Ahok, Daulat Rakyat vs Daulat Partai Politik
Oleh: Thomson Hutasoit
Pemilihan Gubernur DKI
Jakarta 2017 sepertinya salah satu pemilihan gubernur terseksi di seantero nusantara
hingga menyedot perhatian masyarakat luas, baik politisi maupun masyarakat awam
di luar DKI Jakarta. Selain Ibukota DKI, Jakarta adalah Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) sekaligus pusat penyelenggaraan negara atau pemerintahan menjadikan
pemilihan Gubernur DKI Jakarta paling menyedot perhatian di negeri ini. Hal itu
pulalah menyebabkan proses suksesi gubernur DKI Jakarta 2017 walau masih satu
tahun lagi telah menaikkan asmorfir suhu politik di luar nalar sebagaimana
diberitakan media massa di negeri ini.
Provinsi DKI Jakarta adalah satu
dari 34 provinsi yang ada di wilayah Republik Indonesia, tetapi sebagai Ibukota
Negara DKI Jakarta menjadi sangat istimewa dan strategis kancah politik nasional maupun internasional.
Sebagai Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta proses suksesi kepemimpinan di DKI
Jakarta bisa dikatakan hampir sama levelnya dengan suksesi kepemimpinan
nasional (pemilihan presiden) sehingga tokoh-tokoh berkaliber nasional tertarik
mencalonkan diri menjadi calon gubernur DKI Jakarta dari waktu ke waktu.
Demikian juga partai politik di tingkat nasional (dewan pimpinan pusat/DPP)
partai politik harus mengkalkulasi cermat, cerdas dan matang siapa bakal calon
yang akan diusung dan/atau didukung untuk menduduki kursi DKI 1 dengan berbagai
taktik strategi masing-masing.
Sekalipun pemilihan gubernur DKI
Jakarta masih setahun lagi, suhu politik di DKI Jakarta kini telah memanas,
bahkan telah menimbulkan logika-logika aneh di luar logika konstitusi yang
berlaku di republik ini. Pernyataan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok maju mencalonkan
diri dari jalur perseorangan atau independen dengan dukungan penggalangan KTP
relawan “Teman Ahok” telah menyulut amarah partai politik tak karu-karuan hingga
menuding Ahok melakukan “deparpolisasi” yang kemungkinan besar disebabkan faktor
“ketakutan” terhadap sosok Ahok yang saat ini Gubernur DKI Jakarta melanjutkan
kepemimpinan DKI Jakarta Joko Widodo/Basuki Tjahaja Purnama periode 2012-2017
setelah Joko Widodo atau Jokowi terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia ke
tujuh tahun 2014 lalu.
Sebagaimana telah diketahui publik,
keterpilihan Joko Widodo (Jokowi)/Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada pemilihan
gubernur DKI Jakarta 2012 lalu sungguh sangat fenomenal, bahkan di luar nalar
keperkasaan partai politik, dimana ketika itu pasangan Jokowi/Ahok hanya
diusung/didukung minoriti partai politik, yakni; PDI-Perjuangan dan Partai
Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) di putaran kedua berhasil meraup suara
sebanyak 2.472.130 (53,82 persen), sementara pasangan Fauzi Bowo
(Foke)/Nachrowi Ramli yang notabene petahana (incumbent) serta diusung/didukung mayoriti partai, yakni; Partai
Demokrat, Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat
Nasional (PAN), Partai Hati Nurani Rakyat (PAN), Partai Bulan Bintang (PBB),
Partai Matahari Bangsa (PMB) hanya mampu meraih suara sebanyak 2.120.815 (46,17
persen) sesuai keputusan KPUD DKI Jakarta tanggal 29 September 2012.
Sosok
Jokowi/Ahok yang datang dari daerah di luar Jakarta, yakni; Walikota Surakarta
Solo dan Bupati Belitung Timur dengan rekam jejak kinerja (trackrecord) berhasil memimpin kota dan kabupaten sepertinya belum
disadari paripurna oleh elite partai politik dalam mengusung/mendukung pasangan
calon kepala daerah di seluruh Indonesia, termasuk DKI Jakarta pada pemilihan
2017 ini. Partai politik masih mengandalkan “keperkasaan dan arogansi”
menentukan pasangan calon ketimbang rekam jejak kinerja pada level sebelumnya,
dan disinilah bias nyata logika partai politik dengan logika rakyat pemilik hak
suara dalam menentukan/memilih kepala daerah.
Sebagaimana artikel penulis pada
pemilihan gubernur DKI Jakarta 2012 lalu dengan judul “Jokowi Mengukur
Kedewasaan Kebangsaan Indonesia”di SKI ASPIRASI, Deteksinews @ yahoo.com,
penulis mengatakan telah muncul kembali “Jolak Komitmen Watak Indonesia/Jokowi”
yang menjunjung tinggi Bhinneka Tunggal Ika wujud nyata pluralisme,
multikultural bangsa Indonesia, sepertinya terulang kembali pada pemilihan
gubernur DKI Jakarta 2017 akan datang. Kedewasaan kebangsaan Indonesia
tercermin dari sejauhmana bangsa ini memandang keindonesiaan secara bulat dan
utuh diatas fondasi Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945, Bhinneka Tungga Ika dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) secara nyata. Pemilihan pemimpin sejatinya ialah memilih putera/puteri
terbaik bangsa berkarakter negarawaan dibuktikan rekam jejak kinerja (trackrecord) yang bisa diukur obyektif,
transparan dan akuntabel. Hal-hal bersifat tendensius subyektifitas bernuansa
sektarianis-primordial tidak boleh sekali-sekali ukuran layak-tidaknya memilih
dan/atau menentukan calon pemimpin di berbagai level kepemimpinan di negeri
ini.
Setelah mengamati berbagai
pemberitaan di media massa tentang proses pemilihan Gubernur DKI Jakarta pasca
pernyataan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) maju melalui jalur perseorangan
(independen) yang menimbulkan “kebakan jenggot” elite partai politik, penulis
teringat kembali untuk menganalisis makna kata nama mantan Bupati Belitung
Timur yang kini Gubernur DKI Jakarta melanjutkan periode Joko Widodo
(Jokowi)/Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) periode 2012-2017. Setelah melakukan
permenungan serta analisis mendalam, penulis menemukan makna kata AHOK ialah
“Anatomi Hayati Otensitas Kepemimpinan” yakni; satu tipikal kepemimpinan
berbasis kehendak rakyat (bangsa) Indonesia, bukan kehendak dan/atau keinginan elite partai politik yang cenderung
bias dan berseberangan kehendak rakyat.
“Anatomi Hayati Otensitas
Kepemimpinan atau AHOK” adalah unsur penghayatan sejati keberadaan (otensitas-red)
kepemimpinan dilaraskan pada kehendak rakyat dan perintah konstitusi sungguh sangat
berkorelasi linier dengan sumpah/janji jabatan yang kerap diingkari dan/atau
diabaikan sebahagian besar pejabat publik di republik ini.
Selaku
tandem Joko Widodo (Jokowi) pada pemilihan
Gubernur DKI Jakarta periode 2012-2017 lalu, Ahok tentu sungguh sangat
mengerti dan memahami Pidato perdana Presiden Joko Widodo atau Jokowi di depan
Sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI 20 Oktober 2014 yang mengantakan, “Hanya tunduk kepada
kehendak rakyat dan konstitusi”. Pernyataan ini seharusnya menjadi perhatian
serius anak-anak bangsa, termasuk partai politik memilih dan menghadirkan
pemimpin era baru di negeri ini. Namun,
tanda-tanda zaman itu nampaknya belum menjadi kesadaran baru sehingga kerap
terjadi bias logika politik rakyat dengan logika partai politik dalam
menentukan dan/atau memilih calon pemimpin.
Oligarkhi
elite partai politik berseberangan dengan keinginan rakyat menentukan calon
pemimpin harus pula disadari mendalam dan mendetail telah melahirkan para
pemimpin mengutamakan kepentingan partai politik dibandingkan kepentingan
seluruh rakyat dalam menelorkan berbagai kebijakan publik hingga timbul
gelombang unjuk rasa di berbagai daerah.
Kepala
daerah (gubernur, bupati/walikota) dikekang dan/atau didikte partai pengusung/
pendukung menjalankan kepemimpinan hingga tak mampu memosikan diri pemimpin
publik yang mengayomi seluruh rakyat, tanpa kecuali. Dan hal itu pula tercermin
dari rendahnya “mono loyalitas” kepala daerah terhadap pemimpin diatasnya yang notabene berasal dari partai politik
berbeda. Padahal, selaku pemimpin publik seorang pemimpin seharusnya tidak
boleh sekali-sekali membedakan rakyat yang dipimpin walau dengan alasan apapun.
Jika partai politik selalu bernafsu
mendikte/memaksakan kepentingan partai politik terhadap pemimpin publik maka
telah terjadi “Koloni Partai Politik” dengan berbagai kompensasi politik,
seperti; mahar politik, kapling jabatan, keberpihakan kebijakan, dan lain
sebagainya yang menjadi beban politik bagi kepala daerah (gubernur,
bupati/walikota) kepada partai politik pengusung/pendukung, termasuk tim
suksesnya.
Anatomi hayati otensitas kepemimpian
(Ahok) yang ingin melepaskan ‘koloni partai politik” melalui pencalonan perseorangan
(independen) sejatinya bukanlah “deparpolisasi” seperti dilontarkan elite-elite
partai politik, sebab pencalonan kepala daerah (gubernur, bupati/walikota)
melalui jalur perseorangan (independen) adalah legal menurut undang-undang yang
berlaku di republik ini. Yang menjadi pertanyaan ialah mengapa ketika Basuki
Tjahaja Purnama (Ahok) memutuskan maju kandidat gubernur DKI Jakarta periode
2017-2022 para elite partai politik “menuduh/menuding” Ahok melakukan
“deparpolisasi” ? Bukankah jalur perseorangan (independen) sah dan
konstitusional, dan telah berlangsung pula diberbagai provinsi, kabupaten/kota
di seluruh indonesia tidak dipersoalkan, kecuali pencalonan Ahok yang dimotori
“Teman Ahok” menjadikan elite partai politik “kehilangan muka” dan merasa
“dipermalukan” daulat rakyat non partai politik.
Sungguh menarik tulisan M SUBHAN SD
pada “kolom politik” dengan judul ‘Deparpolisasi’ di Harian Kompas (Sabtu,
12/03/2016), “Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok mungkin dianggap “biang kerok”
gara-gara memilih jalur perseorangan untuk ikut Pilkada DKI Jakarta 2017, ia
dituding melakukan deparpolisasi. Padahal, Ahok bukan orang pertama yang
memilih jalur perseorangan. Pada pilkada serentak tahun 2015, menurut data
Skala Survei Indonesia ada 35 persen pasangan calon perseorangan. Sebanyak 14,4
persen mereka menang mengalahkan mesin partai politik. Ahok memang apes saja.
Namun, ini menunjukkan Ahok ditakuti parpol”.
Pada era pemilihan langsung, faktor
“figur” jadi daya tarik tersendiri. Publik lebih memilih figur lingkaran luar
ketimbang elite atau kelompok oligarkis di parpol. Figur Joko Widodo yang
sekelas kader justru jadi produk laris manis. PDI-P menang Pemilu 2014, tetapi
Jokowi yang jadi presiden. Faktor figur menggerus legitimasi parpol. Tanpa
disadari oleh parpol, inilah pintu awal proses deparpolisasi.
Dalam terminologi politik, parpol
punya fungsi-fungsi penting; sarana komunikasi politik, sarana rekrutmen
politik, sarana pengelola konflik (Miriam Budiardjo, 1994). Intinya, parpol
mustahil ditiadakan dalam pengelolaan negara dan bangsa. Runyamnya, sebahagian
parpol bercitra buruk. Banyak kader terjerat korupsi. Politik uang menjadi
virus yang menjalari sekujur tubuh parpol-parpol. Survei populi Center, Januari
2015, menunjukkan cuma 12, 5 persen responden yang percaya parpol. DPR, tempat
kerja parpol menjadi lembaga terkorup (39,7 persen) diatas Polri (14,2 persen).
Distrust terhadap parpol begitu
tinggi. Perilaku korup kader justru itulah proses deparpolisasi. Sadarkah
mereka ?”.
Seandainya, partai politik menyadari
paripurna fungsi partai politik sebagaimana dikatakan Miriam Budiardjo, yakni;
sarana rekrutmen politik dalam mengusung/mendukung calon pemimpin (presiden,
gubernur, bupati/walikota) maka partai politik akan melakukan “jemput bola”
figur-figur calon pemimpin melalui penelusuran rekam jejak kinerja (trackrecord) seperti; kejujuran,
kesahajaan, kesederhanaan, kredibilitas, kapasitas, kapabilitas, komptensi,
serta integritas dibandingkan “transaksi politik”. Berbagai kompensasi politik,
seperti; mahar politik, kapling kekuasaan ataupun isinitas (uang-red) yang
menjadi rahasia umum, dapat dirasakan sulit dibuktikan dalam pencalonan kepala
daerah (gubernur, bupati/walikota) harus pula disadari salah satu penyebab
munculnya kandidat kepala daerah dari jalur perseorangan (independen), apalagi
jalur perseorangan adalah legal dan absah menurut konstitusi. Jalur
perseorangan bukanlah illegal apalagi haram dan dosa dalam pencalonan kepala
daerah (gubernur, bupati/walikota) sehingga amat keliru besar serta sesat pikir
menuding deparpolisasi.
Elite-elite partai politik
seharusnya mengaca diri atas ketidakpercayaan (distrust) rakyat pada partai politik yang cenderung “transaksional”
ketimbang menuding deparpolisasi kepada calon kepala daerah jalur perseorangan
yang diamanahkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negeri ini.
Jangan seperti menepuk air diatas dulang terpercik muka sendiri. Seharusnya,
partai politik berbenah diri dan menyadari habitatnya sarana rekrutmen politik
(calon pemimpin-red) agar partai politik mampu meraih kepercayaan (trust) rakyat selaku pilar demokrasi
melahirkan pemimpin-pemimpin negarawan mewujudkan kedaulatan di tangan rakyat
sesuai Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Bhinneka
Tunggal Ika dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dalam sitem demokrasi langsung
seharusnya partai politik menyadari paripurna hak pilih (suara) adalah daulat
rakyat, bukan daulat partai politik sehingga keinginan dan kehendak rakyat
memilih pemimpin (presiden, gubernur,
bupati/walikota) menjadi acuan dasar bagi partai politik mengusung dan/atau
mendukung calon pemimpin. Partai politik dan/atau gabungan partai politik menurut undang-undang berfungsi dan berperan pengusung
dan/atau pendukung calon kepala daerah yang akan dipilih daulat rakyat. Karena
itu, jika partai politik keliru atau salah mengusung/mendukung calon kepala
daerah akan gagal dalam pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) seperti kegagalan
beberapa partai politik pada pemilukada serentak 2015 lalu.
Jika seandainya nanti pada pemilihan
gubernur DKI Jakarta Ahok benar-benar maju melalui jalur perseorangan
(independen) maka bangsa ini akan menyaksikan pertandingan “Daulat Rakyat vs
Daulat Partai Politik” memberikan pendidikan politik rakyat sangat indah
sekaligus membangun demokrasi substantif
di republik ini. “Ahok akan menjadi simbol rivalitas “koloni partai politik” sekaligus menguji
kehendak (daulat) rakyat versus kepentingan (daulat) partai politik memimpin
DKI Jakarta lima tahun ke depan.
Sebagai sarana pendidikan politik
rakyat, para kompetitor tidak boleh sekali-sekali mengangkat isu suku, agama,
ras, antargolongan/SARA, sebab memilih kepala daerah adalah memilih pemimpin
negarawan terbaik untuk menghadirkan kemakmuran, kesejahteraan, keadilan, tanpa
kecuali. Kita saudara sekandung putera/puteri Ibu Pertiwi, memiliki hak dan
kewajiban yang sama dan sederajat sebagaimana termaktub pada pasal 27 ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Pemimpin
negarawan selalu berpikir dan bertindak demi bangsa dan negara ! (Penulis, Direktur Eksekutif LSM
Kajian Transparansi Kinerja Instansi Publik/ATRAKTIP) tinggal di Medan-Provinsi
Sumatera Utara.
Medan,
12 Maret 2016