Menjaga Keadaban Demokrasi.
Oleh: Thomson Hutasoit.
Demokrasi adalah suatu sistim
menempatkan kedaulatan berada di tangan rakyat berbangsa dan bernegara, termasuk memilih
pemimpin seperti; pemilihan presiden (Pilpres), pemilihan gubernur (Pilgub), pemilihan
bupati (Pilbup), pemilihan walikota (Pilkot) maupun pejabat publik lainnya yang
wajib menjunjung tinggi kejujuran, kebenaran, sportivitas, serta integritas
agar hak dan kewajiban setiap orang setara dan sederajat. Berbagai pelanggaran,
penyimpangan mengurangi, menghilangkan hak dan kewajiban yang diatur peraturan
perundang-undangan, norma sosial harus dimaknai pelanggaran hak asasi manusia
(HAM) menegasi makna luhur demokrasi,
berubah jadi democracy.
Keadaban demokrasi tercermin dari
kualitas penyelenggaraan pesta demokrasi rakyat (Pilkada Serentak, Pilpres,
Pileg) berjalan fair, jujur, adil, langsung, terbuka, aman dan nyaman, supaya
kontestasi politik memilih calon pemimpin benar-benar sebuah pesta demokrasi,
festival gagasan atau visi-misi terbaik menghasilkan pemimpin berkualitas.
Sebagai sebuah pesta demokrasi, Pilpres, Pilkada Serentak, Pileg tidak boleh
sekali-sekali menimbulkan kecemasan, ketakutan, serta perasaan waswas lainnya
ditengah masyarakat, bangsa maupun negara. Pesta demokrasi harus benar-benar
sebuah kesenangan, kegembiraan, kebahagiaan serta wahana pendidikan politik rakyat
menggunakan kedaulatan (hak pilih) tanpa tekanan, intervensi dalam bentuk
apapun.
Perbedaan pilihan adalah hak asasi
manusia (HAM) paling dasar yang harus dihormati, dihargai didalam berdemokrasi.
Karena itu, sangat keliru besar dan sesat pikir jika perbedaan pilihan dijadikan
sumber gesekan, perpecahan, konflik, ketika, pasca kontestasi dilaksanakan
sebagaimana catatan buram berbagai Pilkada yang terjadi di masa lalu. Sebut
saja misalnya, Pilkada DKI Jakarta 2017 yang menjadi presenden buruk demokrasi
di republik ini.
Amuk
massa, pengrusakan, pembakaran fasilitas negara, gesekan, benturan, konflik
sosial ditengah masyarakat telah menodai nilai luhur demokrasi sesungguhnya
yakni; meninggikan keadaban manusia menentukan/menggunakan hak pilih terhadap
calon pemimpinnya.
Kualitas demokrasi tidak terlepas
dari kompetensi, kredibilitas, integritas penyelenggara pemilihan, antara lain;
Komisi Pemilihan Umum (KPU, KPUD), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu, Panwaslu,
Panwaslih), aparat penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan) serta pemerintah,
pemerintah daerah menyelenggarakan, mengawasi dengan baik dan benar. Kejujuran,
keberanian, ketegasan, profesionalisme, integritas lembaga-lembaga tersebut merupakan kunci utama menjaga keadaban
demokrasi.
Berbagai
sinyalem kecurangan, pelanggaran pemilu yang terjadi seperti; tidak ada surat
undangan memilih (C6), tempat pemungutan suara (TPS) terpencar jauh dari
domisili, mencoblos berulang kali, pencurian suara (penghilangan atau penggelembungan) di
berbagai tingkatan, dan lain sebagainya adalah akibat ketidakmampuan
penyelenggara, pengawas, aparat penegak hukum melaksanakan tugas dan kewajiban
diamanahkan peraturan perundang-undangan dengan baik dan benar. Bahkan,
berbagai kecurangan, pelanggaran itu terkesan akibat pengabaian ataupun
disengaja (by desain) karena oknum
nakal penyelenggara, pengawas, aparat pemerintah, pemerintah daerah, aparat
penegak hukum terjebak kepentingan subyektivitas (transaksional) ataupun diduga
keras terapiliasi pada salah satu kontestan tertentu.
Beberapa anggota penyelenggara,
pengawas pemilu (KPU, KPUD, Bawaslu. Panwaslu, Panwaslih) harus dipecat akibat
melakukan kecurangan, pelanggaran pemilu sebagaimana diberitakan media massa,
baik media cetak maupun media elektronik di negeri ini. Hal itu, tentu suatu
gambaran nyata betapa buruk dan rendahnya karakter mental penyelenggara,
pengawas pesta demokrasi di negeri ini.
Ketika
wasit ikut jadi pemain, sportivitas, fair
play kompetisi sungguh sangat
diragukan. Sadar atau tidak kecurangan, pelanggaran Pilpres, Pilkada Serentak,
Pileg sesungguhnya disebabkan ketidakprofesionalan, tidak kompeten, tidak
berintegritasnya penyelenggara, pengawas pemilu serta stakehoders lainnya menjaga keadaban demokrasi. Hal inilah merusak kualitas
pesta demokrasi yang seharusnya sebuah pesta kegembiraan, kesenangan,
kebahagiaan, berubah menjadi seram, mencekam, menakutkan ditengah kehidupan
berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, kompetensi, kejujuran, keberanian,
profesionalitas, integritas penyelenggara, pengawas pemilu, pemerintah,
pemerintah daerah, aparat penegak hukum merupakan kunci utama menjaga keadaban demokrasi di republik ini.
Demikian juga partai politik
pengusung/pendukung pasangan calon (presiden, gubernur, bupati/walikota), kandidat,
tim sukses, relawan, simpatisan, tidak boleh sekali-sekali melancarkan kampanye
negatif (negative campaign), kampanye
hitam (black campaign), politik uang
(money politics), menggoda dan/atau mempengaruhi penyelenggara, pengawas
pemilu (KPU, KPUD, Bawaslu, Panwaslu, Panwaslih) dalam bentuk apapun yang
menodai pesta demokrasi rakyat memilih pemimpin.
Kontestasi
politik wajib menjaga keadaban demokrasi. Karena itu, ujaran kebencian,
pembohongan, pembodohan, penyesatan, politik transaksional harus dihindari
setiap kontestan. Melancarkan taktik strategi sentimen sektarian-primordial
seperti isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), sentimen putera daerah,
politik uang adalah wajah buruk demokrasi sekaligus ancaman laten keutuhan
Negara Republik Indonesia berdasarkan Pancasila, UUD RI 1945, Bhinneka Tunggal
Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang telah final dan harga mati.
Keadaban demokrasi tercemin dari kompetisi
adu gagasan cerdas dan jenial, visi-misi terbaik memberi solusi permasalahan
mempercepat laju pembangunan daerah maupun bangsa merupakan taktik strategi
paling jitu meraih simpati calon pemilih.
Kandidat seperti inilah yang paling
pantas dan paling layak diserahi amanah kepercayaan memimpin di segala level
kepemimpimpinan.
Gagasan
cerdas jenial, visi-misi terukur, rekam jejak (track record) terbukti dan teruji, bersih dan bebas dari korupsi, kolusi,
nepotisme, berani, kompeten, profesional, visioner, kreatif, inovatif dan
berintegritas ketika diberi amanah kepercayaan di masa lalu menjadi parameter pertama
dan utama layak tidaknya seorang kandidat untuk dipilih. Sebab, tak masuk akal,
seseorang kandidat yang memiliki rekam jejak (track record) gagal, terindikasi berkelindan korupsi, kolusi,
nepotisme, tak kompeten, tak berintegritas akan menjadi seorang pemimpin
mumpuni dan berprestasi gemilang di masa depan. Andaipun kandidat seperti itu
piawi berteori, beretorika, berwacana patut diduga hanyalah khayalan si kabayan
mimpi ataupun pungguk khayalkan bulan yang tak akan pernah berwujud nyata.
Ilusi, halusinasi dengan slogan “akan dan akan” hanyalah sebuah harapan palsu
dan mimpi di alam outopis yang mendatangkan kekecewaan paling pahit di kemudian
hari.
Oleh
sebab itu, menghalalkan segala cara meraih kemenangan dalam kontestasi harus
dimaknai sungguh-sungguh suatu tindakan kebiadaban demokrasi yang tak boleh
dibiarkan dan ditolerir karena merusak keadaban demokrasi paling fatal. Bila ada
kandidat melakukan tindakan seperti itu maka kandidat tersebut tidak pantas dan
layak didaulat mengemban amanah kepercayaan rakyat. Mereka bukanlah calon
pemimpin berikhtiar mengabdikan diri untuk bangsa dan negara. Mereka hanyalah
ambisius berkuasa yang menjadikan kekuasaan tujuan akhir mewujudkan nafsu
kekuasaan, baik finansial maupun politik.
Untuk
menjaga keadaban demokrasi maka seluruh komponen bangsa harus mengkawal
penyenggaraan pesta demokrasi (Pilpres, Pilkada Serentak, Pileg) dengan
keadaban, taat asas, norma kesantunan ditengah kehidupan berbangsa dan
bernegara. Segala bentuk kecurangan, pelanggaran pemilu, ujaran kebencian,
melancarkan sentimen politik identitas yang mengusik dan merusak harmoni
masyarakat, politik transaksional harus benar-benar dihentikan agar keadaban
demokrasi terbangun dari waktu ke waktu di negeri ini.
Kualitas,
keadaban demokrasi tercermin dari penyelenggaraan Pemilu, jujur, adil,
langsung, terbuka, transparan, partisipatif dan akuntabel. Karena itu, KPU,
KPUD, Bawaslu, Panwaslu, Panwaslih, pemerintah, pemerintah daerah, partai
politik, kandidat, dan rakyat pemilih harus menghindari segala bentuk
kecurangan, pelanggaran pemilu agar bangsa Indonesia dihormati, dihargai, salah
satu negara demokrasi terbesar di dunia. Keikut sertaan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) mengawasi politik transaksional di Pilkada Serentak 2018 sangat
menggembirakan dan membanggakan, sebab kredibilitas, kapasitas, integritas KPK
memberantas korupsi, baik korupsi konvensional maupun korupsi politik tidak
perlu diragukan hingga saat ini. KPK harus memastikan kandidat kepala daerah
tak ada terindikasi tindak pidana korupsi agar tidak ada lagi kandidat terpilih
masuk penjara ke depan. Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK harus dilakukan
intensif supaya bisa dipastikan kandidat kepala daerah yang berkompetisi
benar-benar sosok bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepostisme (KKN).
Medan,
06 Maret 2018
Thomson
Hutasoit.
Direktur Eksekutif LSM Kajian
Transparansi Kinerja Instansi Publik (ATRAKTIP), Wapemred SKI ASPIRASI.