Asimilasi Perkawinan Jembatan Budaya
Oleh: Thomson Hutasoit
Pendahuluan.
Seiring
perkembangan zaman, proses perkawinan antar suku atau etnik makin galip terjadi
dari wktu ke waktu, hal itu merupakan konsekuensi perkembangan ilmu dan
teknologi (Iptek) menjadikan ruang jarak antar daerah semakin dekat.
Perkembangan zaman semakin maju juga membuat manusia berpikir luas dan terbuka
terhadap aneka budaya, adat-istiadat berbeda-beda sehingga proses perkawinan
telah melampaui batas-batas pemahaman tradisi konvensional, yakni melangsungkan perkawinan sesama satu
suku atau etnik tertentu.
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2007) “Asimilasi perkawinan ialah proses
terjadinya perkawinan campuran yang berbeda budaya, perilaku, dan
golongan”. Asimilasi perkawinan akan
berkonsekuensi penyesuaian diri terhadap kebudayaan dan pola-pola perilaku
antar suku atau etnik yang melangsungkan perkawinan tersebut. Pola pikir, pola
laku tradisonal mengharuskan perkawinan antar satu suku atau etnik yang mempunyai
budaya, adat-istiadat yang sama makin lama makin longgar hingga lahir budaya,
adat-istiadat campuran disebabkan asimilasi perkawinan tersebut.
Asimilasi
perkawinan antar suku atau etnik harus diakui sangat sulit diterima pada
masyarakat tradisional konvensional, bahkan proses perkawinan seperti itu
diasumsikan suatu kegagalan membina generasi (anak-red) sebab pada tatanan
masyarakat tradisional konvensional perkawinan beda suku atau etnik dianggap
sangat tak sesuai tatanan budaya, adat-istiadat suku atau etnik bersangkutan. Bahkan
bila terjadi asimilasi perkawinan dianggab “aib”, dan orang tua merasa malu
apabila anak-anaknya melangsungkan perkawinan beda suku atau etnik. Asumsi
seperti itu sangat dipengaruhi interaksi budaya, adat-istiadat lokal yang masih
inklusif menganggap budaya, adat-istiadatnya lebih superior dibandingkan
budaya, adat-istiadat pihak lain, serta keterbatasan interaksi dengan suku atau
etnik lain dalam kehidupan sehari-hari.
Asimilasi
perkawinan antar suku atau etnik harus diakui bukanlah masalah mudah dan
gampang sebab proses perkawinan seperti itu menyatukan budaya, adat-istiadat,
pola pikir, pola perilaku berbeda, sehingga dituntut kemampuan saling memahami,
saling menerima budaya, adat-istiadat masing-masing. Situasi kondisi demikian
menjadi perhatian penting dan serius bagi setiap orang sebelum melangsungkan
asimilasi perkawinan agar perkawinan campuran tidak mengalami goncangan ataupun
kendala dikemudian hari.
Dalam
ungkapan klasik Batak Toba dikatakan, “Tinallik bulung sihupi, pinarsaong
bulung sihala, Unang sumolsol di pudi ndang sipasingot na soada” artinya,
jangan menyesal dikemudian hari bukan nasehat tak ada, atau pepatah klasik lain
mengatakan, “pikir dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna”.
Ungkapan
klasik ini adalah sebuah wejangan yang perlu dipikirkan matang dan mendetail
bagi setiap orang hendak melangsungkan perkawinan campuran antar suku atau
etnik, sebab keberanian melangsungkan asimilasi perkawinan dengan segala
konsekuensi, termasuk hubungan harmoni keluarga mempelai berbeda budaya,
adat-istiadat membutuhkan kemampuan memberi pengertian, pemahaman budaya,
adat-istiadat secara timbal balik. Ada adagium klasik Batak Toba mengatakan,
“Asing dolok asing sihaporna, Asing luat asing adatna” yang bermakna, bahwa
setiap daerah, suku atau etnik memiliki budaya, adat-istiadat berbeda-beda satu
sama lain. Dan perbedaan budaya, adat-istiadat inilah salah satu kendala paling
krusial dalam melaksanakan pesta perkawinan campuran yang memiliki budaya,
adat-istiadat masing-masing.
Pergeseran
nilai-nilai budaya, adat-istiadat menjadi suatu keniscayaan akibat asimilasi
perkawinan sehingga sangat sulit mempertahankan tatanan budaya, adat-istiadat
murni yang ditradisikan pada suatu suku
atau etnik pasca perkawinan campuran tersebut. Setuju atau tak setuju, rela
atau tak rela, diterima atau tak diterima inilah salah satu pertentangan bathin
atas terjadinya asimilasi perkawinan yang menyebabkan pergeseran tatanan nilai
budaya, adat-istiadat yang harus diterima pada perkawinan campuran antar suku
atau etnik.
Seturut
perkembangan zaman dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) yang
membuka sekat-sekat ruang dan waktu serta perubahan sudut pandang tentang nilai-nilai kemanusiaan yang bukan saja
terikat pada budaya, adat-istiadat lokal untuk memilih teman hidup sepanjang
hayat. Perkawinan adalah pilahan hidup dilandasi kesadaran kasih tanpa mengenal
sekat suku atau etnik memunculkan perkawinan campuran antar suku atau etnik di
kalangan generasi Batak Toba belakangan ini. Hal ini bisa dibuktikan dengan
banyaknya putera (anak-red), puteri (boru-red) Batak Toba melangsungkan
perkawinan campuran antar suku atau etnik, baik domestik maupun bangsa asing
(halak sileban-red) menjadikan pergeseran nilai-nilai budaya, adat-istiadat murni
Batak Toba pada era millenia ini. Asimilasi perkawinan atau perkawinan campuran
antar suku atau etnik bukanlah suatu aib atau tabu melainkan konsekuensi
perkembangan zaman serta semakin terbukanya era komunikasi antar anak manusia
di atas bumi.
Pertanyaannya
ialah apakah perkawinan campuran suatu kesalahan atau aib ? Pertanyaan ini tentu bisa mendapat jawaban berbeda-beda
sesuai sudut pandang masing-masing. Tetapi, apapun jawabannya, asimilasi
perkawinan atau perkawinan campuran antar suku atau etnik telah banyak terjadi
pada generasi Batak Toba, terutama generasi berdomisili diperantauan (diaspora)
dengan segala konsekuensi budaya, adat-istiadat yang harus dilalui secara
bersama-sama atas pilihan perkawinan tersebut.
Asimilasi
perkawinan harus disadari matang dan mendetail menuntut kemampuan asimilasi
kebudayaan, yaitu; penyesuaian diri terhadap kebudayaan dan pola-pola perilaku
pada suku atau etnik berbeda. Misalnya, jika seorang putera (baoa-red) Batak
Toba melangsungkan perkawinan dengan puteri (boru-red) suku Sunda, sejauhmana
kemampuan adaptasi budaya, adat-istiadat serta pola perilaku kedua isan sejoli
yang berani melakukan asimilasi perkawinan ditengah perbedaan budaya, adat-istiadat serta
pola perilaku di kedua suku atau etnik tersebut. Demikian juga bila seorang
puteri (boru-red) Batak Toba melangsungkan asimilasi perkawinan dengan putera
(baoa-red) suku Nias, sejauhmana kemampuan puteri Batak Toba menyesuaikan diri
dengan budaya, adat-istiadat serta pola perilaku suku Nias, atau sebaliknya, sejauhmana
kemampuan adaptasi budaya, adat-istiadat serta pola perilaku putera suku Nias
terhadap budaya, adat-istiadat serta pola perilaku Batak Toba pasca perkawinan
campuran menjadi sangat penting diperhatikan agar harmoni hubungan
kekeluargaan, kekerabatan bisa berjalan lancar dan langgeng.
Jika
adaptasi budaya, adat-istiadat mampu dilakukan dengan baik dan benar serta
saling menghormati satu sama lain maka asimilasi perkawinan atau perkawinan
campuran antar suku atau etnik menjadi sangat istimewa dan luar biasa, sebab mampu
mempertemukan budaya, adat-istiadat serta pola perilaku berbeda menambah
khasanah pelangi kehidupan semakin indah sebagaimana dicerminkan Bhinneka
Tunggal Ika dalam realitas budaya, adat-istiadat serta pola perilaku ditengah
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sehari-hari.
Konsekuensi Asimilasi Perkawinan
Batak Toba.
Perkawinan
Batak Toba dilandasi falsah Dalihan Na Tolu (DNT) yaitu; somba marhula-hula,
manat mardongan tubu, serta elek marboru membentuk tatanan struktur partuturan
yakni; hula-hula, dongan tubu, boru adalah unsur penting yang harus dijaga,
dirawat serta dilestarikan secara timbal balik. Artinya, pada struktur
partuturan yang ditimbulkan proses perkawinan satu suku (sesama Batak
Toba-red), khususnya pihak hula-hula dikenal beberapa tingkatan antara lain; Hula-hula
(hula-hula pangalapan boru-red), Tulang (hula-hula ni Inong pangintubu/ pangolian
ni Among-red), Bona Tulang (hula-hula ni Ompungboru/pangolian ni
ompungdoli-red), Bona Niari (hula-hula ni Inang Mangulahi/pangolian ni Amang
mangulahi-red), Tulang Rorobot (hula-hula ni hula-hula pangalapan boru-red),
Hula-hula Namarhahamaranggi (hula-hula ni na ma nodohon iba, hula-hula ni na
tinodohon-red), Hula-hula Naposo/Parsiat (hula-hula pangalapan boru ni
anak-red), Hula-hula Simanjungkot (hula-hula pangalapan boru ni pahompu-red)
dan lain-lain.
Struktur
partuturan kelompok (horong-red) Hula-hula pada Batak Toba seperti ini belum
tentu dikenal pada suku atau etnik lain, sehingga apabila terjadi asimilasi
perkawinan atau perkawinan campuran antar suku atau etnik, struktur partuturan
Batak Toba akan hilang dari tradisi budaya, adat-istiadat asli akibat asimilasi
perkawinan tersebut. Kemungkinan besar struktur partuturan hula-hula istri
(hula-hula pangalapan boru-red) saja yang bisa dipertahankan. Sementara Tulang,
Bona Tulang, Bona Niari, Tulang Rorobot, Hula-hula Namrhahamaranggi, Hula-hula
Naposo/Parsiat, Hula-hula Simanjungkot dan lain sebagainya tidak bisa
dipertahankan lagi dikemudian hari. Artinya, hubungan partuturan hula-hula
hanya sebatas hula-hula istri saja, karena pada suku atau etnik di luar Batak
Toba tingkatan hula-hula tak dikenal pada budaya, adat-istiadat mereka.
Sadar
atau tidak hal inilah salah satu konsekuensi paling krusial yang diakibatkan
asimilasi perkawinan atau perkawinan campuran antar suku atau etnik, sementara
pada Batak Toba hubungan kekeluargaan, kekerabatan, khususnya kepada pihak
hula-hula bukan hanya sebatas hula-hula istri, tetapi terhadap seluruh
tingkatan hula-hula seperti disebutkan di atas.
Salah
satu contoh, ketika seseorang anak laki-laki (lahi-lahi, baoa-red)
melangsungkan perkawinan maka Tulang atau hula-hula mamaknya (hula-hula ni
Inong pangintubu-red) akan memberi Ulos Ungkap Hombung atau Ulos Tintin
Marangkup. Jika seandainya Tulang dari si mempelai laki-laki bukan Batak Toba
maka Ulos Ungkap Hombung atau Ulos Tintin Marangkup tidak ada sehingga si
mempelai laki-laki seperti tak punya Tulang atau tak ada hula-hula mamak
(hula-hula ni Inong pangintubu-red) sebab pada suku atau etnik lain struktur
partuturan seperti itu tak dikenal, selain terhadap puteri (boru-red) sendiri.
Demikian juga ketika meninggal dunia (monding Sarimatua, Saurmatua-red) tak ada
memberi Ulos Saput atau Ulos Tutup Batang karena pada suku atau etnik lain tak
dikenal struktur partuturan hula-hula selain hula-hula puteri (boru), sehingga
si orang tua meninggal seperti tak punya Tulang atau hula-hula mamak (hula-hula
Inong pangintubu-red).
Inilah
salah satu alasan utama mengapa Batak Toba selalu menganjurkan perkawinan
sesama Batak Toba agar struktur partuturan terhadap kelompok (horong-red)
hula-hula atau boru bisa dipertahankan sesuai budaya, adat-istiadat dilandasi
falsafah Dalihan Na Tolu (DNT) yang diwariskan leluhur.
Keinginan
seperti itu adalah wajar dan lazim serta manusiawi, tetapi ada ungkapan klasik
Batak Toba mengatakan, “Dang simanuk-manuk, sibontar andora, Dang sitodo
turpuk, siahut lomo ni roha” artinya, tak bisa tergantung keinginan ataupun
kehendak dalam kehidupan, sebab “Tu
ginjang ninna porda, tu toru pambarbaran, Tu ginjang ninna roha, patoruhon do
sibaran” ai turpuk do sijaloon, sibaran sipaimaon, naung gurat do di
gurat-gurat ni tangan, topap diparsambubuan sijalooan ni jolma manisia di
hasiangan on. Artinya, bahwa setinggi apapun keinginan dan cita-cita, tetapi
takdir kehidupan telah ditentukan Sang Pencipta terhadap manusia di atas bumi
ini.
Selain
daripada itu harus pula didasari, bahwa dampak perkembangan kemajuan di segala
segmen kehidupan telah membuka sekat-sekat lokal menjadi nasional, bahkan
internasional sehingga budaya, adat-istiadat lokal mengalami pergeseran
nilai-nilai budaya, adat-istiadat seiring interaksi antar suku bangsa serta
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) di era millenia. Interaksi
hubungan bukan lagi terbatas atau terpaku sesama suku atau etnik, melainkan
seluruh anak-anak manusia di seluruh penjuru dunia. Kemajuan teknologi
informasi seperti; pace book, twetter,
istagram, blogger serta berbagai program IT lain menjadikan jarak dunia
semakin dekat. Dan tak jarang pula perkenalan melalui berbagai jejaring
teknologi informasi di dunia maya berlanjut ke jenjang perkawinan campuran
antar suku atau etnik menembus batas bangsa dan negara.
Asimilasi
perkawinan didorong kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek), sadar atau
tidak akan menimbulkan asimilasi kebudayaan menggeser nilai-nilai murni budaya,
adat-istiadat lokal. Karena tak jarang ditemui seseorang penyandang marga Batak
Toba, tapi sama sekali tak mengerti lagi bahasa Batak Toba, konon lagi budaya,
adat-istiadat warisan leluhurnya. Hal itu menjadi salah satu tantangan berat
menjaga, merawat, serta melestarikan
nilai-nilai luhur adat, budaya warisan leluhur agar tidak hilang atau punah.
Dalam
situasi kondisi demikian upaya-upaya menjaga, merawat serta melestarikan
nilai-nilai adat, budaya semakin sukar dan sulit, apalagi pasca asimilasi
perkawinan atau perkawinan campuran antar suku atau enit yang semakin
menggejala belakangan ini. Karena itu, perlu dipikirkan upaya-upaya konkrit
membumikan nilai-nilai adat, budaya membentuk karakter berbasis kearifan budaya
saling menghargai dan menghormati adat, budaya pihak lain. Dengan demikian
sekalipun asimilasi perkawinan atau perkawinan campuran antar suku atau etnik
tak bisa dinafikan, tetapi pola perilaku atau karakter berdasarkan kearifan
budaya tak pernah terkikis atau hilang, malah sebaliknya mampu menularkan
nilai-nilai luhur kearifan budaya warisan leluhur Batak Toba kepada suku atau
etnik lain sehingga tercipta hubungan harmoni antar suku atau etnik yang baik
dan sejuk.
Jika
asimilasi perkawinan atau perkawinan antar suku atau etnik mampu dijalankan dengan
baik dan benar maka perkawinan seperti itu bukanlah sesuatu yang patut
dipersalahkan atau disesalkan, melainkan suatu keberanian patut diacungi jempol
membangun “jembatan budaya” antar suku atau etnik agar saling curiga, saling
merendahkan adat, budaya berubah jadi saling menghormati, saling menghargai
sesama manusia beradat dan beradab di atas bumi sehingga perdamaian, kedamaian
sesama anak bangsa menjadi sebuah persaudaraan abadi dilandasi kasih sayang
sejati.
Adaptasi Adat Budaya.
Salah
satu kunci utama melakukan adaptasi adat budaya antar suku atau etnik ialah
saling menghargai, menghormati budaya, adat-istiadat berbeda serta membuang
kecurigaan atas budaya, adat-istiadat, pola perilaku yang menjadi karakter
spesifik suku atau etnik bersangkutan.
Perbedaan
karakter, pola perilaku suatu suku atau etnik yang dipengaruhi budaya,
adat-istiadat ataupun tradisi lokal harus pula disadari sebuah proses
pembentukan karakter jati diri yang diwariskan leluhur. Nilai-nilai luhur
budaya, adat-istiadat serta pola perilaku suku atau etnik tertentu harus
dihargai, dihormati satu sama lain walau terdapat perbedaan di dalamnya. Satu
suku atau etnik tidak boleh sekali-sekali menganggap paling hebat dari pihak
lain sebab ungkapan klasik Batak Toba telah mengajarkan, bahwa “Asing dolok
asing do duhutna, Asing luat asing do adatna” yang bermakna setiap suku, etnik,
daerah memiliki perbedaan spesifik, tetapi perbedaan itu hendaknya dijadikan
pelangi kehidupan indah, sebab pelangi kehidupan sejatinya ialah aneka warna-warni
konstruksi Ilahi yang menjamin kelangsungan alam semesta.
Sifat
eksklusif serta merasa paling hebat dibandingkan pihak lain harus dihilangkan
atau dibuang jauh-jauh, sebaliknya membangun kesadaran baru, bahwa budaya,
adat-istiadat, pola perilaku pihak lain harus dihormati, dihargai sekalipun tak
sesuai dengan budaya, adat-istiadatnya. Stigma-stigma negatif yang dilekatkan
pada suatu suku atau etnik tertentu tidak boleh sekali-sekali diangkat dan
dilancarkan untuk menyerang ataupun memojokkan suku atau etnik tertentu, sebab
perilaku buruk, tercela bukan milik satu suku atau etnik saja, melainkan
karakter personal yang menyimpang dari nilai-nilai luhur budaya, adat-istiadat
warisan leluhur.
Sebagai
suatu kategori budaya, istilah etnis tertentu dapat dijadikan dasar untuk
membeda-bedakan kelompok-kelompok sosial berdasarkan budayanya. Secara
operasional, sebuah kelompok etnis dapat diidentifikasikan dilihat dari
unsur-unsur kultural yang melekat pada kelompok tersebut, yang dicirikan oleh
kesamaan bentuk (pola) tingkah laku normatif yang ada pada kelompok itu.
Tingkah laku normatif yang sudah terpola biasanya akan teramati dari konteks
hubungan sosial yang ditunjukkan dalam bentuk-bentuk simbolik yang sama,
seperti dalam kekerabatan, perkawinan, ritual dan bentuk seremonial lainnya.
Dalam wujud yang lebih sederhana, pengelompokan sosial berdasarkan etnis
tertentu akan dapat diketahui dari bahasa, keyakinan (anutan agama), pakaian,
makanan, peralatan, dan tipe-tipe bangunan yang terdapat dalam komunitas
tersebut.
Barth
(1996) melihat bahwa kategori etnis merupakan identitas umum yang paling dasar
(basic most general identity). Sistem
pengelompokan paling dasar itu adalah asal dan latar belakang keturunan,
sedangkan atribut penting yang menandai identitas itu adalah faktor-faktor
primordial (bahasa daerah, adat-istiadat nilai-nilai simbolik, agama dan
territorial). Sejalan dengan pendapat itu, Young (1979) mempertegas beberapa
atribut yang dapat digunakan untuk pengelompokan suatu etnis, antara lain;
bahasa daerah, wilayah (teritory) tempat asal-usul permukiman, unit
politik/pemerintahan lokal, dan nilai atau simbol budaya bersama (Arifinsyah,
2013; 2-3).
Dari
konteks uraian di atas maka adaptasi adat budaya yang perlu dilakukan pasca
asimilasi perkawinan atau perkawinan campuran antar suku atau etnik ialah
kemampuan memahami bahasa daerah, nilai-nilai budaya, adat-istiadat, serta pola
perilaku masyarakat setempat dengan prinsip saling menghormati, menghargai satu
sama lain tanpa kecurigaan ataupun pandangan tendensius apalagi merasa paling
unggul dibandingkan pihak lain. selain daripada itu, perlu juga ditanamkan
pengertian “dimana tanah di pijak disitu lagit dijunjung” (disi tano ni dege
disi langit dijungjung-red) sehingga mampu menyesuaikan diri terhadap budaya,
adat-istiadat, pola perilaku suku atau etnik asimilasi perkawinan tersebut.
Penyesuaian
diri atau adaptasi dimaksud tentu dalam arti positif yakni; penyesuaian atau
adaptasi nilai-nilai luhur yang pantas ditiru dan digugu dari aneka nilai-nilai
unggul bersifat obyektif universal sebagaimana makna hakiki nilai budaya,
adat-istiadat, serta pola perilaku yang dapat diterima masyarakat beradat dan
beradab di muka bumi. Stigma-stigma negatif melekat pada satu suku atau etnik
harus mampu dihilangkan atau dirubah melalui perubahan pola pikir (mindset) dari kungkungan tradisi lokal
kaku. Perubahan mindset tanpa
meninggalkan nilai-nilai luhur unggul menjadikan suatu suku atau etnik lebih
terbuka menerima keunggulan budaya, adat-istiadat, pola perilaku suku atau
etnik lain hingga mampu menerima asimilasi perkawinan sebagai konsekuensi logis
masyarakat terbuka terhadap kebudayaan berbeda.
Asimilasi
kebudayaan harus pula disadari dan dipahami adalah sebuah realitas masyarakat
modern, sebab dunia bukan lagi selebar daun kelor, tetapi dunia tanpa batas
atau sekat-sekat seiring kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek)
terutama teknologi informasi (TI) menjadikan anak-anak manusia berinteraksi
satu sama lain di atas bumi ini.
Walau
demikian, nilai-nilai luhur budaya, adat-istiadat, pola perilaku yang menjadi
karakter spesifik atau jati diri sebaiknya dijaga, dirawat, serta dilestarikan sebagai
identitas masyarakat beradat dan beradab.
Jembatan Budaya.
Sebagaimana
ungkapan klasik Batak Toba “Asing dolok asing duhutna, Asing luat asing adatna”
atau ungkapan klasik lain, “Lain lubuk lain ikannya, Lain tempat lain adatnya”
maka masing-masing suku atau etnik memiliki budaya, adat-istiadat, pola
perilaku berbeda satu sama lain. Perbedaan itu melahirkan prasangka, persepsi
berbeda pula atas nilai-nilai luhur budaya, adat-istiadat yang tak mustahil
menimbulkan gesekan sosial antar suku atau etnik berbeda.
Prasangka,
presepsi negatif atas budaya, istiadat, pola perilaku suatu suku atau etnik
tidak mustahil pula disebabkan kurangnya pengertian, pemahaman mendalam dan
mendetail terhadap budaya, adat-istiadat pihak lain. Padahal, nilai-nilai luhur
budaya, adat-istiadat, pola perilaku suatu suku atau etnik adalah bahagian tak
terpisahkan dari tatanan nilai-nilai warisan leluhur yang ditradisikan,
dilembagakan dalam kehidupan sehari-hari. Dan disinilah penada nyata, bahwa
nilai-nilai luhur budaya, adat-istiadat suatu suku atau etnik berperan kuat
membentuk pola perilaku, karakter, jati diri suatu suku atau etnik maupun
bangsa.
Falsafah
hidup Batak Toba “Dalihan Na Tolu (DNT)
yakni; Somba marhula-hula, Manat mardongan tubu, Elek marboru” yang disertai
struktur partuturannya sadar atau tidak turun mewarnai pola pikir, pola
perilaku Batak Toba dari generasi ke generasi yang diwariskan leluhur. Falsafah
hidup Batak Toba kemungkinan besar tidak akan ditemui pada suku atau etnik
berbeda sehingga pola pikir, pola perilaku Batak Toba menjadi karakter spesifik
atau jati diri ditengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara.
Demikian juga suku atau etnik lain memiliki nilai-nilai luhur budaya,
adat-istiadat warisan leluhur telah menjadi landasan pola pikir, pola perilaku
suku atau etnik bersangkutan ditengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa maupun
bernegara.
Yang
menjadi pertanyaan dasar ialah bagaimana menjembatani perbedaan budaya,
adat-istiadat, pola perilaku antar suku atau etnik berbeda agar tercipta saling
menghormati, menghargai perbedaan supaya harmoni hubungan, persaudaraan,
kekeluargaan, kekerabatan sesama menjadi pelangi kehidupan sangat indah
sebagaimana kehendak Ilahi atas semesta alam.
Pertanyaan
ini tentu membutuhkan pemikiran cermat, cerdas dan seksama, sebab pertanyaan
seperti ini membutuhkan pengertian, pemahaman komprehensif paripurna yang
mungkin saja sulit diterima logika tradisional konvensional masih menonjolkan,
mengagungkan tradisi kaku, seperti; budaya, adat-istiadat, pola perilaku suku
atau etnik sehingga sulit menerima budaya, adat-istiadat, pola perilaku pihak
lain.
Dalam
situasi kondisi demikian, asimilasi perkawinan atau perkawinan campuran antar
suku atau etnik menjadi “Jembatan Budaya” mempertemukan dua budaya,
adat-istiadat, pola perilaku berbeda dalam perhelatan budaya, adat-istiadat
maupun interaksi sosial saling menghormati, menghargai satu sama lain dalam
kekeluargaan, kekerabatan sehari-hari. Masing –masing pihak saling menyesuaikan
diri, mengadaptasi terhadap budaya, adat-istiadat, pola perilaku tanpa
kecurigaan atau prasangka negatif atas perbedaan tersebut.
Karena
itu, sejatinya bahwa asimilasi perkawinan atau perkawinan campuran antar suku
atau etnik adalah sebuah keberanian serta terobosan budaya, adat-istiadat,
perilaku penuh resiko sehingga diperlukan pemikiran, pemahaman matang dan
mendetail seperti ungkapan klasik Batak Toba mengatakan, “Ni langka tu jolo,
tinailihon tu pudi” atau “Pikir dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna”,
sebab tangan mencincang, bahu memikul.
Asimilasi
perkawinan atau perkawinan campuran antar suku atau etnik harus pula dipahami
salah satu unsur pergeseran nilai-nilai tradisi lokal budaya, adat-istiadat,
pola perilaku yang sulit dibendung diakibatkan perkembangan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi (Iptek) terutama teknologi informasi (TI) yang
mendobrak sekat-sekat suku atau etnik era belakangan ini. Dunia tanpa batas
memungkinkan semakin meluasnya asimilasi perkawinan atau perkawinan campuran
adalah suatu keniscayaan bagi masyarakat modern ke depan.
Inilah
salah satu tantangan nyata dalam menjaga, merawat serta melestarikan budaya,
adat-istiadat warisan leluhur yang perlu disiasati arif bijaksana agar tidak
hilang atau punah di masa-masa mendatang.
Horas
! Mari berpikir positif pertanda masyarakat beradab dan berbudaya……!
Medan,
02 Desember 2016
Thomson
Hutasoit.