Potensi Korupsi APBD
Thomson Hutasoit
Direktur Eksekutif LSM Kajian Transparansi Kinerja Instansi Publik
(ATRAKTIP)
Otonomi Daerah memberi peluang kepada
pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota mengatur
kewenangan seluas-luasnya untuk penyelenggaraan pemerintahan di daerah,
termasuk pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk
percepatan pembangunan peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Pemberian kewenangan seluas-luasnya
kepada daerah provinsi maupun kabupaten/ kota sebagaimana amanat Ketetapan MPR
RI Nomor XV tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi daerah yang nyata, luas
dan bertanggung jawab sebagai koreksi terhadap pemerintahan sentralistik di
masa lalu.
Dalam penyelenggaraan otonomi daerah,
pemberian kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah
secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, pemanfaatan sumber
nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, memungkinkan
setiap daerah mampu mempercepat terwujudnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat
daerah. Apalagi dibarengi dengan langkah-langkah konkrit, kreatif, inovatif,
serta akomodatif menggali seluruh
potensi kekayaan daerah dan kearifan
lokal yang ada.
Akan tetapi, dalam implementasi otonomi
daerah justru yang terjadi ialah munculnya peluang-peluang korupsi dipraktekkan
“raja-raja kecil” (baca : kepala daerah) menggunakan kewenangan otonomnya secara bebas
mengutak-atik Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk memperkaya
diri, kelompok, ataupun pihak lain yang ditengarai politik balas budi ataupun kompensasi dukungan terhadap kepala daerah berkuasa di saat Pilkada.
Politik akomodasi dan politik balas
budi termasuk salah satu pendorong lahirnya peluang korupsi APBD, dimana kepala
daerah ingin mengakomodir dan membalas budi para pendukung melalui pemberian
kesempatan bagi-bagi proyek APBD.
Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN) dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah hampir tak dapat dihindarkan karena hanya dengan jalan demikianlah
dukungan dapat dipertahankan. Penempatan Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah
(SKPD), pemenang tender proyek, proyek penghunjukan langsung atau PL, serta
penempatan pejabat di perusahaan daerah ataupun Badan Layanan Umum (BLU) adalah
hal yang kasat mata sarat KKN.
Banyaknya kepala daerah didera kasus-kasus korupsi pada 10 tahun
belakangan ini menunjukkan betapa kelirunya para kepala daerah memaknai
pemberian kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab dalam pengaturan,
pembagian, dan pemanfaatan sumber-sumber keuangan daerah yang dijabarkan
didalam APBD.
Rodinelli (2001) mengatakan “Tanggung
jawab keuangan sebenarnya berada ditengah konsep desentralisasi. Jika
desentralisasi dimaksudkan untuk memampukan lembaga-lembaga lokal memberikan
pelayanan publik dan infrastruktur
secara efektif, mereka harus memiliki kekuasaan untuk menaikkan sumber
pendapatan dan kapasitasnya untuk meningkatkan sumber pendapatan yang lebih
banyak dan yang harus dipertahankan” (Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, M.Hum,
2009).
Kewenangan kepala daerah untuk
menggali seluruh potensi sumber daerah guna menaikkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) tentu tidaklah diartikan “kelatahan” atau
arogansi mengeluarkan Peraturan Daerah
(Perda) untuk membebani rakyat seperti terbitnya berbagai Perda retribusi
mengakibatkan ekonomi biaya tinggi serta menghambat pertumbuhan investasi di
daerah adalah suatu kekeliruan dan sesat pikir dalam memaknai otonomi daerah.
Peraturan Daerah yang hanya bertujuan menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD)
tanpa dibarengi percepatan peluang
peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat adalah salah satu bukti
kekeliruan penerapan penyelenggaraan
otonomi daerah saat ini. Padahal makna
hakiki otonomi daerah sejatinya ialah memperpendek rentang kendali pemerintahan
agar dekat kepada rakyat, bukan berarti pemerintah daerah dekat dan mudah untuk
“mencekik” rakyatnya. Pemerintah daerah seharusnya berperan aktif
seluas-luasnya mendorong percepatan akselerasi pembangunan melalui perpendekan
rentang waktu, rentang jarak, serta terserapnya partisipasi rakyat di dalam
proses penyelenggaraan pemerintahan.
Terbukanya Peran serta masyarakat dalam mengawasi
jalannya pemerintahan sebagaimana diatur Peraturan Pemerintah (PP) RI Nomor 71
tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, pasal 2, serta PP RI Nomor 68 tahun 1999 tentang Tata
Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dalam Penyelenggaraan Negara, pasal 2
dan pasal 3 merupakan salah satu syarat penting berjalannya otonomi daerah
sesuai rel ketentuan perundang-undangan yang menjadi pedoman, serta syarat
utama menyelenggarakan pemerintahan daerah di era otonomi daerah saat ini.
Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) adalah alat akuntabilitas, menejemen, dan kebijakan ekonomi
sebagaimana diamanatkan UU RI No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dan PP
RI No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Sebagai instrumen
kebijakan ekonomi, anggaran berfungsi untuk mewujudkan pertumbuhan dan
stabilitas perekonomian serta pemerataan pendapatan dalam rangka mencapai
tujuan bernegara. Sejalan dengan upaya tersebut, anggaran harus diterapkan
secara penuh berbasis kinerja di sektor publik. Perlu dilakukan perubahan
klasifikasi yang digunakan secara internasional. Perubahan dalam pengelompokan
transaksi pemerintah dimaksudkan untuk memudahkaan pelaksanaan anggaran
berbasis kinerja, memberikan gambaran yang obyektif dan proporsional mengenai
kegiatan pemerintah, menjaga konsistensi dengan standar akuntansi sektor
publik, serta memudahkan penyajian dan meningkatkan kredibilitas statistik
keuangan pemerintah.
Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) adalah dokumen publik tentang rencana keuangan tahunan pemerintah
daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD, dan
selanjutnya ditetapkan dengan peraturan daerah. Sebagai dokumen publik maka
siapapun boleh mengetahui, memperoleh dan memiliki APBD agar pelaksanaannya
transparan, partisipatif dan akuntabel.
Keterlibatan pertisipasi masyarakat
dalam proses penyusunan, penetapan, pelaksanaan, serta pertanggungjawabannya
harus dilakukan secara transparan. Pasal 3 ayat (1) UU RI Nomor 17 tahun 2003
tentang Keuangan Negara secara tegas dikatakan, “Keuangan Negara dikelola
secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis,
efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan
dan kepatutan”. Kemudian pada pasal 4 ayat (1) PP RI Nomor 58 tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah dikatakan,”Keuangan Daerah dikelola secara tertib, taat
pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan
bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan, dan manfaat
untuk masyarakat”.
Dari konteks isi peraturan perundang-undangan sebagaimana disebutkan diatas tidak ada
alasan pemerintah daerah ataupun DPRD merahasiakan APBD kepada masyarakat
karena APBD adalah dokumen publik. Bila ada pemerintah daerah ataupun DPRD berupaya merahasiakan
kepada publik berarti telah secara nyata-nyata melanggar perintah Undang-undang
yang mewajibkan transparansi anggaran, dan tidak mustahil ketertutupan akses
masyarakat terhadap APBD salah satu cara pemerintah daerah ataupun DPRD untuk melanggengkan “Peluang Korupsi APBD”
secara sistematis.
Ketertutupan pemerintah daerah
terhadap akses masyarakat membuka peluang untuk melakukan pergeseran mata
anggaran, mark up nilai proyek,
proyek fiktif serta pencincangan pagu proyek menjadi proyek kecil (baca:
dibawah Rp 50 juta) agar bisa dilaksanakan melalui Penghunjukan Langsung (PL)
sekalipun tidak sesuai dengan kriteria Lampiran Keputusan Presiden (Keppres) RI
Nomor 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah, seperti dalam keadaan tertentu dan keadaan khusus. Proyek PL hampir
dapat dipastikan merupakan ajang bagi-bagi kesempatan kepada kroni-kroni serta sarat korupsi karena
akses masyarakat untuk mengawasinya tidak ada sama sekali.
Transparansi APBD.
Penyusunan, penetapan, pelaksanaan, serta
pertanggungjawaban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) harus
dilaksanakan secara transparan agar asas pemerintahan yang baik atau Good Governance tidak hanya sebatas
retorika. Pasal 18 PP RI Nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan
Daerah secara tegas dan jelas mengamanatkan, bahwa dalam menyusun APBD,
penganggaran pengeluaran harus didukung dengan adanya kepastian tersedianya
penerimaan dalam jumlah cukup.
Penganggaran untuk setiap pengeluaran
APBD harus didukung dengan dasar hukum yang melandasinya. Artinya, bahwa setiap
penerimaan ataupun pengeluaran APBD harus memiliki landasan hukum, tanpa itu,
maka diduga telah terjadi pelanggaran hukum.
APBD meliputi pendapatan daerah,
belanja daerah, dan pembiayaan daerah. Pendapatan daerah terdiri dari
Pendapatan Asli Daerah (pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan
kekayaan daerah yang dipisahkan). Dana Perimbangan (Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi
Umum, Dana Alokasi Khusus), dan Lain-lain pendapatan daerah yang sah (hasil
penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, hasil pemanfaatan atau
pendayagunaan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan
bunga, tuntutan ganti rugi, keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata
uang asing, komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan
dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah). Disisi lain, Belanja
Daerah terdiri dari Belanja Langsung, Belanja Barang/Jasa, dan Belanja Modal.
Pembiayaan Daerah terdiri dari penerimaan pembiayaan dan pengeluaran
pembiayaan.
Pada pasal 39 PP RI Nomor 58 tahun
2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dikatakan, bahwa Penyusunan Rencana
Kerja dan Anggaran Satuan Kinerja Perangkat Daerah (RKA-SKPD) dengan pendekatan
prestasi kerja dilakukan dengan memperhatikan keterkaitan antara pendanaan
dengan keluaran dan hasil yang diharapkan dari kegiatan dan program termasuk
efisiensi dalam pencapaian keluaran dan hasil tersebut.
Penyusunan anggaran berdasarkan
prestasi kerja dimaksudkan dilakukan berdasarkan capaian kerja, indikator
kinerja, analisis standar belanja, standar satuan harga, dan standar pelayanan
minimal. Sementara pada pasal 17 UU RI Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan
Negara dikatakan, bahwa dalam menyusun APBD dimaksud, diupayakan agar belanja
operasional tidak melampaui pendapatan dalam tahun anggaran yang bersangkutan.
Defisit anggaran dibatasi maksimal 3 % dari Produk Regional Bruto (PRB) daerah
yang bersangkutan. Jumlah pinjaman dibatasi maksimum 60 % dari Produk Regional
Bruto daerah yang bersangkutan. Penggunaan surplus anggaran perlu
mempertimbangkan prinsip pertanggungjawaban antar generasi, sehingga
penggunaannya diutamakan untuk pengurangan utang, pembentukan cadangan, dan
peningkatan jaminan sosial.
Transparansi penyusunan, penetapan,
pelaksanaan, dan pertanggungjawaban APBD memungkinkan terbukanya akses masyarakat
seluas-luasnya untuk melakukan pengawasan jalannya pemerintahan daerah secara
maksimal.
Dr. Faisal Akbar Nasution SH, M.Hum
(2009 ) mengatakan, “Pembuatan peraturan daerah yang berkaitan dengan pungutan
seperti pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana diatur dalam pasal 4 ayat
(5) dan (6) serta pasal 24 ayat (5) dan ayat (6) UU Nomor 34 tahun 2000 tentang
Perubahan atas UU Nomor 18 tahun 1997 tentang Pajak dan Retribusi Daerah dikatakan,
bahwa sebelum sebuah rancangan peraturan daerah yang berkenaan dengan pajak
dan/atau retribusi daerah ditetapkan menjadi peraturan daerah, maka harus
terlebih dahulu disosialisasikan kepada
masyarakat luas.
Sosialisasi sebagai salah satu bentuk
partisipasi politik adalah merupakan bagian dari pelaksanaan demokratisasi
pemerintahan daerah yang didukung masyarakat daerahnya. Partisipasi demikian
kemudian dikuatkan oleh UU Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan dan UU Nomor 32 tahun 2004 yang menyebutkan partisipasi
masyarakat baik secara lisan maupun tertulis dalam proses pembuatan peraturan
perundang-undangan, apakah dalam rangka penyiapan maupun pembahasan rancangan
undang-undang dan atau rancangan peraturan daerah, merupakan keniscayaan bagi
setiap pemerintah untuk melibatkan masyarakat dalam proses legislasi tersebut”.
Selanjutnya Ir. Drs. Bonar
Simangunsong, MSc.SE dan Ir. Daulat Sinuraya,MM (2004) mengatakan,”Dalam sistem
demokrasi Indonesia khususnya Demokrasi Pancasila pemerintah adalah pelayan
masyarakat. Birokrasi itu sebagai pelayan masyarakat maka rakyat berperan dalam
melahirkan berbagai kebijakan publik. Proses Kebijakan Publik harus menampung
aspirasi rakyat yang terkait. Dalam negara demokrasi diperlukan kearifan untuk
menentukan Kebijakan Publik, sebab harus dihindari pengkotakan-pengkotakan
mayoritas maupun minoritas”.
Sekalipun perundang-undangan sudah
secara terang-benderang mengatur keterlibatan partisipasi masyarakat dalam
penyiapan dan pembahasan sebuah Peraturan Daerah (Perda), tetapi masih banyak
pemerintah daerah termasuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang
alergi terhadap Peran Serta Masyarakat
dalam pembuatan Perda. Salah satu contoh, Pengusiran terhadap wartawan
(ASPIRASI Nomor 277/2009) yang dilakukan anggota DPRD Deli Serdang pada saat
pembahasan Kebijakan Umum Anggaran Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara
(KUA-PPAS) tahun anggaran 2010 lalu adalah salah satu bukti kekeliruan dan
ketidakmampuan memahami perintah undang-undang paling memalukan dari pejabat
publik.
Sikap arogansi anggota DPRD Deli Serdang ini mungkin saja mewakili
sikap serupa dari pemerintah daerah atau DPRD kabupaten/kota yang “Buta Aksara”
membaca kehendak peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Mereka masih harus belajar
banyak, bila perlu belajar di sekolah khusus misalnya “Sekolah Telat Mikir atau
Telmi” agar bisa membedakan mana dokumen rahasia, dan mana pula dokumen publik sesuai perintah
undang-undang.
Sungguh ironis, bila masih ada
pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota termasuk DPRD tidak membuka partisipasi
masyarakat seluas-luasnya didalam pembuatan Peraturan Daerah (Perda).
Partisipasi masyarakat didalam
pembuatan Perda sangat urgen karena masyarakat lah subyek sekaligus obyek Perda
tersebut. Pejabat publik yang alergi partisipasi masyarakat justru patut
dicurigai, bahwa mereka sedang melakukan “persubahatan ataupun persekongkolan
jahat”, konspirasi jahatnya harus ditutup rapat-rapat dari kontrol sosial
masyarakat.
Ketertutupan terhadap kontrol publik
membuka peluang korupsi terhadap APBD ataupun Kebijakan Publik secara nyaman.
Masyarakat dapat memperkarakan pejabat publik yang alergi terhadap transparansi sebagaimana diatur
didalam UU RI Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU RI Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, UU RI Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, PP RI Nomor 58 tahun
2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, PP RI Nomor 68 tahun 1999 tentang
Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Negara, PP
RI Nomor 71 tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan
Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
UU RI No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, serta undang-undang lainnya.
Penyelenggara pemerintahan memiliki
tanggung jawab sebagaimana dikatakan Herbert J. Spiro, Responsibility in Government: Theory
and Prctice, 1969, ”Setiap penyelenggara pemerintahan (pemerintah) harus
menyadari betul dirinya sebagai manusia yang bertanggung jawab, baik kepada
dirinya sendiri (tanggung jawab pribadi), maupun kepada masyarakat (tanggung
jawab sosial), dan kepada negara (tanggung jawab kelembagaan), dan yang paling
utama kepada Tuhan (tanggung jawab moral) atas segala perilaku dalam pelayanan
masyarakat sebagai aparatur pemerintah”
(H. Achmad Batinggi & Muhammad Tamar, 2008).
Perbuatan pemerintah yang tidak patut
harus dihindarkan seperti penyalahgunaan kekuasaan karena melanggar etika pemerintahan yang baik.
Penyimpangan, pengalihan, pemindahan, penyalahgunaan, serta pemutaran wewenang
atau kekuasaan adalah sesuatu tindakan dan perbuatan yang salah serta melanggar
hukum sebagaimana isi sumpah jabatan seorang
pejabat publik. Banyak pejabat penyelenggara negara melakukan perbuatan tidak
etis dengan berbagai alasan, termasuk akibat keserakahan pejabat publik yang
bersangkutan. Mereka lupa, bahwa mereka telah melanggar UU Nomor 28 tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme.
Menurut Nigro dan Nigro (dalam Joko
Widodo, 2001) terdapat 8 bentuk penyimpangan/perbuatan tidak etis yang sering
dilakukan oleh para penyelenggara negara antara lain; 1), Ketidakjujuran (Dishonesty), 2), Perilaku yang Buruk (Unethical Behaviour), 3), Mengabaikan
Hukum (Disregard of The Law), 4), Favoritisme
dalam Menafsirkan Hukum, 5), Perlakuan yang Tidak Adil terhadap Pegawai, 6),
Inefisiensi Bruto (Gross Inefficiency),
7), Menutup Kesalahan, dan 8), Gagal menunjukkan Inisiatif.
Pola pemerintahan sentralistik yang
mengabaikan partisipasi masyarakat harus segera ditinggalkan karena kurang peka
terhadap perkembangan ekonomi, sosial, dan politik masyarakat. Seiring dengan
menguatnya issu Good Government tahun
1990-an maka tuntutan masyarakat menghendaki antara lain; 1), penyelenggaraan
kepemerintahan yang menjamin kepastian hukum, keterbukaan, profesional dan
akuntabel, 2), kepemerintahan yang menghormati hak-hak asasi manusia dan
pelaksanaan demoktrasi, 3), kepemerintahan yang dapat meningkatkan pemberdayaan
masyarakat, dan mengutamakan pelayanan prima kepada masyarakat tanpa
diskriminasi, serta 4), kepemerintahan yang mengakomodasi kontrol sosial masyarakat
(Djohermasyah Djohan & Milwan, 2008). Jadi sungguh sangat keliru bila
pemerintah daerah selalu mendengung-dengungkan Good Governance tetapi super alergi terhadap transparansi dan
kontrol sosial masyarakat.
Bentuk-bentuk Potensi Korupsi APBD.
Tata cara pengelolaan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD) diatur didalam Peraturan Pemerintah (PP) RI Nomor 58
tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Pelaksanaan APBD diatur antara
lain pasal 54 sampai 79. Pasal 54 ayat (1) mengatakan, bahwa Satuan Kerja
Perangkat Daerah (SKPD) dilarang melakukan pengeluaran atas beban anggaran belanja
daerah untuk tujuan yang tidak tersedia anggarannya, dan/atau yang tidak cukup
tersedia anggarannya dalam APBD. Ayat (2), Pelaksanaan belanja daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus didasarkan pada prinsip hemat, tidak
mewah, efektif, efisien dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Namun dalam prakteknya pemerintah
daerah masih sering melakukan pengalihan anggaran sekalipun tidak tertampung
sebelumnya didalam mata anggaran. Pengalihan mata anggaran tanpa terlebih
dahulu mendapat persetujuan dari DPRD adalah tindakan menlanggar hukum karena
telah mengangkangi hak budgeting DPRD sebagaimana diamanatkan pasal 18 UU RI Nomor 17 tahun 2003 tentang
Keuangan Negara dan PP RI Nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan
Daerah pasal 45. Selain daripada itu, masih sering ditemukan anggaran fiktif
yaitu pengeluaran APBD untuk kegiatan yang tidak pernah ada wujud nyatanya. Penggelembungan
(mark up) proyek yaitu penetapan pagu
proyek yang tidak didasarkan dengan standar satuan harga sebagimana diatur pada
pasal 41 ayat (3) PP RI Nomor 58 tahun 2005. Pemecahan pagu proyek menjadi
proyek kecil-kecil dibawah Rp 50 juta
agar dapat dijadikan proyek Penghunjukan Langsung (PL) walaupun tidak sesuai
dengan kriteria yang diatur dalam Keputusan Presiden (Keppres) RI Nomor 80
tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Pada Lampiran Keppres RI Nomor 80
tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Bab I
huruf A point 3 Penggunaan barang/jasa dilarang: a), memecah pengadaan barang/jasa
menjadi beberapa paket dengan maksud untuk menghindari pelelangan; b), menyatukan atau memusatkan beberapa
kegiatan yang tersebar di beberapa daerah yang menurut sifat pekerjaan dan
tingkat efisiensinya seharusnya dilakukan di daerah masing-masing; c), menyatukan/menggabung beberapa paket
pekerjaan yang menurut sifat pekerjaan dan besaran nilainya seharusnya
dilakukan oleh usaha kecil menjadi satu paket pekerjaan untuk dilaksanakan oleh
perusahaan/ koperasi menengah atau besar; dan d), menentukan kriteria,
persyaratan atau prosedur pengadaan yang diskriminatif dan/atau dengan
pertimbangan yang tidak obyektif. Selanjutnya pada huruf C point 4 Penghunjukan
Langsung (PL) dapat dilaksanakan dalam hal memenuhi kriteria sebagai berikut:
a), Keadaan tertentu, yaitu: 1), penanganan darurat untuk pertahanan negara,
keamanan dan keselamatan masyarakat yang pelaksanaannya tidak dapat ditunda,
atau harus dilakukan segera, termasuk penanganan darurat akibat bencana alam,
dan/atau, 2), pekerjaan yang perlu dirahasiakan yang menyangkut pertahanan dan
keamanan negara yang ditetapkan oleh Presiden, dan/atau; 3), pekerjaan yang
berskala kecil dengan nilai maksimum Rp 50 juta dengan ketentuan: a), untuk
keperluan sendiri; dan/atau, b), teknologi sederhana; dan/atau, c), resiko
kecil; dan/atau, d), dilaksanakan oleh penyedia barang/jasa usaha perseorangan
dan/atau badan usaha kecil termasuk koperasi kecil. Huruf b), Pengadaan barang/jasa
khusus yaitu : 1), pekerjaan berdasarkan tarif resmi yang ditetapkan pemerintah;
atau, 2), pekerjaan/barang spesifik yang hanya dapat dilaksanakan oleh satu
penyedia barang/jasa, pabrikan, pemegang hak paten; atau, 3), merupakan hasil
produksi usaha kecil atau koperasi kecil atau pengrajin industri kecil yang
telah mempunyai pasar dan harga yang relatif stabil; atau, 4), pekerjaan yang
kompleks yang hanya dapat dilaksanakan dengan penggunaan teknologi khusus dan
atau hanya satu penyedia barang/jasa yang mampu mengaplikasikannya.
Maraknya proyek-proyek Penghunjukan
Langsung (PL) yang biasanya ditampung pada mata anggaran Perubahan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (P-APBD) mengindifikasikan terjadinya “Peluang
Korupsi APBD”.
Alasan klasik ketiadaan waktu bila
melakukan Tender Lelang Umum perlu
dicermati dan disiasati merupakan alibi tanpa payung hukum dan melanggar
Keppres Nomor 80 tahun 2003 secara sistematis. Hal paling aneh adalah rendahnya
realisasi APBD induk (baca : APBD) dibandingkan realisasi P-APBD adalah sebuah
ironi. Mengapa APBD yang memiliki waktu pelaksanaan cukup panjang (9 bulan)
tingkat realisasinya rendah. Tetapi P-APBD
yang justru waktunya hanya 3 (tiga)
bulan dapat terealisasi hingga 100 persen, mengindikasikan terjadi peluang
korupsi karena proyek PL lebih cenderung sarat korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Salah satu contoh, proyek perbaikan
drainase atau perbaikan parit kota Medan sebesar Rp 59 Milyar lebih yang ditampung
dalam mata anggaran P-APBD kota Medan tahun anggaran 2009 hanya dilaksanakan
dengan “Penghunjukan Langsung” atau PL. Apakah pelaksanaan proyek ini memenuhi
kriteria Penghunjukan Langsung atau PL sebagimana diamanatkan Keppres RI Nomor
80 tahun 2003 ?. Menjadi pertanyaan yang sangat serius. Dan bila tidak sesuai
dengan ketentuan Keppres maka sebaik apapun, dan sepenting apapun perbaikan
drainase atau perbaikan parit di kota Medan tentu terindikasi melanggar hukum
dan sarat terjadi peluang korupsi APBD,
dan perlu didalami penegak hukum seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK),
Kejaksaan Tinggi, ataupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Kemudian pada pasal 66 ayat (1) PP RI
Nomor 58 tahun 2005 dikatakan, bahwa
Penerbitan Surat Perintah Membayar
(SPM) tidak boleh dilakukan sebelum barang dan/ atau jasa diterima kecuali
ditentukan lain peraturan perundang-undangan. Seluruh penjualan kekayaan milik
daerah, semua penerimaan dan pengeluaran pembiayaan daerah harus dilakukan
secara transparan serta sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Pemeriksaan keuangan daerah yang
dilakukan BPK sering mendapat penilaian “ Disclemer” karena pencatatan aset
daerah yang tidak tertib dan jelas.
Misalnya, Temuan Panitia Khusus Asset DPRD Sumatera Utara (Juli 2009) ke
berbagai Kabupaten/Kota banyak kejanggalan dan ketidakpastian status Asset.
Pansus Asset dan Tim Taks Force, sepakat melakukan
Pengelompokan Status Asset sebagai berikut : 1), Tanah yang tidak/belum
mempunyai sertifikat 2.295 persil, 2), Gedung dan Bangunan tidak/belum memiliki
bukti/catatan atas perolehannya 1.477 unit, 3), Tanah digunakan/dimanfaatkan
oleh pihak ketiga tanpa izin 30 unit, 4), Gedung digunakan/dimanfaatkan pihak
ketiga tanpa izin 30 unit, 5), Tanah dan Gedung diakui sebagai milik pihak
ketiga 12 persil, 6), Tanah dan Gedung yang belum terdaftar sebagai Asset
Daerah 16 persil dan 77 unit, 7), Asal usul Tanah/Gedung tidak jelas 1 persil
dan 4 unit, 8), Izin pemberian pemanfaatan Tanah dan Gedung tidak tertib
110.207.18 Persil, 1.468,5 unit, 9), Gedung tidak dimanfaatkan dan kondisinya
Rusak Berat 20 unit, 10), Dokumen Hibah atas Tanah dan Gedung Tidak Jelas 4
Persil dan 8 Unit, dan 11), Penilaian Harga atas Asset tidak Bergerak, tidak
wajar dan terlalu rendah 31 Persil dan 60 Unit.
Temuan seperti ini tidak mustahil
berpotensi menjadi ajang korupsi pejabat publik atas asset daerah Provinsi
Sumatera Utara. Pada Saran Panitia Khusus Asset DPRDSU point 12 menyatakan, Agar
Pemprovsu secepat mungkin mengusut dan menyelesaikan masalah Asset Tidak
Bergerak milik Pemprovsu yang belum jelas, antara lain Tanah seluas 100 Ha eks
PT. Pelabuhan Samudra di Belawan, Pengurangan Luas Asset Milik Dinas Kesehatan
di Sicanang Kecamatan Medan Belawan yang dulunya 650 Ha dan sekarang tinggal 13
Ha, serta berbagai asset lainnya yang tersebar diberbagai Kabupaten/Kota.
Pada pasal 35 ayat (2) UU RI Nomor 17
tahun 2003 dikatakan, bahwa Setiap orang yang diberi tugas menerima, menyimpan,
membayar dan/atau menyerahkan uang atau surat berharga atau barang-barang
negara adalah bendahara yang wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban
kepada Badan Pemeriksa Keuangan. Selanjutnya pada pasal 101 dan pasal 102 PP RI
Nomor 58 tahun 2005 diatur tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD.
Selengkapnya pasal 101 menyatakan, Kepala daerah menyampaikan rancangan
peraturan daerah tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada
DPRD berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir. Laporan
pertanggungjawaban APBD dimaksudkan meliputi laporan realisasi anggaran,
neraca, laporan Arus Kas dan catatan atas laporan keuangan (pasal 100).
Berbagai peluang korupsi APBD
sebenarnya bukan saja terjadi pada penggunaan belanja daerah, melainkan peluang
korupsi lebih krusial di sektor pendapatan. Sektor pendapatan yang hanya
didasarkan atas asumsi semata menjadikan potensi pendapatan sangat tak
berkorelasi linier dengan realisasinya.
Menetapkan target realisasi
pendapatan atas dasar asumsi belaka tanpa memperhitungkan potensi pendapatan
secara akurat membuka peluang korupsi APBD yang dilahirkan kompromi politik
antara pemerintah daerah dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang
tertuang pada Nota Kesepakatan tanpa mengelaborasi potensi pendapatan secara
realistis. Seharusnya DPRD yang memiliki hak konstitusional hak legislasi, hak
budgeting, hak pengawasan tidak serta merta menerima rancangan peraturan daerah
(Ranperda) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) diusulkan pemerintah
daerah hanya berdasarkan asumsi semata. Tetapi menggali dan mendasarkan
pendapatan daerah berdasarkan potensi pendapatan serta target realisasi melalui
riset atau penelitian agar pendapatan daerah tak sekadar asumsi ataupun copy paste anggaran sebelumnya dengan
angka kenaikan tak masuk akal.
Harus pula diingat, bahwa korupsi
bisa terjadi “by desain” yaitu
peluang korupsi yang direncanakan sejak awal dengan asumsi-asumsi rasionalisasi
yang menurut Sigmun Freud merupakan siasat jahat dan berbahaya apalagi didukung
kekuasaan seperti Nota Kesepakan antara Eksekutif dengan Legislatif melalui
peraturan daerah (Perda) tentang APBD sehingga terluput dari jerat hukum.
Oleh sebab itu, peluang korupsi APBD
terbesar sejatinya bukanlah pada anggaran belanja, melainkan pada anggaran
pendapatan yang masih belum mendetail mengelaborasi potensi pendapatan, target,
realisasi realistis, sebab pendapatan masih didasarkan pada asumsi belaka.
Capaian target ataupun surplus target pendapatan pada SKPD tertentu belum
menunjukkan keberhasilan optimal sebab tidak tertutup kemungkinan capaian
target yang didasarkan pada asumsi adalah korupsi “by desain” karena asumsi pendapatan tersebut sangat jauh lebih
rendah dari potensi pendapatan yang seharusnya. Inilah salah satu hal yang
paling perlu didalami dan diawasi oleh penegak hukum seperti; Kepolisian,
Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar APBD provinsi,
kabupaten/kota semakin berkualitas.
Penutup.
Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) adalah dokumen publik sehingga masyarakat berhak untuk mengakses
seluas-luasnya. Pemerintahan yang baik selalu menerapkan Good Governance yang ditandai dengan adanya transparansi,
partisipasi, dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan. Peluang-peluang
korupsi APBD seperti pergeseran pos mata anggaran, mark up proyek, proyek fiktif, penjualan asset daerah secara
melanggar hukum, pencincangan pagu proyek menjadi proyek kecil untuk
menghindari lelang umum, serta penetapan target pendapatan yang hanya
didasarkan pada asumsi bukan berdasarkan realitas lapangan membuka peluang
korupsi APBD tersistematis karena terbatasnya akses masyarakat memberikan second
opinion melahirkan kebijakan publik masih setengah hati, bahkan tabu.
Salah satu upaya efektif
meminimalisir peluang korupsi APBD adalah membuka Peran Serta Masyarakat
melakukan kontrol sosial dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Oleh sebab
itu, untuk mengukur dan mengevaluasi sejauhmana pelaksanaan APBD terhindar dari
korupsi sangat berkorelasi dengan sejauhmana pemerintah daerah membuka akses
masyarakat untuk mengetahui, mengawasi, dan mengevaluasi akurasi pelaksanaan dan pertanggungjawaban APBD.
Sangat disayangkan, bila masih ada
pemerintah daerah termasuk DPRD yang alergi terhadap arus transparansi,
partisipasi, dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dan sebagai
pejabat publik harus menyadari diri, bahwa seluruh kebijakan yang diambil harus
dipertanggungjawabkan kepada publik sebagaimana amanat undang-undang. Ingat !
Korupsi akan tumbuh subur bila
transparansi dibungkam. (25/04/2016).