Benarkah Hanya Batak Pemilik HOTEL ?
Oleh : Thomson Hutasoit
Pendahuluan.
Stigma negatif yang selalu dilontarkan di ruang publik adalah Batak,
khususnya Batak-Toba disebut-sebut
pemilik HOTEL yakni; Hosom, Teal, Elat, Late, dimana kata-kata itu sadar atau
tidak telah menjatuhkan marwah serta karakter luhur Batak di ranah publik.
Yang paling disayangkan, tudingan bernada miring itu berasal dari orang
Batak, khususnya Batak-Toba sendiri sehingga layak disebut “Maneat bibir
pataridahon ipon” alias menelanjangi diri sendiri serta mempermalukan komunitas
Batak-Toba tanpa landasan kuat. Tindakan demikian sadar atau tidak adalah
merupakan tidakan keliru serta tak bertanggung jawab yang sangat disayangkan.
Bukankah tindakan mendegradasikan diri sendiri merupakan tindakan bodoh dan
konyol ? Akan tetapi, itulah faktanya apalagi sudah banyak orang Batak “merasa”
maju dan terpelajar sehingga sangat
mudah membangun dalil-dalil tendensius memojokkan eksistensi Batak, khususnya
Batak-Toba ditengah masyarakat, bangsa maupun negara.
Pelekatan stigma negatif “Hanya Batak Pemilik HOTEL” perlu diwaspadai
secara seksama sebab predikat negatif itu tidak mustahil akan dijadikan pihak
lain alat justifikasi menjatuhkan karakter moral orang Batak yang berakibat
fatal ditengah-tengah masyarakat, bangsa maupun negara. Misalnya,
keragu-raguan, kesangsian, serta ketidakpercayaan mengemban amanah dalam arti seluas-luasnya.
Padahal Batak-Toba merupakan salah satu komunitas bangsa di dunia beradat dan
beradab. Bahkan tidak terlalu melebih-lebihkan bahwa suku Batak adalah salah
satu suku bangsa memiliki peradaban tertinggi di atas jagat raya ini.
Hal itu bisa dilihat dengan nyata melalui adanya falsafah, adat, budaya,
bahasa, aksara, kesenian, alat-alat kesenian, serta ilmu pengetahuan dan
teknologi (Iptek) jauh sebelum zaman
millennia ini. Bukankah kebudayaan cerminan peradaban manusia? Dan perbedaan
pendidikan antara manusia dengan binatang terutama terletak dalam tujuannya:
manusia belajar agar berbudaya sedangkan binatang belajar untuk mempertahankan
jenisnya. “Tak pernah ada binatang yang membikin perang” kata Aldous Huxley, ”karena
mereka tak mempunyai sesuatu yang dianggap luhur”. Apakah yang lebih luhur lagi
bagi seekor harimau selain daging segar dan betinanya ?. “Mungkin saja terdapat
genius di antara para gorilla” sambung Aldous Huxley, tetapi karena mereka
tidak mempunyai bahasa maka buah pikiran dan penemuan genius itu tidak tercatat
dan menghilang begitu saja”. (Jujun S. Suriasumantri, 1982).
Tudingan bernada miring “Hanya Batak Pemilik HOTEL” tidak mustahil datang dari oknum-oknum tak bertanggung
jawab atau orang tak tahu asal-usul alias Dalle serta memiliki pengetahuan
dangkal tentang Batak dan Habatahon sehingga latah melontarkan istilah-istilah
tak populer serta tak memiliki landasan kuat. Sebab menurut pemahaman dan
analisis penulis sifat-sifat “Hosom, Teal, Elat, Late (HOTEL) dimiliki semua
suku di atas bumi ini. Bukan hanya Batak
(Batak-Toba) walaupun dalam bahasa yang berbeda-beda. Sehingga pelekatan stigma
negatif seperti itu adalah merupakan “arogansi intelektual” didasari pemahaman
dangkal dan keliru yang perlu diuji secara akademik.
Harus disadari setiap orang bahwa pemberian atau pelekatan predikat,
simbol-simbol dengan serampangan akan sangat berbahaya serta berimplikasi luas
ditengah-tengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara. Sehingga
dituntut kearifan berpikir komprehensif untuk memproteksi ekses-ekses negatif
dikemudian hari. Setiap pelabelan akan berimplikasi luas serta sulit dihapus
atau dihilangkan apalagi bila label-label negatif itu telah membumi di ranah
publik.
Hosom.
Hosom adalah sifat selalu membenci, dendam terhadap orang lain akibat
gesekan ataupun benturan kepentingan satu sama lain. Gesekan atau benturan
kepentingan itu menjelma menjadi cikal-bakal saling dendam apalagi tidak bisa
diurai dengan tuntas.
Sifat, sikap demikian tentu saja
bukan lah hanya milik orang Batak-Toba,
tetapi seluruh suku bangsa di dunia. Karena itu pula lah leluhur Batak-Toba
memberikan solusi penyelesaian gesekan, benturan, perselisihan, permasalahan,
persoalan, bahkan konflik melalui “Tuat si puti nangkok si deak, ima na ummuli
tu si ma tapareak”. “Purpar pande dorpi tu dimposna do ujungnya, sip
parmihim-himin tu rotokna do ujungna”. “Si boru puas si boru bakkara, molo dung
puas sae soada mara”. “Gala-gala sitekluk telluk mardagul-dagul, molo adong na
sala manat mangapul-apul”. “Molo ias sian losung ias ma di anduri” dan
lain-lain.
Bahkan leluhur Batak-Toba menitahkan jangan mewariskan perselisihan, permasalahan,
persoalan terhadap keturunan seperti ungkapan mengatakan,”Ndang paguguthonon na
so sira tu ianakhon”. Titah ini merupakan larangan tegas agar tidak mewariskan
dosa warisan atau silsilah (baca: pateanhon dosa marsundut-sundut manang
tarombo) yang menjadi persoalan sepanjang sejarah.
Hosom adalah sifat pembenci, pendendam ataupun sifat bermusuhan. Sedangkan
orang Batak, khususnya Batak-Toba bukanlah tipe pembenci, pendendam atau gemar
bermusuhan walaupun dalam melontarkan kata-kata terkesan keras bahkan kasar. Buktinya,
Batak-Toba sangat mudah berinteraksi dengan komunitas-komunitas lain karena
memiliki sifat-sifat solider dan bersahabat bukan sekadar kamuflase.
Andaikan terjadi pergesekan atau perbenturan, bila telah diselesaikan
dengan tuntas tidak memiliki dendam berkepanjangan (dendam kesumat) sebagaimana
dimiliki suku lain. Artinya, rekonsiliasi hubungan semula pulih kembali seperti
sediakala. Karena itu lah ada kearifan lokal Batak-Toba “Tampulon aek do halak
na mardongan tubu”. Arinya, hubungan kekeluargaan serta kekerabatan tidak
pernah putus selama generasi masih tetap berlanjut sepanjang masa.
Harus pula dipahami bahwa setiap komunitas suku bangsa di atas dunia ini
secara personal ada memiliki konsep diri negatif dan konsep diri positif,
tetapi menjeneralisasi sifat personal menjadi gambaran sifat komunal sangat
keliru besar, berbahaya serta sangat menyesatkan. Sebab perilaku manusia bukan
mutlak ditentukan keturunannya (faktor internal) tetapi juga dipengaruhi
lingkungannya (faktor eksternal). Ungkapan “Ndang dao tubis sian bonana” tidak
lah suatu dalil mutlak absolut sebab ada keturunan orang baik-baik menjadi
penjahat besar. Sebaliknya, ada keturunan orang biasa-biasa menjadi orang
sangat luar biasa dan lain sebagainya. Karena itu lah Pdt. Halomoan Marpaung,
STh, MPSi mengatakan,” Keberhasilan bukan karena keturunan, tetapi karena
ketekunan. Sukses bukan hasil kerja keras, tetapi hasil kerja cerdas”.
Fenomena tumbuh berkembang belakangan ini adalah “Na malo ndang
tarparguruan, na oto ndang tarajaran” sehingga mudah melontarkan ide-ide tak
populer semata-mata dilatari “kelatahan” saja. Akibatnya, dalil-dalil,
istilah-istilah, idiom-idiom serta simbol-simbol tumbuh bagaikan jamur di musim
hujan. Sementara, apabila dalil-dalil, istilah-istilah, idiom-idiom serta
simbol-simbol keliru itu dianggap suatu kebenaran akan merusak kesejatian,
kemurnian pranata baku
ditengah-tengah masyarakat, bangsa maupun negara.
Menurut William D. Brooks dan Philip Emmert (1976:42-43) ada empat tanda
orang yang memiliki konsep diri negatif. Pertama, ia peka terhadap kritikan.
Orang ini sangat tidak tahan kritik yang diterimanya, dan mudah marah atau naik
pitam. Bagi orang ini, koreksi seringkali dipersepsi sebagai usaha untuk
menjatuhkan harga dirinya. Dalam komunikasi, orang yang memiliki konsep diri
negatif cenderung menghindari dialog terbuka, dan bersikeras mempertahankan
pendapatnya dengan berbagai justifikasi atau logika yang keliru. Kedua, orang
yang memiliki konsep diri negatif, responsif sekali terhadap pujian. Walaupun
ia mungkin berpura-pura menghindari pujian, ia tidak dapat menyembunyikan
antusiasmenya pada waktu menerima pujian. Buat orang-orang seperti ini, segala
macam embel-embel yang menunjang harga dirinya menjadi pusat perhatiannya.
Bersamaan dengan kesenangannya tehadap pujian, mereka pun bersikap hiperkritis
terhadap orang lain. Ia selalu mengeluh, mencela, atau meremehkan apa pun dan
siapa pun. Mereka tidak pandai dan tidak sanggup mengungkapkan penghargaan atau
pengakuan pada kelebihan orang lain. Ketiga, orang yang konsep dirinya negatif
bersikap hiperkritis, cenderung merasa tidak disenangi orang lain. Ia merasa
tidak diperhatikan. Karena itulah ia beraksi pada orang lain sebagai musuh,
sehingga tidak dapat melahirkan kehangatan dan keakraban persahabatan. Ia tidak
akan pernah mempersalahkan dirinya, tetapi akan menganggap dirinya sebagai
korban dari sistem sosial yang tidak beres. Keempat, orang yang konsep dirinya
negatif, bersikap pesimis terhadap kompetisi seperti terungkap dalam keengganannya
untuk bersaing dengan orang lain dalam membuat prestasi. Ia menganggap tidak
akan berdaya melawan persaingan yang merugikan dirinya.
Sedangkan menurut D.E. Hamachek ada
11 karateristik orang yang
mempunyai konsep diri positif, antara
lain:
1.
Ia meyakini
betul-betul nilai-nilai dan prinsip-prinsip tertentu serta bersedia
mempertahankannya, walaupun menghadapi pendapat kelompok yang kuat. Tetapi, dia
juga merasa dirinya cukup tangguh untuk mengubah prinsip-prinsip itu bila
pengalaman dan bukti-bukti baru menunjukkan ia salah.
2.
Ia mampu bertindak
berdasarkan penilaian yang baik tanpa merasa bersalah yang berlebih-lebihan,
atau menyesali tindakannya jika orang lain tidak menyetujui tindakannya.
3. Ia tidak menghabiskan waktu yang tidak perlu untuk mencemaskan apa yang
akan terjadi besok, apa yang telah terjadi waktu yang lalu, dan apa yang sedang
terjadi waktu sekarang.
4. Ia memiliki keyakinan pada kemampuannya untuk mengatasi persoalan, bahkan
ketika ia menghadapi kegagalan atau kemunduran.
5. Ia merasa sama dengan orang lain, sebagai manusia tidak tinggi atau rendah,
walaupun terdapat perbedaan dalam kemampuan tertentu, latar belakang keluarga,
atau sikap orang lain terhadapnya.
6. Ia sanggup menerima dirinya sebagai orang yang penting dan bernilai bagi
orang lain, paling bagi orang-orang yang ia pilih sebagai sahabatnya.
7. Ia dapat menerima pujian tanpa berpura-pura rendah hati, dan menerima
penghargaan tanpa merasa bersalah.
8. Ia cenderung menolak usaha orang lain untuk mendominasinya.
9. Ia sanggup mengaku kepada orang lain bahwa ia mampu merasakan berbagai
dorongan akan keinginan, dari perasaan marah sampai cinta, dari sedih sampai
bahagia, dari kekecewaan yang mendalam sampai kepuasan yang mendalam pula.
10. Ia mampu menikmati dirinya secara utuh dalam berbagai kegiatan yang
meliputi pekerjaan, permainan, ungkapan diri yang kreatif, persahabatan, atau
sekadar mengisi waktu.
11.
Ia peka pada kebutuhan
orang lain, pada kebiasaan sosial yang telah diterima, dan terutama sekali pada
gagasan bahwa ia tidak bisa bersenang-senang dengan mengorbankan orang lain.
(Brooks dan Emmert, 1976:56/Drs. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc, 2007).
Konsep-konsep diri
positif dan negatif dimiliki setiap personal suku bangsa di atas jagat raya ini
sehingga tidak elegan dijadikan alat justifikasi untuk menjeneralisasi sebagai
sifat komunitas tertentu, termasuk pada Batak-Toba sebagaimana dilontarkan
pihak-pihak tak bertanggung jawab selama ini.
Stigma negatif itu
harus ditolak Batak-Toba melalui perilaku-perilaku unggul ditengah-tengah masyarakat,
bangsa maupun negara sebab Batak-Toba beradat dan beradab.
Teal.
Teal adalah sifat, sikap petantang-petenteng yang cenderung dilatari
kesombongan diri ataupun keangkuhan pribadi. Sifat serta sikap demikian tentu
dimiliki diri personal dari seluruh suku bangsa di atas dunia ini. Tetapi
sifat-sifat atau sikap pribadi dari suatu komunitas tidak boleh dijadikan
justifikasi suatu suku bangsa memiliki hal serupa. Penjeneralisasian atas sifat
atau sikap bersifat pribadi menjadi sifat atau sikap komunal adalah asumsi
dangkal dan keliru.
Angkuh, sombong, patentengan, menganggap segala sesuatu enteng adalah
cerminan sifat super ego serta percaya diri berlebihan yang merupakan sifat
buruk melekat pada diri manusia. Percaya diri berlebihan (over comfidence) akan membuat seseorang bertindak sesuka hati
(over acting) atau “Teal”. Ada juga orang memiliki sifat angkuh, sombong dan patentengan tanpa ada
suatu kebanggaan dimiliki. Inilah yang disebut “Teal so hinallung”. Dan orang
seperti itu sering disebut “parhata manggang” yakni sifat hiperbola atau
melebih-lebihkan sesuatu obyek diluar fakta empirik.
Kata “Teal” tidaklah bermakna apa-apa karena kata-kata tidak bermakna;
oranglah yang memberi makna. Artinya, seandainya orang Batak-Toba tidak
memaknai kata “Teal” sebagai perilaku buruk maka kata “Teal” tidaklah memiliki
arti apa-apa. Tetapi ketika kata “Teal” disematkan sebagai salah satu perilaku
buruk Batak-Toba justru hal itulah yang sangat berbahaya serta berdampak luas.
Sejak Plato, John Locke, Wittgenstein, sampai Brodbeck (1963), makna
dimaknakan dengan uraian yang lebih sering membingungkan daripada menjelaskan.
Borbeck membagi makna pada tiga corak antara lain; Pertama, makna inferensial, yakni makna satu kata (lambang)
adalah obyek, pikiran, gagasan, konsep yang dirujuk oleh kata tersebut. Dalam
uraian Ogden dan Richards (1946), proses pemberian makna (reference process) terjadi ketika kita menghubungkan lambang
dengan yang ditunjukkan lambang (disebut rujukan atau referent). Kedua, menunjukkan arti (significance) yakni suatu istilah sejauh dihubungkan dengan
konsep-konsep yang lain. Ketiga, makna intensional yakni makna yang dimaksudkan
oleh seorang pemakai lambang. Makna ini tidak boleh divalidasi secara empiris
atau dicarikan rujukannya. Makna ini terdapat pada pikiran orang, hanya
dimiliki dirinya saja. (Drs. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc, 2007).
Menjadikan sesuatu jadi kepribadian spesifik apalagi menjeneralisasi tanpa
pengkajian komprehensif merupakan “arogansi intelektual” serta bisa mengacau
tatanan umum. Thomas Szasz mengatakan, “Orang sering berkata tentang sesamanya,
‘Dia belum menemukan jati dirinya’. Tapi jati diri – diri kita sendiri –
bukanlah sesuatu yang kita temukan. Itu adalah sesuatu yang kita bentuk”.(Carol
Wade & Carol Tavris, 2007).
Elat.
Dalam salah satu acara televisi “Empat Mata atau Bukan Empat Mata” yang
dinahkodai Tukul Arwana ada salah satu istilah menarik menggoda perhatian
penulis yakni “SMS” (Senang Melihat Orang Susah, Susah Melihat Orang Senang)
yaitu suatu sifat cemburu, iri, sirik, dengki atau kurang senang melihat
kelebihan orang lain (beruntung, sukses dan lain sebagainya). Sifat cemburu,
iri, sirik, dengki rupanya dimiliki pribadi-pribadi seluruh komunitas di atas
jagat raya ini, bukan hanya Batak-Toba yang disebut “Elat”.
Elat (cemburu, iri, sirik, dengki) adalah sebuah konsep diri negatif dari
diri manusia yang bisa detemukan pada setiap komunitas di sisik bumi bukan
hanya dijumpai pada satu suku bangsa tertentu sehingga pelekatan stigma negatif
terhadap satu suku bangsa tertentu, misalnya menuduh Batak-Toba pemilik “Elat” sangat
terlalu tendensius serta merupakan “arogansi intelektual” (baca: pamalo-malohon,
papistar-pistarhon) tak bertanggung jawab.
Sifat Elat (cemburu, iri, sirik, dengki) adalah konsep diri negatif tidak
mampu bersaing sehat atau bersaing sempurna (perfect
competition) serta ketidakmampuan menerima, mengakui kelebihan atau
keunggulan orang lain. Keberhasilan atau kesuksesan pihak lain selalu direspon
negatif karena tidak mau dan rela mengakui kemampuan dan keunggulan pihak lain
melebihi dirinya. Dia “senang melihat orang susah atau sebaliknya, susah
melihat orang senang” (SMS) sebab tidak mampu menempatkan diri obyektif
mengakui keberhasilan atau kesuksesan pihak lain. Dikala sifat cemburu, iri,
sirik, dengki semakin menebal maka seseorang akan melakukan intrik-intrik untuk
merusak keberhasilan atau kesuksesan pihak lain.
Dalam dunia kompetisi sehat dan sempurna diperlukan prinsip sportivitas serta
keterbukaan yakni kompetisi berdasarkan kualitas kemampuan seperti kapabilitas,
kredibilitas, kapasitas, serta soliditas yang dapat diukur transparan akuntabel
obyektif. Dengan demikian keberhasilan dan keunggulan seseorang benar-benar
berdasarkan penilaian obyektif. Tapi bagi orang memiliki konsep diri negatif
serta memiliki karakteristik dogmatis atau bersikap tertutup hal demikian
menjadi suatu kemustahilan. Sebab karakteristik orang dogmatis atau bersikap
tertutup menilai pesan berdasarkan motif pribadi.
Orang dogmatis tidak akan memperhatikan logika suatu proposisi, ia lebih
banyak melihat sejauhmana proposisi itu sesuai dengan dirinya. Argumentasi
obyektif, logis, cukup bukti akan ditolak mentah-mentah. “Pokoknya aku tidak
percaya”, begitu sering diucapkan orang dogmatis.
Setiap pesan akan dievaluasi berdasarkan desakan dari dalam diri individu (inner pressure). Rokeah menyebut
desakan ini, antara lain, kebiasaan, kepercayaan, petunjuk perseptual, motif
ego irasional, hasrat berkuasa, dan kebutuhan untuk membesarkan diri. Orang
dogmatis sukar menyesuaikan dirinya dengan kebutuhan lingkungan.
Johari Window mengatakan,”Seringkali kita menjadi terbiasa menggunakan
topeng, sehingga kita sendiri tidak menyadarinya. Orang lain sebaliknya
mengetahuinya. Orang yang rendah diri berusaha jual tampang, meyakinkan orang
lain tentang keunggulan dirinya, dan merendahkan orang lain. Ia tidak
menyadarinya, tapi orang lain mengetahuinya. Ini termasuk daerah buta (blind area). Tentu ada diri kita yang
sebenarnya, yang hanya Allah yang tahu. Ini daerah tidak dikenal (unknown area). Makin luas diri publik
kita, makin terbuka kita pada orang lain, makin akrab hubungan kita dengan
orang lain. (Drs. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc, 2007).
Orang selalu dihantui sifat cemburu, iri, sirik, dengki (baca: Elat) sulit
menempatkan diri obyektif apalagi mengakui kemampuan dan keunggulan pihak lain
sebagai suatu kewajaran atas prestasi kinerja. Respon negatif demikian
merupakan konsekuensi konsep diri negatif dimiliki pribadi-pribadi tertentu. Sifat,
sikap serta perilaku demikian merupakan cerminan pribadi yang bisa ditemui pada
diri insan manusia diatas dunia ini, bukan hanya terdapat pada salah satu
komunitas tertentu. Sehingga sangat keliru besar apabila ditudingkan (baca:
dituhashon) pada Batak-Toba saja.
Steven P Robinsons, PhD (2009) mengatakan, sejumlah riset ekstensif telah
mengidentifikasi lima dimensi dasar yang menjelaskan variasi signifikan dalam
kepribadian manusia. Lima faktor itu antara lain;
1.
Kecenderungan keluar;
Apakah Anda seorang yang extrovert (ramah, mampu bersosialisasi) atau seorang
yang introvert (pendiam, pemalu) ?
2.
Menyenangkan; Apakah
Anda seorang yang sangat menyenangkan (kooperatif, terpercaya) atau kurang
menyenangkan (pemarah, antagonistis) ?
3.
Kesungguhan hati;
Apakah Anda sangat bersungguh-sungguh (bertanggung jawab, terorganisasi) atau
kurang bersungguh-sungguh (tidak dapat diandalkan, kacau) ?
4.
Stabilitas emosional;
Apakah Anda stabil (tenang, percaya diri) atau tidak stabil (gelisah, merasa
tidak aman) ?
5.
Keterbukaan terhadap
pengalaman; Apakah Anda terbuka terhadap pengalaman baru (keatif, ingin tahu)
atau tertutup (konvensional, mencari yang biasa) ?
Senang melihat orang susah, susah melihat orang senang (SMS) seperti
dikatakan Tukul adalah sifat, sikap serta perilaku buruk yang harus dibuang
jauh-jauh dengan mengubah atau mengganti menjadi “Senang melihat orang sukses”
(SMS) sebab kesuksesan orang lain akan berdampak positif terhadap diri kita,
baik langsung maupun tidak langsung. Sebaliknya, apabila kesusahan semakin
meluas di sekitar kita akan berdampak negatif terhadap diri kita, baik langsung
maupun tidak langsung.
Late.
Late (sirik) adalah sifat atau sikap ingin merusak, menghancurkan
keberhasilan, kesuksesan atau kebahagiaan pihak lain. Sifat atau sikap demikian
merupakan cerminan karakter buruk seseorang akibat tidak suka atau tidak senang
melihat keberhasilan yang dicapai orang lain.
Gemar mengusik, menggangu atau merusak keberhasilan atau kebahagiaan orang
lain lebih cenderung dipengaruhi otak kotor dan hati busuk yang tidak rela
melihat keberhasilan atau kebahagiaan pihak lain. Berbagai intrik-intrik jahat
dilancarkan untuk merusak, menghancurkan kesuksesan pihak lain, dan ketika
taktik jahatnya berhasil untuk merusak atau menghancurkan pihak lain maka dia
merasa puas.
Sebagaimana telah diuraikan dibahagian lain tulisan ini sifat atau sikap
demikian adalah merupakan cerminan konsep diri negatif yang dimiliki seseorang.
Dia sirik terhadap capaian kesuksesan orang lain sehingga dia berusaha untuk
meruntuhkan atau mengahancurkannya. Membuat pihak lain menderita adalah suatu
perilaku buruk yang tidak patut dilakukan manusia beradat dan beradab. Sebab
perlakuan demikian adalah tindakan jahat membuat orang lain sengsara.
Sifat, sikap serta perilaku demikian sering dipraktekkan pada persaingan
tidak sehat atau tidak sempurna. Memburuk-burukkan, memfitnah pihak lain dengan
dalil-dalil subyektif didasari sifat sirik (baca: Late) sering dilancarkan
kompetitor hitam untuk menjatuhkan pihak lain atau ingin mencapai sesuatu
dengan merusak kompetitor lain.
Sifat, sikap atau perilaku demikian merupakan cerminan ketidakdewasaan
berkompetisi dengan sehat. DR. Bruno Caporrimo mengatakan,” Kedewasaan adalah
kesadaran akan kasih, tanggung jawab, pemahaman nilai, dan kemampuan
mengevaluasi serta bersikap tegas”. “Kadang-kadang Anda merasa bahwa orang yang
tidak dewasa selalu berusaha membuktikan sesuatu dalam semua tindakan mereka.
Mereka berusaha membangun diri sendiri agar merasa layak dan aman, atau
penting. Hal itu muncul karena salah satu ciri ketidakdewasaan adalah menuntut
perhatian dan bukan memberikan perhatian. Orang yang dewasa menerima perhatian
melalui jati dirinya dan pemberiannya, bukan melalui tuntutannya. Jika tuntutan
akan perhatian atau dominasi menjadi dasar suatu hubungan, hal itu pasti
disebabkan adanya ketidakdewasaan.
Tuntutan itu dibuat berdasarkan kebutuhan yang nyata, seperti halnya orang
tua menuntut anak-anak yang belum dewasa. Ketidakdewasaan selalu menunjukkan
adanya tuntutan. Dalam hubungan dua orang dewasa, salah satu akan mendominasi
atau membuat tuntutan jika yang satunya tidak dewasa. Namun orang yang tidak
dewasa juga membuat tuntutan dan berusaha mendominasi, karena ia tidak
mempunyai cara lain untuk meminta kompensasi karena ia menyadari bahwa ia tidak
dewasa. Saya ingin memberikan motto yang telah saya ikuti selama
bertahun-tahun: “Kurbankan hal yang baik untuk hal yang lebih baik; kurbankan
hal yang lebih baik untuk yang terbaik”. Anda hanya bisa melakukan sebanyak itu
untuk menjadi orang yang bisa melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan
orang lain. (DR. Bruno Caporrimo, 2007).
Sifat, sikap atau perilaku tidak dewasa bukanlah milik spesifik salah satu
suku bangsa di atas dunia ini, tetapi milik seluruh insan manusia karena itu
sifat sirik (baca: late) tidak hanya terdapat pada Batak-Toba sebagaimana
ditudingkan pihak-pihak tak bertanggung jawab selama ini. Orang dewasa memahami
mana yang baik mana yang buruk sehingga selalu menghindari diri sumber
penderitaan, sengsara ataupun malapetaka terhadap orang lain.
Penutup.
Hosom, Teal, Elat, Late (HOTEL) adalah sifat, sikap ataupun perilaku buruk yang
melekat pada diri manusia di setiap suku bangsa walau dengan sebutan-sebutan
berbeda dengan Batak-Toba sehingga tidak patut dan wajar ditudingkan hanya
milik suku Batak, khususnya Batak-Toba.
Sifat cemburu, iri, sirik dan dengki, tidak mau dengan suka rela menerima
atau mengakui kemampuan, keberhasilan pihak lain merupakan cerminan konsep diri
negatif serta ketidakdewasaan manusia di
atas planet bumi ini. Bila konsep diri negatif dan ketidakdewasaan mendominasi
jiwa dan pikiran manusia maka akan sulit berpikir positif dan obyektif. Senang
melihat orang susah, susah melihat orang senang (SMS) selalu mengantui
seseorang yang diselimuti sifat cemburu, iri, sirik dan dengki (baca: HOTEL)
karena selalu memandang segala sesuatu hanya dari dalam dirinya sendiri.
Akan tetapi bila seseorang memiliki konsep diri positif serta dewasa maka
dia selalu berikhtiar, beraksioma “senang melihat orang sukses (SMS)” sebab
orang berkonsep diri positif memahami paripurna “jika ingin senang buatlah
orang lain senang, jika ingin sukses buatlah orang lain sukses, jika ingin
bahagia buatlah orang lain bahagia”, dan lain sebagainya. Sebab prinsip hidup
Batak-Toba “Molo i sinuan ido tapuon”. Apa yang kita tanam itulah yang akan
kita petik.
Oleh karena itu, pelabelan “Hanya Batak Pemilik HOTEL” harus diluruskan
sebab hal itu suatu stigma negatif berdampak luas ditengah masyarakat, bangsa
maupun negara. Pemberian stigma negatif seperti itu adalah “arogansi intektual”
alias pamalo-malohon serta tak bertangung jawab. Batak, khususnya Batak-Toba
beradat dan beradab. Sekali lagi Beradat dan beradab.
Horas bangso Batak !!!
Medan, 27 Juli 2012
Thomson Hutasoit.
Penulis: Direktur Eksekutif LSM Kajian Transparansi Kinerja Instansi Publik
(ATRAKTIP), Wakil Sekretaris Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) Provinsi
Sumatera Utara, Sekretaris Umum Punguan Borsak Bimbinan Hutasoit, Boru, Bere
Kota Medan Sekitarnya, Wakil Sekretaris II Pomparan Toga Sihombing (PARTOGI)
Kota Medan Sekitarnya, Penasehat Punguan Toga Lumban Gaol dohot Boru Sektor
Helvetia Medan, Wakil Pemimpin Redaksi SKI ASPIRASI, tinggal di Medan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.