Mewujudkan Provinsi Bona Pasogit Sejahtera
Oleh : Thomson Hutasoit
Pendahuluan.
Siapa pun manusia cerdas dan waras tidak akan rela melihat tanah leluhur atau Bona Pasogitnya menyandang predikat ‘Peta Kemisminan’ serta tertinggal dari daerah lain sehingga setiap orang berupaya dengan sungguh -sungguh untuk merubah nasib melalui terobosan-terobosan pembangunan maupun perjuangan pemekaran daerah apakah itu pemekaran kabupaten ataupun pemekaran provinsi yang tujuan hakikinya mempercepat laju pembangunan dengan mengefektifkan seluruh potensi daerah sesuai spesifikasi dan karakteristik masyarakat yang populer dikenal belakangan ini dengan kearifan lokal. Pemekaran daerah bukanlah sebuah aib atau dosa serta melanggar undang-undang sebab perjuangan pemekaran daerah bukan pemisahan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melainkan upaya mewujudkan janji Proklamasi 17 Agustus 1945 sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Alinea Keempat yang berbunyi “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketrtiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial… dst”.
Perwujudan janji Proklamasi itu hingga di usia 68 tahun masih merupakan cita-cita yang belum terwujud secara nyata sebab fakta membuktikan kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan masih menyelimuti berbagai daerah di Nusantara dan salah satu diantaranya adalah tanah leluhur atau Bona Pasogit orang Batak, khususnya Batak-Toba yakni Kebupaten Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Toba Samosir, Samosir, Sibolga, Tapanuli Tengah yang merupakan eks Keresidenan Tapanuli. Eks keresiden Tapanuli itu, dimasa lalu telah berupaya memperjuangkan pemekaran provinsi yang dikenal ‘Provinsi Tapanuli/Protap’ tetapi upaya itu sepertinya ‘mati suri’ belakangan ini sekalipun perjuangan itu telah mengantarkan Pejuang Protap mendekam dibalik jeruji hotel prodeo atau penjara. Perjuangan provinsi Bona Pasogit atau Provinsi Tapanuli adalah perjuangan mulia untuk mengubah predikat peta kemiskinan menjadi ‘Bona Pasogit Sejahtera’ sehingga para pejuang Protap yang dipenjarakan akibat memperjuangkan keyakinan politik salah satu upaya mensejahterakan tanah leluhur atau Bona Pasogit orang Batak, khususnya Batak-Toba bukanlah narapidana kriminal melainkan narapidana politik.
Proklamator sekaligus Presiden pertama Republik Indonesia Ir. Soekarno yang populer dengan sebutan Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir dan lain-lain mengalami pemenjaraan berkali-kali dari pemerintah kolonial demi memperjuangkan kemerdekaan bumi Nusantara yang diselimuti berbagai ketidakadilan serta penderitaan rakyat Nusantara. Eks narapidana perjuangan kemerdekaan republik ini bukanlah pelaku tindak kriminal murni, melainkan pejuang kemerdekaan pasca kemerdekaan diberi predikat Pendiri Bangsa (founding fathers) sekaligus diganjar Pahlawan Nasional. Mengubah nasib ke arah lebih baik adalah perjuangan mulia dan akan ditulis dilembaran sejarah dengan tinta emas, sementara manusia-manusia yang tidak mampu memperjuangkan perbaikan nasib alias pasrah menerima keadaan tidak lebih dari mayat hidup tak mempunyai optimisme lagi.
Walaupun kondisi riil hari ini di tanah leluhur atau Bona Pasogit (Kabupaten Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Toba Samosir, Samosir, Sibolga, Tapanuli Tengah) masih diselimuti kemiskinan, ketertinggalan, keterbelakangan bila dibandingkan dengan daerah-daerah lain di republik ini bukan berarti bahwa tanah leluhur atau Bona Pasogit tidak memiliki pengharapan lagi menjadi salah satu daerah makmur dan sejahtera di republik ini. Tanah leluhur atau Bona Pasogit adalah daerah yang dikaruniai Tuhan Yang Maha Esa segudang potensi sumber daya sebab Tuhan Yang Maha Esa tidak menciptakan belahan bumi manapun yang tidak bermanfaat terhadap kemakmuran dan kesejahteraan manusia. Masalahnya adalah keterbatasan kemampuan manusia mengelola ciptaanNya itu seefektif mungkin untuk kemakmuran dan kesejahteraan manusia. Misalnya, Bona Pasogit yang memiliki potensi energi listrik tersebar di Kabupaten Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Toba Samosir, Samosir, Sibolga, Tapanuli Tengah belum mampu dikelola efektif sehingga masih terdapat ± 6.000 kepala keluarga (KK) di Kabupaten Toba Samosir, dan tidak tertutup kemungkinan masih terdapat puluhan ribu kepala keluarga (KK) yang mengalami nasib yang sama di Kabupaten Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Samosir, Sibolga, Tapanuli Tengah. Kondisi ini tentu sangat pradoksal serta memperihatinkan masyarakat Bona Pasogit. Dan hal itu mengingatkan kita kembali pada pepatah klasik “mati kelaparan diatas lumbung” atau dalam ungkapan Batak-Toba disebut “Mauas di toru ni sampuran” yakni haus dibawah air terjun. Apakah tidak aneh bin aneh Kabupaten Toba Samosir adalah daerah pemasok energi listrik di Sumatera Utara, bahkan Sumatera tetapi di kabupaten itu sendiri masih terdapat ± 6.000 kepala keluarga belum mendapat aliran listrik, dan hingga kini masih menggunakan lampu teplok seperti di zaman batu ?
Sementara di Kabupaten Humbang Hasundutan saja terdapat beberapa Air Terjun yang bisa digunakan sumber energi listrik untuk memasok kebutuhan listrik di Bona Pasogit, bahkan ke seluruh Sumatera, seperti Air Terjun Sipulak, Peadungdung, Simandame, Namo Sarangan, Tahuraji, Sibokkik, Simursa I, Simursa II, Sibabo, Simolap, Sipang, Ompu Sarme, Raja Panopa, Ompu Lagang, Nadumongor, Sipultak Hoda, Janji, Manonga Tao, Parpahuan, Simarigung, Sibundong II, dan lain-lain. Potensi tambang di kabupaten Humbahas antara lain, kaolin, batu gamping, batu gamping kristalin, batu gamping dolomit, lempung, pasir tufaan, batu metamorf, tambang emas dan tembaga, tambang timah hitam, tambang tanah liat, tambang gambut, tambang pasir gunung, tambang sirtu granit, tambang pasir sungai, dan lain-lain (sumber: Ir. Minrod Sigalingging, Kepala Kantor Pertambangan dan Energi Humbang Hasundutan, 27-8-2010/Thomson Hutasoit, 2010 hal: 102-106).
Belum lagi potensi sumber daya alam (SDA) yang tersebar di kabupaten/kota Bona Pasogit (Kabupaten Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Toba Samosir, Samosir, Sibolga, Tapanuli Tengah) karunia besar Tuhan Yang Maha Esa terhadap tanah leluhur atau Bona Pasogit orang Batak. Akan tetapi, hal itu masih sebatas potensi sebab pembangunan di Bona Pasogit terkesan “dianaktirikan atau dimarjinalkan” dalam policy pemerintahan daerah Provinsi Sumatera Utara, bahkan kebijakan nasional mendorong perjuangan terbentuknya Provinsi Bona Pasogit Sejahtera agar percepatan laju pembangunan bisa diakselerasi menggali, mengefektifkan potensi Bona Pasogit mewujudkan Bona Pasogit Sejahtera. Perjuangan demikian adalah merupakan konsekwensi logis segenap stakeholders Bona Pasogit termasuk diasporanya yang masih peduli dengan nasib Bona Pasogit. Spirit Arga do Bona ni Pinasa di halak na bisuk marroha yang merupakan pesan (tona-red) para leluhur menjadi api semangat yang tidak pernah padam di hati sanubari setiap orang yang menyatakan dirinya Batak-Toba. Kearifan lokal Batak-Toba yang menjadi wasiat kepada generasi sepanjang masa adalah “na ingot di poda, na so lupa di tona” maksudnya harus selalu mengingat pesan dan nasehat (poda-red), dan tidak melupakan pesan, amanah (tona-red) selama hayat di kandung badan.
Fenomena “holip sian mata, holip sian roha” yang menjangkiti sebahagian generasi Batak-Toba teristimewa diaspora Batak-Toba yang telah meraih kesuksesan di rantau orang menjadikan Bona Pasogit seperti kerakap diatas batu, mati segan hidup pun tak mau. Padahal, diaspora Batak-Toba yang berhasil di rantau orang tidak bisa mengingkari diri berasal dari Bona Pasogit yang masih jauh tertinggal dari daerah-daerah lain. Oleh sebab iru, seluruh generasi Batak-Toba harus menyadari bahwa kemiskinan, ketertinggalan, keterbelakangan Bona Pasogit adalah musuh bersama yang perlu diperangi agar kesuksesan diaspora Batak-Toba di rantau orang tidak paradoks dengan kehidupan saudara-saudaranya di Bona Pasogit. Bukankah ungkapan klasik mengatakan, “ni harat jari-jari mangampir tu botohon” yang bermakna penderitaan saudara-saudara kita di Bona Pasogit terasa juga kepada diri kita sendiri sebab kita merupakan bahagian tak terpisahkan dari keluarga, kerabat yang ada di tanah leluhur atau Bona Pasogit.
Menghilangkan Ego Sentris.
Salah satu kiat ampuh mewujudkan Provinsi Bona Pasogit Sejahtera atau apapun namanya adalah seluruh kabupaten/kota Bona Pasogit (Kabupaten Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Toba Samosir, Samosir, Sibolga, Tapanuli Tengah) harus benar-benar menghilangkan ego sentris masing-masing serta menumbuhkan kesadaran bersama bahwa kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan, keterbelakangan daerah tanah leluhur atau Bona Pasogit merupakan persamaan penderitaan yang membelenggu Bona Pasogit sehingga perlu langkah bersama seperti ungkapan leluhur “mangangkat rap tu ginjang, manimbung rap tu toru” oleh segenap stakeholders Bona Pasogit dengan membuang jauh-jauh “ndang di au ndang di ho, tu magon di begu” menjadi “Ndang di au ndang di ho, tu magon ma di hita” agar perjuangan mewujudkan Provinsi Bona Pasogit Sejahtera berjalan dengan lancar.
Seluruh stakeholders Bona Pasogit termasuk Diaspora Batak yang telah berhasil di rantau orang harus menyadari dengan paripurna bahwa Kabupaten Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Toba Samosir, Samosir, Sibolga, Tapanuli Tengah dulunya adalah satu yakni Keresidenan Tapanuli yang bisa dibuktikan melalui fakta sejarah yakni plat kendaraan BB yang hingga kini masih diberlakukan di daerah eks Keresidenan Tapanuli. Sehingga hanya di Provinsi Sumatera Utara terdapat penggunaan plat kendaraan ganda yakni BK dan BB. Tetapi fakta sejarah itu sepertinya tidak cukup membuktikan bahwa eks Keresiden Tapanuli lah hingga kini belum menjadi provinsi. Padahal Bung Karno mengatakan “Jangan sekali-sekali melupakan sejarah/JASMERAH” sebab sejarah adalah saksi bisu mencatat fakta-fakta peristiwa masa lalu, tidak mudah dibohongi dan dibelokkan. Tetapi wejangan Sang Proklamator Republik Indonesia itu kerapkali diingkari, dilupakan di negeri ini akibatnya timbul berbagai pengingkaran, penyelewengan, penyelundupan, pengkhianatan sejarah semata-mata demi kelanggengan penguasa dan kekuasaan.
Bila seluruh kabupaten/kota di Bona Pasogit menyadari berasal dari eks keresidenan Tapanuli maka konflik kepentingan antar sesama akan bisa diminimalisasi, seperti permasalahan tapal batas daerah, penentuan ibukota Provinsi Bona Pasogit Sejahtera, siapa yang akan memimpin provinsi tersebut dan lain sebagainya. Penentuan ibukota provinsi tentu harus mempertimbangkan berbagai faktor seperti faktor geografis untuk master plan pengembangan kota minimal 50-100 tahun ke depan, rentang jarak antar kabupaten/kota Bona Pasogit, dan lain sebagainya. Tapi fakta berbicara permasalahan-permasalahan seperti itu menjadi dinamika serta romantika perjuangan Provinsi Bona Pasogit Sejahtera sebagaimana yang terjadi di masa lalu. Hal-hal seperti itu tidak boleh terulang kembali karena pendiri bangsa Bung Karno mengatakan “hanya keledai mau terperosok dua kali ke dalam satu lobang yang sama”. Ego-ego sentris yang telah mengakibatkan tertundanya perwujudan Provinsi Tapanuli/Protap harus dijadikan pelajaran berharga untuk mewujudkan Provinsi Bona Pasogit Sejahtera atau apa pun namanya di masa akan datang. Tapi yang pasti perjuangan mewujudkan Provinsi Bona Pasogit Sejahtera adalah jawaban nyata untuk melepaskan Bona Pasogit dari predikat “Peta Kemiskinan” yang menjadi aib (hailaan bolon-red) selama ini.
Pendekatan kultural (cultural approach) serta kearifan lokal yang masih dilestarikan masyarakat Bona Pasogit harus dikedepankan dalam mewujudkan Provinsi Bona Pasogit Sejahtera serta melibatkan elemen-elemen masyarakat Bona Pasogit dan diaspora (anak rantau-red) sebab salah satu kearifan lokal Batak-Toba “Ndang boi ripe-ripe gabe pangumpolan, ndang boi pangumpolan jadi ripe-ripe” dalam terjemahan bebas bermakna tidak bisa milik bersama menjadi milik pribadi, tidak bisa milik pribadi jadi milik bersama”. Oleh sebab itu, sehebat apapun strata sosial orang Batak, khususnya Batak-Toba tidak boleh semena-mena jika berhubungan dengan hajatan bersama. Kolektif, komunal sudah mendarah danging bagi orang Batak sehingga apapun yang hendak dilakukan selalu dilandasi musyawarah untuk mufakat sebagaimana makna sejati sila keempat Pancasila falsafah republik ini.
Komunitas Batak, khususnya Batak-Toba mengenal kearifan lokal “Tuat si putik nangkok si deak, tusi na ummuli tusi ma tapareak” artinya, mana yang paling baik itulah dilakukan. Oleh sebab itu, segala sesuatu perlu dimusyawarahkan dengan membentangkan alasan-alasan rasional atau masuk akal agar pihak-pihak bisa menerima dengan baik dan benar. Demokratis, transparan, akuntabel serta kompromistis merupakan sifat istimewa orang Batak, khususnya Batak-Toba karena itulah tidak ada permasalahan tidak bisa diselesaikan asal sesuai dengan kultur serta kearifan lokal yang masih berlaku ditengah-tengah kehidupan masyarakat Bona Pasogit.
Sifat keakuan (ego sentris) dipastikan tidak akan berhasil di Bona Pasogit sebab kearifan lokal mengatakan “Rapot godang sabungan ni hata, hata ningku hata ni na lalaen” maksudnya adalah kata sepakat keputusan tertinggi serta mengikat komunitas, kata pribadi dianggap pendapat orang sinting. Inilah sebabnya hampir seluruh perhelatan Batak, khususnya Batak-Toba selalu dilandasi musyawarah menuju mufakat bersama. Ketika mufakat bersama telah disepakati maka seluruh pihak-pihak tunduk terhadap kesepakatan itu tanpa kecuali. Karena itu, mewujudkan Provinsi Bona Pasogit Sejahtera atau apapun namanya hendaknya didahului musyawarah kabupaten/kota di Bona Pasogit supaya lahir kesepakatan bersama, dengan demikian kesamaan derap langkah seperti ungkapan klasik “mangangkat rap tu ginjang, manimbung rap tu toru” mewujudkan Provinsi Bona Pasogit Sejahtera bisa tercapai.
Pemaksaan ego atau kehendak oleh siapa pun harus dimaknai dengan sungguh-sungguh salah satu faktor utama kegagalan terwujudnya Provinsi Bona Pasogit Sejahtera hingga kapan pun. Karena itu, segenap stakeholders Bona Pasogit tidak boleh sekali-sekali memaksakan ego sentris, keakuan atau kehendak bila ingin melihat, menyaksikan terwujudnya Provinsi Bona Pasogit Sejahtera. Sejarah Alkitab telah mengajarkan tentang pemaksaan kehendak (ego sentris) berakibat kegagalan dimana sebagian besar bangsa Israel yang berangkat dari Mesir tidak sampai ke tanah yang dijanjikan Tuhan kepada nenek moyang mereka.
Marketing Regional Bona Pasogit.
Marketing regional Bona Pasogit adalah sebuah wadah kerjasama antar kabupaten/kota Bona Pasogit untuk memasarkan paket-paket potensi investasi yang didukung hasil survey, pemetaan, inventarisasi, serta matriks-matriks. Informasi peluang investasi di Bona Pasogit akan menjadi daya tarik bagi para investor domestik, nasional maupun internasional menanamkan modalnya di kabupaten/kota Bona Pasogit. Karena itu, pemerintah daerah Bona Pasogit (Kabupaten Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Toba Samosir, Samosir, Sibolga, Tapanuli Tengah) perlu membentuk sebuah badan marketing regional misalnya, Badan Kerjasama Pembangunan Bona Pasogit/BKBP, Konsorsium Pembangunan Bona Pasogit/KPBP atau apa pun namanya. Badan ini akan melakukan survey, inventarisasi, pemetaan, matriks-matriks peluang investasi yang dipublikasikan terus-menerus serta berkesinambungan. Pemasaran bersama potensi investasi Bona Pasogit bertujuan untuk mengefisienkan, mengefektifkan, serta mengatasi kelemahan, kesenjangan kemampuan antar daerah di Bona Pasogit.
Jana Marie Mehrtens & Benjamin Abdurahman (2007) mengatakan, “Tanggung jawab mengelola dan memasarkan region untuk menarik perdagangan, investasi dan pariwisata semata-mata berada di tangan para pengambil keputusan daerah. Ini tanggung jawab mereka untuk mengembangkan kualitas wilayah mereka, agar bisa memenuhi kebutuhan kelompok-kelompok yang menjadi sasaran pasar dan demi menciptakan sebuah nama serta strategi komunikasi pemasaran yang sesuai untuk mengkominikasikan keuntungan-keuntungan yang dimiliki oleh wilayah mereka kepada kelompok-kelompok sasaran. Pengelolaan dan Regional Marketing adalah instrument penting dan tidak dapat disepelekan untuk pertumbuhan ekonomi, baik di tingkat daerah maupun di tingkat nasional secara tidak langsung. Sesuai dengan desentralisasi Indonesia, inisiatif untuk tugas-tugas ini harus datang dari tingkat daerah, bukan dari provinsi ataupun tingkat nasional. Dengan pengelolaan tempat atau lokasi serta pemasaran secara profesional, maka kondisi-kondisi yang menguntungkan bisa diidentifikasi dan dijadikan sebagai peluang nyata. Para pembuat keputusan hanya dapat memanfaatkan peluang-peluang tersebut melalui suatu tindakan strategis. Cobalah jangan pernah berpikir bahwa pemerintah pusat, badan lain, ataupun pihak perseorangan akan memberikan bantuan. Ini semua tergantung pembuat keputusan daerah, baik sektor publik maupun swasta untuk mengembangkan dan mengelola wilayah mereka secara bersama (regional) sebagai suatu ‘produk’ pasar dengan cara meningkatkan kondisi lokasi mereka melalui pengelolaan dan pemasaran yang profesional sehingga tercipta ‘keuntungan’ yang menarik bagi para klien atau pelanggan”.
Pemerintah daerah di Bona Pasogit juga harus menyadari keterbatasan-ketertabasan seperti penyediaan lahan untuk investor besar, keterbatasan potensi sumber daya alam (SDA), sumber daya manusia (SDM), infrastruktur apabila hanya mengandalkan satu daerah saja. Tapi bila pemerintah daerah Bona Pasogit melakukan langkah-langkah strategis melalui Marketing Regional maka keterbatasan itu akan tertanggulangi sebab pemerintah daerah di Bona Pasogit saling bersinergi. Kerjasama antar daerah sangat dimungkin dengan landasan hukum Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya Bab IX, pasal 78, dimana dikatakan bahwa (1) Pemerintah Daerah dapat melakukan kerjasama dengan pihak lain atas dasar prinsip saling menguntungkan. Kemudian kerjasama itu ditetapkan melalui peraturan daerah (Perda) masing-masing daerah dan selanjutnya ditampung dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).
Secara umum sebab-sebab perlunya suatu kerjasama antar daerah dapat digambarkan antara lain sebagai berikut:
1. Faktor Keterbatasan Daerah (Kebutuhan): hal ini dapat terjadi dalam konteks sumber daya manusia, alam, teknologi dan keuangan, sehingga suatu ‘kebersamaan’ dapat menutupi kelemahan dan mengisinya dengan kekuatan potensi daerah lainnya.
2. Faktor Kesamaan Kepentingan: adanya persamaan visi pembangunan dan memperbesar peluang memperoleh ‘keuntungan’, baik finansial maupun non finansial untuk mencapainya.
3. Berkembangnya paradigma baru di masyarakat: perlunya pengembangan sistem perencanaan dan pembangunan komunikatif-partisipatif sesuai dengan semangat otonomi daerah.
4. Menjawab kekhawatiran disintegrasi: dimana kerjasama dapat menjadi instrument yang efektif dalam rangka menggalang persatuan dan kesatuan nasional (sinkronisasi dan harmonisasi).
5. Sinergi antar daerah: tumbuhnya kesadaran, bahwa dengan kerjasama antar daerah, dapat meningkatkan dampak positif dari berbagai kegiatan pembangunan yang semula sendiri-sendiri menjadi suatu kekuatan regional.
6. Sebagai Pendorong dalam mengefektifkan potensi dan menggalang kekuatan endogen dalam kegiatan pembangunan wilayah.(Jana Marie Mehrthens &Benjamin Abdurahman, KAS, 2007).
Bukankah selama ini sering terjadi pergesekan antar daerah semata-mata dipicu tapal batas, padahal kasus-kasus seperti itu tidak semestinya terjadi apabila setiap pemerintah daerah kabupaten/kota menyadari bahwa tujuan otonomi daerah memperpendek rentang kendali serta mendorong percepatan laju pembangunan daerah bukan mewujudkan fanatisme daerah atau merasa diri paling berhak dan berkuasa terhadap daerah atau wilayah tertentu. Daerah kabupaten/kota adalah bahagian tak terpisahkan dari bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sehingga tak perlu terjadi gesekan atau konflik antar daerah semata-mata dipicu tapal batas. Konon lagi daerah kabupaten/kota di Bona Pasogit yang berasal dari satu induk yakni eks keresiden Tapanuli.
Visi bersama pemerintah daerah di Bona Pasogit adalah bagaimana langkah-langkah strategis memerangi kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan, keterbelangan di bumi Bona Pasogit yang membelenggu masyarakat selama ini. Kesamaan dan persamaan penderitaan daerah di Bona Pasogit seperti infrastruktur buruk, sarana pendidikan masih minim termasuk perguruan tinggi, investasi sangat minim, pendapatan asli daerah (PAD) masih sangat rendah, sarana dan prasarana pertanian minim dan buruk, dan lain-lain menuntut pemerintah daerah di Bona Pasogit lebih kreatif lagi melahirkan terobosan-terobosan jenial termasuk membentuk marketing regional bukan menonjolkan ego sektoral atau keakuan daerah (au do na paling hebat-red).
Untuk itu, pemerintah daerah di Bona Pasogit perlu menggalakkan publikasi profil daerah secara bersama-sama melalui berbagai media informasi juga melalui berbagai even intens dan berkesinambungan bukan seperti selama ini bersifat insidental temporer. Profil daerah harus didasarkan atas hasil penelitian, survey sehingga benar-benar merupakan inventarisasi, pemetaan ilmiah yang dijabarkan dalam matriks-matriks peluang investasi serta dilandasi legalitas hukum untuk menjamin kepastian berinvestasi di daerah Bona Pasogit.
Pembangunan berbasis budaya dan kearifan lokal.
Salah satu hal fundamental yang tidak bisa dilupakan pemerintah daerah dalam membangun daerah Bona Pasogit adalah faktor budaya dan kearifan lokal yang masih dijunjung tinggi masyarakat sehingga model-model pembangunan paling sesuai diterpkan di Bona Pasogit adalah pembangunan berbasis budaya dan kearifan lokal agar masyarakat bukan saja sebagai obyek tapi sekaligus subyek pembangunan. Karena sehebat apapun pembangunan di Bona Pasogit jika tidak membawa manfaat terhadap peningkatan taraf hidup masyarakat setempat maka pembangunan itu akan berpotensi mendatangkan penderitaan atau malapetaka di Bona Pasogit.
Kelemahan-kelemahan pembangunan termasuk penempatan investasi yang dilakukan sistem pemerintahan sentralistik-otoritarian yang selalu memaksakan keinginan pusat terhadap daerah tanpa mempertimbangkan budaya serta kearifan lokal daerah setempat telah banyak menimbulkan konflik-konflik antara pemerintah daerah dengan masyarakat, antara pengusaha dengan masyarakat, antara pemerintah daerah dengan pengusaha, sebagaimana dialami masyarakat hukum adat (MHA) Desa Sipitu Huta-Pandumaan, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL), Tbk karena pemerintah pusat tidak mengakomodir kepentingan masyarakat hukum adat dalam memberikan izin HPH-TI di Bona Pasogit. Padahal arti penting tanah ulayat bagi masyarakat hukum adat (MHA) merupakan harga mati untuk diperjuangkan sebab kearifan lokal Batak-Toba mengatakan “Habang pe tungko, ndang habang tano” yang bermakna dalam keadaan apapun tanah leluhur tidak bisa dirampa oleh siapapun, dengan alasan apapun, dan kapanpun sebab tanah leluhur sama dengan tulang belulang nenek moyang (holi-holi ni oppu).
Bukankah sejatinya pertumbuhan investasi akan mendorong laju pertumbuhan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat ? Tetapi fakta emprik berbicara sebaliknya dimana setelah datangnya arus investasi justru hak-hak keperdataan masyarakat hukum adat (MHA) tercaplok atau terampas sebab pemerintah salah kaprah menempatkan hak-hak keperdataan masyarakat hukum adat (MHA), dan yang paling konyol lagi menuntut beban pembuktian alas hak hitam diatas putih (bukti tertulis) yang tidak pernah ada sama sekali selain dari bukti pengakuan adat budaya secara turun temurun.
Menarik serta penting diperhatikan apa yang dikatakan Prof. Dr. Maria SW Sumardjono Guru Besar Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada dalam artikelnya di Harian Kompas, Sabtu 1 Juni 2013 dengan judul ‘RUU Pertanahan, Urgensi dan Isu’. Maria SW Sumardjono mengatakan, “Pengakuan terhadap tanah ulayat MHA sebagai entitas, di samping tanah negara dan tanah hak (perseorangan/badan hukum), memberikan kemungkinan pemberian hak atas tanah ulayat secara langsung setelah memperoleh persetujuan tertulis MHA yang bersangkutan. Usaha yang dilakukan di atas tanah ulayat harus dapat memberikan manfaat pada MHA yang bersangkutan dan menjamin terpeliharanya lingkungan hidup. Jika hak atas tanah berakhir atau dihapus karena sebab tertentu, tanah kembali penguasaan MHAn yang bersangkutan. Perpanjangan hak atas tanah harus dapat persetujuan tertulis MHA tersebut”. Hal seperti itu akan menjamin kelanggengan hak keperdataan masyarakat hukum adat (MHA) serta mengurangi konflik-konflik pertanahan antara pemerintah dengan masyarakat, antara pengusaha dengan masyarakat, dan antara pengusaha dengan pemerintah daerah.
Selain daripada itu, pemerintah daerah atau DPRD kabupaten/kota di Bona Pasogit perlu segera membentuk peraturan daerah (Perda) tentang Eksistensi Masyarakat Hukum Adat (MHA) yang mengatur dan melindungi hak-hak keperdataannya sehingga pertumbuhan arus investasi tidak menggilas atau merampas hak-hak keperdataan purba yang telah diwarisi turun-temurun dari para leluhurnya.
Pembangunan berbasis budaya dan kearifan lokal sejatinya adalah hakikat otonomi daerah sekaligus menjadikan masyarakat di daerah agen-agen pembangunan untuk memajukan dirinya. Bila masyarakat daerah tumbuh menjadi pelaku-pelaku pembangunan maka laju pertumbuhan pembangunan di daerah akan semakin dahsyat. Kemandirian dan kedaulatan daerah dalam membenahi dirinya menjadi salah satu indikator nyata keberhasilan pemerintah daerah mewujudkan Bona Pasogit sejahtera. Inilah salah satu yang perlu dilakukan seluruh pemerintah daerah di Bona Pasogit sehingga tuntutan pembentukan Provinsi Bona Pasogit tidak hanya ambisi politis tetapi panggilan nurani melepaskan Bona Pasogit dari kemiskinan, ketertinggalan, keterbelakangan yang melilit sendi kehidupan Bona Pasogit.
Bona Pasogit menunggu pemimpin jenial mewujudkan Bona Pasogit Sejahtera. Horas!
Medan, 1 Juni 2013
Thomson Hutasoit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.