Menilik
Makna Ulos Pada Batak Toba
Oleh:
Thomson Hutasoit
Pendahuluan.
Salah satu hal yang
sering diperbincangkan akhir-akhir ini ialah Ulos Batak, khususnya Batak Toba
karena di satu sisi dianggap penting sebagai instrumen adat budaya, sementara
di sisi berbeda telah banyak puladari bangso Batak menganggap Ulos tak lagi
penting, bahkan telah ada oknum tak bertanggung jawab membakar Ulos tanpa
alasan yang dapat dipertanggungjawabkan atas penghancuran simbol adat budaya
warisan leluhur bangso Batak.
Adanya dua kutub
pandangan berbeda tentang eksistensi Ulos bagi kehidupan bangso Batak,
khususnya Batak Toba menjadikan Ulos antara penting dan tak penting
mengakibatkan arti dan makna Ulos bagi kehidupan Batak semakin kabur serta
tidak mustahil akan dianggap kain biasa-biasa saja tanpa arti dan makna
historis, kultural, filosofis, religi sebagaimana dipahami leluhur bangso
Batak, khususnya Batak Toba.
Hal itu sangat
berpengaruh besar dalam pelestarian situs-situs adat budaya, baik bersifat
kebendaan maupun bukan kebendaan (fisik, non fisik) sebagai hasil kebudayaan
bangso Batak.
Ulos adalah salah satu
hasil kebudayaan bangso Batak, khususnya Batak Toba hingga kini masih dijadikan
instrumen adat budaya, baik di saat suka maupun duka. Tetapi penggunaan ulos serta
arti dan maknanya sepertinya tak dipahami komprehensif paripurna sehingga pemberian
dan penerimaan ulos tak sebagaimana mestinya. Akibatnya, eksistensi ulos bagi
kehidupan bangso Batak tak memiliki nilai kesakralan lagi hingga timbul
pandangan keliru, siapa saja boleh menyerahkan ulos tanpa memperhatikan
struktur sosial ditengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal
ini tentu akan semakin mendegradasi arti dan makna ulos sebagai simbol adat
budaya warisan leluhur.
Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI, 2007) Budaya ialah pikiran; akal budi ataupun sesuatu mengenai
kebudayaan yang sudah berkembang (beradab, maju). Sedangkan kebudayaan ialah
hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan,
kesenian, dan adat istiadat, ataupun keseluruhan pengetahuan manusia sebagai
mahkluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan
yang menjadi pedoman tingkah lakunya.
Pada era belakangan
ini, ulos dianggap sebuah kado semata, sehingga bila petinggi negara datang
berkunjung ke provinsi Sumatera Utara maupun kabupaten/kota para pejabat
pemerintahan di daerah “latah” memberi (mangulosi-red) pejabat atasannya tanpa
menyadari kesalahan fatal, sesat pikir yang amat sangat keliru besar tentang
arti dan makna serta fungsi ulos dalam adat budaya bangso Batak, khususnya
Batak Toba. Bahkan di kalangan pimpinan agama pun juga melakukan kekeliruan
yang sama karena arti dan makna ulos telah direduksi sebatas sebuah kado, bukan
lagi simbol adat budaya warisan leluhur bangso Batak. Hal ini sungguh
kontraproduktif dengan wacana, retorika yang kerap dilontarkan pejabat publik
di negeri ini tentang pelestarian adat budaya lokal.
Seharusnya jika
komitmen pelestarian adat budaya yang digelorakan pemerintah benar-benar
merupakan kehendak kuat, dimana salah satu di dalamnya ialah ulos maka
kekeliruan, kesalahan penggunaan ulos sebagai simbol adat budaya bangso Batak,
khususnya Batak Toba sudah perlu segera diluruskan. Dan disini pulalah perlu
pentingnya peran lembaga adat budaya memberi pemahaman komprehensif paripurna
tentang arti, makna, fungsi serta pemakaian ulos secara mendalam dan mendetail
agartidak terjadi bias pemahaman atas penggunaan ulos tersebut. Karena tidak
mustahil pemberian ulos oleh seorang pejabat publik yang bukan bangso Batak
kepada atasannya disebabkan ketidakmengertian belaka. Akan tetapi sungguh
disesalkan dan patut dipersalahkan ialah apabila pejabat publik adalah bangso
Batak masih “latah” memberi ulos (mangulosi-red) atasannya perlu dipertanyakan
“Kebatakannya”. Dan sangat disayangkan pula, pejabat publik yang seharusnya
menjaga, merawat, serta melestarikan adat budaya justru “merusak,
menghancurkan”simbol-simbol adat budaya warisan leluhur.
Untuk mengelaborasi
lebih jauh makna ulos pada bangso Batak, khususnya Batak Toba maka perlu
dipahami hal-hal sebagai berikut;
1. Ulos bermakna historis.
Pada
peradaban masyarakat purba keterbatasan pakaian merupakan permasalahan
fundamental, dimana pada ketika itu belum ditemukan alat teknologi pembuat
pakaian sebagaimana yang ada saat ini. Bangso Batak maupun bangsa-bangsa lain
di atas jagat raya mengalami hal yang sama akibat masih terbatasnya ilmu
pengetahuan dan teknologi (Iptek) sehingga manusia pada zaman itu masih
menggunakan bahan pakaian apa adanya. Kulit kayu, daun-daunan dan lain
sebagainya digunakan untuk menutupi (mangabiti-red) bahagian terlarang dengan
seadanya. Oleh karena itu pulalah bangso Batak, khususnya Batak Toba mengenal
jenis pakaian dari kulit kayu (takki-red) karena pada saat itu belum ditemukan
benang (boning-red) sebagai bahan dasar pakaian (kain).
Bukti
penggunaan kulit kayu bahan pakaian (abit-red) diabadikan pada umpasa Batak
Toba mengatakan; “Takki ma ualang, garinggang jala garege. Sai tubu anak
partahi ulubalang, boru parmas jala pareme”.
Kemudian
seiring dengan perkembangan kemajuan zaman bangso Batak, khususnya Batak Toba
mengenal benang (bonang-red) sebagai bahan pakaian yang warnanya ada tiga
macam, yakni; merah, hitam, dan putih. Dan benang ini dinamakan “Bonang Manolu
atau Bonang Manalu” yang merupakan warna spesifik pakaian maupun
ornamen-ornamen bangso Batak. Dalam ungkapan Batak Toba dikenal, “Andalu
sangkotan ni bonang, musu ma na ripe talu hita ma na ripe monang”. “ Ni dandan
bonang ma nolu, bahen ihot ni simbora. Singkop ma ngolu-ngolu, molo maduma jala
mamora”.
Pada
awalnya menurut para penggiat ulos, bahwa ulos dimaknai pakaian (abit-red)
sehingga ulos mempunyai fungsi antara lain;
Pertama;
Pakaian ( abit, abit-abit-red) yang
dilingkarkan (dihohophon-red) pada bahagian badan untuk menghangatkan serta
membalut, menutupi (mangabiti-red) bahagian badan tak layak dinampakkan.
Kedua;
pakaian selendang atau kain sandang (hande-hande, sengka-sengka-red) ketika
bepergian, misalnya ke pesta, dan lain sebagainya.
Ketiga;
kain penutup kepala (detar, saong-saong-red) untuk melindungi panas terik
matahari.
Fungsi-fungsi
ulos seperti ini lebih dititikberatkan pada kegunaan penutup bahagian badan
karena kondisi iklim bona pasogit beriklim dingin sehingga diperlukan kain
(ulos) penghangat badan, pelindung dari terik matahari, tetapi fungsi ulos
disini adalah bahan pakaian atau kain (abit-red) yang tidak berhubungan dengan
nilai hitoris penggunaan ulos.
Perkembangan
kemajuan pembuatan pakaian pada Batak, khususnya Batak Toba dikenal dengan
pertenunan (partonun-red), dan dikenal Umpasa mengatakan, “Balintang ma pagabe,
tumandanghon sitadoan. Horas ma hita jala gabe, asal ma masipaolooloan”.
2.
Ulos
Bermakna Kultural.
Makna
ulos secara kultural pada bangso Batak, khususnya Batak Toba ialah sebuah
pemberian bermakna adat budaya sehingga secara kultural ulos dikenal dalam tiga
macam, yakni; Ulos na so ra buruk (pauseang-red), ulos herbang, dan ulos na
tinonun sadari (uang-red).
Ulos
na so ra buruk (pauseang) ialah pemberian sebidang tanah (tano maraek, tano
mahiang-red) dari orangtua siperempuan kepada borunya pasca perkawinan Batak
Toba, sebab kearifan budaya Batak Toba mengatakan, “Sinamot tondong ni ragi-ragi
pauseang”. Artinya, ketika orangtua si perempuan telah menerima “sinamot (boli
ni boru) dari pihak si laki-laki maka pihak parboru akan menghunjuk sebidang
tanah sebagai pauseang kepada borunya pada pesta perkawinan tersebut. Tetapi
penyerahan secara fisik barulah diserahkan ketika si mempelai mempunyai
keturunan dan biasanya setelah lahir anak laki-laki.
Pemberian
pauseang kepada boru pada masa belakangan ini sudah sangat jarang dilakukan
sehingga para generasi Batak Toba, terutama yang tinggal di perantauan
(diaspora) telah banyak tak mengetahui arti dan makna ulos na so ra buruk
(pauseang). Padahal, pemberian pauseang dari orangtua si perempuan kepada
borunya adalah salah satu media pemberian harta kepada boru karena hak waris
orangtua pada Batak, khususnya Batak Toba diletakkan pada garis laki-laki
(baoa-red). Dan disinilah makna ungkapan Batak Toba mengatakan, “Sipat bagot hak ni anak,
sabonggar ansuan hak ni boru”.
Ulos
Herbang ialah ulos berbentuk kain yang ditenun (ditonun-red) dari perpaduan
tiga warna benang (bonang manolu-red) yang diserahkan pihak parboru kepada
pihak paranak ketika pesta perkawinan ataupun perhelatan lainnya.
Ketika
pesta perkawianan pemberian ulos herbang dari pihak parboru kepada pihak
paranak dikenal ulos pansamot, ulos hela, ulos paramaan, ulos sihutti ampang,
ulos todoan, dan lain sebagainya. Dan pada prinsipnya pemberian dan/atau
penerimaan ulos suhi ni ampang na opat langsung diberikan pihak bersangkutan.
Artinya, ulos paramaan diberikan pamarai, ulos sihutti ampang diberikan tulang
ni na muli, ulos simandokhon diberikan kepada simolohon (haha, anggi pangoli), ulos
todoan paranak diberikan todoan pihak parboru. Sedangkan ulos pansamot dan ulos
hela langsung diberikan hasuhuton parboru. Tetapi belakangan ini setelah sering
dilembagakan sinamot rambu pinungu ataupun sinamot sitombol, semua ulos na
marhadohoan telah dipersiapkan hasuhuton parboru maka jenis ulos suhi ni ampang
na opat menjadi ulos holong kepada mempelai.
Ulos
na Tinonun Sadari (ulos-ulos, hepeng-red) ialah hak adat budaya timbal balik
sebagaimana panandaion dari pihak paranak kepada pihak parboru. Artinya, pihak
paranak tidak seluruhnya mendapat ulos herbang dari pihak parboru sehingga
mereka akan mendapat ulos-ulos yang disebut ulos na tinonun sadari
(hepeng-red).
Oleh
karena itu, secara kultur ulos pada bagso Batak, khususnya Batak Toba bukanlah
semata-mata ulos herbang, melainkan tiga macam ulos sebagaimana telah diuraikan
di atas, sehingga apabila membicarakan ulos harus secara spesifik agar tidak
terjadi bias pengertian, pemahaman terhadap generasi supaya pengertian,
pemahaman tentang ulos tidak menimbulkan kerancuan berpikir.
3.
Ulos
Bermakna Filosofis.
Makna
ulos secara filosofis ialah arti dan makna ulos menurut pandangan filosofi
bangso Batak, khususnya Batak Toba terhadap eksistensi ulos dalam kehidupan
yang melambangkan kasih sayang terhadap pihak lain. Artinya, pemberian ulos
kepada seseorang atau suatu pihak merupakan perlambang kasih sayang murni dan
tulus ikhlas sehingga pemberi ulos selalu berstatus lebih tinggi dalam struktur
kekeluargaan, kekerabatan daripada sipenerima ulos tersebut.
Karena
itu, pada Batak Toba yang layak dan lazim memberi ulos ialah hula-hula kepada
boru, bapak kepada anak, ompung kepada pahompu, abang kepada adik, tulang
kepada bere/bebere sesuai struktur partuturan dalam kekeluargaan, kekerabatan
Batak Toba.
Jika
dianologikan pemberian ulos yang merupakan perlambang kasih sayang sama seperti
Tuhan Yang Maha Kuasa memberi rahmat dan karuniaNya kepada seluruh ciptaanNya
di atas alam semesta. Apakah pantas dan layak manusia memberi kasing sayang
kepada sang pencipta ? Bukankah sang pencipta menganugerahkan rahmat dan
karuniaNya kepada dunia ini ? Seperti itulah pandangan filosofi Batak,
khususnya Batak Toba dalam pemberian ulos sebagai pertanda kasih sayang dari
hula-hula kepada boru, bapak kepada anak, ompung kepada pahompu, abang kepada
adik, tulang kepada bere/bebere, dan lain sebagainya.
Pada
Batak Toba kedudukan hula-hula adalah mataniari binsar, karena itulah dikenal
Umpasa mengatakan, “Ni durung situma, mangihut pora-pora, Tangiang pasupasu ni
hula-hula, Na pogos boi jadi mamora”. “Obuk do jambulan, ni dandan bahen
samara. Tangiang ni hula-hula, pitu sundut soada mara”. “Dulang na so dulangon,
dulang bajoran di bonana. Hula-hula na so jadi sumpaon, habiaran do sapatana”.
Demikian
juga orangtua, menurut pandangan bangso Batak, khususnya Batak Toba adalah
Debata na tarida yang selalu dihormati sepanjang hayatnya. Dan anak-anaknya
selalu meminta berkat dan restu dari orangtua (natoras-red) agar mudah mendapat
rezeki. Bahkan ketika orangtua (natoras) telah ujur para anak-anaknya meminta
berkat, doa dan nasehat melalui pasahat sulang-sulang na tabo (manulangi
natoras) yang saat ini masih terlembagakan yang disebut “manulangi natuatua,
pasahat sulang-sulang na tabo”. Ada umpasa Batak Toba mengatakan, “Binuat hau
toras, tiang ni sopo di balian. Na burju marnatoras, dapot pasupasu sian
Tuhan”. “Rata napuran tiar, uli napuran mauliate. Hata poda natur, manorusi
bilut ni ateate”.
Wejangan,
nasehat berupa umpama, umpasa yang disampaikan ketika memberi ulos (mangulosi-red) menurut filosofi bangso
Batak, khususnya Batak Toba hanya layak disampaikan struktur partuturan lebih
tinggi dalam kekeluargaan, kekerabatan Batak Toba. Sehingga amat sangat keliru
besar apabila seorang bupati/walikota, gubernur memberi ulos kepada presiden,
atau dengan perkataan lain pejabat lebih rendah memberi ulos (mangulosi-red)
pejabat diatasnya yang tak sesuai dengan filosofi pemberian ulos yang
diwariskan leluhur Batak Toba.
Untuk
meluruskan kekeliruan yang berlangsung selama ini sekaligus menghindarkan politisasi
simbol-simbol adat budaya, khususnya adat budaya Batak Toba, pemberian ulos
terhadap pejabat publik sebaiknya diserahkan kepada lembaga-lembaga adat
budaya, dan bila lembaga-lembaga itu belum ada lebih pas dan cocok jika
penyerahan ulos oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR, DPRD provinsi, DPRD
kabupaten/kota) sebagai representasi wakil rakyat.
4. Ulos Bermakna Religi.
Ulos
bermakna religi ialah keyakinan sipemberi ulos atas berkat rahmat Tuhan Yang
Maha Kuasa yang dituangkan pada sebuah ulos sehingga dikenal berbagai jenis
ulos sesuai sipenerimanya. Artinya, anugerah dan berkat Tuhan Yang Maha Kuasa
(Ompu Mulajadi Nabolon-red) terhadap orang yang disayangi (dihaholongi-red)
adalah sebuah keyakinan, doa dan permohonan yang tercermin pada jenis ulos tersebut.
Misalnya, pemberian Ulos Ragi Hotang kepada mempelai (ulos hela-red) adalah
sebuah keyakinan dan doa semoga rumah tangga pengantin berlangsung langgeng
hingga umur tua, keluarga berbahagia (gabe, mamora, sangap-red) sebagaimana
kuatnya ikatan rotan (hotang-red). Demikian juga misalnya pemberian ulos
Bintang Maratur kepada pahompu/bere oleh ompungbao atau tulang adalah suatu doa
dan keyakinan, bahwa sipenerima ulos Bintang Maratur mampu mengatur,
mengarahkan, membimbing dan mengayomi
adik-adiknya dikemudian hari.
Oleh
karena itu, makna ulos pada bangso Batak, khususnya Batak Toba bukanlah sekadar
kain belaka tanpa makna religi sebagaimana pengertian, pemahaman keliru
pihak-pihak yang ingin mendegradasi makna ulos sebagai simbol adat budaya sarat
makna nilai-nilai luhur warisan nenek moyang bangso Batak.
Makna
religi ini pulalah yang menjadi pedoman dan patokan penggunaan jenis ulos oleh
seseorang. Maksudnya ialah tidak sembarang ulos bisa digunakan, tetapi
disesuaikan dengan status masing-masing. Misalnya, jika seseorang belum pernah
mengawinkan anak (pangoli anak, pamuli boru-red) belum berhak memakai Ulos Ragi
Idup maupun Ulos Pinunsaan. Demikian halnya jika seseorang sangat dihormati
(sangap, tarpandang-red) ditengah masyarakat sungguh sangat tak layak jika
diberi ulos Sadum, Ragi Hotang. Ulos yang layak dan pantas diberi kepada orang
seperti ini ialah Ulos Jugia.
Inilah
bukti nyata, bahwa ulos bagi bangso Batak, khususnya Batak Toba memiliki nilai
religi yang dituangkan pada jenis, motif ulos sehingga ulos sarat makna hakiki
sesuai keyakinan bangso Batak, khususnya Batak Toba terhadap Tuhan Yang Maha
Esa (Mulajadi Nabolon-red) pencipta alam semesta sebelum agama-agama impor
masuk ke tanah Batak.
Karena
itu, sungguh keliru besar serta sesat pikir jika ada pihak-pihak tak
bertanggungjawab memlintir makna ulos seolah-olah berseberangan dengan agama
dan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sehingga kerap dipertentangkan
dengan agama dan keyakinan terhadap Tuhan pencipta alam semesta. Padahal, ulos
adalah media doa dari sipemberi ulos sekaligus permohonan kepada Tuhan Yang
Maha Esa agar kiranya berkenan memberi berkat dan anugerah kepada sipenerima
ulos tersebut. Hal itu tercermin pada untaian Umpama, Umpasa Batak Toba
misalnya; “Dangka ni sitorop, tanggo pinangaitaithon. Simbur magodang ma
dakdanak, sitongka ma panahitnahiton”. “Bagot na mararirang, hasonggopan ni
ampapaluan. Badan muna na so jadi sirang, tondi muna masigomgoman”. “Martantan
ma baringin, marurat jabijabi. Horas ma tondi madingin, tumpahon ni Ompunta
Mulajadi”.
Ungkapan
doa melalui Umpama dan Umpasa di saat pemberian ulos harus relevan dengan
keyakinan pemberi ulos yang dituangkan dalam ulos sehingga jenis dan motif ulos
harus disesuaikan dengan tujuan perhelatan (ulaon-red) yang dilaksanakan ketika
itu. Artinya, umpama, umpasa ketika pemberian ulos harus disesuaikan dengan tujuan
serta situasi kondisi yang ada.
Dari berbagai uraian
diatas jelaslah, bahwa ulos bagai bangso Batak, khususnya Batak Toba memiliki
arti dan makna hakiki yang tak boleh dipisahkan dari kehidupan sehari-hari.
Ulos bukan sekadar kain biasa serta pemberiannya bukan pula hanya seremonial
belaka, sebab ulos meliki arti dan makna historis, kultural, filosofis, religi
sehingga harus dijaga, dirawat, dilestarikan serta dilindungi melalui payung
hukum yang jelas dan tegas agar terhindar dari anasir-anasir yang ingin merusak
dan menghilangkan ulos salah satu simbol adat budaya Batak, khususnya Batak
Toba.
Pemerintah, pemerintah
daerah sudah seharusnya mengeluarkan peraturan perundang-undangan tentang
perlindungan simbol-simbol adat budaya lokal agar kekayaan adat budaya
Nusantara tidak hilang atau punah akibat akulturasi ataupun inkulturasi
menjadikan simbol-simbol adat budaya semakin terpinggirkan dalam kehidupan
sehari-hari.
Pemerintah daerah harus
segera mengeluarkan peraturan daerah (Perda) tentang Perlindungan Masyarakat
Adat (MHA) termasuk simbol-simbol adat budaya dengan sanksi hukum yang tegas
agar arogansi intelektual yang ingin merusak situs-situs adat budaya warisan
leluhur Nusantara dapat dihentikan secara konkrit ke depan.
Ulos
antara nilai komersil dengan nilai budaya.
Sesuai perkembangan
teknologi pertekstilan semakin pesat belakangan ini maka produk ulos buatan
pabrikasi pertekstilan telah semakin banyak, baik jumlah maupun jenis motifnya.
Perkembangan itu, sadar atau tidak turut juga mendegradasi nilai ulos sebagai
salah satu simbol adat budaya bangso Batak, khususnya Batak Toba. Betapa tidak,
jika diperhatikan cermat dan seksama, ulos yang tadinya bermakna dan bernilai
adat budaya kini telah dijadikan bahan pakaian, asisoris, souvenir tanpa
memperhatikan nilai-nilai luhur adat budaya yang terkandung dalam ulos itu
sendiri. Misalnya, ulos ragi idup dijadikan bahan pakaian jas pria, dan jas
tersebut dipakai oleh seorang anak muda ataupun seorang artis. Bukankah ulos
ragi idup hanya pantas dipakai oleh seseorang telah mengawinkan anak (pangoli
anak, pamuli boru) menurut adat budaya Batak Toba ? Inilah salah satu
kekeliruan memahami arti dan makna ulos tanpa disadari.
Oleh karena itu, jika
ingin mendorong pertekstilan untuk pakaian, asesoris, souvenir sebaiknya bukan
ulos simbol adat budaya, melainkan motif-motif atau ornamen Batak, khususnya
Batak Toba agar ulos simbol adat budaya tidak mengalami penurunan nilai
ditengah masyarakat, bangsa maupun negara. Fenomena komersialisasi ulos harus
pula disadari salah satu ancaman nyata terhadap eksistensi ulos simbol adat
budaya. Nilai kesakralan ulos sebagai simbol adat budaya harus benar-benar
dijaga dan dilestarikan, sebab apabila tidak ulos hanya dipandang dan
diposisikan sehelai kain biasa yang bisa digunakan sesuai selera pemakainya.
Memosisikan ulos secara
tepat dan akurat adalah salah satu upaya nyata meluruskan arti dan makna ulos
sebagai simbol adat budaya bagi kehidupan bangso Batak, khususnya Batak Toba
agar eksistensi ulos tetap lestari sebagai salah satu aset nasional ataupun
internasional. Upaya-upaya Komunitas Ulos yang mengajukan/mengusulkan ulos ke
UNESCO sebagai salah satu warisan dunia sungguh sangat cerdas dan jenial
apalagi upaya-upaya itu benar-benar tulus ihklas untuk melestarikan ulos simbol
adat budaya bangso Batak, tanpa muatan-muatan kepentingan tertentu.
Karena itu, diperlukan
pengertian, pemahaman komprehensif paripurna tentang arti dan makna ulos
sebagai simbol adat budaya, bukan semata-mata mengejar nilai ekonomi belaka.
Untuk itu, diperlukan inventarisasi jenis dan macam ulos melalui suatu
penelitian mendalam agar ulos tidak dipersimpangan jalan antara mengejar nilai
ekonomi dengan nilai budaya. Perlu dipikirkan formula yang tepat dan akurat,
mana yang bisa dijadikan pakaian, asisoris, souvenir, dan mana pula yang tak
bisa dijadikan untuk itu. Artinya, harus jelas dan tegas mana bernilai
komersialisasi dan mana pula bernilai adat budaya.
Horas ! Mauliate.
Medan, 13 Agustus 2016
Thomson Hutasoit.
(Penulis: Direktur
Eksekutif LSM Kajian Transparansi Instansi Publik (ATRKTIP), penulis buku:
Keluhuran Budaya Batak Toba, Solusi Adat Batak Toba, 1101 Umpama, Umpasa dongan
tu Ulaon Adat, Kepemimpinan, Parsinabung, Sekretaris Umum Punguan Borsak
Bimbinan Hutasoit, Boru, Bere Kota Medan Sekitarnya) tingggal di Medan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.