawat kepercayaan (trust)
rakyat merupakan faktor penting dan esensil untuk meningkatkan elektabilitas
dari waktu ke waktu. Pemimpin seharusnya
memenuhi janji-janji politik, konsisten dan konsekuen atas
ucapan-ucapannya agar rakyat tidak kecewa dan tidak merasa dibohongi yang ujung-ujungnya
menimbulkan ketidakpercayaan kepada pemimpin.
Jika seorang pemimpin mampu memosisikan diri
kalah terhadap rakyat serta menjadikan tahta untuk rakyat maka tingkat
elektabilitas terhadap pemimpin akan semakin meningkat dari waktu ke waktu.
Sebaliknya, jika seorang pemimpin berikhtiar, beraksioma membangun tembok
pemisah antara dirinya dengan rakyat maka tingkat elektabilitas akan semakin
turun, bahkan hilang sama sekali.
Hilangnya
kepercayaan rakyat harus dimaknai puncak kekecewaan atas tindak-tanduk,
perilaku pemimpin yang mengecewakan, mengkhianati kepercayaan rakyat yang
diamanahkan pada dirinya.
Menjadikan tahta untuk rakyat
berarti menggunakan kekuasaan demi kepentingan rakyat sehingga mampu menangkap
dan menyerap apa yang dirasakan rakyat secara langsung. Pemimpin tidak pernah
berpikir, berikhtiar, beraksioma untuk bersenang-senang ketika rakyat sedang
ditimpa penderitaan atau kesulitan hidup. Justru sebaliknya, menggunakan otoritas yang dimiliki
mengerahkan, menggerakkan seluruh pikiran dan tenaga untuk melepaskan rakyat
dari penderitaan, kesulitan yang dihadapi.
Para pemimpin seperti itu lah yang
mampu meraih simpatik, apresiasi rakyat, misalnya ketika banjir di Jakarta
Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) turun langsung memberi petunjuk dan
arahan kepada seluruh jajarannya untuk menolong rakyat Jakarta, tanpa
pengawalan protokoler macam-macam menambah simpatik rakyat terhadap
Jokowi-Ahok.
Demikian juga ketika terjadi pekerja
tambang terjebak di dalam terowongan tambang batubara di Chili, Presiden
Chili Sebastian Pinera dan istrinya,
siang malam bersama-sama rakyat
melakukan evakuasi mengeluarkan para pekerja tambang dari ancaman maut. Para
pemimpin ini benar-benar hadir, baik secara fisik maupun keberpihakan kebijakan
untuk kepentingan rakyat sehingga istananya benar-benar dijadikan untuk rakyat.
Para pendiri republik ini juga rela
keluar masuk penjara sebut saja misalnya; Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir,
Bung Tomo, Bung Syafaruddin dan lain-lain demi memperjuangkan kemerdekaan
bangsa Indonesia. Mereka-mereka ini tidak memikirkan kepentingan dirinya karena
bila mereka mau bersekongkol dengan penjajah kolonial pasti akan mendapat
posisi terhormat (jabatan) dari pemerintahan kolonial.
Kedudukan, jabatan, posisi strategis
tak pernah menyilaukan mata mereka, malah tawaran-tawaran itu semakin
memperkuat aras perjuangan mereka merebut kedaulatan seluruh rakyat dari
cengkeraman tangan penjajah kolonial. Mereka terpenjara untuk memperjuangkan
nasib bangsa, sehingga pantas mendapat predikat “Bapak Bangsa, Pendiri Bangsa,
Syuhada Bangsa”. Bukan seperti para
pejabat (pemimpin) belakangan ini ramai-ramai masuk penjara karena terlibat
tindak pidana korupsi, penyelewenangan jabatan, mempermainkan keadilan
mengkhianati rakyat, bangsa maupun negara.
Molo
olo raja mangusung, mangkilala na hinilala ni na nirajaanna, monang ma ibana tu
musu na, ai sude na nirajaan na manghaholongi ibana, gabe bahenonna ma nasa
gogona mangurupi ibana. Artinya, bila
seorang pemimpin mau merasakan apa yang dirasakan rakyat maka rakyat pun akan
mencintai pemimpinnya. Dengan demikian, dukungan, sokongan rakyat terhadap seorang pemimpin merupakan
penghargaan, penghormatan, pengakuan murni atas kinerja pemimpin secara
nyata.
Pemahaman seperti itu, kadangkala
tidak diperhatikan atau mungkin di sengaja diabaikan para pemimpin maniak kuasa
karena para maniak kuasa sejak dari awal sudah berniat busuk menghalalkan
segala cara untuk meraih kekuasaan.
Para
maniak kuasa yang dihinggapi penyakit lupa diri, mabuk kekuasaan, wanprestasi janji selalu berupaya
membangun imperium kekuasaan sebesar-besarnya, termasuk mengeksploitasi rakyat
demi memuaskan nafsu libido maniak kuasa.
Kepemimpinan seperti itu tentu tidak
akan langgeng dan mendapat simpatik dari rakyat. Sebab, seorang pemimpin yang
tidak mendapat simpatik, kepercayaan sangat mustahil dan mustahal akan
berhasil, malah sebaliknya akan mendapat perlawanan massif gerakan kekuatan
rakyat (people power) untuk
menjatuhkan dan/atau melengserkan dari tampuk kekuasaan ataupun bentuk-bentuk
pembangkangan sosial lainnya.
Seorang pemimpin juga harus
menyadari, bahwa kedudukan, jabatan adalah amanah dan kepercayaan yang
diberikan kepada seseorang sehingga perlu dijaga, dipelihara, dirawat dan
dipertahankan sebaik-baiknya agar tetap mendapat simpatik, dukungan rakyat
pemberi amanah itu.
Jabatan atau kekuasaan harus mampu
dijadikan ladang pengabdian mewujudkan kemaslahatan publik sehingga harus mampu
memosisikan diri sebagai ‘Pamong praja’ atau ‘Parhobas’ terhadap rakyat
pemegang kedaulatan.
Seorang pamong praja yang selalu
memosisikan diri sebagai pelayan atau Parhobas maka pemimpin itu telah
menjalankan kepemimpinan Monang maralohon musu, Talu maralohon dongan.
Sebaliknya, ‘Pangreh praja’ yang selalu mengandalkan perintah, komando disertai
sanksi atau ganjaran maka sadar atau tidak pemimpin itu telah menjalankan model
kepemimpinan Monang maralohon dongan, Talu maralohon, musu sehingga selalu
berupaya mengalahkan yang dipimpin dengan segala cara.
Monang maralohon musu, Talu
maralohon dongan memiliki makna hakiki,
bahwa pada hakikatnya kepemimpinan adalah ladang pengabdian mewujudkan
kebahagiaan seluruh rakyat. Bukan instrumen kekuasaan mengeksploitasi rakyat
dengan memanfaatkan otoritas kekuasaan, memaksa, menekan, ataupun
menakut-nakuti rakyatnya sendiri.
Seandainya ada pemimpin yang melakukan hal seperti itu bisa dipastikan
telah terjadi wanprestasi Monang
maralohon musu, Talu maralohon dongan sebagaimana dipahami tentang esensi kepemimpinan
berdasarkan kultur budaya Batak-Toba.
Sejarah mencatat kejatuhan para
pemimpin diktator otoriter yang dilengserkan gerakan kekuatan rakyat (people power) di atas jagat ini. Sebut
saja misalnya; Presiden Soeharto yang dilengserkan gerakan reformasi 1998 lalu.
Soeharto yang telah berkuasa selama ± 32 tahun dipaksa turun dari puncak
kekuasaannya melalui gerakan rakyat yang dimotori para mahasiswa serta elemen
masyarakat lainnya di seluruh penjuru nusantara.
Pemerintahan rezim Soeharto diktator
otoriter telah menimbulkan kekecewaan dan sakit hati rakyat karena rezim itu
berkelindan berbagai tindakan koruptif, kolutif, nepotif (KKN) menggerogoti
keuangan negara.
Rezim
Soeharto menjadikan rakyat yang tidak sejalan dengan dirinya sebagai musuh
pemerintah, bahkan negara sehingga siapa saja pun tidak mendukung dan mengamini
kebijakannya akan “di gebuk”,
disingkirkan, bahkan akan mengalami “kematian perdata”. Lawan-lawan politik
disingkirkan dan/atau dihilangkan dari bumi Indonesia, dengan dukungan otoritas
kekuasaan rakyat dibungkam habis-habisan, terlebih pihak-pihak bersuara kritis.
Kebebasan mengeluarkan pendapat, baik lisan maupun tulisan yang dijamin
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 diberangus super agresif. Melalui rezim
bredel mass media yang berseberangan dengan pemerintah ditutup. Kampus-kampus
Perguruan Tinggi dikendalikan atau dibungkam melalui Normalisasi Kehidupan
Kampus/NKK mengakibatkan mahasiswa dijadikan ‘robot’ steril dari ranah politik,
dan lain-lain.
Tindakan diktator otoriter inilah
mendorong perlawanan rakyat untuk menurunkan, menggulingkan, melengserkan rezim
Soeharto dari singgasana kekuasaan diktator otoriter pada Era Reformasi 1998
lalu.
Demikian juga pemimpin-pemimpin
negara lain yang menjadikan rakyat musuh pemerintahan dilengserkan dari tampuk
kekuasaannya melalui gerakan kekuatan rakyat (people power). Misalnya, Presiden Ferdinand Marcos di Pilippina,
Presiden Hosni Mubarak di Mesir, Presiden Reza Pahlevi atau Sah Iran di Iran,
dan lain lain.
Para pemimpin diktator otoriter ini
dilengserkan dari tampuk kekuasaan oleh gerakan kekuatan rakyat (people power) karena telah mengecewakan,
menyakiti hati rakyatnya, mengkhianati
kepercayaan yang diamanahkan terhadap dirinya melalui tindakan Monang maralohon
dongan, Talu maralohon musu yaitu; menang melawan rakyat, kalah melawan musuh
yang merupakan kekeliruan besar dalam mengemban tugas pokok dan fungsi
(Tupoksi) kepemimpinan.
Hati rakyat tersakiti berbagai
kebijakan yang merampas, merampok hak-hak keperdataan yang dijamin konstitusi.
Sementara di sisi berbeda bersekongkol dengan pihak asing (Investor)
mengeksploitasi kekayaan negara semata-mata mempertahankan dan melanggengkan
kekuasaan serta demi kepentingan
pribadi, kelompok maupun golongan.
Bukankah
pihak asing yang hanya berkaidah mengeruk
keuntungan lebih pantas dianggap musuh daripada rakyat sendiri ? Karena
pihak asing tidak pernah rela dan/atau setuju munculnya negara-negara lain
menjadi negara pesaing dalam hal apapun, termasuk bangsa Indonesia. Sehingga
sangat keliru besar serta sesat pikir menganggap dan menjadikan pihak asing
dewa penolong untuk melepaskan berbagai permasalahan bangsa.
Di sini lah kekeliruan terbesar para
pemimpin yang menyakiti hati rakyat sembari bersekongkol, bersubahat,
berselingkuh dengan pihak asing untuk merampas, merampok harta negara atau
rakyat semata-mata melanggengkan kekuasaan.
Padahal, kekuatan atau keperkasaan
seorang pemimpin terletak pada seberapa besar dukungan, apresiasi, kecintaan
rakyat terhadap pemimpin. Kekuatan, keperkasaan seorang pemimpin tidak
tergantung otoritas atau kekuasaan yang dimiliki, tetapi seberapa besar
pemimpin itu diterima atau diakui rakyat dalam mengemban tugas-tugas
kepemimpinan secara otentik.
Beberapa pemimpin yang mendapat
dukungan penuh dari rakyatnya, sebut saja misalnya; Presiden Nelson Mandela,
Ayatullah Rohullah Khomeni, Hugo Shavez, Sebastian Pinera, Saddam Husein, dan
lain-lain.
Ketika terjadi perang teluk antara
Irak dengan pasukan Multinasional yang dinahkodai Amerika Serikat, rakyat Irak
dengan suka rela jadi tameng hidup (tameng manusia) untuk membela presiden
Saddam Husein.
Kerelaan
rakyat jadi benteng atau tameng hidup mengorbankan harta dan nyawa adalah salah
satu bukti nyata dukungan rakyat pada pemimpinnya. Semakin besar keberpihakan pemimpin terhadap
rakyat maka semakin besar pula kecintaan rakyat terhadap pemimpin itu. Dan
inilah yang disebut Molo talu maralohon dongan, monang ma i maralohon
musu.
Batak-Toba juga mengenal Gala di
gala bulu, panggalaan ni bonang; Molo talu maralohon musu, naung monang do i
maralohon dongan maksudnya ialah bila seorang pemimpin kalah melawan musuh
berarti pemimpin itu sebelum-sebelumnya telah menang melawan rakyatnya sehingga
tidak mendapat dukungan, bantuan dari rakyat secara penuh.
Itulah
sebabnya, di dalam dunia politik sering disebut lawan terberat adalah kawan,
bukan musuh. Sebab kawan paling dekatlah mengetahui kelemahan paling mendasar
dari seseorang teman ataupun sahabat. Bahkan, pepatah klasik mengatakan musuh
dalam selimut yang menunjukkan bahwa di dalam selimut pun ada musuh siap
memangsa yang notabene ‘kawan’ satu
selimut.
Ketika
teman, kawan, sahabat, keluarga, kerabat (dongan) berubah haluan jadi lawan atau
musuh (musu) maka kekalahan hanya tinggal menunggu waktu kehancuran saja. Sebab
kelemahan paling mematikan telah diketahui teman, sahabat yang berubah jadi
musuh.
Akan tetapi, bila diperhatikan di
era belakangan ini para pemimpin justru memosisikan diri pemenang atau perkasa
terhadap rakyatnya sendiri. Dan melalui otoritas kekuasaan memaksakan kehendak
kepada rakyat, sebab dia merasa bahwa monopoli kebenaran dan keadilan hanya ada
pada dirinya semata.
Karena
itu pula lah muncul sebuah adagium ditengah-tengah masyarakat, “segunung
kebenaran, setumpuk kekuasaan”,
kekuasaan lah paling menentukan
dan selalu menang.
Adagium ini menggambarkan perilaku
negatif, kekeliruan serta kesalahan besar dari pemangku kekuasaan yang selalu
berusaha mengalahkan rakyat. Padahal,
suara rakyat adalah suara Tuhan. Selain daripada itu, ketika seorang pemimpin
masih dalam tahapan perebutan kekuasaan tidak pernah lupa menabur janji-janji
manis dengan menggunakan kata “akan dan akan” memperjuangkan kepentingan rakyat
sebagai rempah-rempah penyedap atau daya tarik meraih simpatik dan dukungan
rakyat menuju tahta kekuasaan. Inilah salah satu faktor yang menimbulkan
kekecewaan rakyat, sekaligus menghilangkan kepercayaan rakyat terhadap pemimpin
pasca kekuasaan digenggam.
Pemimpin
seperti itu sangat kontroversial dengan kultur budaya Batak-Toba disebut, Gala
di gala bulu, panggalaan ni bonang; Molo talu maralohon musu, naung monang do i
maralohan dongan.
Asep Salahudin pada artikelnya
berjudul ‘Politik Kepemimpinan Otentik’ di Harian Kompas, 22 Februari 2014,
bahwa “Politik selalu tampil dengan dua wajah paradoksal. Epifani ketulusan dan
ekspresi buruk rupa. Lambang akal waras dan pantulan sesat pikir. Tarik-menarik
di antara keduanya menjadi narasi sepanjang sejarah dan fenomena kedua yang
acap kali tampil ke muka”.
Bila ekspresi buruk rupa dan
pantulan sesat pikir yang menjadi arus utama dalam diri pemimpin maka yang
dikatakan Thomas Hobbes dalam Leviathan yakni; homo homoni lupus menjadi suatu kenyataan. Medan politik menjadi
serupa belantara yang hanya menyediakan tempat bagi mereka yang kuat.
Serigala menjadi raja rimba tidak
tersebab ia karnivora, tetapi karena daya agresivitas, kebuasan, dan kehendak
untuk menyakiti lawan yang melekat dalam tubuhnya. Serigala menjadi simbol
rebutan kekuasaan yang hanya menyisakan kemenangan bagi yang tersiap, survival of the fittest.
Hadir menjadi raja hutan bukan
dengan fungsi melindungi kawan hewan yang lemah, melainkan justru kebalikannya.
Kekuasaan jadi alat mencengkeramkan dominasi, mengoperasikan hegemoni, dan
menebarkan rasa takut.
Ketaatan yang didapatkan bukan
karena rasa taklim, melainkan semata karena kekhawatiran dijadikan mangsa, rasa
waswas kapan giliran jadi korban berikutnya dari hasrat tamak serigala.
Filsuf yang lain meletakkan
kualifikasi pemimpin pada kemampuan pengendalian diri, arif, berani dan adil
(Plato), tercerahkan dan memiliki keutamaan serta pengetahuan yang bisa
membedakan mana yang esensial dan mana yang artifisial,
mana ideen dan meinungen (Aristoteles). Memuliakan akal budi, kukuh dalam
rasionalitas publik dengan segala imperative
moralnya yang berporos pada palung nurani demi keberlangsungan kebaikan bersama
(Kant), punya iman otentik dengan tetap merawat kebebasan agar setiap keputusan
kelak yang diambil dapat menjaga jarak dengan politik kepentingan
(Kierkegaad).
Al-Mawardi dalam al-Ahkam as-Sulthaniyah mencatat
kriteria moral seorang yang layak menjadi pemimpin: (1) kecermatan
mengendalikan nafsu yang dijangkarkan pada penghayatan iman kudus; (2) dapat
menyalurkan aspirasi masyarakat dengan penuh keseriusan; (3) mampu bertindak
adil; (4) dapat menciptakan rasa aman; (5) memiliki pengetahuan dalam hal
ikhtiar menyejahterakan khalayak; (6) menyuntikkan sikap optimis yang terukur.”
Pemimpin yang memusuhi rakyat walau
dengan kekuatan (kekuasaan) sebesar, sekuat apapun suatu saat pasti akan jatuh
atau tumbang. Hal itu dapat dibuktikan melalui sejarah keruntuhan para pemimpin
diktator otoriter di berbagai belahan dunia seperti diuraikan sebelumnya.
Seorang
pemimpin seharusnya menyadari bahwa kekuasaan yang digenggam sejatinya harus
dijadikan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, serta energi besar
mendorong, menginspirasi seluruh rakyat agar lahir optimisme, kreasi, inovasi
dalam perikehidupan sehari-hari.
Seorang pemimpin tak boleh
sekali-sekali mematikan spirit rakyat
melalui arogansi kekuasaan, sebaliknya, menggunakan kekuasaan itu
sebesar-besarnya membangkitkan semangat
berkarya, berkarsa seluas-luasnya.
Dengan
demikian, kehadiran seorang pemimpin benar-benar menjadi dinamisator, inspirator, fasilitator terhadap
rakyat yang dirasakan di alam nyata. Karena itu, seorang pemimpin yang mampu
merebut hati rakyat itu lah sejatinya
pemimpin menang melawan musuh, sekaligus mendapat dukungan rakyat, serta
pemimpin otentik.
Simangunsong & Sinuraya (2004)
“Sering politik diartikan sebagai permainan kotor karena yang dilihat hanya
sisi kekuasaan saja, apalagi kalau dilihat dari sisi bagaimana cara meraih
kekuasaan yang acapkali dengan cara-cara yang kotor, kebohongan, politik uang,
kemunafikan, bahkan kekerasan.
Perebutan
posisi pemimpin selalu menjadi pokok permasalahan utama dalam politik, karena
semua pihak berebut memenangkannya.
Plato dan Aristoteles mengatakan,
bahwa politik dibutuhkan untuk mengatur masyarakat dan moral dibutuhkan untuk
menilai baik buruknya atau benar salahnya setiap tindakan dan perkataan
masyarakat. Maka politik dan moral tidak dapat dipisahkan agar pengaturan itu
sesuai moral yang diterima masyarakat.
Jika
keinginan hanya pada kekuasaan, dapat dipastikan akan menggunakan segala cara,
termasuk kebohongan, kemunafikan, bahkan kekerasan untuk meraih kekuasaan
tersebut. Tidak ada kawan atau lawan yang abadi, melainkan kepentingan pribadi
atau kelompok yang abadi.” (Simangunsong, Bonar & Sinuraya Daulat,2004; hal.
20).
Bila pengertian, pemahaman tentang
politik sudah sedemikian buruk maka eksistensi partai politik di ruang publik
amat sangat memprihatinkan, bahkan bisa dianggap menjadi biang kerok penyebab
kisruh, karut-marut berbangsa dan bernegara.
Perilaku
buruk dan menyalah dari aktor-aktor politik yang menghalalkan segala cara untuk
meraih kekuasaan harus segera diluruskan sebelum kepercayaan (trust) rakyat menyentuh titik
nadir.
Partai politik yang seharusnya wadah
pendidikan politik rakyat, serta institusi melahirkan pemimpin “Monang
maralohon musu, Talu maralohon dongan” justru dibelokkan para maniak kuasa yang
menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan.
Akibatnya,
partai politik telah mengubah habitatnya dari wadah pendidikan politik rakyat
menjadi wadah pembodohan, pembohongan rakyat, serta memasok robot-robot haus
kuasa yang berikhtiar “Monang maralohon dongan, Talu maralohon musu” yang sangat
berbanding terbalik dengan kultur budaya Batak Toba.
Harian
Kompas, 27 Januari 2014, halaman; 4, kolom; 6-7 dengan judul ‘Warisan’
Syafaruddin Prawiranegara, “Inilah bahaya yang sebesar-besarnya yang mengancam
negara kita, yakni bahwa demokrasi tenggelam dalam koalisi, dan koalisi
kemudian dimakan oleh anarki, dan anarki diatasi oleh golongan-golongan yang
bersenjata atau golongan yang menguasai golongan-golongan bersenjata itu.”
Kebuasan, kerakusan, ketamakan,
kebiadaban memangsa hak-hak rakyat melalui tindak pidana korupsi, kolusi,
nepotisme (KKN), perampasan, perampokan
hak keperdataan masyarakat adat dan hak ulayat dengan berbagai legalitas hukum
yang melanggar hak asasi manusia (HAM), serta arogansi kekuasaan lainnya
terhadap rakyat adalah cerminan nyata Monang maralohon dongan, Talu maralohon
musu yang merupakan buruk rupa, sesat pikir pemangku kekuasaan atau pemimpin di
negeri ini.
Berbagai kasus masyarakat hukum adat
seperti perampasan hak-hak keperdataan masyarakat hukum adat dan tanah ulayat
yang notabene hak-hak purba sebelum negeri ini merdeka
adalah kekeliruan, kekacauan berpikir yang alpa melakukan perlindungan terhadap
rakyat. Karena bila para pemimpin menyadari paripurna eksistensi dirinya maka
perlindungan hak-hak keperdataan masyarakat hukum adat dan tanah ulayat inilah
salah satu tugas utama dan pertama yang harus dilakukan secara optimal. Tetapi
kenyataannya, justru mayoritas pemimpin menutup mata dan telinga atas
kasus-kasus yang dihadapi rakyat, serta memilih memosisikan diri melindungi
kepentingan pemilik kapital dibandingkan rakyatnya sendiri yang harus
dilindungi agar terhindar dari aneka perampasan hak rakyat dari pihak mana
pun. Akibatnya, pemimpin tidak lagi
pantas disebut Monang maralohon musu, Talu maralohon dongan karena tidak mampu
memperjuangkan kepentingan rakyat yang dipimpinnya.
Harian Kompas, 29 Januari 2014,
halaman; 4, kolom; 6-7 dengan judul ‘Warisan’ Dokter Sutomo (Juni 1932)
mengatakan, “Tanah air membutuhkan pemimpin sebanyak-banyaknya. Rakyat
Indonesia membutuhkan pemimpin yang akan membimbing mereka untuk mencapai
cita-cita perjuangan.”
Pemimpin Monang maralohon musu, Talu
Maralohon dongan berupaya keras mengangkat harkat, martabat rakyat dan bangsa
dengan memosisikan rakyat subyek sekaligus obyek kebijakan publik sehingga
rakyat tercerdaskan dalam berbangsa dan bernegara.
Kecerdasan berdemokrasi tumbuh
dengan subur karena rakyat mempunyai ruang mengutarakan pendapat atau aspirasi
seluas-luasnya. Pemimpin yang memosisikan diri sebagai pengarah dan pembimbing
memberi kebebasan kepada rakyat mengeluarkan ide, pendapat sehingga setiap
individu berpartisipasi aktif dalam proses pengambilan keputusan melalui
musyawarah menuju mufakat.
Pemimpin tak pernah memosisikan
rakyat sebagai musuh, sebaliknya kawan
atau mitra sejajar yang mempunyai hak dan kewajiban setara dan sederajat dalam
membangun bangsa maupun negara.
Pemimpin Monang maralohon musu, Talu
maralohon dongan tak pernah mengabaikan apirasi rakyat, malah menampung
aspirasi rakyat seluas-luasnya dalam kebijakan yang akan ditelorkan sebab dia
tau muara seluruh kebijakan diarahkan pada perwujudan kebahagiaan publik.
Sebaliknya,
pemimpin Monang maralohon dongan, Talu maralohon musu selalu menggunakan
otoritas kekuasaan untuk memaksakan kehendak terhadap rakyat yang dipimpin.
Sebab merasa paling tau, paling benar, paling hebat sehingga cenderung
bertindak “Anjing menggonggong, kapilah berlalu”. Artinya, pemimpin bertaring
terhadap rakyat dan tidak mau tahu, tidak mau peduli dengan kritik rakyat walau
sebesar, sekuat apapun. Jika rakyat
tidak menyetujui, mengamini apa kata pemimpin maka siap-siap digilas
mesin-mesin otoritas kekuasaan yang dapat memaksa atau membungkam rakyat.
Harian Kompas, 14 Februari 2014,
halaman; 4, kolom; 6-7 dengan judul ‘Warisan’ Bung Karno mengingatkan bahwa, “Masyarakat kita mencapai
kata sepakat dalam pengambilan keputusan pemerintah melalui musyawarah.
Musyawarah adalah suatu bentuk pengambilan keputusan yang sudah berakar dalam
masyarakat nusantara.
Keputusan
diambil sesudah ada pertimbangan yang lama dan cermat. Selama ada golongan
minoritas yang masih belum yakin akan suatu usul, maka musyawarah harus
diteruskan, sampai akhirnya di bawah tuntunan seorang pemimpin dapatlah dicapai
kata sepakat.”
Fenomena
yang terjadi pada Batak Toba belakangan ini, pemahaman Monang maralohon musu,
Talu maralohon dongan sudah semakin menipis dalam implementasinya. Buktinya,
kata mufakat yang diawali musyawarah dalam melahirkan satu komitmen bersama
atau kolektif sangat langka ditemukan.
Egoisme
pribadi lebih sering menonjol kepermukaan hingga menjurus ke pertarungan
kekuatan pribadi, kelompok maupun golongan. Padahal, salah satu kearifan lokal
Batak Toba mengatakan, “Ndang jadi tiptipon ganjang, Ariton bolon” yang
bermakna, tak boleh memperkecil diri atau kekuatan semata-mata didasari ego
sentris.
Adagium
klasik mengatakan, jika kita ingin dihormati orang lain maka kita harus
terlebih dahulu menghormati orang lain. Karena itulah, Batak Toba harus selalu
melandaskan berpikir dan bertindak berdasarkan falsafah Dalihan Na Tolu (DNT)
yakni; somba marhula-hula, manat mardongan tubu, elek marboru dalam
perikehidupan sehari-hari.
Implementasi
falsafah Dalihan Na Tolu (DNT) sejatinya ialah saling menghormati, saling
dukung-mendukung, saling topang-menopang, dilandasi proses musyawarah menuju
mufakat supaya tercapai sukses kolektif secara optimal.
Ndang
di au, ndang di ho, tu magon tu begu (bukan sama aku, bukan sama kau, lebih
baik ke hantu) adalah salah satu penyimpangan terang-benderang terhadap Monang
maralohon musu, Talu maralohon dongan yang
harus dibuang jauh-jauh dari seluruh generasi Batak Toba jika ingin meraih sukses kolektif di masa-masa
mendatang.
Batak
Toba yang selalu mengedepankan kebersamaan hendaknya menyadari bahwa segala
sesuatu bisa diselesaikan dengan arif bijaksana sepanjang kehati-hatian
(hamanaton) dikedepankan dalam berpikir dan bertindak. Bahkan, permasalahan,
persoalan, perseteruan, konflik apapun bisa terselesaikan secara tuntas, karena
Batak Toba memiliki kearifan “Si boru puas, si boru bakkara, Molo dung puas,
sae soada mara” (segala sesuatu yang telah diselesaikan melalui musyawarah
menuju mufakat akan tuntas). Dan Batak Toba tidak mengenal dendam kesumat.
Inilah salah satu karakter istimewa yang dimiliki Batak Toba dari generasi ke
generasi.
Molo
olo talu maralohon dongan, Monang ma i maralohon musu adalah landasan dasar
membangun kebersamaan, kesepkatan sekaligus prasyarat meraih sukses kolektif.
Hal ini perlu disemaikan kepada seluruh generasi Batak Toba agar tidak
terlindas dalam percaturan politik sepanjang masa.
Ndang
di au, ndang di ho, tu magon tu begu harus dirubah menjadi Ndang di au, ndang
di ho, tu magon ma di hita melalui perilaku saling menghormati, saling
mendukung, saling menopang yang diawali musyawarah menuju mufakat sesuai yang
dimaksud sila ke 4 Pancasila.
Menanamkan
pengertian, pemahaman paripurna Monang maralohon musu, Talu maralohon dongan
juga merupakan hal esensial yang perlu bagi para calon-calon pemimpin, termasuk
Batak Toba agar seluruh suksesi kepemimpinan lebih beradat, beradab tanpa
ekses-ekses berkepanjangan.
Dengan
demikian, prosesi suksesi kepemimpinan benar-benar merupakan wahana seleksi
untuk menghadirkan pemimpin-pemimpin terbaik sekaligus pendidikan politik rakyat
secara beradab. Menghadirkan pemimpin melalui Monang maralohon musu, Talu
maralohon dongan akan meminimalisasi resistensi kepemimpinan dalam melaksanakan
tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) ditengah-tengah masyarakat, bangsa maupun
negara.