Memenangkan Kompetisi Beradat dan Beradab.
Oleh: Thomson Hutasoit.
Salah satu pemikiran mendasar dan
mendetail dalam kontestasi politik ialah bagaimana menjadikan kompetisi atau
kontestasi politik wahana pendidikan politik mencerdaskan rakyat berpolitik secara
fair play, sehingga benar-benar pesta demokrasi rakyat yang menyenangkan,
menggembirakan, serta membahagiakan.
Kompetisi atau kontestasi politik
beradat dan beradab tentu haruslah menjunjung tinggi aturan (adat) serta
meninggikan keadaban manusia sebagaimana makna hakiki demokrasi yang menghormati,
menghargai harkat, martabat kemanusiaan setinggi-tingginya. Karenanya, segala
intrik, manuver politik melanggar aturan (adat), baik peraturan
perundang-undangan, norma-norma sosial ditengah kehidupan masyarakat, bangsa
dan negara tidak boleh sekali-sekali digunakan memenangkan kompetisi atau
kontestasi politik.
Pemilihan
presiden (Pilpres), pemilihan gubernur (Pilgub), pemilihan bupati (Pilbup),
pemilihan walikota (Pilkot) maupun pemilihan legislatif (Pileg) dan lain
sebagainya harus ditujukan meninggikan derajat kemanusiaan seoptimal mungkin.
Menghalalkan segala cara memenangi kompetisi ataupun kontestasi politik harus
disadari paripurna adalah tindakan merendahkan harkat, martabat kemanusiaan,
sehingga barangsiapa yang mencoba melakukan dapat dipastikan cermin perilaku
buruk tak beradab dalam berdemokrasi, karena telah nyata-nyata merendahkan,
menghina, melecehkan hak dasar kemanusiaan melalui tindakan-tindakan tak terpuji dan biadab.
Dalam kompetisi atau kontestasi
politik para kompetitor atau kontestan sah-sah saja menggunakan taktik strategi
meraih kemenangan dengan berbagai cara asalkan masih tetap menghormati,
menghargai hak asasi manusia (HAM) orang lain. Kampanye positif (positive campaign), kampanye negatif (negative
campaign), dan kampanye hitam (black
campaign) adalah bentuk-bentuk taktik strategi kampanye yang kerap
dilakukan dalam kontestasi politik. Taktik strategi itu digunakan mengangkat
citra diri sekaligus menyerang atau melumpuhkan kontestan lain. Hal itu, harus
benar-benar dicermati, disiasati dan diwaspadai agar terhindar dari
jebakan-jebakan politik yang dapat mengecoh kecermatan, kecerdasan menentukan
pilihan terhadap kandidat tertentu.
Kampanye positif (positive campaign) ialah kampanye
mengangkat dan mempublikasi hal-hal positif rekam jejak (track record) prestasi kinerja seseorang kandidat dengan tujuan konstituen mengenal, mengerti dan memahami
kompetensi seorang kandidat apabila diberi tugas dan tanggung jawab mengemban
amanah kepercayaan sebagai pemimpin. Kampanye positif didukung bukti dan fakta
empirik rekam jejak prestasi kinerja adalah salah satu cara paling baik dan
jitu meraih simpatik calon pemilih. Sebab makna sejati pemilihan atau
kontestasi adalah memilih kandidat paling kompeten mengemban amanah keparcayaan
rakyat. Pemilihan bukan sekadar rutinitas seremonial pergantian (suksesi)
pemimpin sesuai amanat peraturan perundang-undangan yang berlaku, melainkan
memilih putera-puteri terbaik yang bisa diharapkan mendatangkan, menghadirkan
janji Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 secara nyata dalam
berbangsa dan bernegara.
Oleh
karena itu, putera-puteri bangsa berprestasi spektakuler teruji dan terbukti
melalui rekam jejak prestasi kinerja sebelumnya, memiliki visi-misi cerdas dan
jenial, visioner, kreatif, inovatif serta profesional menjadi penilaian esensil
fundamental apakah seseorang kandidat layak dan pantas diberi amanah kepercayaan
di masa depan. Hal itu, berkorelasi linier dengan pendapat Stephen P Robbins
Ph.D dalam bukunya berjudul ‘The Trurth
Abaout Managing People” (2008) menyatakan, “Prediktor terbaik perilaku
seseorang di masa depan ialah perilakunya di masa lalu”. Artinya, perilaku
gagal, koruptif, kolutif, nepotif, pelanggar hukum, serta perilaku tak terpuji
lainnya di masa lalu cenderung melakukan hal yang sama di masa depan. Sebab, sungguh
sulit diterima akal sehat seseorang pemimpin gagal, koruptif, kolutif, nepotif,
pelanggar hukum, serta berperilaku tak terpuji di masa lalu bisa diharapkan
pemimpin yang baik dan benar dan berprestasi di masa depan.
Kecermatan, kecerdasan memahami
profil kandidat adalah hal esensial fundamental
menghadirkan calon pemimpin otentik memiliki karakter pemimpin untuk
semua yang bisa diharapkan gantungan harapan masa depan lebih cemerlang. Calon
pemimpin seperti itu tidak lagi sebatas berhalusinasi, bertiori, beretorika,
berwacana muluk-muluk membawa rakyat ke alam mimpi, khayal dan outopis,
melainkan seorang pemimpin yang telah teruji dan terbukti menorehkan
karya-karya fenomenal pada masa pengabdian sebelumnya.
Banyak kandidat “merasa bisa dan
mampu”, tetapi tak bisa menunjukkan catatan prestasi kinerja ketika diberi
amanah kepercayaan sebagai pemimpin. Mereka hanyalah sosok paranoid, pemimpi
besar, si kabayan mimpi ataupun pengkhayal besar yang sangat diragukan mampu
menorehkan prestasi spektakuler di masa depan. Mereka sulit diharapkan membawa
harapan baru (new hope) bagi masyarakat,
bangsa dan negara di masa depan. Kandidat pemimpin harus benar-benar solusi
masalah, bukan bahagian dari masalah karena berkelindan dugaan kasus tindak
pidana korupsi dan pelanggaran hukum lainnya.
Kampanye negatif (negative campaign) yaitu taktik strategi
kampanye mengangkat sisi negatif kandidat lain dengan tujuan agar
elektabilitasnya jatuh di mata calon pemilih. Sekalipun kampanye negatif
didukung bukti dan fakta, menjelek-jelekkan kandidat lain sungguh tak terpuji
dan tak beradab. Berkompetisi, berkontestasi saling menyerang dengan
isu-isu negatif, menyerang privasi
kandidat, melancarkan ujaran kebencian, mengangkat sentimen politik identitas
seperti sentimen suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) ataupun sentimen
putera daerah sungguh sangat berbahaya dan beresiko tinggi. Karena itu,
kampanye negatif sangat keliru besar dan sesat pikir apabila digunakan taktik
strategi memenangkan kompetisi. Menjatuhkan lawan politik dengan kampanye
negatif harus pula disadari bentuk politik kumuh tak beradab tak pantas dan
layak digunakan calon pemimpin beradat dan beradab. Bukankah berkompetisi harus
dilakukan fair play serta menjunjung sportivitas agar hasil
kompetisi benar-benar mampu menghadirkan pemimpin berkualiatas, menggembirakan
dan membahagiakan ?
Harus diingat kualitas demokrasi
ditentukan sejauh mana sportivitas dan fair
play dijunjung tinggi setiap kontestan dalam meraih kemenangan kompetisi.
Menghalalkan segala cara meraih kemenangan sejatinya adalah cermin wajah buruk
demokrasi yang harus dihindari setiap kontestan. Sebab demokrasi, kompetisi,
kontestasi yang baik dan benar adalah sebuah festival adu gagasan, visi-misi terbaik
mencari solusi dalam berbangsa dan bernegara. Bukan mencari-cari kelemahan,
keburukan, serta menyerang privasi kandidat lain untuk mewujudkan nafsu
berkuasa atau ambisi kekuasaan.
Kemenangan
yang diraih dengan cara-cara negatif pasti tidak akan membawa kemaslahatan
rakyat, malah mendatangkan kesengsaraan dan malapetaka dikemudian hari. Karena
itu, siapapun kandidat melancarkan kampanye negatif (negative campign) dalam berkompetisi, berkontestasi bisa dipastikan,
bukanlah sosok pemimpin otentik, pemimpin untuk semua, melainkan pemimpin haus
kuasa tak pernah sungguh-sungguh mengabdikan diri untuk kepentingan rakyat,
tanpa kecuali. Bagi mereka kekuasaan adalah tujuan, bukan alat untuk mengabdikan
diri memberi pelayanan terbaik untuk semua. Calon pemimpin seperti itu harus
ditolak dan tak layak dipilih mengemban amanah kepercayaan rakyat. Mereka bukan
membawa bangsa, negara “Bangkit”, malah sebaliknya membawa, mendatangkan bangsa
dan negara “Bangkrut” karena mereka sesungguhnya “harimau berbulu domba, musang
berbulu ayam”.
Kampanye hitam (black campign) adalah wajah politik paling buruk, kumuh tak beradab
yang tak pantas dan layak dilakukan masyarakat, bangsa beradat dan beradab. Menyerang
kandidat lain tanpa bukti dan fakta, melakukan pembohongan, pembodohan,
penyesatan adalah taktik strategi paling tak terpuji, tak beradat dan tak
beradab.
Kejahatan
politik menyeramkan, membahayakan, merusak dan menghancurkan harkat, martabat
kemanusiaan paling hakiki adalah kampanye hitam. Kampanye hitam adalah kejahatan
politik paling biadab menghancurkan lawan politik dengan berbagai pembohongan,
pembodohan, penyesatan tanpa memperhitungkan dampak buruk paling mengerikan
ditengah kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Mereka berpikir, bertindak dengan
segala kebiadaban karena mereka sesungguhnya monster-monster predator
menghalalkan segala cara demi meraih kekuasaan dalam segala hal perikehidupan
berbangsa dan bernegara. Berbagai kemunafikan, kepura-puraan, pemutarbalikan
bukti dan fakta, penjungkirbalikan logika dilancarkan sistematis terstruktur
melalui pembohongan, pembodohan, penyesatan, termasuk membangkitkan sentimen
fanatisme buta menimbulkan kebencian, permusuhan, konflik dengan berbagai
kemasan sentimen sektarian-primordial.
Mempertentangkan,
membenturkan perbedaan, keragaman, kemajemukan atau kebhinnekaan telah final
dan harga mati di Negara Republik Indonesia berdasarkan Pancasila, UUD RI 1945,
Bhinneka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menyerang
kandidat lain sungguh mengerikan, membahayakan serta merupakan ancaman laten
keutuhan bangsa dan negara.
Tindakan
radikalisme, intoleran, anarkhis, dajjal, babar dengan kemasan baju SARA menyerang lawan politik telah menjadi catatan
buram perpolitikan negeri ini, terutama ketika Pilgub DKI Jakarta 2017 lalu.
Kampanye hitam seperti itu telah mengancam keutuhan berbangsa dan bernegara
paling mengkhawatirkan, mencekam sekaligus mendegradasi kualitas demokrasi
Indonesiadi mata dunia internasional hingga titik nadir. Pengalaman buruk dan
memalukan itu tentu tidak boleh terulang kembali pada Pilkada Serentak 2018,
Pilpres 2019, Pileg 2019 di negeri tercinta ini agar demokrasi di Indonesia
mendapat pengakuan dunia internasional. Bung Karno mengatakan, “ Hanya keledai
mau terperosok dua kali kedalam satu lobang yang sama”.
Kesadaran
paripurna dari seluruh stakeholder
negeri ini dalam berdemokrasi berkeadaban salah satu indikator pertama dan utama apakah
bangsa Indonesia telah mampu melaksanakan pesta demokrasi berkualitas
menghadirkan pemimpin otentik di berbagai level menggawangi kepemimpinan
nasional maupun daerah agar terwujud Indonesia Hebat, Indonesia Jaya ke depan.
Karena itu, momentum strategis pesta demokrasi rakyat, baik Pilkada Serentak
2018, Pilpres 2019, Pileg 2019 harus mampu dilaksanakan sebaik-baiknya “ajang
kompetisi beradat dan beradab”.
Partai politik, penyelenggara pemilihan umum
(KPU, KPUD, Bawaslu, Panwaslu), kandidat, pemerintah, pemerintah daerah, dan
rakyat wajib hukumnya berupaya sekuat-kuatnya melaksanakan kompetisi,
kontestasi politik beradat dan beradab sehingga Pilpres, Pileg, Pilkada
Serentak benar-benar pesta demokrasi rakyat memilih pemimpin terbaik, penuh
kegembiraan, kesenangan dan kebahagiaan, bukan menyeramkan sebagaimana
dikatakan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Selamat
dan sukses melaksanakan pesta demokrasi rakyat. Jangan korbankan kepentingan
bangsa dan negara demi ambisi berkuasa
belaka.
Medan,
13 Pebruari 2018
Thomson
Hutasoit.
Direktur Eksekutif LSM Kajian Transparasi Kinerja
Instansi Publik (ATRAKTIP), Wapemred SKI ASPIRASI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.