Akankah Danau Toba Tersenyum ?
Oleh: Thomson Hutasoit
Direktur Eksekutif LSM Kajian Transparansi Kinerja
Instansi Publik (ATRAKTIP)
Pendahuluan.
Pemiihan
judul tulisan ini mungkin menimbulkan pertanyaan di benak sidang pembaca yang
budiman, sebab sejatinya judul tulisan ini adalah sebuah pertanyaan antara
realita denga retorika bercermin pada “hikayat” perjalanan nasib Danau Toba
dari masa ke masa layaknya lagu-lagu yang didendangkan penyanyi jaman dulu
(jadul-red) hingga jaman saiki yang sangat sulit membedakan kualitasnya.
Kadangkala disadari atau tidak sebuah lagu hanyalah penyedap pendengaran
(telinga-red) tanpa benar-benar memahami arti dan makna hakiki yang terkandung
dalam syair lagu tersebut, sehingga lagu tersebut tidak lain dan tidak bukan
hanyalah penyedap pendengaran (telinga) hampa makna.
Demikian
halnya dengan Danau Toba yang bukan barang baru dalam diskusi, seminar,
kampanye politik, perbincangan di kedai kopi, dan lain sebagainya telah
menimbulkan berbagai kesangsian terhadap berbagai agenda, program retorika,
sebab publik telah lelah mengikuti pembahasan, perbincangan terhadap
pengembangan Danau Toba yang tak kunjung nyata selama ini. Berbagai agenda,
program pengembangan Danau Toba dengan menghabiskan dana signifikan telah
digelontorkan berbagai pihak, seperti pemerintah, pemerintah daerah provinsi,
pemerintah daerah kabupaten/kota se- Sumatera Utara, namun perkembangan
kemajuan sekitar Danau Toba tetap biasa-biasa saja alias tak ada sama sekali.
Bahkan yang terjadi adalah eksploitasi Danau Toba menyebabkan Danau Toba
menangis dan mengerang sepanjang masa.
Sebagaimana
artikel penulis di SKI ASPIRASI edisi 25/12/2009 dengan judul ‘Tangisan Danau
Toba’ mengatakan, “Dolok ni Hutaginjang, panatapan tu Tao Toba. Debata parbanua
ginjang mangungkap mata, roha ni jolma manisia. Terjemahan bebas, Bukit
Hutaginjang tempat memandang ke Danau Toba, Tuhan di tempat maha tinggi membuka
mata, hati manusia” adalah sebuah doa dan permintaan kepada Tuhan Yang Maha Esa
agar mengutus pemimpin yang terbuka ‘mata, telinga, hati’ mengembangkan Danau
Toba beserta seluruh potensi sekitar Kaldera Toba supaya tanah leluhur (Bona Pasongit-red)
bangso Batak tidak lagi menyandang predikat “peta kemiskinan” yang menjadi
stigma negatif (turik ngenge-red) terhadap seluruh generasi Batak dimanapun
berada.
Tangisan
Danau Toba sejatinya adalah akibat ambivalensi kebijakan pemerintah, pemerintah
daerah menyebabkan “Danau Toba Diantara Dua Kutub” sebagaimana judul artikel
penulis di SKI ASPIRASI, 29/05/2012 lalu. Dalam artikel tersebut penulis
menurunkan ungkapan (umpama-red) Batak Toba mengatakan, “Timbo pe Pusuk Buhit,
ditoruna do Tao Toba. Sai mandao ma angka sahit, sai ro ma las ni roha”. “Tao
Toba aek natio, hagodangan ni porapora. Dao tano di ranto, Tao Toba tung so
lupa sian roha”. “Tabo pe dengke jahir, Ihan do dengke Batak. Godang mandok
marpingkir, Tao Toba tong rotak”. Ungkapan ini adalah sebuah harapan sekaligus
kritik atas kebijakan kontradiktif antara Danau Toba destinasi wisata dengan
Danau Toba peternakan ikan. Sebab fakta dan bukti berbicara keramba jala apung
(KJA), limbah ternak, limbah domestik, penggundulan hutan, baik legal maupun
illegal sepertinya terjadi “pembiaran” menjadikan tangisan, erangan Danau Toba
semakin menjadi-jadi tanpa jawaban yang pasti.
Berbagai
gerakan komunitas pencinta Danau Toba, baik niat tulus ikhlas maupun ada udang
dibalik batu (sarat kepentingan-red) tumbuh subur bagaikan jamur di musim
penghujan sehingga Danau Toba bagaikan gadis cantik nan molek tak pernah sepi
dari ‘partandang’ walau hanya sekadar menikmati kecantikan dan kemolekannya.
Buktinya, pada saat-saat kontestasi politik (kampanye pemilihan-red) gubernur,
presiden apalagi legislatif Danau Toba dijadikan menu kampanye menarik suara
rakyat sekitar Kaldera Toba. Akan tetapi, begitu kontestasi usai, Danau Toba
dilupakan dan/atau ditinggalkan begitu saja tanpa alasan, sehingga menambah
rintihan Danau Toba semakin menggema hingga ke penjuru dunia.
Danau
Toba bukanlah makhluk pintar dan pandai berwacana, beretorika sebagaimana
kecerdikan dan kemahiran para pihak ‘pengeksploitasi’ di negeri ini. Namun
demikian, sehebat apapun kemampuan manusia berkamuflase harus menyadari tak
seorang pun mampu menghindarkan diri dari kekuatan alam semesta, sehingga
sangatlah keliru besar dan sesat pikir mengeksploitasi Danau Toba dengan
berbagai kemunafikan kebijakan. Karena itu, pelestarian, pengembangan,
pengelolaan Danau Toba, termasuk agenda besar cerdas jenial mengajukan Geopark
Nasional Kaldera Toba menjadi Taman Bumi Dunia UNESCO harus benar-benar
terpadu, terintegrasi dengan seluruh potensi sekitar Kaldera Toba melalui
legalitas perlindungan hak masyarakat hukum adat (MHA), baik berbentuk
undang-undang maupun peraturan daerah (Perda) supaya setiap orang memikul hak
dan kewajiban yang jelas dan tegas.
Danau Toba dari Waktu ke Waktu.
Jika
diperhatikan cermat dan seksama, Danau Toba adalah sebuah magnit yang menarik
perhatian sejumlah pihak, baik positif maupun negatif. Satu sisi Danau Toba
dijadikan “sapi perah” bagi pihak-pihak tertentu seperti; sumber pendapatan
negara maupun sumber pendapatan daerah provinsi, kabupaten/kota melalui annual fee, ABT/APU, CD, CSR, ataupun retribusi lingkungan. Berbagai
pendapatan ini telah mendorong egoisme daerah merasa paling berhak memperoleh
bahagian, tanpa kompensasi pelestarian, pengelolaan, pengembangan Danau Toba
secara signifikan, proporsional.
Berbagai
agenda, program retoris yang tak signifikan mengangkat dan mengembangkan Danau
Toba kerap digelontorkan, baik oleh pemerintah, pemerintah daerah, maupun
komunitas mengatasnamakan Danau Toba adalah sebuah taktik strategi meraup
keuntungan, baik finansial maupun politis menjadikan Danau Toba sebuah menu tak
pernah sepi dibicarakan dari waktu ke waktu. Menuding, menyalahkan pengelolaan,
pengembangan Danau Toba di ruang publik, seminar, diskusi tanpa solusi nyata
sudah tak barang asing lagi. Karenanya, Danau Toba salah satu menu paling seksi
dalam debat kusir yang sama sekali tak bermanfaat menjawab tangisan Danau Toba
semakin nyaring ke seluruh penjuru alam semesta.
Polarisasi
pemikiran antara destinasi wisata dengan peternakan ikan adalah sebuah debat
berkepanjangan, sebab masing-masing kubu membentangkan dalil-dalil argumentasi
piawi untuk membenarkan agendanya. Hal itu pulalah menjadikan Danau Toba berada
diantara dua kutub yakni; Desatinasi wisata vs Peternakan Ikan. Polarisasi
inilah sejatinya perlu mendapat solusi serta persamaan persepsi agar Danau Toba
tidak selalu dipersimpangan jalan seperti selama ini.
Sebagai
“harta karun” anugerah Tuhan Yang Maha Esa bagi bangsa Indonesia, kususnya
provinsi Sumatera Utara, terkhusus lagi masyarakat sekitar Kaldera Toba, hal
paling fundamental esensial dipikirkan ialah menyamakan persepsi Danau Tob dijadikan
apa ?
Pertanyaan
ini penting dan fundamental, sebab fakta dan bukti menunjukkan ambivalensi
kebijakan yang berlangsung dari waktu ke waktu selama ini. Tarik menarik
kepentingan telah “merobek-robek” wajah Danau Toba yang indah nan molek berubah
“compang camping” sehingga tak memiliki daya pikat lagi bagi wisatawan, baik
domestik maupun internasional.
Harta
karun karunia Tuhan Yang Maha Esa bagi bangsa Indonesia di belahan barat Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari waktu ke waktu selalu mengalami pasang
surut dalam kebijakan publik, sehingga Danau Toba ditempatkan pada titik antara
penting dan tidak, perlu dan tak perlu oleh pihak-pihak pengambil kebijakan di
negeri ini. Dan itulah sejatinya makna umpama, “Tabo pe dengke jahir, ihan do
dengke Batak. Godang mandok marpingkir, Tao Toba tong rotak”. Berpikir sekadar
wacana, retorika tanpa langkah konkrit atau realita tidak akan pernah
menghentikan “Tangisan Danau Toba”, malah membuat tangisan, erangannya semakin
bertambah nyaring hingga menembus dinding kesadaran paling dalam terhadap harta
karun ini.
Sebagai
anak bangsa, khususnya putera Batak Toba yang dilahirkan di kawasan Kaldera
Toba sungguh kesal dan kecewa atas “penelantaran” Danau Toba selama ini
sehingga selalu berteriak menyuarakan kekeliruan kebijakan pelestarian,
pengelolaan, pengembangan Danau Toba “Ikon” Provinsi Sumatera Utara selama ini.
Selaku putera daerah Kaldera Toba tak pernah rela dan setuju bila Bona Pasogit
Batak dijuluki “peta kemiskinan” karena keliru “menelantarkan” Danau Toba
sumber pendapatan maha dahsyat bagi bangsa Indonesia, secara khusus masyarakat
sekitar Kaldera Toba. Karena itulah selalu memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa
agar menunjuk pemimpin yang mampu mendorong dan mengembangkan Danau Toba sumber
penghidupan, kemakmuran, kesejahteraan bangsa Indonesia, khususnya masyarakat
sekitar Kaldera Toba.
Menyimak
dan memaknai Thema HUT Kemerdekaan RI ke 71 yang dicanangkan Presiden Joko
Widodo atau Jokowi “INDONESIA KERJA NYATA” dan dikaitkan rencana “Karnaval
Danau Toba 21 Agustus 2016” yang akan dihadiri langsung Presiden Joko Widodo
maka penulis hakkul yakin “Tangisan Danau Toba” akan segera berhenti. Tinggal
pertanyaannya sekarang ialah sejauhmana kesiapan stakeholders Danau Toba mendukung dan memberhasilkan kemauan kuat
dan niat tulus ikhlas presiden pro rakyat ini agar tidak lagi sekadar wacana
dan retorika seperti selama ini.
Momentum
ini harus dijadikan langkah konkrit titik awal pengembangan Danau Toba sebagai
salah satu upaya nyata mengubah “peta kemiskinan” menjadi tanah idaman, impian,
kawasan kemakmuran, kesejahteraan bagi umat manusia di dunia, bangsa Indonesia,
khususnya kawasan Kaldera Toba karunia Tuhan Yang Maha Esa.
Masyarakat
sekitar Kaldera Toba bersyukur dan berterima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa
telah menunjuk Presiden Joko Widodo atau Jokowi yang lahir dari rahim rakyat
menjawab “Tangisan Danau Toba” dengan langkah konkrit mengembangkan kawasan
Kaldera Toba melalui Perpres Nomor 49 tahun 2016 tentang Badan Otorita
Pengelolaan Kawasan Pariwisata Danau Toba (BPOKPDT) yang ditandatangani
Presiden Joko Widodo tanggal 1 Juni 2016, dan diundangkan Menteri Hukum dan HAM
Yasonna Laoly pada tanggal 13 Juni 2016 lalu.
Peraturan
Presiden (Perpres) Nomor 49 tahun 2016 adalah bukti nyata kemauan kuat Presiden
Joko Widodo mengembangkan kawasan Kaldera Toba, sebab beliau tau Bona Pasogit
Batak tidak seharusnya “peta kemiskinan” melainkan “tanah harapan” impian
seluruh insan manusia di atas planet ini yang menyimpan sejarah peradaban
manusia di atas bumi.
Era Kebangkitan Kaldera Toba.
Kawasan
Kaldera Toba seharusnya tak masuk akal jika disebut “peta kemiskinan” apabila
setiap orang menyadari Danau Toba anugerah maha besar Tuhan Yang Maha Esa
terhadap bangsa ini. Danau tekto-vulkanik terbesar di Indonesia dan Asia dengan
ukuran panjang 100 km dan lebar 30 km adalah salah satu wisata alam dengan
panorama indah dan molek seharusnya salah satu primadona pendapatan dari sektor
pariwisata jika dikelola dan dikembangkan profesional.
Selain
panorama indah dan molek kawasan Kaldera Toba menyimpang situs-situs sejarah
peradaban manusia, flora dan fauna serta tumbuhan endemik sangat penting bagi
kehidupan manusia masih bisa ditemukan di sekitar Kaldera Toba. Namun
potensi-potensi maha dahsyat ini belum dikelola efektif untuk meningkatkan
taraf hidup apalagi salah satu sumber kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat
sekitar. Terobosan cerdas dan jenial masih belum dilakukan maksimal,
profesional sehingga potensi-potensi itu tinggal potensi belaka. Padahal, jika
pemerintah daerah sekitar kawasan Kaldera Toba mampu membangun koordinasi atau
kerjasama antar daerah, termasuk membangun “Marketing Regional” untuk
mempromosikan, “menjual” potensi keunggulan Danau Toba maka kawasan Kaldera
Toba menjadi salah satu kawasan strategis destinasi pariwisata yang berdaya
pikat tinggi di mata investor.
Setiap
pemerintah daerah di kawasan Kaldera Toba harus menyadari, bahwa pengembangan
Danau Toba tidak boleh bersifat parsial, melainkan sebuah kawasan terpadu,
terintegrasi, berkesinambungan yang memerlukan finansial besar, sehingga tak
bisa menonjolkan ego daerah masing-masing. Harus disadari mengembangkan Danau
Toba mengandalkan kemampuan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) kabupaten
sekitar Kaldera Toba adalah sebuah kemustahilan belaka. Karena itulah terobosan
Pemerintahan Joko Widodo-HM Jusuf Kalla melalui menteri-menterinya sungguh
merupakan langkah cerdas jenial yang ditindaklanjuti Perpres 49 tahun 2016.
Mantan
Menko Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli, Menko Polhukam (kini Menko
Kemaritiman dan Sumber Daya-red) Luhut Binsar Panjaitan dan Menteri Pariwisata
Arief Yahya yang mendorong bupati di kawasan Danau Toba untuk duduk bersama patut
diapresiasi sekaligus sebuah langkah konkrit mengembangkan Danau Toba salah
satu destinasi wisata di belahan barat Indonesia.
Luhut
Binsar Panjaitan selaku Menko Kemaritiman dan Sumber Daya menggantikan Rizal
Ramli yang notabene putera kawasan
Kaldera Toba menurut pandangan penulis mempertegas komitmen kuat Presiden Joko
Widodo atau Jokowi mengembangkan kawasan Kaldera Toba secara serius sesuai
Thema HUT RI ke 71 “INDONESIA KERJA NYATA”.
Karena
itu, pemerintah daerah serta seluruh masyarakat kawasan Kaldera Toba benar-benar
menyambut, mendukung niat tulus Pemerintahan Joko Widodo-HM Jusuf Kalla dengan
sepenuh hati, sebab baru kali inilah kawasan Kaldera Toba menjadi prioritas
nasional dalam kebijakan pembangunan secara konkrit.
Menjadikan
pembangunan, pengembangan kawasan Danau Toba prioritas pembangunan nasional
adalah titik awal kebangkitan Bona Pasogit bangso Batak sekaligus “kado” HUT Kemerdekaan Republik
Indonesia ke 71 agar kawasan ini tidak lagi menyandang predikat “peta kemiskinan”.
Terima
kasih Presiden Joko Widodo, selamat datang di tanah leluhur bangso Batak. Horas
!
“Tao
Toba tao natio, hagodangan ni porapora. Horas ma Presiden Joko Widodo, nunga
marlas ni roha kawasan Kaldera Toba”.
Medan,
18 Agustus 2016
Thomson
Hutasoit.
(Tulisan ini sebagai ungkapan terima kasih sekaligus
menyambut kedatangan Presiden Joko Widodo atau Jokowi pada Karnaval
Khatulistiwa Pesona Danau Toba 2016 Puncak Perayaan HUT ke 71).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.