Menilik Diaspora Batak Membangun Bona Pasogit
Oleh : Thomson Hutasoit
Pendahuluan.
Sekedar mengingatkan generasi Batak, khususnya Batak-Toba leluhur kita sangat menginginkan generasi-generasinya supaya tidak pernah lupa dengan tanah leluhur (bona pasogit-red), bahkan salah satu lirik lagu ‘Arga do bona ni pinasa’ dengan tegas dikatakan” Arga do bona ni pinasa di halak na bisuk marroha ai do tona ni ompunta tu hita angka pinomparna” artinya,bahwa bagi orang-orang bijak tanah leluhur (Bona Pinasa) sangat lah penting sehingga tidak boleh dilupakan selama hidupnya. Dao pe ho nuaeng marhuta sambulon do na hot tongtong, sai ingot mulak dung matua, sai mulak-mulak ma tu huta. Artinya, sejauhmana pun tempat perantauan tapi kampung halaman tidak pernah terlupakan. Inilah salah satu himbauan atau nasehat (poda-red) para leluhur Batak, khususnya Batak-Toba kepada seluruh generasinya dimanapun berada.
Yang menjadi pertanyaan saat ini adalah sejauhmana makna nasehat (poda-red) leluhur itu diwujudkan para generasi Batak yang telah menyebar (diaspora-red) di berbagai belahan dunia serta telah mencapai kemajuan baik secara ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) maupun kemampuan finansial karena generasi Batak, khususnya Batak-Toba telah banyak mencapai tingkat pendidikan prestisius maupun konglomerat di tempat perantauan masing-masing. Sementara Bona Pasogit atau tanah leluhur Batak, khususnya Batak-Toba seperti Kabupaten Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Toba Samosir, Samosir, Sibolga, Tapanuli Tengah masih tetap merindukan sentuhan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) serta modal investasi untuk mengubah raut wajah Bona Pasogit agar tidak lagi menyandang sebutan peta kemiskinan yang menjadi stigma negatif (turik ngenge-red) di fora nasional maupun internasional.
Makna sejati tujuan merantau (diaspora) putera-putri Batak, khususnya Batak-Toba adalah mengubah nasib serta mencapai tingkat kemajuan di rantau orang sebab di Bona Pasogit masih diselimuti berbagai kesulitan hidup (alani pogos-red) sehingga selalu berusaha untuk mencapai kemajuan di perantauan. Tujuan merantau sejatinya bukan lah meninggalkan dan melupakan tanah leluhur atau Bona Pasogit karena Bona Pasogit adalah sambulon yakni tempat menutup mata dan beristirahat untuk selama-lamanya. Hal itu dapat dibuktikan melalui masih banyaknya animo orang Batak, khususnya Batak-Toba ingin dikebumikan (disuanthon-red) di kampung halamannya atau Bona Pasogitnya.
Animo besar orang Batak, khususnya Batak-Toba ingin dikebumikan di Bona Pasogit di akhir hidup dengan perhatiannya terhadap Bona Pasogit ketika mencapai keberhasilan di perantauan suatu hal penting untuk direnungkan dengan sungguh-sungguh oleh setiap generasi Batak agar Bona Pasogit bukan sekadar tempat penampungan orang meninggal (parbandaan-red) yang menambah stigma negatif berkepanjangan. Artinya, Bona Pasogit hanya dijadikan tempat persemayaman orang mati bukan tempat harapan orang hidup sebab diaspora Batak, khususnya Batak-Toba tidak pernah secara nyata-nyata mendatangkan kemaslahatan dan berkah terhadap Bona Pasogit sebab generasi Batak lupa diri, lupa asal-usul, lupa tanah leluhur ketika hidup diselimuti glamour keberhasilan di rantau orang seperti lirik lagu ‘Di Topi Parik’.
Cukilan lirik lagu ‘Di Topi Parik’ rasanya penting untuk dicamkan kembali setiap generasi Batak yang berhasil di perantauan yakni “ai tung tarida ma da goar mi amang sahat tu ujung ni portibion, alai lupa do ho da di lage-lage podoman mi naung maribak i, dohot dalan na margamboi amang da na di toru ni sampilpil i, ido huta hatubuan mi amang lupa do ho. Holan uap na so marimpola i na mangharaphon hapistaran mi, ima upani na manubuhon ho dangol nai”. Dalam terjemahan bebas bermakna ketenaran nama serta keberhasilan telah menyebar ke seluruh belahan dunia, tetapi lupa dengan penderitaan di kampung halaman sehingga keberhasilan itu tidak bermakna sama sekali terhadap sanak famili (haha anggi-red) di Bona Pasogit. Bahkan menimbulkan sumpah serapah karena akan disetarakan dengan si Malin Kundang, si Sampuraga yang malu terhadap ibu kandungnya karena miskin.
Diaspora Batak.
Diaspora Batak adalah penyebaran dan persebaran Batak di berbagai belahan Nusantara bahkan dunia yang tujuannya memperbaiki nasib karena di Bona Pasogit mengalami berbagai kesulitan hidup. Kesulitan-kesulitan hidup itu lah pemicu utama generasi-generasi Batak, khususnya Batak-Toba meninggalkan tanah leluhur atau Bona Pasogit ke rantau orang dengan maksud memperbaiki nasib lebih baik.
Penyebaran dan persebaran Batak di berbagai belahan dunia tentu memiliki konsekwensi sumber daya manusia (SDM) sebab para perantau Batak yang meninggalkan Bona Pasogit sudah barang tentu mempunyai tingkat intelektualitas diatas generasi yang tinggal di Bona Pasogit, akibatnya perkembangan kemajuan Bona Pasogit mengalami perlambatan dari yang semestinya seandainya generasi-generasi Batak yang memiliki intelektualitas mumpuni masih tetap berdomisili di Bona Pasogit. Cerdik pandai Batak lebih cenderung memilih berdomisili di perantauan karena peluang memperoleh keberhasilan jauh lebih besar bila dibandingkan di Bona Pasogit. Salah satu contoh konkret adalah enggannya para dokter spesialis generasi Batak mengabdikan diri di Bona Pasogit seperti di Kabupaten Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Toba Samosir, Samosir, Sibolga, Tapanuli Tengah dan lain sebagainya, padahal dokter-dokter spesialis hebat di kota-kota besar banyak dari generasi Batak, khususnya Batak-Toba. Demikian dengan profesi-profesi lain semisal Advokat atau Pengacara kesohor tingkat nasional maupun internasional banyak menyandang marga Batak, khususnya Batak-Toba.
Keberanian generasi-generasi Batak, khususnya Batak-Toba untuk merantau (diaspora) di negeri orang menjadikan generasi-generasi Batak tidak sulit ditemukan di berbagai belahan dunia. Migrasi Batak ke berbagai daerah maupun negara adalah migrasi sukarela sehingga merupakan pilihan hidup tanpa memberati negara atau pemerintahan sebagaimana program transmigrasi yang pernah dilakukan pemerintah Soeharto di era orde baru (Orba) yang lalu.
Sungguh menarik untuk dielaborasi sifat dan sikap diaspora Batak, khususnya Batak-Toba merantau di negeri orang sebab keberanian meninggalkan tanah leluhur atau Bona Pasogit memiliki berbagai konsekwensi hidup seperti kemampuan berasimilasi, kemampuan berkompetisi, kemampuan berasosiasi, dan lain sebagainya. Kemampuan-kemampuan seperti itu sangat berkorelasi dengan karakter Batak, khususnya Batak-Toba yang dilandasi falsafah hidup ‘Dalihan Na Tolu’ dalam arti seluas-luasnya. Sikap hormat (somba-red), hati-hati dan waspada (manat-red), serta sayang dan penganyom (elek-red) merupakan senjata pamungkas yang tidak pernah dilupakan setiap generasi Batak, khususnya Batak-Toba dimana pun berada.
Asimilasi atau penyesuaian sifat asli yang dimiliki dengan sifat lingkungan di perantauan merupakan salah satu kunci keberhasilan diaspora Batak dimana pun berada. Sadar atau tidak, diketahui atau tidak generasi-generasi Batak bahwa hal itu merupakan bukti nyata sesuai dengan simbol Batak yakni “Cicak” (Boraspati-red) yang mampu menempel di dinding vertikal ataupun di langit-langit rumah yang memangsa nyamuk-nyamuk sehingga manusia terhindar dari bahaya digigit nyamuk. Demikian halnya dengan orang Batak selalu memposisikan diri melindungi dan mengayomi pihak-pihak lain secara maksimal sehingga keberadaannya mudah berasimilasi dengan siapapun termasuk penduduk asli di daerah perantauan. Dedikasi, loyalitas serta karakter bersahaja terhadap sesama yang ditunjukkan orang Batak menjadikan hubungan komunikasi semakin cair terhadap siapapun.
Selain daripada itu, orang Batak, khususnya Batak-Toba di perantauan memiliki kemampuan asimilasi kebudayaan yakni penyesuaian diri terhadap kebudayaan dan pola-pola perilaku (KBBI, 2007) setempat karena itu pula lah orang Batak yang merantau di daerah Bandung sudah memiliki sifat seperti orang Sunda asli karena orang Batak selalu berprinsip ‘dimana tanah di pijak disitu langit di junjung’ (disi tano ni dege disi do langit di jungjung-red). Karena itu orang Batak, khususnya Batak-Toba selalu memosisikan tempat domisili sama dengan tanah leluhur atau Bona Pasogitnya sendiri. Ada satu adagium “Bulu so habuluan manang langge so halanggean, huta ni damang hatubuan, ndang marimbar tano hamatean” yaitu kampung halaman tempat kelahiran tapi dimanapun meninggal tidak lah jadi soal. Adagium ini menunjukkan bahwa generasi Batak selalu berprinsip dimanapun berada sama seperti berada di tanah leluhur atau Bona Pasogit sendiri. Karena itu, orang Batak di perantauan menampilkan diri menjadi agen kemajuan semaksimal mungkin walaupun sebagai orang pendatang.
Sifat komunal yang dilandasi falsafah Dalihan Na Tolu yakni somba marhula-hula, manat mardongan tubu, elek marboru menjadi salah satu elemen utama untuk membentuk hubungan erat sesama anak perantauan dan karena itu pula lah perkumpulan (Punguan-red) orang Batak, baik berdasarkan pertalian darah (marga-red) maupun pertalian berdasarkan daerah asal-usul sangat mudah ditemukan di daerah diaspora Batak. Dan lahirnya berbagai perkumpulan itu menjadikan orang Batak di perantauan tidak ada bedanya seperti tinggal di tanah leluhur atau Bona Pasogit sendiri. Sifat komunal Batak di perantauan kemudian melahirkan tatanan baru dimana falsafah Dalihan Na Tolu yang merupakan elemen kekeluargaan dan kekerabatan Batak, khususnya Batak-Toba berkembang menjadi Dalihan Na Tolu pa opat Sihal-sihal yakni unsur Hula-hula, Dongan Tubu, Boru, serta Dongan Sahuta. Dengan demikian komunitas Batak, khususnya Batak-Toba di perantauan menjadikan falsafah hidup “somba marhula-hula, manat mardongan tubu, elek marboru, denggan mardongan sahuta”. Inilah salah satu sisi positif diaspora Batak yang dilahirkan asimilasi sikap yakni proses pudarnya prasangka terhadap golongan-golongan ditengah kehidupan diaspora Batak.
Dari berbagai prestasi serta prestise yang dicapai generasi Batak diperantauan yang notabene sebagai orang pendatang dan tidak mustahil merupakan etnik minoritas menunjukkan bahwa orang Batak, khususnya Batak-Toba telah mampu melakukan terobosan asimilasi struktural yakni pemberian kesempatan kepada golongan minoritas untuk menjadi warga lembaga sosial primer dari golongan mayoritas (KBBI, 2007). Maka dengan demikian tidak perlu heran bila orang Batak mampu menduduki berbagai posisi strategis di daerah yang bukan tanah leluhur atau Bona Pasogitnya, misalnya Sekretaris Daerah DKI Jakarta, kepala daerah, DPR RI, DPD RI dan lain sebagainya. Keberhasilan-keberhasilan seperti itu merupakan bukti nyata keberhasilan diaspora Batak yang seharusnya membawa pengaruh positif terhadap percepatan perkembangan kemajuan Bona Pasogit jika para anak rantau Batak belum tertular penyakit jauh di mata jauh di hati (holip sian mata holip sian roha-red).
Akan tetapi keberhasilan diaspora Batak di perantauan masih belum secara maksimal membawa multiplier effect terhadap perkembangan kemajuan Bona Pasogit karena masih dalam hitungan jari tangan para perantau yang berhasil benar-benar memberikan perhatian maksimal terhadap upaya pengentasan kemiskinan dan ketertinggalan Bona Pasogit. Kita patut mengacungkan jempol kepada Letjend (Purn) TB Silalahi yang telah membangun Yayasan Pendidikan Sopo Surung, Jenderal (Purn) Luhut Panjaitan yang membangun Yayasan DEL untuk melahirkan sumber daya manusia (SDM) unggul dari Bona Pasogit, DR GM Panggabean (alm) yang membangun Universitas Tapanuli Utara (UNITA) dan lain-lain sehingga jendela kemajuan Bona Pasogit mulai terbuka era belakangan ini. Namun demikian, bila dilihat dari keberhasilan anak perantauan (diaspora) Batak, khususnya Batak-Toba jumlah yang telah memberikan perhatian serta menginvestasikan kapitalnya di Bona Pasogit masih sangat minim. Padahal jika anak perantauan (diaspora) yang berhasil di daerah lain mau menanamkan investasinya di Bona Pasogit maka sebutan peta kemiskinan akan berubah dengan cepat menjadi “Bona Pasogit Sejahtera (Bona Pasogit Tano Hasonangan-red)” impian umat manusia. Inilah yang dinantikan Bona Pasogit, bukan diskusi, seminar, sarasehan atau apapun namanya yang hanya pelipur lara atas penderitaan tanah leluhur Batak, khususnya Batak-Toba.
Pemerintah daerah di Bona Pasogit (Kabupaten Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Toba Samosir, Samosir, Sibolga, Tapanuli Tengah) perlu juga memikirkan pemberian penghargaan (A Ward) kepada putera-puteri Bona Pasogit yang telah memberikan perhatian serta kepedulian terhadap perkembangan Bona Pasogit. Penghargaan Bona Pasogit A Ward akan menjadi instrumen pendorong bagi diaspora Batak-Toba untuk berlomba-lomba memberikan perhatian serta kepedulian pembangunan Bona Pasogit. Jangan seperti selama ini, memberikan perhargaan atau bulang-bulang kepada seseorang, padahal seseorang itu belum menunjukkan aksi nyata memajukan Bona Pasogit selain bernilai politis. Karena itu, pemberian penghargaan atau A Ward harus didasarkan pada fakta obyektif, transparan, akuntabel, serta kredibel sehingga pemberian penghargaan atau A Ward itu benar-benar sebuah penghargaan serta bisa diterima, disetujui semua pihak.
Gerakan Membangun Bona Pasogit (GMBP).
Lirik lagu ‘Arga do Bona ni Pinasa” sadar atau tidak adalah salah satu Gerakan Membangun Bona Pasogit (GMBP) yang sudah lama dilantunkan generasi-generasi Batak, khususnya Batak-Toba tetapi lantunan lirik lagu tersebut belum membumi melahirkan kesadaran untuk memacu perkembangan kemajuan tanah leluhur atau Bona Pasogit. ”Dao pe ho nuaeng marhuta sambulon do na hot tongtong, saingot mulak dung matua, sai mulak-mulak ma tu huta” adalah himbauan, peringatan, nasehat para leluhur Batak kepada generasinya sepanjang masa. Akan tetapi, himbauan, peringatan, nasehat para leluhur itu telah salah ditafsirkan para generasi Batak di perantauan sebab hanya diakhir hayat Bona Pasogit dirasa penting sementara di masa hidup dan masa kejayaan Bona Pasogit terkesan dilupakan sehingga capaian-capaian keberhasilan di rantau orang tidak secara nyata-nyata digunakan energi percepatan kemajuan tanah leluhur.
Fenomena yang terjadi adalah dikala seseorang perantau meninggal dunia (monding-red) maka jasad atau mayat yang bersangkutan diamanahkan kepada anak, dan keluarganya agar dibawa serta dikebumikan di Bona Pasogitnya. Membawa jasad atau mayat perantau Batak, khususnya Batak-Toba ke Bona Pasogit bukanlah suatu kesalahan atau dosa sebab Bona Pasogit adalah tanah leluhur atau Bona Pasogit orang Batak. Tetapi yang menjadi permenungan sekaligus pertanyaan adalah sejauhmana yang bersangkutan selama hidupnya memberikan perhatian terhadap perkembangan kemajuan Bona Pasogit ? Sebab apabila semasa hidup tidak pernah peduli dengan Bona Pasogit mengapa justru di akhir hayat menginginkan berkubur di tanah leluhur ? Padahal makna sejati dari ‘arga do bona ni pinasa’ diperlukan orang hidup (jolma na mangolu-red) serta orang bijak (na bisuk marroha-red) bukan orang-orang meninggal atau tempat berkumpul jasad-jasad orang meninggal atau pekuburan (parbandaan-red). Selain daripada itu, pasca terbukanya roda demokrasi langsung para anak perantauan banyak yang mencalonkan diri sebagai calon legislatif maupun calon-calon kepala daerah dengan alasan ingin mengabdikan diri untuk membangun Bona Pasogit. Akan tetapi pernyataan-pernyataan politis demikian perlu dicermati dengan seksama sebab perhatian serta kepedulian bukan semata-mata melalui kedudukan legislator atau eksekutif yang lebih berbobot kekuasaan. Dan bila dicermati dengan seksama fenomena pencalonan diri sebagai legislator maupun kepala daerah justru tidak berkorelasi dengan perhatian dan kepedulian sebelum-sebelumnya. Artinya, calon-calon tersebut baru memberikan perhatian serta kepedulian terhadap ketertinggalan, kemiskinan Bona Pasogit menjelang masa-masa pemilihan umum legislatif (Pileg) maupun pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) sehingga patut dicurigai hanya lah kamuflase politik, bukan didorong ketulusan, keikhlasan untuk membangun Bona Pasogit. Kondisi demikian sadar atau tidak akan merampas kesempatan putera-puteri daerah terbaik yang telah bersusah payah melakukan berbagai upaya memajukan Bona Pasogit selama ini.
Pola pikir yang hanya memerlukan Bona Pasogit di akhir hayat dan ketika pemilihan legislatif, pemilihan kepala daerah perlu segera dirubah serta diluruskan agar Bona Pasogit tidak hanya diposisikan tempat pekuburan (tambak, simin-red), tempat mendulang suara demi kekuasaan yang tidak memberi manfaat keekonomian selain daripada nilai budaya an sich serta mewujudkan kekuasaan. Revolusi berpikir dari memerlukan Bona Pasogit di akhir hayat serta meraih kekuasaan politis menjadi peduli Bona Pasogit semasa hidup dan tanpa nuansa pemilu melalui pemberian perhatian termasuk menanamkan investasi di Bona Pasogit perlu segera dilakukan seluruh generasi Batak yang telah sukses di rantau orang. Dengan demikian percepatan pembanguna kemajuan Bona Pasogit bisa diharapkan semakin maksimal. Peran, kepedulian diaspora Batak menjadi salah satu energi paling dahsyat mendorong kemajuan Bona Pasogit ke depan.
Visi-misi perkumpulan (punguan marga, punguan anak pangaranto-red) perlu diarahkan serta difokuskan menjadi alat pemersatu, penghimpun diaspora Batak melakukan ‘Gerakan Membangun Bona Pasogit/GMBP’ sehingga kesuksesan generasi Batak di negeri orang benar-benar menjadi lokomotif percepatan pembangunan Bona Pasogit. Pada masa gubernur Sumatera Utara Raja Inal Siregar pernah digelontorkan program ‘Marsipature Hutana Be/MHB’ tetapi program itu sepertinya tidak berkesinambungan, padahal program itu sangat baik dan positif untuk mengetuk hati nurani serta kepedulian anak rantau ke tanah leluhur atau Bona Pasogitnya. Seandainya program itu masih mengandung kelemahan-kelemahan di masa lalu tentu yang diperlukan adalah perbaikan-perbaikan supaya benar-benar memenuhi sasaran bukan menghentikannya sama sekali. Gerakan Membangun Bona Pasogit/GMBP yang memiliki makna yang sama dengan Marsipature Hutana Be/MHB perlu dikembangkan secara optimal jembatan kemajuan yang menghubungkan Bona Pasogit dengan diaspora Batak dimana pun berada. Sehingga tidak muncul lagi ‘Holip sian mata, holip sian roha’ karena komunikasi dua arah antara Bona Pasogit dengan diaspora Batak berlangsung intensif dan berkesinambungan.
Membangun jembatan komunikasi dua arah antara Bona Pasogit dengan Diaspora Batak perlu segera dilakukan pemerintah daerah di Bona Pasogit (Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Toba Samosir, Samosir, Sibolga, Tapanuli Tengah) untuk menarik potensi diaspora Batak melakukan investasi di Bona Pasogit. Oleh sebab itu, pemerintah daerah di Bona Pasogit sudah saatnya melakukan komunikasi intensif serta berkesinambungan antar pemerintah daerah, antara pemerintah daerah dengan diaspora Batak dimana pun berada. Masing-masing harus mampu duduk bersama, setara dan sederajat dengan membuang ego sentris sehingga terwujud sinergi dan kerjasama untuk menggerakkan pembangunan di Bona Pasogit.
Bona Pasogit memiliki potensi maha dahsyat, baik potensi sumber daya manusia (SDM) maupun potensi sumber daya alam (SDA) buktinya generasi Batak memiliki tingkat kecerdasan sangat tinggi sehingga mampu menduduki posisi strategis di berbagai bidang, baik di tingkat nasional maupun internasional. Demikian juga potensi sumber daya alam (SDA) Bona Pasogit merupakan daerah penghasil energi listrik di Sumatera Utara yang tersebar di berbagai kabupaten. Potensi kehutanan, pertambangan, pertanian, perkebunan rakyat seperti kebun karet, kemenyaan, peternakan, perikanan dan lain sebagainya sesuai klimatologi, geografis, serta kearifan lokal Bona Pasogit. Belum lagi potensi Danau Toba sebagai destinasi pariwisata dengan panorama alam yang indah sehingga mendapat julukan ‘Tao ni sude na tao’ (danau dari seluruh danau). Predikat Danau Toba ‘raja ni sude na tao’ (raja dari seluruh danau) bukanlah sebutan tak berdasar tetapi sebutan nyata sebab Danau Toba merupakan danau terbesar ketiga di dunia serta danau vulkanik terbesar diatas jagat raya ini. Tapi sayang, karunia besar Tuhan Yang Maha Esa itu belum mampu dikembangkan maksimal mendatangkan kemakmuran, kesejahteraan rakyat sekitarnya. Sementara di negara-negara lain yang tidak memiliki potensi pariwisata setara keindahan panorama Danau Toba mampu menjadikan dirinya destinasi wisata serta penghasil pendapatan daerah semisal wisata kuliner, agrowisata dan lain sebagainya. Sehingga sulit diterima akal sehat bila terjadi “penelantaran” Danau Toba dalam kebijakan pemerintah daerah kabupaten/kota maupun pemerintah provinsi Sumatera Utara seperti terkesan selama ini.
Gerakan Membangun Bona Pasogit/GMBP merupakan salah satu kiat menarik investasi dari diaspora Batak melalui jembatan jejaring “Rindu Kampung” yang dimotori pemerintah daerah Bona Pasogit dengan menyuguhkan matriks-matriks peluang investasi yang didukung inventarisasi, pemetaan potensi daerah di kabupaten Bona Pasogit. Inventarisasi, pemetaan serta matriks-matriks peluang investasi tentu haruslah dihasilkan melalui riset atau penelitian kredibel sehingga pemerintah daerah Bona Pasogit sudah saatnya menjadikan Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) merupakan liding sector atau ujung tombak pembangunan, bukan seperti selama ini dijadikan inferior atau pelengkap saja.
Gerakan Membangun Bona Pasogit/GMBP dengan merevitasilasi ‘Arga do Bona ni Pinasa di halak na bisuk marroha’ harus dikumandangkan kembali secara terus-menerus untuk mengetuk hati diaspora Batak yang telah berhasil di rantau orang. Gerakan Rindu Kampung/GRK sebagaimana tradisi ‘Mudik’ di daerah-daerah lain adalah jembatan komunikasi dua arah antara diaspora Batak dengan tanah leluhur atau Bona Pasogit apalagi mampu dijadikan wahana memberikan informasi peluang investasi dengan berbagai keunggulan yang didapatkan bila menanamkan modalnya di Bona Pasogit. Oleh karena itu, pemerintah daerah di Bona Pasogit perlu memikirkan event temu kangen (Pasombu Sihol-red) sebagai agenda tahunan dengan menu-menu menarik sesuai kearifan lokal yang ada di Bona Pasogit. Dan tidak mustahil event-event seperti ini akan mampu mengetuk rasa rindu kampung diaspora Batak sebagaimana pesta bunga yang dilaksanakan di Kabupaten Karo dan lain sebagainya sehingga anak rantau yang berhasil di negeri orang ingin berkontribusi di tanah leluhurnya.
Bona Pasogit adalah pusat kebudayaan Batak, khususnya Batak-Toba sehingga perlu dikembangkan maksimal menjadi laboratorium budaya Batak agar tidak hilang jati diri. Salah satu permasalahan terbesar bangsa ini pada era millennia adalah tergerusnya karakter serta jati diri bangsa. Demikian juga dengan bangso Batak, khususnya Batak-Toba yang sebahagian generasi-generasi mudanya khusus di daerah dispora (perantauan) tidak lagi memahami eksistensi serta jati dirinya. Karena itu lah penulis sangat setuju dan mendukung program Bupati Humbang Hasundutan Drs. Maddin Sihombing, MSi menggalakkan pendidikan kearifan lokal yakni pelajaran ‘Aksara Batak’ di Kabupaten Humbang Hasundutan sebagai muatan lokal. Program ini merupakan langkah nyata melestrikan kearifan budaya, membangun karakter, jati diri sekaligus menjadikan Bona Pasogit pusat kebudayaan Batak, khususnya Batak-Toba. Langkah brilian Bupati Humbang Hasundutan Drs. Maddin Sihombing, MSi menjadikan kearifan budaya salah satu program pembangunan karakter dan jati diri hendaknya dilaksankan seluruh kabupaten di Bona Pasogit (Tapanuli Utara, Toba Samosir, Sibolga, Tapanuli Tengah) sehingga generasi-generasi Batak, khususnya Batak-Toba bangga dengan budayanya sendiri. Sebab pembangunan fisik tanpa dibarengi pembangunan karakter moral sesuai kearifan budaya akan melahirkan generasi-generasi tak berkarakter dan berjati diri. Salah satu contoh dengan melupakan kearifan lokal “Ndang jadi panganon sian toru ni rere” dalam terjemahan bebas tidak boleh dimakan dari jalan yang tak benar, maka penyakit kronis korupsi telah menjangkiti pemegang amanah di negeri ini. Bila kearifan-kearifan lokal dilestarikan serta dibumikan maka para pemegang amanah tidak akan melakukan penyimpangan serta penyelewengan ketika mendapat amanah sebab di dalam dirinya telah tertanam nilai-nilai budaya yang harus dijaga, dipelihara selama hidupnya.
Membangun Kemandirian Daerah.
Membangun kemandirian daerah dalam arti positif adalah salah satu hakikat otonomi daerah ataupun desentralisasi sehingga daerah kabupaten/kota mampu membangun kedaulatan daerah masing-masing sesuai tipikal, spesifikasi daerah dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Karena itu, pemerintah daerah termasuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) harus mampu melahirkan terobosan-terobosan unggul untuk mempercepat laju pembangunan di segala bidang yang menjadi kewenangan daerah sesuai Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Artinya, pemerintah kabupaten/kota dimungkinkan menelorkan model-model pembangunan sesuai kearifan lokal daerah masing-masing sehingga muncul produk-produk spesifik unggulan berdaya saing, baik di tinggat nasional maupun internasional. Kecerdasan serta kepiawian pemerintah daerah kabupaten/kota bersama DPRD melahirkan program-program berbasis kerakyatan serta kearifan lokal memungkinkan laju percepatan pembangunan antar daerah berbeda-beda. Oleh karena itu, DPRD selaku salah satu pelaku politik pembangunan sangat penting pada era otonomi daerah, seperti yang dianut Indonesia kini. Peran penting dari DPRD tercermin pada kegiatannya yang bukan saja menyetujui usulan peraturan daerah (Perda) dari pemerintah daerah (Pemda), melainkan melakukan inisiatif untuk mengajukan Perda (Drs. Suprapto & Ir. Rob van Raaij, 2007).
Namun dalam kenyataannya, kemauan serta kemampuan DPRD kabupaten/kota mengajukan Perda inisiatif DPRD masih sangat rendah, padahal DPRD selaku wakil rakyat mengetahui serta memahami apa yang benar-benar diinginkan atau diharapkan rakyat dari pemerintah daerah. Ketidakmauan, ketidakmampuan DPRD kabupaten/kota menangkap serta menjabarkan aspirasi rakyat yang diwakili memunculkan gelombang unjuk rasa atau demontrasi yang tidak mustahil berujung anarkhis. Salah satu contoh, hingga saat ini DPRD kabupaten di Bona Pasogit (Kabupaten Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Toba Samosir, Samosir, Sibolga, Tapanuli Tengah) belum satu pun mengajukan peraturan daerah (Perda) inisiatif DPRD untuk melindungi hak-hak keperdataan masyarakat hukum adat (hutan masyarakat hukum adat, tanah ulayat), padahal tuntutan-tuntutan masyarakat tentang hal itu sudah memakan korban serta menimbulkan trauma seperti yang dialami masyarakat hukum adat Desa Sipituhuta-Pandumaan, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan.
Bukankah hakikat otonomi daerah adalah meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan ? Sebagai koreksi terhadap sistem pemerintahan sentralistik- otoritarian yang memosisikan masyarakat daerah selama ini hanya obyek pembangunan serta menerima “halusinasi” pemerintah pusat tanpa memperhitungkan kondisi riil daerah sehingga banyak proyek sekadar proyek yang tidak bermanfaat terhadap akselerasi kemakmuran serta kesejahteraan rakyat daerah. Sesungguhnya, paradigma pembangunan di era otonomi daerah adalah menyertakan seluruh stakeholders pelaku pembangunan sebagai wujud nyata model bottom-up participative sehingga masyarakat daerah bukan lagi hanya obyek tetapi sekaligus subyek pembangunan di daerah. Dan menurut Drs. Suprapto & Ir. Rob van Raaij disebut model musyawarah dalam perumusan kebijakan publik, atau deliberative model of public policy.
Meskipun penetapan kebijakan publik tetap domain pemerintah, tetapi proses dan muatan secara intens melibatkan publik dengan pola partisipatif, dan bukan mobilisatif. Kebijakan pola deliberatif diwujudkan dengan pembentukan Forum untuk Pembangunan Ekonomi dan Penciptaan Lapangan Kerja (Forum for Economic Development and Employment Promotion/FEDEP) yakni sebuah forum lintas pelaku atau stakeholders forum yang bertujuan menjadi wadah dimana Pemerintah Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dan Masyarakat Daerah, khususnya pelaku bisnis di daerah, bersama-sama merumuskan agenda kebijakan pembangunan ekonomi daerah. Produk-produk yang dihasilkan FEDEP kemudian dipublikasikan ke publik seluas-luasnya dengan demikian calon-calon investor termasuk diaspora Batak yang telah berhasil di negeri orang tertarik menanamkan investasinya di Bona Pasogit.
Pembangunan yang berbasis pada partisipasi masyarakat dilihat dari sudut pandang sosial budaya sebenarnya sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia. Kerjasama saling menguntungkan, gotong royong merupakan bentuk-bentuk partisipasi yang sudah menjadi bagian tradisi dalam masyarakat. Kebijakan lokal seperti budaya konsensus (musyawarah untuk mencapai mufakat) memiliki peranan penting dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia (Drs. Suprapto & Ir. Rob van Raaij, 2007). Bukti-bukti konkret seperti itu masih mudah ditemukan di tanah leluhur atau Bona Pasogit apalagi dilakukan dengan pendekatan kebudayaan (cultural approach) seperti pemberian lahan cuma-cuma untuk kepentingan publik. Akan tetapi, bila dilakukan dengan pendekatan kekerasan pasti akan mendapat perlawanan keras, sebab kearifan lokal Batak, khususnya Batak-Toba mengatakan “Metmet si hapor lunjung, dijujung do uluna” artinya, sekecil apapun strata sosial orang Batak pantang dilecehkan harkat dan martabatnya. Karena itu, kunci sukses melakukan Gerakan Membangun Bona Pasogit/GMBP menerapkan model bottom-up participative melalui pendekatan kebudayaan (cultural approach) serta kearifan lokal ditengah-tengah masyarakat setempat.
Adanya stigma negatif yang dilontarkan pihak-pihak yang tidak mengetahui serta memahami kearifan lokal Batak, dimana sering ditudingkan bahwa sangat sulit melakukan pembangunan di Bona Pasogit perlu diluruskan sebab tudingan seperti itu hanya lah postulat-postulat murahan dan picisan. Masyarakat Bona Pasogit sangat mudah menerima laju kemajuan dengan satu syarat pembangunan dan kemajuan apa pun yang ditawarkan haruslah dilakukan melalui cultural approach tanpa itu pasti mendapat perlawanan dan penolakan keras. Pola-pola pendekatan kekerasan dalam bentuk apa pun dapat dipastikan akan gagal sama sekali sebab tipikal masyarakat Bona Pasogit bukan penakut, tetapi pemberani, berkarakter serta berjati diri. Karena itu, pendekatan ampuh adalah melalui sentuhan adat budaya sebagai kearifan lokal yang telah diwariskan para leluhur. Apabila mampu melakukan hal itu dengan optimal apa pun yang hendak dilakukan pasti mencapai sukses gemilang karena telah menyentuh nilai-nilai keluhuran yang dijunjung serta diyakini masyarakat Bona Pasogit.
Penutup.
Diaspora Batak, khususnya Batak-Toba merupakan modal besar memacu laju pembangunan di Bona Pasogit sehingga pemerintah daerah di Bona Pasogit perlu melakukan langkah-langkah konkret untuk mengetuk hati dan kepedulian putera-puteri Bona Pasogit yang telah berhasil di perantauan agar berkontribusi mengentaskan kemiskinan, ketertinggalan tanah leluhurnya. Inisiatif pemerintah daerah di Bona Pasogit membentuk jembatan komunikasi dua arah antara Bona Pasogit dengan anak rantau harus dilakukan intensif dan berkesinambungan. Pemerintah daerah perlu membentuk wadah permanen apakah berbentuk forum atau apa pun namanya , tetapi wadah tersebut perlu terlembaga bukan temporer dan insidental.
Pemerintah daerah di Bona Pasogit (Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Toba Samosir, Samosir, Sibolga, Tapanuli Tengah) perlu melakukan kerjasama antar daerah untuk melahirkan event bersama secara berkesinambungan untuk menggelorakan “Gerakan Membangun Bona Pasogit/GMBP” dengan sprit ‘Arga do Bona ni Pinasa di halak na bisuk marroha’ sehingga hati nurani diaspora Batak, khususnya Batak-Toba yang telah berhasil di perantauan tersentuh untuk menginvestasikan kapitalnya di Bona Pasogit. Kondisi riil hari ini laju pembangunan di Bona Pasogit masih sangat jauh tertinggal dengan daerah-daerah lain termasuk pembangunan infrastruktur jalan serta fasilitas umum lainnya sehingga Bona Pasogit yang sering disebut Pantai Barat jauh ketinggalan dengan saudaranya di Pantai Timur. Apabila pemerintah daerah di Bona Pasogit mampu membangkitkan animo “Rindu Kampung (Masihol tu Huta)” maka akselerasi pembangunan di Bona Pasogit pasti meningkat dengan pesat di masa-masa mendatang.
Sentuhan-sentuhan kultural dengan pendekatan kearifan lokal warisan leluhur diyakini masih ampuh menggugah perhatian serta kepedulian diaspora Batak yang telah sukses dirantau orang. Oleh sebab itu, pemerintah daerah di Bona Pasogit harus mampu merumuskan, menelorkan event-event menarik yang mendorong lahirnya “Rindu Kampung” anak rantau Bona Pasogit. Dengan lahirnya rindu kampung (masihol tu huta-red) maka multiplier effect percepatan laju pembangunan di Bona Pasogit akan semakin meningkat di masa-masa akan datang.
Semoga tulisan ini mampu menggugah hati dan pikiran putera-puteri Batak, khususnya Batak-Toba agar lebih peduli dengan kemiskinan, ketertinggalan Bona Pasogit yang menyandang predikat “peta kemiskinan” sementara putera-puterinya di rantau orang memiliki segudang kesuksesan hingga kesohor ke seluruh penjuru dunia. Bona Pasogit tidak hanya menginginkan bau harum (uap na hushus-red) dari anak rantaunya, tetapi kontribusi riil untuk mengubah peta kemiskinan menjadi tanah harapan sepanjang masa.
Horas Bona Pasogit ! Ndang na lupa au tu ho !
Medan, 29 Mei 2013
Thomson Hutasoit.