Degradasi Sumpah
Pemuda 1928
Sebuah refleksi antara harapan dan fakta empirik
kekinian
Oleh :
Thomson Hutasoit
Direktur Eksekutif LSM Kajian Transparansi Kinerja Instansi Publik
(ATRAKTIP)
Momentum
memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 ke 84 yang
dirayakan pada tanggal 28 Oktober 2012 dengan berbagai pernak-pernik kemegahan
diseluruh penjuru seantero Nusantara adalah merupakan perhelatan akbar para
kawula-kawula muda di republik ini.
Peringatan
Hari Sumpah Pemuda 1928 adalah salah satu penggalan sejarah perjalanan
perjuangan bangsa memiliki nilai hakiki perubahan mindset atau pola pikir rakyat Nusantara dari sifat
sektoral-primordial ke pola pikir nasional atau kebangsaan diikat sebuah sumpah
”Bertanah
air satu, Berbangsa satu, Berbahasa satu, yaitu Indonesia”.
Makna
hakiki dari sumpah ”satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa, INDONESIA” adalah lahirnya Nasionalisme
Indonesia sejak dari Sabang hingga ke Merauke sebagai saudara sekandung
putra-putri Ibu Pertiwi Nusantara tanpa mempertentangkan perbedaan, keragaman,
kemajemukan, cermin nyata Bhinneka Tunggal Ika atau pluralisme bangsa
Indonesia.
Aneka
macam perbedaan, keragaman, kemajemukan adalah kekayaan Nusantara yang harus
dijaga, dirawat dan dilestarikan di dalam ”Rumah Besar Indonesia” sepanjang
masa. Sehingga peringatan Sumpah Pemuda 28 Oktober setiap tahun tidak sekadar
upacara seremonial hampa arti dan makna bagi pemuda-pemudi di seluruh penjuru
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sebagai
penggalan sejarah perjalanan perjuangan bangsa maka peringatan hari Sumpah
Pemuda perlu dimaknai melalui sebuah refleksi antara harapan dan fakta empirik
kekinian, dimana pada era belakangan ini kerap terjadi tawuran antar pelajar,
bentrok antar mahasiswa, bentrok antar organisasi kepemudaan (OKP), tindakan
kriminal geng motor, penggunaan Narkoba, seks bebas menimbulkan berbagai ekses
negatif seperti; keresahan, ketakutan, situasi mencekam, pengrusakan fasilitas
umum, penghilangan nyawa, dekadensi moral serta berbagai tindak kriminal lain
mengusik rasa aman dan nyaman masyarakat, bangsa maupun negara.
Tindakan
demikian tentu sangat merugikan eksistensi pemuda serta sangat kontra produktif
dengan karya monumental Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 lahirnya Nasionalisme
bangsa Indonesia jilid I yakni menggapai kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Sumpah
Pemuda 28 Oktober 1928 telah mampu melahirkan sebuah konsensus nasional
mempersatukan aneka perbedaan, keragamanan, kemajemukan rakyat Nusantara
sebagai satu bangsa yakni bangsa Indonesia, dan dengan segala kebijaksanaan,
kebajikan, serta keluhuran jiwa para pemuda sejak dari Sabang hingga ke Merauke
bersumpah untuk membangun kebangsaan dan keindonesiaan dilandasi saling
menghormati, saling menghargai aneka perbedaan, keragaman, kemajemukan dalam
kesetaraan, kesederajatan sesama mahkluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
Karya
monumental itu tidak terlepas dari penginderaan serta pengalaman empirik
perjuangan rakyat Nusantara yang tidak pernah berhasil merebut kemerdekaan
karena masih bersifat kedaerahan ataupun bersifat sektoral. Penginderaan serta
pengalaman empirik itulah salah satu elemen dasar melahirkan kesadaran baru
(nasionalisme-red) bagi para pemuda-pemudi di seluruh penjuru Nusantara
dimotori tokoh-tokoh pemuda yang telah memiliki intelektualitas di masa itu.
Harus disadari pula bahwa peran strategis pemuda
pada suatu bangsa merupakan aset maha dahsyat sehingga apabila suatu bangsa
gagal membangun sumber daya manusia (SDM) pemuda berkarakter maka bangsa
tersebut akan punah atau lenyap dari muka bumi ini, seperti; negara Uni Sovyet
Rusia, Jugoslavia, dan lain-lain.
Pemuda
adalah pewaris bangsa, pemegang tongkat estafet kepemimpinan, pemilik masa
depan sehingga harus benar-benar disiapkan melalui pembangunan karakter bangsa
(national character building) sebagaimana telah diingatkan pendiri bangsa (founding fathers) Bung Karno. Bahkan
Bung Karno dengan gamblang menyatakan,”Berikan saya sepuluh orang pemuda-pemudi
terbaik akan saya goncang dunia”. Pernyataan sedemikian lantang dan gamblang
bukanlah isapan jempol semata, tetapi bukti dan fakta nyata pemahaman seorang
pemikir besar yang telah melihat, memahami paripurna betapa strategis peran dan
fungsi pemuda sebagai agen pembaharuan yang mampu mengubah wajah dunia.
Misalkan saja, Thomas Alfa Edision penemu listrik, Bill Microsoft Gate yang
menemukan mikrosoft, dan lain-lain.
Pemuda pemegang tongkat estafet kepemimpinan.
Perkembangan
suatu bangsa ditandai dengan proses regenerasi kepemimpinan alamiah sebab
bagaimana pun para pemimpin-pemimpin bangsa akan otomatis mengalami pergantian
sesuai perputaran waktu yang tidak ada satu orang pun mampu untuk menahan atau
menundanya.
Seandainya
dilakukan penelitian komprehensif maka para pemuda pelaku sejarah Sumpah Pemuda
28 Oktober 1928 lalu mungkin hanya tinggal hitungan jari tangan saja sebab
peristiwa bersejarah itu sudah 84 tahun, sementara rata-rata harapan hidup
bangsa Indonesia dikisaran 65-70 tahun. Sehingga para pelaku sejarah Sumpah
Pemuda 1928 kini hanya tinggal beberapa orang saja.
Para
pemimpin bangsa saat ini tentu merupakan regenerasi pelaku sejarah Sumpah
Pemuda 28 Oktober 1928, bahkan belum lahir ketika peristiwa bersejarah itu
terjadi. Oleh sebab itu, tidak mustahil pula tidak mengetahui, memahami makna
hakiki Sumpah Pemuda secara paripurna walau kini telah menduduki posisi
strategis kepemimpinan nasional ataupun daerah sehingga sering berpikir dan
bertindak setback yakni menonjolkan
fanatisme suku, agama, ras, antargolongan/SARA maupun kedaerahan.
Pola
pikir dan pola tindak demikian tentu saja sangat kontroversial dengan makna
sejati Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 lalu yang dengan jiwa besar memandang
perbedaan, keragaman, kemajemukan merupakan modal besar kekayaan Indonesia
harus dijaga, dirawat, serta dikembangkan melalui saling menghormati, saling
menghargai sesama anak Ibu Pertiwi Nusantara yang memiliki hak hidup dan punya
masa depan dalam kesetaraan, kesederajatan, dan kesimbangan tanpa kecuali.
Suku
Batak, suku Nias, suku Minangkabau, suku Melayu, suku Jawa, suku Aceh, suku
Ambon, suku Sunda, suku Bali, suku Asmat, suku Anak Dalam, suku Bugis, suku
Papua, suku Toraja, Tionghoa, dan lain-lain adalah saudara sekandung
putra-putri Ibu Pertiwi pewaris negara-bangsa Indonesia sebagaimana telah
diikrarkan melalui Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
Sebagai
pemegang tongkat estafet kepemimpinan bangsa para pemuda-pemudi bangsa tentu
harus mengetahui, memahami paripurna makna sejati peristiwa bersejarah itu
sehingga para pemuda-pemudi bangsa Indonesia tidak mudah dibenturkan,
dikotak-kotakkan dengan alasan apa pun yang akan menciderai, melukai, serta
mendegradasi eksistensi pemuda di republik ini.
Para
pemuda harus bangkit di garda terdepan untuk melawan segala upaya yang bermasuk
serta bertujuan mencabik-cabik keutuhan bangsa sebab pemuda merupakan pemegang
tongkat estafet kepemimpinan di republik ini. Pemahaman paripurna makna sejati
Sumpah Pemuda 1928 merupakan alat evaluasi eksistensi kepemudaan apakah masih
tetap teguh mempertahankan ”Bertanah air satu, Berbangsa satu, Berbahasa satu
yaitu INDONESIA”. Dengan demikian para pemuda di republik ini tidak pernah
sekali-sekali pun berpikir melakukan pengkotak-kotakan sesama anak bangsa walau
dengan alasan apa pun.
Peran
strategis pemuda ditengah-tengah masyarakat, bangsa maupun negara tidak boleh
dianggap sepele sebab regenerasi kepemimpinan bangsa akan berlangsung alamiah
sesuai dengan perputaran waktu dari masa ke masa, sehingga para pemuda harus
benar-benar dipersiapkan komprehensif paripurna supaya regenerasi kepemimpinan
bangsa berlangsung tanpa hambatan apa-apa. Karena biar bagaimana pun pergantian
tampuk kepemimpinan nasional ataupun daerah akan berlangsung secara otomatis
sesuai pergantian masa.
Oleh
karena itu, pendidikan kader bangsa merupakan suatu keniscayaan atau keharusan
yang perlu segera dilakukan secara berkesinambungan untuk melahirkan
kandidat-kandidat pemimpin untuk memegang tongkat estafet kepemimpinan di
segala lini agar bangsa ini tidak mengalami defisit pemimpin negarawan yang
menghormati, menghargai pluralisme Indonesia sebagaimana telah diikrarkan para
tokoh-tokoh pemuda 28 Oktober 1928 lalu.
Kelanggengan
(survival) suatu bangsa tidak
terlepas dari kemampuan bangsa bersangkutan untuk mempersiapkan proses
regenerasi alamiah melalui langkah-langkah nyata pendidikan kader bangsa
sehingga terlahir pemimpin-pemimpin bangsa mumpuni serta berkarakter kebangsaan
dan keindonesiaan ditandai pertumbuhan dan perkembangan nasionalisme bangsa
Indonesia di segala sektor perikehidupan berbangsa dan bernegara.
Nasionalisme
bangsa yang kuat ditandai tumbuhnya rasa cinta terhadap bangsa di atas segala
kepentingan sektoral, atau dengan perkataan lain menempatkan kepentingan
nasional di atas kepentingan mana pun juga.
Hal
itu lah yang telah diwariskan para tokoh-tokoh pemuda 1928 sebagai warisan
luhur yang harus dijaga, dirawat, dilestarikan para pemuda bangsa Indonesia
sepanjang masa, bukan hanya sekadar melaksanakan upacara seremonial hampa arti
dan makna, selain menghabiskan dana, menguras pikiran dan tenaga ataupun
acara-acara seremoni memperingati hari Sumpah Pemuda setiap tahunnya.
Paradoks Sumpah
Pemuda 1928.
Bila
84 tahun lalu para pemuda memotori lahirnya nasionalisme kebangsaan
keindonesiaan melalui Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 maka era belakangan ini
justru terjadi hal kontroversial dimana para pemuda sering melakukan tindakan-tindakan
tak terpuji seperti tawuran antar pelajar, tawuran/bentrok antar mahasiswa,
bentrok antar organisasi kepemudaan (OKP), tindakan kriminal geng motor,
terlibat Narkoba, seks bebas, dan lain sebagainya sehingga menimbulkan ”Sumpah
Serapah” ditengah-tengah masyarakat, bangsa maupun negara.
Hal
itu menjadikan eksistensi pemuda ditengah-tengah masyarakat, bangsa maupun
negara semakin terdegradasi hingga ke titik nadir ketidakpercayaan sebagai
generasi penerus pewaris bangsa. Situasi kondisi demikian tentu sangat tidak
menguntungkan dalam kebersinambungan atau kelanggengan perjalanan bangsa ke
depan.
Sungguh
memprihatinkan sekaligus mencemaskan hasil jajak pendapat ”Kompas” 29 Oktober
2012, dimana dikatakan, ”Opini publik ini mencerminkan kenyataan di lapangan.
Tawuran, misalnya, kejadiannya memang meningkat pesat dalam setahun terakhir.
Data Komisi Nasional Perlindungan Anak merekam angka kejadian tawuran pelajar
dari 128 kejadian pada tahun 2010 menjadi 339 kejadian pada tahun 2011.
Aksi
kekerasan berkelompok yang ditunjukkan para geng remaja dalam tawuran dan
bentrokan menunjukkan perilaku berorganisasi kaum muda telah tercerabut dari
ikatan norma harmonisasi dalam masuarakat tradisional. Komunitas masa kini
merupakan imajinatif, tidak melulu terjadi secara alamiah terikat pada tempat
geografis, tetapi juga berdasarkan kesamaan persepsi dan perasaan.
Secara
psikologis, individu muda terserak dan terkotak dalam komunitas imajiner.
Hasrat untuk berbagi dalam komunitas menjadi lebih penting ketimbang kebutuhan
merawat mekanisme sosial dalam masyarakat yang lebih luas”.
Situasi
kondisi demikian tentu sangat kontra produktif dengan apa yang telah ditorehkan
para pemuda di masa silam. Sehingga peran strategis pemuda sebagai perekat
bangsa semakin terdegradasi secara nyata era belakangan ini.
Peran
strategis para pemuda yang memiliki keberanian serta kekuatan pendobrak
sekat-sekat sektarianis-primordialis yang menjadi salah satu ancaman pluralisme
kebangsaan Indonesia semakin tidak tampak dengan nyata sebab para pemuda serta
organisasi kepemudaan (OKP) telah terjebak pada kepentingan individu, kelompok
maupun golongan menjadikan pemuda surut kebelakang (setback) dalam berpikir dan bertindak.
Padahal
sebagai generasi penerus bangsa pola pikir dan pola tindak demikian merupakan
salah satu ancaman nyata keutuhan serta kelanggengan berbangsa dan bernegara di
masa akan datang. Para pemuda harus memahami paripurna bahwa kelangsungan
perjalanan bangsa tidak terlepas dari kesiapan pemuda untuk melanjutkan tongkat
estafet kepemimpinan seiring dengan lengsernya para kaum tua dari tampuk
kepemimpinan di segala lini. Akan tetapi bila para pemuda masih terjebak dengan
pertarungan kepentingan individu, kelompok maupun golongan maka akan sulit
ditemukan pemimpin negarawan untuk melanjutkan kesinambungan kepemimpinan ke
depan.
Oleh
karena itu, tawuran antar pelajar, tawuran antar mahasiswa, bentrok antar
organisasi kepemudaan (OKP), terlibat Narkoba, tindakan kriminal geng motor,
kebebasan seksual yang melibatkan para pemuda patut disayangkan sekaligus
mencerminkan degradasi Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 perlu diwaspadai segera
oleh seluruh stakeholders republik
ini agar para pemuda kembali ke habitatnya sebagai kekuatan pendobrak, garda
terdepan mempertahankan keutuhan bangsa sebagaimana telah ditunjukkan para
pemuda di era 1928 lalu.
Energi
pemuda maha dahsyat perlu diarahkan untuk melahirkan karya-karya jenial
monumental sehingga para pemuda benar-benar menjadi kekuatan bangsa di fora
internasional serta kebanggaan bangsa di mata dunia.
Patut
diacungi jempol sikap para pemuda di Kota Solo Jawa Tengah, dan sekitarnya
mendeklarasikan Sumpah Pemuda Jilid II. Dalam deklarasi yang digelar Gerakan
Anti-Korupsi Solo Raya Bramastia di Joglo Taman Sriwedari, Kota Solo yang
membacakan tiga butir tambahan yang berbunyi, ”Kami Putra-Putri Indonesia
Berideologi Satu, Ideologi Pancasila, dan Kami Putra-Putri Indonesia
Mengembalikan Konstitusi kepada UUD 1945 yang asli”.
Ketua
Gerakan Pemuda Anti-Korupsi Solo Raya Bramastia menyatakan, reformasi
semestinya tidak membuat bangsa ini melupakan gagasan para pendiri bangsa
mengenai bangsa ini.
Wakil
Gubernur Jawa Tengah Rustriningsih, dalam sambutan yang dibacakan Kepala Bidang
Pembangunan Badan Koordinasi Wilayah II Jawa Tengah Bambang Sudarmono,
mengatakan deklarasi ini hendaknya tidak sebatas seremoni, tetapi diwujudkan
dalam bentuk kebangkitan pemuda untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
dalam mengisi kemerdekaan.
Di
titik nol kilometer Yogyakarta, ratusan siswa sekolah menengah atas menggelar
deklarasi sekolah Indonesia sejahtera. Deklarasi ini muncul sebagai bentuk
keprihatinan terhadap maraknya aksi kekerasan, khususnya kekerasan di
lingkungan sekolah.
Dalam
kesempatan ini, sekitar 400 siswa dari beberapa SMA dan SMK se-Yogyakarta
menyampaikan empat poin deklarasi. Poin pertama, pernyataan kecintaan pada
Tanah air; poin kedua, komitmen menjunjung tinggi nilai budaya; poin ketiga,
berjanji saling menghormati dan menghargai perbedaan; serta poin keempat,
berkomitmen saling menjaga dan tidak saling menjatuhkan”.
Selain
anak-anak SMA dan SMK, ribuan mahasiswa dan pelajar dari berbagai macam asrama
di Yogyakarta juga menyampaikan deklarasi kongres pemuda Nusantara yang
berbunyi, tolak bentuk kekerasan apa pun, kembali ke ideologi Pancasila,
optimalkan peran lembaga dan media untuk selesaikan persoalan kekerasan, serta
membangun komitmen dan kesadaran bersama untuk memberantas korupsi.
Rektor
Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, Pratikno, yang juga hadir dalam upacara tersebut
mengatakan spirit Sumpah Pemuda
jangan sampai berhenti pada pernyataan deklarasi semata, tetapi membutuhkan
implementasi dalam kehidupan sehari-hari. ”Pemuda harus mampu meningkatkan
kualitas akademis, integritas moral, serta meningkatkan kemampuan kepemimpinan
dan manajerial untuk menyongsong masa depan”(Kompas, Senin 29 Oktober 2012,
Halaman 4, Kolom 5-7).
Deklarasi
pemuda jilid II yang dikumandangkan dari kota pelajar yang selalu berkomitmen
kuat untuk menjaga serta melestarikan kearifan lokal itu patut dimaknai sebuah
permenungan serta refleksi Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 di sela-sela
terjadinya degradasi karakter moral para pemuda masa kini akibat ulah
segelintir pemuda yang doyan tawuran, bentrok, pengguna Narkoba, seks bebas,
geng motor, serta aneka tindakan kriminal lainnya. Sehingga berbagai prestasi
gemilang yang telah diraih putra-putri bangsa di fora internasional seperti
juara Olimpiade Matematika, Fisika, serta mobil Esemka, juara dunia tinju dan
lain-lain tenggelam akibat ulah segelintir pemuda yang menimbulkan keresahan,
kecemasan, ketidaknyamanan, ketidakamanan, serta situasi mencekam sebagaimana
diberitakan media massa di republik ini.
Nasionalisme Pemuda Jilid II.
Pembentukan karakter
kebangsaan dan keindonesiaan dimulai sejak Gerakan Budi Utomo 1908, Sumpah
Pemuda 28 Oktober 1928, selanjutnya Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945
sebagai pernyataan atau maklumat ke seluruh dunia lahirnya sebuah negara-bangsa
merdeka yaitu Negara Republik Indonesia.
Para
pemuda di seluruh penjuru Nusantara telah mampu melahirkan Nasionalisme Jilid I
yakni perjuangan perebutan kemerdekaan dari tangan kolonial melalui perjuangan
bersama seluruh rakyat Nusantara dimotori para pemuda tampil di garda terdepan
rela menanggalkan fanatisme sektarianis-primordialis seperti; suku, agama, ras,
antargolongan/SARA maupun faham kedaerahan menjadi faham kebangsaan dan
keindonesian sebagaimana isi Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yakni; bertanah air
satu, tanah air Indonesia, berbangsa satu, bangsa Indonesia, berbahasa satu,
bahasa Indonesia.
Nasionalisme
Jilid I merupakan jawaban nyata seluruh rakyat Indonesia atas kekejaman,
kekejian, serta kebiadaban penjajah kolonial di bumi Nusantara, dimana seluruh
anak-anak Nusantara tanpa pandang bulu dijadikan lahan eksploitasi tanpa
kedaulatan. Hasil kekayaan Nusantara diboyong ke negara asal penjajah sementara
rakyat Nusantara diperlakukan secara tidak berkeadilan. Kerja rodi, tanaman
paksa, romusa, dan lain sebagainya adalah contoh nyata pengalaman pahit yang
dirasakan rakyat Nusantara sebagai konsekwensi negara terjajah di masa lalu.
Kesamaan
senasib sependeritaan, perlakuan ketidakadilan, pemerkosaan hak-hak rakyat di
bumi Nusantara itulah mempersatukan perjuangan seluruh rakyat Nusantara menuju
perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Sehingga Nasioanalisme Jilid I bangsa
Indonesia yang dimotori para pemuda adalah perjuangan kemerdekaan Republik
Indonesia 17 Agustus 1945.
Kini
setelah 84 tahun Sumpah Pemuda peran strategis pemuda Indonesia sebagai garda
terdepan perekat bangsa terkesan mengalami degradasi ditengah-tengah
masyarakat, bangsa maupun negara karena fakta kekinian menunjukkan situasi
kondisi paradoksal seperti maraknya tawuran antar pelajar, tawuran antar
mahasiswa, bentrok antar organisasi kepemudaan (OKP), tindakan kriminal, geng
motor, penyalahgunaan Narkoba, seks bebas, dan lain-lain menjadikan eksistensi
pemuda semakin dipertanyakan.
Peran
strategis pemuda seluruh Indonesia untuk mencapai kemerdekaan bangsa adalah
fakta sejarah yang tidak boleh dilupakan serta diingkari sehingga tidaklah
terlalu berlebihan bila dikatakan pemuda adalah aset bangsa, tiang bangsa,
serta pewaris tongkat estafet kepemimpinan bangsa maha penting bagi
kelangsungan, kelanggengan bangsa Indonesia sepanjang masa.
Akan
tetapi, perjuangan Pemuda Jilid I yakni merebut kemerdekaan bangsa Indonesia
dari tangan penjajah kolonial belum lah usai sebab pada Alinea kedua Pembukaan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 secara gamblang dikatakan, ”Dan
perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang
berbahagia dengan selamat sentosa menghantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu
gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil
dan makmur”.
Para
pemuda sebelum dan saat kemerdekaan bangsa Indonesia yakni Gerakan Bung Utomo
1908, Sumpah Pemuda 28 Oktober 1945, Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus
1945 telah menghantarkan rakyat
Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia dengan selamat
sentosa yang merupakan saat yang berbahagia yakni lahirnya satu bangsa merdeka,
berdaulat di percaturan bangsa-bangsa dunia.
Pernyataan
pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia bermakna bahwa proklamasi
kemerdekaan adalah jembatan untuk mewujudkan kemerdekaan sejati yakni terwujudnya
masyarakat makmur, sejahtera, serta berkeadilan. Sebab makna sejati sebuah
kemerdekaan sebagaimana ditegaskan Ho
Chi Minh adalah, ”Bahwa kemerdekaan bangsa adalah kemerdekaan mayoritas rakyat,
adalah untuk menciptakan kebahagiaan murni dan merata kepada seluruh rakyat,
dan kemerdekaan hanya pantas dinamakan sebagai kemerdekaan adalah dalam hal
dalam negeri dimaksud tidak ada lagi yang masih menderita atau yang masih belum
mengalami kebahagiaan dalam hidupnya” (Fajar As, 1998).
Peran
strategis pemuda pemegang tongkat estafet kepemimpinan bangsa pasca kemerdekaan
tentu harus mampu mengisi kemerdekaan itu secara nyata. Sebab kemerdekaan
bukanlah akhir dari perjuangan pergerakan pemuda Indonesia, tetapi titik awal
mewujudkan kehidupan kebangsaan yang bebas, merdeka, bersatu, berdaulat, adil
dan makmur.
Oleh
karena itu, aras perjuangan pergerakan pemuda jilid II adalah memenuhi
janji-janji kemerdekaan yakni mendorong terwujudnya perlindungan segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia tanpa kecuali.
Fakta
empirik yang terjadi ditengah-tengah kehidupan masyarakat, bangsa pasca
kemerdekaan adalah angka kemiskinan, angka pengangguran, angka kebodohan,
ketidakadilan, diskriminasi, ketidaknyamanan, korupsi, kolusi dan nepotisme
(KKN) masih tinggi sehingga janji kemerdekaan untuk menghadirkan kebahagiaan
kepada seluruh rakyat Indonesia masih belum terwujud hingga saat ini.
Pemuda
sebagai pewaris bangsa, agen pembaharuan dan pembangunan, pemegang tongkat
estafet kepemimpinan bangsa tentu memiliki tanggung jawab untuk merumuskan ikon
perjuangan pergerakan pemuda dari fakta emprik yang membelenggu bangsa saat
ini.
Issu
kemiskinan, pengangguran, kebodohan, ketidakadilan, diskriminasi, KKN, serta
penguasaan investasi asing atas kekayaan negara, termasuk sumber-sumber
kekayaan negara yang menguasai hajat hidup rakyat banyak harus segera dijadikan
musuh bersama seluruh pemuda di bumi Nusantara agar bangsa Indonesia memiliki
kedaulatan di mata dunia internasional. Bukan justru sebaliknya, membangkitkan
kembali faham-faham sektarianis-primordialis seperti; suku, agama, ras,
antargolongan/SARA maupun fanatisme kedaerahan menjadi sumbu pemantik
disintegrasi bangsa yang mengancam ”bubar” republik ini.
Para
pemuda dengan tingkat intelektualitas yang semakin meningkat bila dibandingkan
ketika republik ini memperjuangkan kemerdekaan di masa lalu seharusnya lebih cerdas mengetahui, memahami
makna sejati kebangsaan dan keindonesiaan pluralistik sehingga gesekan,
benturan, ataupun konflik yang dilatari perbedaan, keragaman, kemajemukan
bangsa Indonesia tidak pelu lagi dipertentangkan, dibenturkan, termasuk pada
pemilihan kepala daerah (Pilkada) di seluruh Indonesia.
Oleh
karena itu, mempertentangkan issu-issu sektarianis-primordialis dengan alasan
apapun juga merupakan pengingkaran, pengkhianatan terang-benderang terhadap
makna sejati Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, serta Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia 17 Agustus 1945 yang menjadi ancaman laten keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila, UUD Republik Indonesia 1945,
serta Bhinneka Tunggal Ika.
Penutup.
Peringatan
hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang dirayakan setiap tahun bukanlah sekadar
upacara seremoni, tetapi napak tilas lahirnya INDONESIA melalui komunike
bersama putra-putri seluruh rakyat Nusantara bersumpah dan mengakau, ”Bertanah
air satu, tanah air Indonesia, berbangsa satu, bangsa Indonesia, berbahasa
satu, bahasa Indonesia”.
Satu Indonesia
untuk seluruh rakyat, seluruh rakyat untuk satu Indonesia . Indonesia adalah “Rumah Besar” warisan segenap
rakyat Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia .
Satu
nusa, satu bangsa, satu bahasa kita yaitu INDONESIA . Hai Pemuda-Pemudi Indonesia di pundak mu lah menjaga, merawat,
melestarikan, membangun kejayaan Indonesia sepanjang masa.
Medan, 28 Oktober 2012
Thomson Hutasoit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.