Menilik Makna Ulos Pada Batak Toba
Oleh: Thomson Hutasoit
Pendahuluan.
Salah satu hal yang sering diperbincangkan akhir-akhir ini ialah Ulos Batak, khususnya Batak Toba karena di satu sisi dianggap penting sebagai instrumen adat budaya, sementara di sisi berbeda telah banyak puladari bangso Batak menganggap Ulos tak lagi penting, bahkan telah ada oknum tak bertanggung jawab membakar Ulos tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan atas penghancuran simbol adat budaya warisan leluhur bangso Batak.
Adanya dua kutub pandangan berbeda tentang eksistensi Ulos bagi kehidupan bangso Batak, khususnya Batak Toba menjadikan Ulos antara penting dan tak penting mengakibatkan arti dan makna Ulos bagi kehidupan Batak semakin kabur serta tidak mustahil akan dianggap kain biasa-biasa saja tanpa arti dan makna historis, kultural, filosofis, religi sebagaimana dipahami leluhur bangso Batak, khususnya Batak Toba.
Hal itu sangat berpengaruh besar dalam pelestarian situs-situs adat budaya, baik bersifat kebendaan maupun bukan kebendaan (fisik, non fisik) sebagai hasil kebudayaan bangso Batak.
Ulos adalah salah satu hasil kebudayaan bangso Batak, khususnya Batak Toba hingga kini masih dijadikan instrumen adat budaya, baik di saat suka maupun duka. Tetapi penggunaan Ulos serta arti dan maknanya sepertinya tak dipahami komprehensif paripurna sehingga pemberian dan penerimaan Ulos tak sebagaimana mestinya. Akibatnya, eksistensi Ulos bagi kehidupan bangso Batak tak memiliki nilai kesakralan lagi hingga timbul pandangan keliru, siapa saja boleh menyerahkan Ulos tanpa memperhatikan struktur sosial ditengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal ini tentu akan semakin mendegradasi arti dan makna Ulos sebagai simbol adat budaya warisan leluhur.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2007) Budaya ialah pikiran; akal budi ataupun sesuatu mengenai kebudayaan yang sudah berkembang (beradab, maju). Sedangkan kebudayaan ialah hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat, ataupun keseluruhan pengetahuan manusia sebagai mahkluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya.
Pada era belakangan ini, Ulos dianggap sebuah kado semata, sehingga bila petinggi negara datang berkunjung ke provinsi Sumatera Utara maupun kabupaten/kota para pejabat pemerintahan di daerah “latah” memberi Ulos (mangulosi-red) pejabat atasannya, tanpa menyadari kesalahan fatal, sesat pikir amat sangat keliru besar tentang arti dan makna serta fungsi Ulos dalam adat budaya bangso Batak. Bahkan di kalangan pimpinan agama pun juga melakukan kekeliruan sama, karena arti dan makna Ulos telah direduksi sebatas sebuah kado. Bukan lagi simbol adat budaya warisan leluhur bangso Batak. Hal ini sungguh kontraproduktif dengan wacana, retorika kerap dilontarkan pejabat publik tentang pelestarian adat budaya lokal di negeri ini.
Seharusnya, jika komit dan konsisten pelestarian adat budaya digelorakan pemerintah serta benar-benar merupakan kehendak kuat mengembangkan adat budaya lokal, dimana salah satu di dalamnya ialah Ulos maka kekeliruan, kesalahan penggunaan Ulos sebagai simbol adat budaya bangso Batak, perlu segera diluruskan dengan langkah konkrit. Dan disini pulalah perlu pentingnya peran lembaga adat budaya memberi pengertian, pemahaman komprehensif paripurna tentang arti, makna, fungsi serta pemakaian Ulos secara baik dan benar, mendalam dan mendetail agar tidak terjadi bias pengertian, pemahaman atas penggunaan Ulos tersebut. Karena tidak mustahil pemberian Ulos oleh seorang pejabat publik yang notabene bukan bangso Batak kepada atasannya akibat ketidakmengertian belaka. Tapi sungguh disesalkan dan patut dipersalahkan ialah apabila pejabat publik adalah bangso Batak masih “latah” memberi Ulos (mangulosi-red) atasannya perlu dipertanyakan “Kebatakannya”. Dan sangat disayangkan pula, pejabat publik seharusnya menjaga, merawat, serta melestarikan adat budaya justru “merusak, menghancurkan”simbol-simbol adat budaya warisan leluhur akibat arogansi kekuasaan.
Untuk mengelaborasi lebih jauh makna Ulos pada bangso Batak maka perlu dipahami hal-hal sebagai berikut;
Ulos bermakna historis.
Pada peradaban masyarakat purba keterbatasan pakaian atau sandang merupakan permasalahan fundamental, dimana pada ketika itu belum ditemukan alat teknologi pembuat pakaian seperti saat ini. Bangso Batak maupun bangsa-bangsa lain di atas jagat raya mengalami hal yang sama akibat masih terbatasnya ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) sehingga manusia pada zaman itu masih menggunakan bahan pakaian apa adanya. Kulit kayu, daun-daunan dan lain sebagainya digunakan untuk menutupi (mangabiti-red) bahagian terlarang dengan seadanya. Oleh karena itu pulalah bangso Batak, khususnya Batak Toba mengenal jenis pakaian dari kulit kayu (takki-red) karena pada saat itu belum ditemukan benang (bonang-red) sebagai bahan dasar pakaian (kain).
Bukti penggunaan kulit kayu bahan pakaian (abit-red) diabadikan pada umpasa Batak Toba mengatakan; “Takki ma ualang, garinggang jala garege. Sai tubu anak partahi ulubalang, boru parmas jala pareme”.
Kemudian seiring dengan perkembangan kemajuan zaman bangso Batak mengenal benang (bonang-red) sebagai bahan pakaian warnanya ada tiga macam, yakni; merah, hitam, dan putih. Benang ini dinamakan “Bonang Manolu atau Bonang Manalu” yang merupakan warna spesifik pakaian maupun ornamen-ornamen bangso Batak. Dalam ungkapan Batak Toba dikenal, “Andalu sangkotan ni bonang, musu ma na ripe talu hita ma na ripe monang”. “ Ni dandan bonang ma nolu, bahen ihot ni simbora. Singkop ma ngolu-ngolu, molo maduma jala mamora”.
Pada awalnya menurut para penggiat Ulos, bahwa Ulos dimaknai pakaian (abit-red) sehingga Ulos mempunyai fungsi antara lain;
Pertama; Pakaian ( abit, abit-abit-red) dilingkarkan (dihohophon-red) pada bahagian badan untuk menghangatkan serta membalut, menutupi (mangabiti-red) bahagian badan tak layak dinampakkan.
Kedua; pakaian selendang atau kain sandang (hande-hande, sengka-sengka-red) ketika bepergian, misalnya ke pesta, dan lain sebagainya.
Ketiga; kain penutup kepala (detar, saong-saong-red) untuk melindungi panas terik matahari.
Fungsi Ulos seperti ini lebih dititikberatkan pada kegunaan penutup bahagian badan karena kondisi iklim bona pasogit beriklim dingin, sehingga diperlukan kain (Ulos) penghangat badan, pelindung dari terik matahari. Fungsi Ulos disini adalah bahan pakaian atau kain (abit-red) berhubungan dengan nilai hitoris penggunaan Ulos.
Perkembangan kemajuan pembuatan pakaian pada Batak dikenal dengan pertenunan (partonun-red), hal itu dibuktikan Umpasa mengatakan, “Balintang ma pagabe, tumandanghon sitadoan. Horas ma hita jala gabe, asal ma masipaolooloan”.
Ulos Bermakna Kultural.
Makna Ulos secara kultural pada bangso Batak, khususnya Batak Toba ialah sebuah pemberian bermakna adat budaya sehingga secara kultural Ulos dikenal dalam tiga macam, yakni; Ulos na so ra buruk (pauseang-red), Ulos herbang, dan Ulos na tinonun sadari (uang-red).
Ulos na so ra buruk (pauseang) ialah pemberian sebidang tanah (tano maraek, tano mahiang-red) dari orangtua siperempuan kepada borunya pasca perkawinan Batak Toba. Karena kearifan budaya Batak Toba mengatakan, “Sinamot tondong ni ragi-ragi pauseang”. Artinya, ketika orangtua si perempuan telah menerima “sinamot (boli ni boru) dari pihak si laki-laki maka pihak parboru akan menghunjuk sebidang tanah sebagai pauseang kepada borunya pada pesta perkawinan itu. Tetapi penyerahan secara fisik barulah diserahkan ketika si mempelai mempunyai keturunan dan biasanya setelah lahir anak laki-laki.
Pemberian pauseang kepada boru pada masa belakangan ini sudah sangat jarang dilakukan sehingga para generasi Batak Toba, terutama tinggal di perantauan (diaspora) telah banyak tidak mengetahui arti dan makna Ulos na so ra buruk (pauseang). Padahal, pemberian pauseang dari orangtua si perempuan kepada borunya adalah salah satu media/lembaga pemberian harta kepada boru, karena hak waris orangtua pada Batak, khususnya Batak Toba diletakkan pada garis laki-laki (baoa-red) atau patrilineal. Dan disinilah makna ungkapan Batak Toba mengatakan, “Sipat bagot hak ni anak, sabonggar ansuan hak ni boru”.
Ulos Herbang ialah Ulos berbentuk kain yang ditenun (ditonun-red) dari perpaduan tiga warna benang (bonang manolu-red) diserahkan pihak parboru kepada pihak paranak ketika pesta perkawinan ataupun perhelatan lainnya.
Ketika pesta perkawianan pemberian Ulos herbang dari pihak parboru kepada pihak paranak dikenal Ulos Pansamot, Ulos Hela, Ulos Paramaan, Ulos Sihutti Ampang, Ulos Todoan, dan lain sebagainya. Dan pada prinsipnya pemberian dan/atau penerimaan Ulos suhi ni ampang na opat langsung diberikan pihak bersangkutan. Artinya, Ulos Paramaan diberikan Pamarai, Ulos Sihutti Ampang diberikan Tulang ni na muli, Ulos Simandokhon diberikan kepada Simolohon (haha, anggi pangoli), Ulos Todoan paranak diberikan Todoan pihak parboru. Sedangkan Ulos Pansamot dan Ulos Hela langsung diberikan hasuhuton parboru. Tetapi belakangan ini setelah sering dilembagakan sinamot rambu pinungu ataupun sinamot sitombol, semua Ulos na marhadohoan telah dipersiapkan hasuhuton parboru maka jenis Ulos suhi ni ampang na opat menjadi Ulos holong kepada mempelai.
Ulos na Tinonun Sadari (Ulos-Ulos, hepeng-red) ialah hak adat budaya timbal balik sebagaimana panandaion dari pihak paranak kepada pihak parboru. Artinya, pihak paranak tidak seluruhnya mendapat Ulos herbang dari pihak parboru sehingga mereka akan mendapat Ulos-Ulos yang disebut Ulos na tinonun sadari (hepeng-red).
Oleh karena itu, secara kultur Ulos pada bagso Batak, khususnya Batak Toba bukanlah semata-mata Ulos herbang, melainkan tiga macam Ulos sebagaimana telah diuraikan di atas, sehingga apabila membicarakan Ulos harus secara spesifik agar tidak terjadi bias pengertian, pemahaman terhadap generasi supaya tidak menimbulkan kerancuan berpikir.
Ulos Bermakna Filosofis.
Makna Ulos secara filosofis ialah arti dan makna Ulos menurut pandangan filosofi bangso Batak, khususnya Batak Toba terhadap eksistensi Ulos dalam kehidupan melambangkan kasih sayang terhadap pihak lain. Artinya, pemberian Ulos kepada seseorang atau suatu pihak merupakan perlambang kasih sayang murni dan tulus ikhlas. Sehingga pemberi Ulos selalu berstatus lebih tinggi dalam struktur kekeluargaan, kekerabatan daripada sipenerima Ulos tersebut.
Karena itu, pada Batak Toba yang layak dan lazim memberi Ulos ialah Hula-hula kepada Boru, Bapak kepada Anak, Ompung kepada Pahompu, Abang kepada Adik, Tulang kepada Bere/Bebere sesuai struktur partuturan kekeluargaan, kekerabatan Batak Toba.
Jika dianologikan pemberian Ulos merupakan perlambang kasih sayang, sama seperti Tuhan Yang Maha Kuasa memberi rahmat dan karunia-Nya kepada seluruh ciptaan-Nya di atas alam semesta. Apakah pantas dan layak manusia memberi kasing sayang kepada sang pencipta ? Bukankah sang pencipta menganugerahkan rahmat dan karunia-Nya kepada dunia ? Seperti itulah pandangan filosofi Batak, khususnya Batak Toba dalam pemberian Ulos sebagai pertanda kasih sayang dari Hula-hula kepada Boru, Bapak kepada Anak, Ompung kepada Pahompu, Abang kepada Adik, Tulang kepada Bere/Bebere, dan lain sebagainya.
Pada Batak Toba kedudukan hula-hula adalah mataniari binsar, karena itulah dikenal Umpasa mengatakan, “Ni durung situma, mangihut pora-pora, Tangiang pasupasu ni hula-hula, Na pogos boi jadi mamora”. “Obuk do jambulan, ni dandan bahen samara. Tangiang ni hula-hula, pitu sundut soada mara”. “Dulang na so dulangon, dulang bajoran di bonana. Hula-hula na so jadi sumpaon, habiaran do sapatana”.
Demikian juga orangtua, menurut pandangan bangso Batak, khususnya Batak Toba adalah Debata na tarida yang selalu dihormati sepanjang hayat. Dan anak-anaknya selalu meminta berkat dan restu dari orangtua (natoras-red) agar mudah mendapat rezeki. Bahkan ketika orangtua (natoras) telah ujur, para anak-anaknya meminta berkat, doa dan nasehat melalui pasahat sulang-sulang na tabo (manulangi natoras) yang saat ini masih terlembagakan yang disebut “manulangi natuatua, pasahat sulang-sulang na tabo”. Ada umpasa Batak Toba mengatakan, “Binuat hau toras, tiang ni sopo di balian. Na burju marnatoras, dapot pasupasu sian Tuhan”. “Rata napuran tiar, uli napuran mauliate. Hata poda natur, manorusi bilut ni ateate”.
Wejangan, nasehat berupa umpama, umpasa disampaikan ketika memberi ulos (mangulosi-red) menurut filosofi bangso Batak, khususnya Batak Toba hanya layak disampaikan struktur partuturan lebih tinggi dalam kekeluargaan, kekerabatan Batak Toba. Sehingga amat sangat keliru besar apabila seorang bupati/walikota, gubernur memberi ulos kepada presiden, atau dengan perkataan lain pejabat lebih rendah memberi Ulos (mangulosi-red) pejabat diatasnya. Ha itu tidak sesuai filosofi pemberian Ulos diwariskan leluhur Batak Toba.
Untuk meluruskan kekeliruan berlangsung selama ini, sekaligus menghindarkan politisasi simbol-simbol adat budaya, khususnya adat budaya Batak Toba maka pemberian Ulos terhadap pejabat publik sebaiknya diserahkan kepada lembaga-lembaga adat budaya, dan bila lembaga-lembaga itu belum ada, lebih pas dan cocok jika penyerahan Ulos oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota) sebagai representasi adat budaya masyarakat setempat.
Ulos Bermakna Religi.
Ulos bermakna religi ialah keyakinan sipemberi Ulos atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa yang dituangkan pada sebuah Ulos, sehingga dikenal berbagai jenis Ulos sesuai sipenerimanya. Artinya, anugerah dan berkat Tuhan Yang Maha Kuasa (Ompu Mulajadi Nabolon-red) terhadap orang dikasihi dan disayangi (dihaholongi-red) adalah sebuah keyakinan, doa dan permohonan tercermin pada jenis Ulos tersebut. Misalnya, pemberian Ulos Ragi Hotang kepada mempelai (Ulos Hela-red) adalah sebuah keyakinan dan doa semoga rumah tangga pengantin berlangsung langgeng hingga umur tua, keluarga berbahagia (gabe, mamora, sangap-red) seperti kuatnya ikatan rotan (hotang-red). Demikian juga misalnya pemberian Ulos Bintang Maratur kepada Pahompu/Bere oleh Ompungbao atau Tulang adalah suatu doa dan keyakinan, bahwa sipenerima Ulos Bintang Maratur mampu mengatur, mengarahkan, membimbing dan mengayomi adik-adiknya dikemudian hari.
Oleh karena itu, makna Ulos pada bangso Batak, khususnya Batak Toba bukanlah sekadar kain belaka tanpa arti dan makna religi sebagaimana pengertian, pemahaman keliru pihak-pihak ingin mendegradasi arti dan makna Ulos sebagai simbol adat budaya sarat makna nilai-nilai luhur warisan nenek moyang bangso Batak.
Makna religi ini pulalah yang menjadi pedoman dan patokan penggunaan jenis Ulos oleh seseorang. Maksudnya ialah tidak sembarang Ulos bisa digunakan, tetapi disesuaikan dengan status masing-masing. Misalnya, jika seseorang belum pernah mengawinkan anak (pangoli anak, pamuli boru-red) belum berhak memakai Ulos Ragi Idup maupun Ulos Pinunsaan. Demikian halnya jika seseorang sangat dihormati (sangap, tarpandang-red) ditengah masyarakat sungguh sangat tak layak jika diberi Ulos Sadum, Ragi Hotang. Ulos yang layak dan pantas diberi kepada orang seperti itu ialah Ulos Jugia.
Inilah bukti nyata, bahwa Ulos bagi bangso Batak, khususnya Batak Toba memiliki nilai religi yang dituangkan pada jenis, motif Ulos sehingga Ulos sarat arti dan makna hakiki sesuai keyakinan bangso Batak, khususnya Batak Toba terhadap Tuhan Yang Maha Esa (Mulajadi Nabolon-red) pencipta alam semesta sebelum agama-agama impor masuk ke tanah Batak.
Karena itu, sungguh keliru besar serta sesat pikir jika ada pihak-pihak tak bertanggungjawab memlintir arti dan makna Ulos seolah-olah berseberangan dengan agama dan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa hingga kerap dipertentangkan dengan agama dan keyakinan terhadap Tuhan pencipta alam semesta. Padahal, Ulos adalah media doa dari si pemberi Ulos sekaligus permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar kiranya berkenan memberi berkat dan anugerah kepada si penerima Ulos bersangkutan. Hal itu tercermin pada untaian Umpama, Umpasa Batak Toba misalnya; “Dangka ni sitorop, tanggo pinangaitaithon. Simbur magodang ma dakdanak, sitongka ma panahitnahiton”. “Bagot na mararirang, hasonggopan ni ampapaluan. Badan muna na so jadi sirang, tondi muna masigomgoman”. “Martantan ma baringin, marurat jabijabi. Horas ma tondi madingin, tumpahon ni Ompunta Mulajadi”.
Ungkapan doa melalui Umpama dan Umpasa di saat pemberian ulos harus relevan dengan keyakinan pemberi Ulos yang dituangkan dalam Ulos. Sehingga jenis dan motif Ulos harus disesuaikan dengan tujuan perhelatan (ulaon-red) dilaksanakan ketika itu. Artinya, umpama, umpasa ketika pemberian Ulos harus sesuai dengan tujuan serta situasi kondisi yang ada.
Dari berbagai uraian diatas jelaslah, bahwa Ulos bagai bangso Batak, khususnya Batak Toba memiliki arti dan makna hakiki tak boleh dipisahkan dari kehidupan sehari-hari. Ulos bukan sekadar kain biasa serta pemberiannya bukan pula hanya seremonial belaka. Sebab Ulos meliki arti dan makna historis, kultural, filosofis, religi sehingga harus dijaga, dirawat, dilestarikan serta dilindungi melalui payung hukum jelas dan tegas agar terhindar dari anasir-anasir ingin merusak dan menghilangkan Ulos salah satu simbol adat budaya Batak, khususnya Batak Toba.
Pemerintah, pemerintah daerah sudah seharusnya mengeluarkan peraturan perundang-undangan tentang perlindungan simbol-simbol adat budaya lokal agar kekayaan adat budaya Nusantara tidak hilang atau punah akibat akulturasi ataupun inkulturasi menjadikan simbol-simbol adat budaya semakin terpinggirkan dalam kehidupan sehari-hari.
Pemerintah daerah harus segera mengeluarkan peraturan daerah (Perda) tentang Perlindungan Masyarakat Adat (MHA) termasuk simbol-simbol adat budaya dengan sanksi hukum yang tegas agar arogansi intelektual ingin merusak situs-situs adat budaya warisan leluhur Nusantara dapat dihentikan secara konkrit ke depan.
Ulos antara nilai komersil dengan nilai budaya.
Sesuai perkembangan teknologi pertekstilan semakin pesat belakangan ini, maka produk Ulos buatan pabrikasi pertekstilan telah semakin banyak, baik jumlah maupun jenis motifnya. Perkembangan itu, sadar atau tidak turut juga mendegradasi nilai Ulos sebagai salah satu simbol adat budaya bangso Batak, khususnya Batak Toba.
Betapa tidak…..???? Jika diperhatikan cermat dan seksama, Ulos tadinya bermakna dan bernilai adat budaya kini telah dijadikan bahan pakaian, asisoris, souvenir tanpa memperhatikan nilai-nilai luhur adat budaya terkandung dalam Ulos itu sendiri. Misalnya, Ulos Ragi Idup dijadikan bahan pakaian jas pria, dan jas tersebut dipakai oleh seorang anak muda ataupun seorang artis. Bukankah Ulos Ragi Idup hanya layak dan pantas dipakai oleh seseorang telah mengawinkan anak (pangoli anak, pamuli boru) menurut adat budaya Batak Toba ? Inilah salah satu kekeliruan pengertian serta memahami arti dan makna Ulos, tanpa disadari.
Oleh karena itu, jika ingin mendorong pertekstilan untuk pakaian, asesoris, souvenir sebaiknya bukan Ulos simbol adat budaya, melainkan motif-motif atau ornamen Batak, khususnya Batak Toba agar Ulos simbol adat budaya tidak mengalami penurunan nilai ditengah masyarakat, bangsa maupun negara.
Fenomena komersialisasi Ulos harus pula disadari salah satu ancaman nyata terhadap eksistensi Ulos simbol adat budaya. Nilai kesakralan Ulos sebagai simbol adat budaya harus benar-benar dijaga dan dilestarikan. Karena apabila tidak, Ulos hanya dipandang dan diposisikan sehelai kain biasa yang bisa digunakan sesuai selera pemakainya.
Memosisikan Ulos secara tepat dan akurat adalah salah satu upaya nyata meluruskan arti dan makna Ulos sebagai simbol adat budaya bagi kehidupan bangso Batak, khususnya Batak Toba agar eksistensi Ulos tetap lestari sebagai salah satu aset nasional ataupun internasional.
Upaya Komunitas Ulos mengajukan/mengusulkan Ulos ke UNESCO sebagai salah satu warisan dunia sungguh sangat cerdas dan jenial apalagi upaya-upaya itu benar-benar tulus ihklas untuk melestarikan Ulos simbol adat budaya bangso Batak, tanpa muatan-muatan kepentingan tertentu.
Karena itu, diperlukan pengertian, pemahaman komprehensif paripurna tentang arti dan makna Ulos sebagai simbol adat budaya, bukan semata-mata mengejar nilai ekonomi belaka. Untuk itu, diperlukan identifikasi, inventarisasi jenis dan macam Ulos melalui suatu penelitian mendalam dan mendetai agar Ulos tidak dipersimpangan jalan antara mengejar nilai ekonomi dengan nilai budaya. Perlu dipikirkan formula tepat dan akurat, mana bisa dijadikan pakaian, asisoris, souvenir, dan mana pula tak bisa dijadikan untuk itu. Artinya, harus jelas dan tegas mana bernilai komersialisasi dan mana pula bernilai adat budaya.
Horas ! Mauliate.
Medan, 13 Agustus 2016
Thomson Hutasoit.
(Penulis: Direktur Eksekutif LSM Kajian Transparansi Instansi Publik (ATRKTIP), penulis buku: Keluhuran Budaya Batak Toba, Solusi Adat Batak Toba, 1101 Umpama, Umpasa dongan tu Ulaon Adat, Kepemimpinan, Parsinabung, Sekretaris Umum Punguan Borsak Bimbinan Hutasoit, Boru, Bere Kota Medan Sekitarnya) tingggal di Medan.
Kamis, 17 Oktober 2019
Jumat, 27 September 2019
MEMINIMALISASI RESISTENSI PENOLAKAN PRODUK LEGISLASI.
MEMINIMALISASI RESISTENSI PENOLAKAN PRODUK LEGISLASI.
Oleh: Drs. Thomson Hutasoit.
Mencermati gelombang unjuk rasa atau demonstrasi penolakan beberapa rencana undang-undang (RUU) antara lain; RUU KUHP, RUU Pertanahan, RUU Pemasyarakatan, Revisi UU KPK, dan lain-lain dimotori unjuk rasa (unras) atau demonstrasi mahasiswa, pelajar, kelompok masyarakat dengan skala massif di berbagai daerah belakangan ini, perlu diurai, dikaji, dianalisis obyektif, terbuka, transparan, partisipatif, akuntabel, mendalam dan mendetail agar bisa dijadikan pelajaran berharga melahirkan produk legislasi, baik produk legislasi nasional (Prolegnas) maupun produk legislasi daerah (Prolegda) ke depan.
Peristiwa menegangkan dan mencemaskan di akhir periode Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI), Pemerintahan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi)-HM. Jusuf Kalla (JK) 2014-2019 tinggal menghitung hari, sungguh disayangkan dan disesalkan timbulnya suhu politik memanas mengakibatkan timbulnya kecemasan dan kekhawatiran ditengah kehidupan berbangsa dan bernegara semata-mata dipicu polemic dan polarisasi persepsi atas produk legislasi di injury time periodisasi suksesi kekuasaan di negeri tercinta ini.
Harus dimengerti, dipahami paripurna, di alam demokrasi sedang berkembang di republik ini, tuntutan transparansi, partisipasi, akuntabilitas sebagai wujud nyata penyelenggaraan negara atau pemerintahan demokratis serta good goverment and clean governance segala sesuatu kebijakan publik tidak bisa lagi dilakukan tertutup dari akses publik seluas-luasnya sebagaimana dipraktekkan pada masa diktator otoritarian orde baru (Orba) rezim Soeharto demokrasi semu memasung ruang partisipasi publik.
Segala kebijakan publik yang muaranya diperuntukkan bagi seluruh perikehidupan berbangsa dan bernegara tidak bisa lagi didasarkan pada selera pemangku kekuasaan, termasuk pembuat kebijakan publik itu sendiri. Saluran aspirasi publik harus benar-benar dibuka seluas-luasnya untuk menampung dan mengakomodir aspirasi melalui public hearing agar kebijakan publik tidak bias dan menyimpang dari kebutuhan riil berbangsa dan bernegara.
Ketersumbatan saluran (bottle neck) aspirasi melalui lembaga-lembaga negara resmi (DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota) akan memunculkan gelombang parlemen jalanan (demonstrasi) untuk menerobos ketersumbatan sesuai amanat Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Konsideran Menimbang UU No. 9 Tahun 1998 tentang Keterbukaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum berbunyi selengkapnya;
bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum adalah hak asasi manusia yang dijamin Undang-Undang Dasar 1945 dan Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia.
bahwa kemerdekaan setiap warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum merupakan wujud demokrasi dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
bahwa untuk membangun negara demokratis yang menyelenggarakan keadilan sosial dan menjamin hak asasi manusia diperlukan adanya suasana yang aman, tertib dan damai.
bahwa hak menyampaikan pendapat di muka umum dilaksanakan secara bertanggungjawab sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
….dst.
Untuk menjamin penyampaian pendapat di muka umum tentu haruslah mengikuti koridor-koridor hukum, norma, etika sosial, norma adat budaya, sehingga penyampaian pendapat di muka umum tetap mencerminkan keadaban serta menjunjung harkat, martabat kemanusiaan. Hal itu selanjutnya diatur tegas, terang-benderang pada pasal 6 UU No. 9 Tahun 1998, berbunyi; warga negara yang menyampaikann pendapat di muka umum berkewajiban dan bertanggungjawab untuk:
menghormati hak-hak orang lain.
menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum.
menaati hokum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum, dan
menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.
Bangsa Indonesia telah berketetapan hati dan berkomitmen kuat memilih sistem pemerintahan demokratis pasca reformasi 1998 untuk mewujudkan good goverment and clean governance dengan prinsip transparan, partisipatif, akuntabel dalam pengelolaan dan/atau penyelenggaraan negara atau pemerintahan. Hal itu dibuktikan dengan berbagai peraturan perundang-undangan seperti; Pasal 28F UUD RI 1945, UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, dll.
Pasal 28F UUD RI 1945 (Amandemen) “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.
Pasal 28F UUD RI 1945 (Amandemen) ditindaklanjuti Undang_Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dengan maksud dan tujuan, antara lain:
menjamin hak warga negara untuk mengethaui rencana program, proses, serta latar belakang pembuatan sebuah kebijkan publik yang memengaruhi kepentingan masyarakat.
mendorong keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik (bottom up).
mewujudkan tata kelola negara yang transparan dan akuntabel.
mengembangkan ilmu pengetahuan dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
mendorong peningkatan kapasitas pengelolaan dan pelayanan informasi di lingkungan Badan Publik.
menjamin kepastian hukum masyarakat dalam memperoleh informasi.
Selanjutnya, Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2017 tentang Partisipasi Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, disebutkan antara lain:
Partisipasi masyarakat dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang selanjutnya disebut Partisipasi Masyarakat adalah peran serta masyarakat untuk menyalurkan aspirasi, pemikiran, dan kepentingannya dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Masyarakat adalah orang perseorangan warga negara Indonesia, kelompok masyarakat, dan/atau organisasi kemasyarakatan.
Organisasi Kemasyarakatan adalah organisasi kemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Organisasi Kemasyarakatan.
Konstruksi peraturan perundang-undangan sebagaimana disebutkan kadangkala dikangkangi dan diabaikan dalam melahirkan produk legislasi. Akibatnya, muncul resistensi penolakan produk legislasi, baik Prolegnas maupun Prolegda sebagaimana gelombang unjuk rasa atau demonstrasi memakan korban nyawa manusia menolak berbagai RUU belakangan ini.
Bukankah telah diatur tahapan proses legislasi pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tegas, terang-benderang dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan, dan Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan…..???????
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dan Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU NO. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan telah tegas diatur tahapan harus dipenuhi dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, antara lain:
Perencanaan Peraturan Perundang-undangan.
Perencanaan penyusunan peraturan perundang-undangan dilakukan dalam Prolegnas yang merupakan skala prioritas program pembentukan undang-undang dalam rangka mewujudkan sistim hukum nasional.
Penyusunan Peraturan Perundang-undangan.
Rancangan Peraturan Perundang-undangan dapat berasal dari eksekutif atau legislatif.
Pembahasan dan Pengesahan Rancangan Undang-undang.
Pembahasan Rancangan Peraturan Perundang-undangan dilakukan oleh eksekutif bersama legislatif.
Rancangan Peraturan Perundang-undangan yang telah disetujui bersama oleh legislatif dan eksekutif disampaikan kepada pimpinan eksekutif untuk disahkan menjadi undang-undang.
Pengundangan.
Peraturan Perundang-undangan harus diundangkan dengan menempatkannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia.
Penyebarluasan.
Penyebarluasan dilakukan DPR, Pemerintah sejak Penyusunan Prolegnas, Penyusunan Rancangan Peraturan Perundang-undangan, hingga Pengundangan Undang-undang.
Penyebarluasan dilakukan untuk memberi informasi dan/atau memperoleh masukan masyarakat serta pemangku kepentingan.
Hal yang sama berlaku pada Tahapan Pembentukan Peraturan Daerah (Perda) antara lain:
Perencanaan Peraturan Daerah (Perda).
Penyusunan Peraturan Daerah (Perda).
Pembahasan Peraturan daerah (Perda).
Pengesahan atau Penetapan Peraturan Daerah (Perda).
Pengundangan Peraturan Daerah (Perda).
Penyebarluasan Peraturan Daerah (Perda).
Jika seluruh tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan, peraturan daerah (Perda) dilakukan dengan baik dan benar, serta membuka ruang public hearing and public participation seluas-luasnya bisa dipastikan tidak ada resistensi penolakan publik terhadap produk legislasi di republik ini. Akan tetapi, ketentuan peraturan perundang-undangan, peraturan daerah (Perda) sering dikangkangi ataupun diabaikan dalam melahirkan sebuah produk legislasi. Kejar tayang, kejar target, sim sala bim kerap terjadi dengan berbagai alibi berakibat fatal resistensi penolakan publik.
Sekalipun ruang jalur konstitusi terbuka untuk mengoreksi ataupun membatalkan produk legislasi melalui pintu yudicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK), legislative review ke DPR, eksecutive review dengan penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang oleh Presiden terhadap sebuah undang-undang atas penolakan publik. Sesungguhnya, hal itu sebuah cermin nyata betapa rendah dan buruk kualitas sebuah produk legislasi dilahirkan pembuat undang-undang. Sama halnya dengan produk legislasi daerah atau peraturan daerah (Perda) yang dapat diajukan yudicial review ke Mahkamah Agung (MA) juga mencerminkan kualitas rendah dan buruk produk legislasi daerah.
Harus disadari paripurna, prestasi pembentuk atau pembuat undang-undang, peraturan daerah (Perda) tidak ditentukan kuantitas undang-undang, peraturan daerah (Perda) dilahirkan, melainkan kualitas undang-undang, Perda berguna dan bermanfaat bagi kepentingan rakyat, bangsa dan negara.
Resistensi Penolakan Publik.
Terlepas dari berbagai berbagai kepentingan politik di belakang penolakan publik terhadap beberapa rancangan undang-undang (RUU) di injury time DPR RI dan Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi)-HM. Jusuf Kalla (JK) periode 2014-2019 sungguh amat sangat menarik mengelaborasinya, khususnya Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana (RUU KUHP).
Sebagaimana diketahui, Kitab Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku saat ini adalah KUHP bersumber dari hukum warisan kolonial Belanda yakni Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsh-Indie, pengesahannya dilakukan melalui Staatsblad tahun 1915 Nomor 732 dan mulai berlaku sejak tanggal 1 januari 1918. KUHP 1915 sumber utamanya ialah WvS Belanda pada tahun 1881 pasca bebasnya negeri Belanda dari Prancis.
Selaku Negara merdeka dan berdaulat Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) produk kolonial Belanda, seharusnya tidak berlaku lagi untuk memidanakan rakyat Indonesia merdeka. Hal itu, sesuai dengan bunyi Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 yang menyatakan, “…Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempoh yang sesingkat-singkatnya”. Tetapi harus diakui dan disadari, ketika Indonesia diproklamasikan perangkat undang-undang yang mengatur tatanan berbangsa dan bernegara belumlah tersedia saat itu. Bahkan, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia merdeka baru ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 yang menjadi Hari Konstitusi diperingati setiap tahun saat ini.
Karena itulah para pendiri bangsa (founding fathers) membuat Aturan Peralihan pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 untuk mengisi kekosongan hukum, terutama pada pasal 1 dan 2 berbunyi selengkapnya;
Pasal 1. Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mengatur dan menyelenggarakan kepindahan pemerintahan kepada Pemerintah Indonesia.
Pasal 2. Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini.
Kemudian, lahir lah Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang menyatakan berlakunya KUHP 1915 dengan berbagai perubahan. Pada bagian akhir undang-undang itu dikatakan akan segera disusun KUHP baru.
Menurut catatan, Perubahan KUHP tidak kurang dari 82 kali sejak 1918, dan ketika Indonesia merdeka tidak kurang dari 12 kali perubahan telah dilakukan terhadap KUHP. Berdasarkan UU No. 1 Tahun 1946 dan kemudian UU No. 73 Tahun 1958, nyatalah bahwa, bahasa resmi dari KUHP Indonesia masih bahasa Belanda dengan berbagai perubahan, sebagian masih bahasa Belanda dan sebagian bahasa Indonesia.
Upaya keras dan komitmen kuat menerbitkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) karya anak bangsa sesuai amanat pasal 2 Aturan Peralihan UUD RI 1945, dan UU No. 1 Tahun 1946 telah dilakukan pemerintahan di republik ini. Tapi apa lacur, hingga 74 tahun pasca kemerdekaan belum terealisasi dengan nyata hingga saat ini.
Seluruh anak bangsa harus mengerti dan menyadari paripurna, melahirkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) karya anak bangsa adalah perintah konstitusi, sekaligus pembuktian riil kemampuan anak bangsa melahirkan karya monumental berhukum di negara merdeka dan berdaulat.
Apakah Negara Republik Indonesia berdasarkan hukum telah benar-benar merdeka dan berdaulat ketika seluruh rakyatnya tunduk dan terpidana dibawah produk hukum penjajah kolonial Belanda….???
Inilah permenungan mendalam dan mendetail dari seluruh anak bangsa yang menyatakan diri berjiwa kebangsaan keindonesiaan sejati. Berbagai kelemahan, kekurangan yang terdapat pada Rancangan Undang_Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang ditunda pengesahan dan penetapannya oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus disadari paripurna sebuah karya monumental tertunda tonggak sejarah berbangsa dan bernegara.
RUU KUHP tidak boleh “dibunuh atau dimatikan” oleh siapapun di negeri ini. Bila terdapat kelemahan, kekuarangan, sebaiknya dibuka ruang dialog ataupun ruang perdebatan ilmiah melibatkan ruang partisipasi publik seluas-luasnya dalam kurun waktu tidak terlalu lama supaya tidak ada lagi anak negeri terpidana dengan hukum penjajah kolonial Belanda sudah out of date, serta mengabaikan perintah konstitusi.
Para pakar hukum, elemen masyarakat serta pembentuk peraturan perundang-undangan hendaknya mengedepankan jiwa nasionalisme kebangsaan Indonesia memikirkan perlu pentingnya kehadiran KUHP karya anak bangsa sesuai perintah konstitusi. Hilangkan ego sektoral masing-masing untuk menghadirkan karya monumental (KUHP) warisan generasi sepanjang masa.
Bersatu kita teguh, Bercerai kita runtuh.
Salam NKRI……..!!! MERDEKA…….!!!
Medan, 27 September 2019
Penulis: Penasehat Dewan Pimpinan Cabang Ikatan Sarjana Rakyat Indonesia (DPC ISRI) Kota Medan (pendapat pribadi). .
Oleh: Drs. Thomson Hutasoit.
Mencermati gelombang unjuk rasa atau demonstrasi penolakan beberapa rencana undang-undang (RUU) antara lain; RUU KUHP, RUU Pertanahan, RUU Pemasyarakatan, Revisi UU KPK, dan lain-lain dimotori unjuk rasa (unras) atau demonstrasi mahasiswa, pelajar, kelompok masyarakat dengan skala massif di berbagai daerah belakangan ini, perlu diurai, dikaji, dianalisis obyektif, terbuka, transparan, partisipatif, akuntabel, mendalam dan mendetail agar bisa dijadikan pelajaran berharga melahirkan produk legislasi, baik produk legislasi nasional (Prolegnas) maupun produk legislasi daerah (Prolegda) ke depan.
Peristiwa menegangkan dan mencemaskan di akhir periode Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI), Pemerintahan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi)-HM. Jusuf Kalla (JK) 2014-2019 tinggal menghitung hari, sungguh disayangkan dan disesalkan timbulnya suhu politik memanas mengakibatkan timbulnya kecemasan dan kekhawatiran ditengah kehidupan berbangsa dan bernegara semata-mata dipicu polemic dan polarisasi persepsi atas produk legislasi di injury time periodisasi suksesi kekuasaan di negeri tercinta ini.
Harus dimengerti, dipahami paripurna, di alam demokrasi sedang berkembang di republik ini, tuntutan transparansi, partisipasi, akuntabilitas sebagai wujud nyata penyelenggaraan negara atau pemerintahan demokratis serta good goverment and clean governance segala sesuatu kebijakan publik tidak bisa lagi dilakukan tertutup dari akses publik seluas-luasnya sebagaimana dipraktekkan pada masa diktator otoritarian orde baru (Orba) rezim Soeharto demokrasi semu memasung ruang partisipasi publik.
Segala kebijakan publik yang muaranya diperuntukkan bagi seluruh perikehidupan berbangsa dan bernegara tidak bisa lagi didasarkan pada selera pemangku kekuasaan, termasuk pembuat kebijakan publik itu sendiri. Saluran aspirasi publik harus benar-benar dibuka seluas-luasnya untuk menampung dan mengakomodir aspirasi melalui public hearing agar kebijakan publik tidak bias dan menyimpang dari kebutuhan riil berbangsa dan bernegara.
Ketersumbatan saluran (bottle neck) aspirasi melalui lembaga-lembaga negara resmi (DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota) akan memunculkan gelombang parlemen jalanan (demonstrasi) untuk menerobos ketersumbatan sesuai amanat Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Konsideran Menimbang UU No. 9 Tahun 1998 tentang Keterbukaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum berbunyi selengkapnya;
bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum adalah hak asasi manusia yang dijamin Undang-Undang Dasar 1945 dan Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia.
bahwa kemerdekaan setiap warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum merupakan wujud demokrasi dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
bahwa untuk membangun negara demokratis yang menyelenggarakan keadilan sosial dan menjamin hak asasi manusia diperlukan adanya suasana yang aman, tertib dan damai.
bahwa hak menyampaikan pendapat di muka umum dilaksanakan secara bertanggungjawab sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
….dst.
Untuk menjamin penyampaian pendapat di muka umum tentu haruslah mengikuti koridor-koridor hukum, norma, etika sosial, norma adat budaya, sehingga penyampaian pendapat di muka umum tetap mencerminkan keadaban serta menjunjung harkat, martabat kemanusiaan. Hal itu selanjutnya diatur tegas, terang-benderang pada pasal 6 UU No. 9 Tahun 1998, berbunyi; warga negara yang menyampaikann pendapat di muka umum berkewajiban dan bertanggungjawab untuk:
menghormati hak-hak orang lain.
menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum.
menaati hokum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum, dan
menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.
Bangsa Indonesia telah berketetapan hati dan berkomitmen kuat memilih sistem pemerintahan demokratis pasca reformasi 1998 untuk mewujudkan good goverment and clean governance dengan prinsip transparan, partisipatif, akuntabel dalam pengelolaan dan/atau penyelenggaraan negara atau pemerintahan. Hal itu dibuktikan dengan berbagai peraturan perundang-undangan seperti; Pasal 28F UUD RI 1945, UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, dll.
Pasal 28F UUD RI 1945 (Amandemen) “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.
Pasal 28F UUD RI 1945 (Amandemen) ditindaklanjuti Undang_Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dengan maksud dan tujuan, antara lain:
menjamin hak warga negara untuk mengethaui rencana program, proses, serta latar belakang pembuatan sebuah kebijkan publik yang memengaruhi kepentingan masyarakat.
mendorong keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik (bottom up).
mewujudkan tata kelola negara yang transparan dan akuntabel.
mengembangkan ilmu pengetahuan dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
mendorong peningkatan kapasitas pengelolaan dan pelayanan informasi di lingkungan Badan Publik.
menjamin kepastian hukum masyarakat dalam memperoleh informasi.
Selanjutnya, Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2017 tentang Partisipasi Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, disebutkan antara lain:
Partisipasi masyarakat dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang selanjutnya disebut Partisipasi Masyarakat adalah peran serta masyarakat untuk menyalurkan aspirasi, pemikiran, dan kepentingannya dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Masyarakat adalah orang perseorangan warga negara Indonesia, kelompok masyarakat, dan/atau organisasi kemasyarakatan.
Organisasi Kemasyarakatan adalah organisasi kemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Organisasi Kemasyarakatan.
Konstruksi peraturan perundang-undangan sebagaimana disebutkan kadangkala dikangkangi dan diabaikan dalam melahirkan produk legislasi. Akibatnya, muncul resistensi penolakan produk legislasi, baik Prolegnas maupun Prolegda sebagaimana gelombang unjuk rasa atau demonstrasi memakan korban nyawa manusia menolak berbagai RUU belakangan ini.
Bukankah telah diatur tahapan proses legislasi pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tegas, terang-benderang dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan, dan Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan…..???????
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dan Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU NO. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan telah tegas diatur tahapan harus dipenuhi dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, antara lain:
Perencanaan Peraturan Perundang-undangan.
Perencanaan penyusunan peraturan perundang-undangan dilakukan dalam Prolegnas yang merupakan skala prioritas program pembentukan undang-undang dalam rangka mewujudkan sistim hukum nasional.
Penyusunan Peraturan Perundang-undangan.
Rancangan Peraturan Perundang-undangan dapat berasal dari eksekutif atau legislatif.
Pembahasan dan Pengesahan Rancangan Undang-undang.
Pembahasan Rancangan Peraturan Perundang-undangan dilakukan oleh eksekutif bersama legislatif.
Rancangan Peraturan Perundang-undangan yang telah disetujui bersama oleh legislatif dan eksekutif disampaikan kepada pimpinan eksekutif untuk disahkan menjadi undang-undang.
Pengundangan.
Peraturan Perundang-undangan harus diundangkan dengan menempatkannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia.
Penyebarluasan.
Penyebarluasan dilakukan DPR, Pemerintah sejak Penyusunan Prolegnas, Penyusunan Rancangan Peraturan Perundang-undangan, hingga Pengundangan Undang-undang.
Penyebarluasan dilakukan untuk memberi informasi dan/atau memperoleh masukan masyarakat serta pemangku kepentingan.
Hal yang sama berlaku pada Tahapan Pembentukan Peraturan Daerah (Perda) antara lain:
Perencanaan Peraturan Daerah (Perda).
Penyusunan Peraturan Daerah (Perda).
Pembahasan Peraturan daerah (Perda).
Pengesahan atau Penetapan Peraturan Daerah (Perda).
Pengundangan Peraturan Daerah (Perda).
Penyebarluasan Peraturan Daerah (Perda).
Jika seluruh tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan, peraturan daerah (Perda) dilakukan dengan baik dan benar, serta membuka ruang public hearing and public participation seluas-luasnya bisa dipastikan tidak ada resistensi penolakan publik terhadap produk legislasi di republik ini. Akan tetapi, ketentuan peraturan perundang-undangan, peraturan daerah (Perda) sering dikangkangi ataupun diabaikan dalam melahirkan sebuah produk legislasi. Kejar tayang, kejar target, sim sala bim kerap terjadi dengan berbagai alibi berakibat fatal resistensi penolakan publik.
Sekalipun ruang jalur konstitusi terbuka untuk mengoreksi ataupun membatalkan produk legislasi melalui pintu yudicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK), legislative review ke DPR, eksecutive review dengan penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang oleh Presiden terhadap sebuah undang-undang atas penolakan publik. Sesungguhnya, hal itu sebuah cermin nyata betapa rendah dan buruk kualitas sebuah produk legislasi dilahirkan pembuat undang-undang. Sama halnya dengan produk legislasi daerah atau peraturan daerah (Perda) yang dapat diajukan yudicial review ke Mahkamah Agung (MA) juga mencerminkan kualitas rendah dan buruk produk legislasi daerah.
Harus disadari paripurna, prestasi pembentuk atau pembuat undang-undang, peraturan daerah (Perda) tidak ditentukan kuantitas undang-undang, peraturan daerah (Perda) dilahirkan, melainkan kualitas undang-undang, Perda berguna dan bermanfaat bagi kepentingan rakyat, bangsa dan negara.
Resistensi Penolakan Publik.
Terlepas dari berbagai berbagai kepentingan politik di belakang penolakan publik terhadap beberapa rancangan undang-undang (RUU) di injury time DPR RI dan Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi)-HM. Jusuf Kalla (JK) periode 2014-2019 sungguh amat sangat menarik mengelaborasinya, khususnya Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana (RUU KUHP).
Sebagaimana diketahui, Kitab Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku saat ini adalah KUHP bersumber dari hukum warisan kolonial Belanda yakni Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsh-Indie, pengesahannya dilakukan melalui Staatsblad tahun 1915 Nomor 732 dan mulai berlaku sejak tanggal 1 januari 1918. KUHP 1915 sumber utamanya ialah WvS Belanda pada tahun 1881 pasca bebasnya negeri Belanda dari Prancis.
Selaku Negara merdeka dan berdaulat Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) produk kolonial Belanda, seharusnya tidak berlaku lagi untuk memidanakan rakyat Indonesia merdeka. Hal itu, sesuai dengan bunyi Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 yang menyatakan, “…Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempoh yang sesingkat-singkatnya”. Tetapi harus diakui dan disadari, ketika Indonesia diproklamasikan perangkat undang-undang yang mengatur tatanan berbangsa dan bernegara belumlah tersedia saat itu. Bahkan, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia merdeka baru ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 yang menjadi Hari Konstitusi diperingati setiap tahun saat ini.
Karena itulah para pendiri bangsa (founding fathers) membuat Aturan Peralihan pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 untuk mengisi kekosongan hukum, terutama pada pasal 1 dan 2 berbunyi selengkapnya;
Pasal 1. Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mengatur dan menyelenggarakan kepindahan pemerintahan kepada Pemerintah Indonesia.
Pasal 2. Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini.
Kemudian, lahir lah Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang menyatakan berlakunya KUHP 1915 dengan berbagai perubahan. Pada bagian akhir undang-undang itu dikatakan akan segera disusun KUHP baru.
Menurut catatan, Perubahan KUHP tidak kurang dari 82 kali sejak 1918, dan ketika Indonesia merdeka tidak kurang dari 12 kali perubahan telah dilakukan terhadap KUHP. Berdasarkan UU No. 1 Tahun 1946 dan kemudian UU No. 73 Tahun 1958, nyatalah bahwa, bahasa resmi dari KUHP Indonesia masih bahasa Belanda dengan berbagai perubahan, sebagian masih bahasa Belanda dan sebagian bahasa Indonesia.
Upaya keras dan komitmen kuat menerbitkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) karya anak bangsa sesuai amanat pasal 2 Aturan Peralihan UUD RI 1945, dan UU No. 1 Tahun 1946 telah dilakukan pemerintahan di republik ini. Tapi apa lacur, hingga 74 tahun pasca kemerdekaan belum terealisasi dengan nyata hingga saat ini.
Seluruh anak bangsa harus mengerti dan menyadari paripurna, melahirkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) karya anak bangsa adalah perintah konstitusi, sekaligus pembuktian riil kemampuan anak bangsa melahirkan karya monumental berhukum di negara merdeka dan berdaulat.
Apakah Negara Republik Indonesia berdasarkan hukum telah benar-benar merdeka dan berdaulat ketika seluruh rakyatnya tunduk dan terpidana dibawah produk hukum penjajah kolonial Belanda….???
Inilah permenungan mendalam dan mendetail dari seluruh anak bangsa yang menyatakan diri berjiwa kebangsaan keindonesiaan sejati. Berbagai kelemahan, kekurangan yang terdapat pada Rancangan Undang_Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang ditunda pengesahan dan penetapannya oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus disadari paripurna sebuah karya monumental tertunda tonggak sejarah berbangsa dan bernegara.
RUU KUHP tidak boleh “dibunuh atau dimatikan” oleh siapapun di negeri ini. Bila terdapat kelemahan, kekuarangan, sebaiknya dibuka ruang dialog ataupun ruang perdebatan ilmiah melibatkan ruang partisipasi publik seluas-luasnya dalam kurun waktu tidak terlalu lama supaya tidak ada lagi anak negeri terpidana dengan hukum penjajah kolonial Belanda sudah out of date, serta mengabaikan perintah konstitusi.
Para pakar hukum, elemen masyarakat serta pembentuk peraturan perundang-undangan hendaknya mengedepankan jiwa nasionalisme kebangsaan Indonesia memikirkan perlu pentingnya kehadiran KUHP karya anak bangsa sesuai perintah konstitusi. Hilangkan ego sektoral masing-masing untuk menghadirkan karya monumental (KUHP) warisan generasi sepanjang masa.
Bersatu kita teguh, Bercerai kita runtuh.
Salam NKRI……..!!! MERDEKA…….!!!
Medan, 27 September 2019
Penulis: Penasehat Dewan Pimpinan Cabang Ikatan Sarjana Rakyat Indonesia (DPC ISRI) Kota Medan (pendapat pribadi). .
Rabu, 24 Juli 2019
REVITALISASI NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA (NKRI).
REVITALISASI NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA (NKRI).
Oleh : Drs. Thomson Hutasoit.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dengan tegas menyatakan, Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik (pasal 1 ayat 1 UUD RI 1945).
Pada Penjelasan UUD RI 1945 BAB I BENTUK KEDAULATAN NEGARA pasal 1 dikatakan, “Menetapkan bentuk Negara Kesatuan dan Republik, mengandung isi pokok pikiran kedaulatan rakyat. Majelis Permusyawaratan Rakyat ialah penyelenggara negara yang tertinggi. Majelis ini dianggap sebagai penjelmaan rakyat yang memegang kedaulatan negara”.
Selanjutnya, BAB I BENTUK DAN KEDAULATAN NEGARA pasal 1 dikatakan, “Menetapkan bentuk Negara Kesatuan dan Republik, mengandung isi pokok pikiran kedaulatan rakyat. Majelis Permusyawaratan Rakyat dianggap sebagai penjelmaan rakyat yang memegang kedaulatan negara”.
Pasal 18 UUD RI 1945 ayat (1) “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang”. Ayat (2) “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut otonomi dan tugas pembantuan”. Ayat (6) “Pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”.
BAB VI PEMERINTAHAN DAERAH pasal 18 angka I Penjelasan UUD RI 1945 dengan tegas dikatakan, “Oleh karena Negara Indonesia itu suatu eenbeidstaat, maka Indonesia tak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat staat juga. Daerah-daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah provinsi dan daerah provinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil. Daerah-daerah itu bersifat otonom (streek dan locale rechtsgemeenschappen) atau bersifat daerah administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang. Di daerah-daerah bersifat otonom akan diadakan badan perwakilan daerah, oleh karena itu di daerah pun pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan”.
Dari uraian pasal-pasal tersebut diatas eksistensi pemerintah daerah (provinsi, kabupaten dan kota) seluruh wilayah Indonesia adalah pembagian wilayah administratif yang tak bisa dipisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), termasuk hak menetapkan peraturan daerah (Perda) dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Segala bentuk peraturan daerah (Perda) serta peraturan-peraturan lainnya tidak boleh sekali-sekali menyimpang dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 serta Undang-Undang Republik Indonesia lainnya.
Pemerintahan daerah (provinsi, kabupaten dan kota) tidak boleh sekali-sekali memosisikan diri Negara dalam Negara. Melainkan daerah bersifat administratif belaka tak boleh sekali-sekali terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sesuai pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Negara Republik Indonesia berdasarkan Pancasila, UUD RI 1945, Bhinneka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) harus menjadi dasar hukum pemerintahan daerah (provinsi, kabupaten dan kota) dalam menetapkan peraturan daerah (Perda), peraturan-peraturan lainnya, serta kebijakan pemerintahan daerah untuk menjamin kepastian hukum berbangsa dan bernegara.
Pemerintahan daerah (provinsi, kabupaten dan kota) tidak boleh bertentangan, apalagi melakukan perlawanan terhadap pemerintah yang notabene pemerintahan diatasnya dalam penyelenggaraan negara sebagaimana amanat konstitusi. Segala bentuk arogansi pemerintahan daerah (provinsi, kabupaten dan kota) terhadap pemerintah harus dimanaknai pelanggaran etika pemerintahan yang baik dan benar, yiatu “Perbuatan yang baik, perbuatan yang etis, perbuatan yang wajib dan seharusnya dilakukan adalah perbuatan yang sesuai dengan kebiasaan, adat, aturan atau hukum yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan”. (Milwan, 2008).
Penyimpangan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Jika diperhatikan cermat dan seksama, pemerintahan daerah (provinsi, kabupaten dan kota) sepertinya telah menafsirkan otonomi daerah secara keliru dan sesat pikir. Pemerintahan daerah yang bersifat administratif belaka, telah dimaknai kewenangan mutlak absolut tanpa batas menetapkan peraturan daerah (Perda) serta peraturan-peraturan lain menciderai, mendelegitimasi peraturan perundang-undangan lebih tinggi. Berbagai peraturan daerah (Perda) diskriminatif serta menciderai hak-hak sipil kerap dilakukan atas nama fanatisme-fanatisme buta yang sangat bertentangan dengan prinsip equality before the law sebagaimana diamanatkan pasal 27 ayat (1) UUD 1945.
Bahkan ada pula daerah (provinsi, kabupaten dan kota) merasa dan memosisikan diri Negara Federal sehingga menetapkan peraturan daerah (Perda) serta peraturan-peraturan lainnya berdasarkan fanatisme sektarian-primordial sentimen suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) yang jelas-jelas dan terang-benderang menciderai prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasar Pancasila, UUD RI 1945, Bhinneka Tunggal Ika.
Kamil dkk, (2007) mengatakan, “Yang menarik dicermati adalah bahwa legislasi Islam melalui perda adalah gejala baru. Para penyokong syariah Islam terpaksa menempuh cara ini setelah gagal menjadikannya sebagai agenda nasional, yaitu melalui amandemen pasal 29 (2002). Kita sering menyebutnya sebagai gejala simbolisasi atau formulasi agama. Gejala ini juga bisa disebut politisasi agama, suatu gejala politik simbol. Dalam hal ini, jargon, retorika, dan simbol agama digunakan sebagai bentuk artikulasi politik simbolis, secara khas dan berani. Gejala kembalinya syariah dalam ranah publik menandai revitalisasi politik syariah di Indonesia.
Politik syariah Islam berfungsi dengan cara memaksakan agar syariah masuk ke ruang publik melalui gerbong otonomi daerah. Meski dalam jangkauan dan skala yang terbatas, perda-perda syariah bermunculan segera setelah lahirnya Undang-Undang No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah. Hingga kini tercatat lebih dari 50 kabupaten/kota yang mempunyai perda syariah Islam. Meski publik Muslim yang mendukung penerapan syariah cukup signifikan secara kuantitatif, namun banyak pihak masih mempersoalkan legitimasinya sebagai kebijakan publik. Selain rendahnya keterlibatan masyarakat (public engagement) dalam proses penerapannya, sejumlah aturan yang dikandungnya cenderung mengancam hak-hak sipil, hak-hakm perempuan, dan hak-hak minoritas. Apalagi, dalam prakteknya, warga masyarakat dipaksa tunduk pada kebijakan publik yang secara eksklusif bersumber dari nilai-nilai Islam. Ini sangat mungkin memicu ketegangan dalam masyarakat, karena selain diskriminatif terhadap warga Negara lainnya, khususnya minoritas non-Muslim, perda-perda tersebut juga cenderung mengabaikan hak-hak perempuan Muslim dan juga hak-hak warga Muslim lainnya yang mungkin menganut keyakinan/pandangan yang berbeda dengan aturan-aturan syariah yang dikandung perda-perda tersebut”.
Kamil dkk mengatakan lebih lanjut, “PBB telah menetapkan the International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR) pada tahun 1966, atau terhitung 18 tahun setelah lahirnya Deklarasi HAM.
ICCPR pada dasarnya mengatur bagaimana membatasi kewenangan negara. ICCPR mencakup sejumlah hak-hak negatif dan positif. Hak-hak negatif adalah hak-hak dan kebebasan yang dijamin dapat terpenuhi, apabila negara tidak melakukan tindakan yang merugikan warganya, seperti penyiksaan. Umumnya, hak-hak sipil dan politik dilihat sebagai hak-hak negatif dimana negara tidak dimungkinkan untuk melakukan tindakan-tindakan partikular. Sedangkan hak-hak positif mengandaikan bahwa negara memiliki kewajiban untuk menjamin hak-hak partikular, seperti hak hidup berkeluarga (rights to family life). Namun secara keseluruhan, hak-hak positif lebih merupakan kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Biasanya disingkat ICESCR). Hak-hak positif menuntut peran negara yang tinggi untuk melindunginya. Negara, bahkan, dituding melanggar hak-hak yang dijamin ICESCR, jika mengabaikannya”.
Perlu diketahui, ICCPR telah mengatur hak-hak antara lain; Pertama, hak-hak dalam jenis non-derogable, yaitu hak-hak absolut yang harus dijamin kelangsungannya dalam kondisi apapun. Hak-hak yang termasuk dalam jenias ini adalah: (i) hak hidup (rights of life); (ii) hak bebas dari penyiksaan (rights to be free from torture); (iii) hak bebas dari perbudakan (rights to be free from slavery); (iv) hak bebas dari penahanan karena gagal memenuhi perjanjian (utang); (v) hak bebas dari pemidanaan yang berlaku surut; (vi) hak sebagai subyek hukum; dan (vii) hak atas kebebasan berpikir, keyakinan, dan agama. Pelanggaran terhadap hak-hak ini tergolong sebagai pelanggaran serius HAM (gross violation of human rights). Kedua, hak-hak derogable, yaitu hak-hak yang boleh dikurangi atau dibatasi pemenuhannya oleh negara. Yang termasuk dalam kategori ini adalah: (i) hak berkumpul secara damai; (ii) hak berserikat; termasuk membentuk dan menjadi anggota serikat buruh; dan (iii) hak menyatakan pendapat atau berekspresi; termasuk kebebasan mencari, menerima, dan memlberikan informasi dan segala macam gagasan, tanpa memperhatikan batas (baik lisan maupun tulisan).
Ruang publik Indonesia yang terbuka terhadap berbagai identitas membuat penerapan syariah Islam secara paksa ataupun persuasive oleh pemerintah daerah tak urung menimbulkan persoalan mendasar. Yang paling utama adalah pelanggaran hak-hak sipil (civil rights) termasuk di dalamnya kebebasan menyatakan pendapat (berekspresi), hak-hak kaum perempuan, dan hak-hak minoritas non-Muslim, seperti dilaporkan The Wahid Institute”. Menurut John Locke, tujuan negara yang mutlak adalah melindungi dan membela kebebasan sipil warganya.
Eforia Otonomi Daerah serta tafsir keliru kewenangan pemerintahan daerah (provinsi, kabupaten dan kota) pasca terbitnya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah melahirkan ratusan, bahkan ribuan peraturan daerah (Perda) serta aturan peraturan lainnya yang menyimpang, menyalahi, menciderai, mendegradasi prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) masalah krusial berbangsa-bernegara. Hal itu, tentu harus lah menjadi perhatian serius dari seluruh anak bangsa agar keutuhan bangsa dan negara bisa dijamin sebagaimana amanat konstitusi.
Bagaimana Pemerintah Meluruskan Penyimpangan NKRI….???
Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 56/PUU-XIV/2016 terkait Pembatalan Perda oleh Gubernur dan Menteri. Putusan MK No. 137/PUU-XIII/2015 yang diterbitkan 5 April 2017, dalam Putusannya disebutkan, bahwa pasal 251 ayat 2,3, dan 4 Undang-Undang Pemda sepanjang mengenai Perda Kabupaten/Kota bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam putusan itu Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan demi kepastian hukum dan sesuai UUD 1945 menurut Mahkamah, pengujian atau pembatalan Perda menjadi ranah kewenangan Mahkamah Agung.
Adapun alasan Mahkamah Konstitusi (MK) mencabut kewenangan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) membatalkan peraturan daerah (Perda) antara lain; 1). Keberadaan judicial review di dalam suatu negara hukum, merupakan salah satu syarat tegaknya hukum itu sendiri, sebagaimana tersurat dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Peraturan perundang-undangan hanya layak diuji lembaga justisi. 2). Menurut UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan, Perda jelas disebut sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan dengan hierarki di bawah Undang-undang. Maka sebagaimana ditentukan oleh pasal 24 A ayat (1) UUD 1945, pengujiannya hanya dapat dilakukan oleh Mahkamah Agung, bukan lembaga lain. (3). Eksekutif bisa membatlkan Perda menyimpangi logika dan bangunan negara hukum Indonesia sebagaimana amanah pasal 1 ayat (3) UUD 1945 juga menegasikan peran dan fungsi Mahkamah Agung sebagai lembaga yang berwenang melakukan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU in casu Perda Kabupaten/Kota sebagaimana ditegaskan dalam pasal 24 A ayat (1) UUD 1945. (4). Ekses dari produk hukum pembatalan Perda dalam lingkup eksekutif dengan produk hukum ketetapan gubernur sebagaimana ditentukan pasal 251 ayat (4) UU Pemda berpotensi menimbulkan dualisme Putusan Pengadilan jika kewenangan pengujian atau pembatalan Perda terdapat pada lembaga eksekutif dan lembaga yudikatif. (5). Jika peraturan daerah itu sudah mengikat umum, maka sebaiknya yang mengujinya adalah lembaga peradilan sebagai pihak ketiga yang sama sekali tidak terlibat dalam proses pembentukan peraturan daerah yang bersangkutan sesuai dengan sistem yang dianut dan dikembangkan menurut UUD 1945 yakni “centralized model of judicial review”, bukan “decentralized model”, seperti ditentukan dalam pasal 24 A ayat (1) dan pasal 24 C ayat (1) UUD 1945.(sumber: detiknews, 20/06/2017).
Konsekuensi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Menteri Dalam Negeri (Mendagri) tidak berhak dan berwewenang mencabut peraturan daerah (Perda) provinsi, kabupaten dan kota sekalipun peraturan daerah (Perda) itu telah menyimpang dan menyalahi prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Nah, sekarang timbul pertanyaan. Apa langkah-langkah pemerintah meluruskan penyimpangan peraturan daerah (Perda) yang menyimpang dari prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)….???
Pertama, Pemerintah (Presiden) selaku pemegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar (pasal 4 ayat 1) mengatur dan mengendalikan penerbitan atau penetapan peraturan daerah (Perda) dengan sebuah sistim kendali E-Perda konsisten dan konsekuen. Pemerintah harus memastikan sebelum Perda ditetapkan pemerintah daerah telah diteliti, dikaji komprehensif paripurna agar tidak menyimpang dan menyalahi prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kedua, Pemerintah selaku pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi mendorong pemerintahan daerah (provinsi, kabupaten dan kota) untuk merevisi ataupun mencabut dan membatalkan peraturan daerah (Perda) yang menyimpang dan menyalahi prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Ketiga, Pemerintah mendorong partisipasi publik melakukan uji materi (judicial review) peraturan daerah (Perda) menyimpang dan menyalahi prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ke Mahkamah Agung.
Keempat, Pemerintah segera membentuk badan pengkajian hukum untuk mengidentifikasi, menginventarisasi, serta memetakan peraturan daerah (Perda) menyimpang dan menyalahi prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) agar tidak lahir lagi Perda-Perda sejenis.
Langkah-langkah riil seperti itu akan lebih arif dan bijaksana dibanding berpolemik saling menyalahkan satu sama lain dalam berbangsa-bernegara.
Medan, 24 Juli 2019.
Salam NKRI…….!!! MERDEKA……!!!
Penulis: Direktur Eksekutif LSM Kajian Transparansi Kinerja Instansi Publik (ATRAKTIP), Wapemred. SKI ASPIRASI, Medan.
Oleh : Drs. Thomson Hutasoit.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dengan tegas menyatakan, Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik (pasal 1 ayat 1 UUD RI 1945).
Pada Penjelasan UUD RI 1945 BAB I BENTUK KEDAULATAN NEGARA pasal 1 dikatakan, “Menetapkan bentuk Negara Kesatuan dan Republik, mengandung isi pokok pikiran kedaulatan rakyat. Majelis Permusyawaratan Rakyat ialah penyelenggara negara yang tertinggi. Majelis ini dianggap sebagai penjelmaan rakyat yang memegang kedaulatan negara”.
Selanjutnya, BAB I BENTUK DAN KEDAULATAN NEGARA pasal 1 dikatakan, “Menetapkan bentuk Negara Kesatuan dan Republik, mengandung isi pokok pikiran kedaulatan rakyat. Majelis Permusyawaratan Rakyat dianggap sebagai penjelmaan rakyat yang memegang kedaulatan negara”.
Pasal 18 UUD RI 1945 ayat (1) “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang”. Ayat (2) “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut otonomi dan tugas pembantuan”. Ayat (6) “Pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”.
BAB VI PEMERINTAHAN DAERAH pasal 18 angka I Penjelasan UUD RI 1945 dengan tegas dikatakan, “Oleh karena Negara Indonesia itu suatu eenbeidstaat, maka Indonesia tak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat staat juga. Daerah-daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah provinsi dan daerah provinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil. Daerah-daerah itu bersifat otonom (streek dan locale rechtsgemeenschappen) atau bersifat daerah administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang. Di daerah-daerah bersifat otonom akan diadakan badan perwakilan daerah, oleh karena itu di daerah pun pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan”.
Dari uraian pasal-pasal tersebut diatas eksistensi pemerintah daerah (provinsi, kabupaten dan kota) seluruh wilayah Indonesia adalah pembagian wilayah administratif yang tak bisa dipisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), termasuk hak menetapkan peraturan daerah (Perda) dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Segala bentuk peraturan daerah (Perda) serta peraturan-peraturan lainnya tidak boleh sekali-sekali menyimpang dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 serta Undang-Undang Republik Indonesia lainnya.
Pemerintahan daerah (provinsi, kabupaten dan kota) tidak boleh sekali-sekali memosisikan diri Negara dalam Negara. Melainkan daerah bersifat administratif belaka tak boleh sekali-sekali terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sesuai pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Negara Republik Indonesia berdasarkan Pancasila, UUD RI 1945, Bhinneka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) harus menjadi dasar hukum pemerintahan daerah (provinsi, kabupaten dan kota) dalam menetapkan peraturan daerah (Perda), peraturan-peraturan lainnya, serta kebijakan pemerintahan daerah untuk menjamin kepastian hukum berbangsa dan bernegara.
Pemerintahan daerah (provinsi, kabupaten dan kota) tidak boleh bertentangan, apalagi melakukan perlawanan terhadap pemerintah yang notabene pemerintahan diatasnya dalam penyelenggaraan negara sebagaimana amanat konstitusi. Segala bentuk arogansi pemerintahan daerah (provinsi, kabupaten dan kota) terhadap pemerintah harus dimanaknai pelanggaran etika pemerintahan yang baik dan benar, yiatu “Perbuatan yang baik, perbuatan yang etis, perbuatan yang wajib dan seharusnya dilakukan adalah perbuatan yang sesuai dengan kebiasaan, adat, aturan atau hukum yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan”. (Milwan, 2008).
Penyimpangan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Jika diperhatikan cermat dan seksama, pemerintahan daerah (provinsi, kabupaten dan kota) sepertinya telah menafsirkan otonomi daerah secara keliru dan sesat pikir. Pemerintahan daerah yang bersifat administratif belaka, telah dimaknai kewenangan mutlak absolut tanpa batas menetapkan peraturan daerah (Perda) serta peraturan-peraturan lain menciderai, mendelegitimasi peraturan perundang-undangan lebih tinggi. Berbagai peraturan daerah (Perda) diskriminatif serta menciderai hak-hak sipil kerap dilakukan atas nama fanatisme-fanatisme buta yang sangat bertentangan dengan prinsip equality before the law sebagaimana diamanatkan pasal 27 ayat (1) UUD 1945.
Bahkan ada pula daerah (provinsi, kabupaten dan kota) merasa dan memosisikan diri Negara Federal sehingga menetapkan peraturan daerah (Perda) serta peraturan-peraturan lainnya berdasarkan fanatisme sektarian-primordial sentimen suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) yang jelas-jelas dan terang-benderang menciderai prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasar Pancasila, UUD RI 1945, Bhinneka Tunggal Ika.
Kamil dkk, (2007) mengatakan, “Yang menarik dicermati adalah bahwa legislasi Islam melalui perda adalah gejala baru. Para penyokong syariah Islam terpaksa menempuh cara ini setelah gagal menjadikannya sebagai agenda nasional, yaitu melalui amandemen pasal 29 (2002). Kita sering menyebutnya sebagai gejala simbolisasi atau formulasi agama. Gejala ini juga bisa disebut politisasi agama, suatu gejala politik simbol. Dalam hal ini, jargon, retorika, dan simbol agama digunakan sebagai bentuk artikulasi politik simbolis, secara khas dan berani. Gejala kembalinya syariah dalam ranah publik menandai revitalisasi politik syariah di Indonesia.
Politik syariah Islam berfungsi dengan cara memaksakan agar syariah masuk ke ruang publik melalui gerbong otonomi daerah. Meski dalam jangkauan dan skala yang terbatas, perda-perda syariah bermunculan segera setelah lahirnya Undang-Undang No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah. Hingga kini tercatat lebih dari 50 kabupaten/kota yang mempunyai perda syariah Islam. Meski publik Muslim yang mendukung penerapan syariah cukup signifikan secara kuantitatif, namun banyak pihak masih mempersoalkan legitimasinya sebagai kebijakan publik. Selain rendahnya keterlibatan masyarakat (public engagement) dalam proses penerapannya, sejumlah aturan yang dikandungnya cenderung mengancam hak-hak sipil, hak-hakm perempuan, dan hak-hak minoritas. Apalagi, dalam prakteknya, warga masyarakat dipaksa tunduk pada kebijakan publik yang secara eksklusif bersumber dari nilai-nilai Islam. Ini sangat mungkin memicu ketegangan dalam masyarakat, karena selain diskriminatif terhadap warga Negara lainnya, khususnya minoritas non-Muslim, perda-perda tersebut juga cenderung mengabaikan hak-hak perempuan Muslim dan juga hak-hak warga Muslim lainnya yang mungkin menganut keyakinan/pandangan yang berbeda dengan aturan-aturan syariah yang dikandung perda-perda tersebut”.
Kamil dkk mengatakan lebih lanjut, “PBB telah menetapkan the International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR) pada tahun 1966, atau terhitung 18 tahun setelah lahirnya Deklarasi HAM.
ICCPR pada dasarnya mengatur bagaimana membatasi kewenangan negara. ICCPR mencakup sejumlah hak-hak negatif dan positif. Hak-hak negatif adalah hak-hak dan kebebasan yang dijamin dapat terpenuhi, apabila negara tidak melakukan tindakan yang merugikan warganya, seperti penyiksaan. Umumnya, hak-hak sipil dan politik dilihat sebagai hak-hak negatif dimana negara tidak dimungkinkan untuk melakukan tindakan-tindakan partikular. Sedangkan hak-hak positif mengandaikan bahwa negara memiliki kewajiban untuk menjamin hak-hak partikular, seperti hak hidup berkeluarga (rights to family life). Namun secara keseluruhan, hak-hak positif lebih merupakan kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Biasanya disingkat ICESCR). Hak-hak positif menuntut peran negara yang tinggi untuk melindunginya. Negara, bahkan, dituding melanggar hak-hak yang dijamin ICESCR, jika mengabaikannya”.
Perlu diketahui, ICCPR telah mengatur hak-hak antara lain; Pertama, hak-hak dalam jenis non-derogable, yaitu hak-hak absolut yang harus dijamin kelangsungannya dalam kondisi apapun. Hak-hak yang termasuk dalam jenias ini adalah: (i) hak hidup (rights of life); (ii) hak bebas dari penyiksaan (rights to be free from torture); (iii) hak bebas dari perbudakan (rights to be free from slavery); (iv) hak bebas dari penahanan karena gagal memenuhi perjanjian (utang); (v) hak bebas dari pemidanaan yang berlaku surut; (vi) hak sebagai subyek hukum; dan (vii) hak atas kebebasan berpikir, keyakinan, dan agama. Pelanggaran terhadap hak-hak ini tergolong sebagai pelanggaran serius HAM (gross violation of human rights). Kedua, hak-hak derogable, yaitu hak-hak yang boleh dikurangi atau dibatasi pemenuhannya oleh negara. Yang termasuk dalam kategori ini adalah: (i) hak berkumpul secara damai; (ii) hak berserikat; termasuk membentuk dan menjadi anggota serikat buruh; dan (iii) hak menyatakan pendapat atau berekspresi; termasuk kebebasan mencari, menerima, dan memlberikan informasi dan segala macam gagasan, tanpa memperhatikan batas (baik lisan maupun tulisan).
Ruang publik Indonesia yang terbuka terhadap berbagai identitas membuat penerapan syariah Islam secara paksa ataupun persuasive oleh pemerintah daerah tak urung menimbulkan persoalan mendasar. Yang paling utama adalah pelanggaran hak-hak sipil (civil rights) termasuk di dalamnya kebebasan menyatakan pendapat (berekspresi), hak-hak kaum perempuan, dan hak-hak minoritas non-Muslim, seperti dilaporkan The Wahid Institute”. Menurut John Locke, tujuan negara yang mutlak adalah melindungi dan membela kebebasan sipil warganya.
Eforia Otonomi Daerah serta tafsir keliru kewenangan pemerintahan daerah (provinsi, kabupaten dan kota) pasca terbitnya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah melahirkan ratusan, bahkan ribuan peraturan daerah (Perda) serta aturan peraturan lainnya yang menyimpang, menyalahi, menciderai, mendegradasi prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) masalah krusial berbangsa-bernegara. Hal itu, tentu harus lah menjadi perhatian serius dari seluruh anak bangsa agar keutuhan bangsa dan negara bisa dijamin sebagaimana amanat konstitusi.
Bagaimana Pemerintah Meluruskan Penyimpangan NKRI….???
Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 56/PUU-XIV/2016 terkait Pembatalan Perda oleh Gubernur dan Menteri. Putusan MK No. 137/PUU-XIII/2015 yang diterbitkan 5 April 2017, dalam Putusannya disebutkan, bahwa pasal 251 ayat 2,3, dan 4 Undang-Undang Pemda sepanjang mengenai Perda Kabupaten/Kota bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam putusan itu Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan demi kepastian hukum dan sesuai UUD 1945 menurut Mahkamah, pengujian atau pembatalan Perda menjadi ranah kewenangan Mahkamah Agung.
Adapun alasan Mahkamah Konstitusi (MK) mencabut kewenangan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) membatalkan peraturan daerah (Perda) antara lain; 1). Keberadaan judicial review di dalam suatu negara hukum, merupakan salah satu syarat tegaknya hukum itu sendiri, sebagaimana tersurat dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Peraturan perundang-undangan hanya layak diuji lembaga justisi. 2). Menurut UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan, Perda jelas disebut sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan dengan hierarki di bawah Undang-undang. Maka sebagaimana ditentukan oleh pasal 24 A ayat (1) UUD 1945, pengujiannya hanya dapat dilakukan oleh Mahkamah Agung, bukan lembaga lain. (3). Eksekutif bisa membatlkan Perda menyimpangi logika dan bangunan negara hukum Indonesia sebagaimana amanah pasal 1 ayat (3) UUD 1945 juga menegasikan peran dan fungsi Mahkamah Agung sebagai lembaga yang berwenang melakukan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU in casu Perda Kabupaten/Kota sebagaimana ditegaskan dalam pasal 24 A ayat (1) UUD 1945. (4). Ekses dari produk hukum pembatalan Perda dalam lingkup eksekutif dengan produk hukum ketetapan gubernur sebagaimana ditentukan pasal 251 ayat (4) UU Pemda berpotensi menimbulkan dualisme Putusan Pengadilan jika kewenangan pengujian atau pembatalan Perda terdapat pada lembaga eksekutif dan lembaga yudikatif. (5). Jika peraturan daerah itu sudah mengikat umum, maka sebaiknya yang mengujinya adalah lembaga peradilan sebagai pihak ketiga yang sama sekali tidak terlibat dalam proses pembentukan peraturan daerah yang bersangkutan sesuai dengan sistem yang dianut dan dikembangkan menurut UUD 1945 yakni “centralized model of judicial review”, bukan “decentralized model”, seperti ditentukan dalam pasal 24 A ayat (1) dan pasal 24 C ayat (1) UUD 1945.(sumber: detiknews, 20/06/2017).
Konsekuensi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Menteri Dalam Negeri (Mendagri) tidak berhak dan berwewenang mencabut peraturan daerah (Perda) provinsi, kabupaten dan kota sekalipun peraturan daerah (Perda) itu telah menyimpang dan menyalahi prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Nah, sekarang timbul pertanyaan. Apa langkah-langkah pemerintah meluruskan penyimpangan peraturan daerah (Perda) yang menyimpang dari prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)….???
Pertama, Pemerintah (Presiden) selaku pemegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar (pasal 4 ayat 1) mengatur dan mengendalikan penerbitan atau penetapan peraturan daerah (Perda) dengan sebuah sistim kendali E-Perda konsisten dan konsekuen. Pemerintah harus memastikan sebelum Perda ditetapkan pemerintah daerah telah diteliti, dikaji komprehensif paripurna agar tidak menyimpang dan menyalahi prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kedua, Pemerintah selaku pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi mendorong pemerintahan daerah (provinsi, kabupaten dan kota) untuk merevisi ataupun mencabut dan membatalkan peraturan daerah (Perda) yang menyimpang dan menyalahi prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Ketiga, Pemerintah mendorong partisipasi publik melakukan uji materi (judicial review) peraturan daerah (Perda) menyimpang dan menyalahi prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ke Mahkamah Agung.
Keempat, Pemerintah segera membentuk badan pengkajian hukum untuk mengidentifikasi, menginventarisasi, serta memetakan peraturan daerah (Perda) menyimpang dan menyalahi prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) agar tidak lahir lagi Perda-Perda sejenis.
Langkah-langkah riil seperti itu akan lebih arif dan bijaksana dibanding berpolemik saling menyalahkan satu sama lain dalam berbangsa-bernegara.
Medan, 24 Juli 2019.
Salam NKRI…….!!! MERDEKA……!!!
Penulis: Direktur Eksekutif LSM Kajian Transparansi Kinerja Instansi Publik (ATRAKTIP), Wapemred. SKI ASPIRASI, Medan.
Selasa, 09 Juli 2019
PEMASTIAN EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADAT (MHA).
PEMASTIAN EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADAT (MHA).
Oleh: Drs. Thomson Hutasoit.
“Katanya” hukum dasar Negara Republik Indonesia adalah hukum dasar tertulis (Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945) dan hukum dasar tak tertulis (hukum adat). Mengapa digunakan kata “katanya” ?
Hal itu menunjukkan bentuk kekecewaan amat sangat dalam di hati pikiran Masyarakat Hukum Adat (MHA) selama tujuh dekade pasca kemerdekaan republik yakni Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, eksistensi dan legalitas Masyarakat Hukum Adat (MHA) belum secara nyata diakui dan dihormati di negeri tercinta ini.
Hal itu lah menimbulkan pertanyaan paling fundamental tentang arti hakiki kemerdekaan, kedudukan hukum adat pada struktur hukum nasional, serta tanggung jawab negara terhadap rakyatnya pasca kemerdekaan bangsa ini.
Masyarakat Hukum Adat (MHA) belum secara nyata merdeka di tanah leluhurnya sekalipun penjajah kolonial telah hengkang dari bumi Ibu Pertiwi. Bahkan sebaliknya, Masyarakat Hukum Adat (MHA) tidak pernah berdaulat diatas tanah leluhurnya, sekalipun disebut-sebut Hukum Adat adalah hukum dasar tertinggi tak tertulis di republik ini.
Rakyat pemegang hak purba belum menjadi prioritas dalam penguasaan dan/atau pengusahaan tanah dan hutan sebagai wujud nyata kedaulatan berada ditangan rakyat, dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar (pasal 1 ayat 2 UUD RI 1945).
Menurut Maria Soemardjono mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM), “Komunitas masyarakat hukum adat berhak menuntut setiap pemerintah daerah masing-masing untuk menetapkan wilayah adat mereka. Sebab, perlindungan negara terhadap entitas masyarakat hukum adat sudah diberikan melalui Peraturan menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat”. Penetapan wilayah adat memiliki tiga syarat, antara lain; ada anggota masyarakat, suatu wilayah dengan batas-batas yang jelas, dan ada pranata sosial yang masih hidup/berlangsung. Pranata sosial bisa berupa kewenangan menjalankan hukum dan sanksi. Saat sudah ada dua contoh peraturan daerah menetapkan dan mengatur wilayah adat yaitu bagi masyarakat hukum adat Lundayah, dan masyarakat adat Baduy di Lebak, Banten. Yang perlu didorong adalah partisipasi politik masyarakat adat mau mendorong setiap pemerintah daerah menetapkan peraturan daerah guna melindungi eksistensi masyarakat adat (Kompas, 23/7/2007).
Pada pembukaan Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) III di Pontianak, Kalimantan Barat (17/3/2007) Raja Devasish Roy Perwakilan Masyarakat Internasional mengatakan, “Penguatan kembali hak atas tanah adat beserta hukum adat diyakini mampu menopang kelangsungan pengelolaan sumber daya alam untuk pertumbuhan ekonomi secara nasional. Untuk mewujudkannya, kemitraan masyarakat adat yang diperkirakan kini masih mencapai 70 juta jiwa di Indonesia dengan pemerintah sekarang mutlak diperjuangkan. Saya mendorong masyarakat adat di Indonesia untuk terus memperjuangkan dan mendiskusikan kepada pemerintah perlunya penguatan kembali hak atas tanah-tanah adat, hukum-hukum masyarakat adat, dan ekonomi” (Kompas, 18/3/2007).
Selanjutnya, AR Mecer, Ketua Presidium Aliansi Masyarakat Adat Kalimantan Barat mengatakan, “Tantangan mewujudkan transformasi sosial yang lebih adil dan sejahtera saat ini adalah rehabilitasi dan pemulihan tatanan sosial politik serta tatanan ekologis. Demokratisasi politik melalui otonomi daerah tidak cukup kalau belum dibarengi dengan pemberian otonomi komunitas masyarakat adat. Masyarakat adat memiliki hak-hak yang dapat dibedakan, namun tidak dapat dipisahkan. Oleh sebab itu, usaha revitalisasi, pengayaan, dan penguatan terhadap pranata masyarakat adat meliputi aturan kelembagaan, dan metode masyarakat adat tidak boleh ditunda lagi”. Bahkan, Direktur Eksekutif Institut Dayakologi John Bamba mengatakan, “Dengan alasan keseragaman langkah pembangunan, pranata sosial masyarakat adat saat ini sedang dihancurkan”.
Menurut Mina Susan Setra Wakil Ketua I Kongres Masyarakat Adat Nusantara III, “Penindasan secara politis bagi masyarakat adat masih terjadi di sejumlah wilayah yang tereksploitasi sumber daya alamnya dan masyarakat adat kurang diperhatikan kepentingannya. Eksploitasi pihak luar itu sering menimbulkan kerusakan alam yang akhirnya merugikan masyarakat adat”.
Sonny Keraf Wakil Ketua komisi VIII DPR RI yang membidangi lingkungan mengatakan, “Pelibatan masyarakat adat lokal penting agar mereka menerima manfaat langsung. Selama ini mereka lebih sering menjadi korban, termasuk pencemaran lingkungan dari aktivitas usaha”. Kurangnya kepedulian pemerintah terhadap lingkungan hidup tercermin pada lambannya pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengelolaan Sumber Daya Alam. Seretnya penanganan RUU sekaligus cerminan adanya perbedaan sikap tentang masyarakat adat. Pembahasan lebih dari tiga tahun tentang RUU Pengelolaan Sumber Daya Alam, yang tak kunjung usai, diwarnai tarik ulur pengaturan hak masyarakat adat dan kelembagaannya. Departemen Kehutanan bahkan mempersoalkan pemanfaatan sumber daya alam oleh masyarakat adat, sedangkan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral mengkhawatirkan eksploitasi hutan oleh masyarakat adat akan dicampuri pihak lain” (Kompas, 17/3/2007).
Dari berbagai uraian diatas betapa belum terperhatikan eksistensi Masyarakat Hukum Adat (MHA) di republik ini sekalipun sering disebut-sebut Hukum Dasar Tertinggi adalah Hukum Dasar Tertulis (UUD RI 1945) dan Hukum Dasar Tak Tertulis (Hukum Adat) menjadi dasar dari segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam berbangsa dan bernegara.
Hiruk-pikuk politik pertarungan suksesi kepemimpinan nasional maupun daerah (presiden/wakil presiden, gubernur, bupati/walikota) telah berlangsung beberapa kali sepertinya belum nyata-nyata menjadikan “Eksistensi Masyarakat Hukum Adat (MHA)” prioritas visi-misi secara riil. Akibatnya, Eksistensi Masyarakat Hukum Adat (MHA) serta Perlindungan Hak Keperdataannya menjadi kasus klasik tak pernah tuntas. Sementara, Masyarakat Hukum Adat (MHA) telah menjadi korban ketidakadilan sangat memilukan di republik ini. Salah satu contoh konkrit, permasalahan hutan masyarakat adat Desa Pandumaan-Sipituhuta, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan, Provinsi Sumatera Utara, dan lain sebagainya.
Kasus-kasus Masyarakat Hukum Adat (MHA) adalah permasalahan paling menonjol serta klasik di hampir seluruh wilayah Indonesia sepanjang perjalanan bangsa ini. Walau demikian, penyelesaian kasus-kasus Masyarakat Hukum Adat (MHA) belum perioritas dalam arah kebijakan nasional maupun pemerintahan daerah hingga kini.
Kealpaan Pemerintah Daerah.
Pengakuan, pengukuhan, pemastian, perlindungan hak Masyarakat Hukum Adat (MHA) adalah amanat konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang harus dilaksanakan oleh penyelenggara negara atau pemerintahan, terutama pemerintah daerah, baik pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota dalam menerbitkan peraturan daerah (Perda) sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pasal 67 selengkapnya berbunyi;
Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih adadan diakui keberadaannya berhak:
melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan;
melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang;
mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.
Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pengakuan, pengukuhan, pemastian perlindungan hak Masyarakat Hukum Adat (MHA) dengan tegas diamanahkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 pasal 18B berbunyi; “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Selanjutnya, pasal 28 I ayat (3) berbunyi, “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria pasal 3 dan pasal 5 selengkapnya berbunyi;
Pasal 3 Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
Pasal 5 Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-Undang ini dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsure-unsur yang berdasar pada hukum agama. Penjelasan pasal 3 dan pasal 5 dapat dilihat selengkapnya pada Penjelasan Umum (II angka 3) dan Penjelasan Umum (III angka 1) Undang_Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Demikian juga Undang-Undang republik Indonesia Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan, pasal 9 ayat (2) menegaskan, “dalam hal tanah yang diperlukan merupakan tanah hak ulayat masyarakat hukum adat yang menurut kenyataannya masih ada, mendahului pemberian hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemohon hak wajib melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat pemegang hak hak ulayat dan warga pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah, dan imbalannya.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-X/2012 tertanggal 16 Mei 2013 atas yudisial rewiew pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan telah menegaskan, “Hutan Adat termasuk Hutan Hak” Bukan “Hutan Negara”. Mahkamah Konstitusi memutuskan, “Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”, bukan sebagaimana mengartikan “hutan adat” adalah hutan Negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bersifat final and binding ini menjadi dasar fundamental tak bisa diabaikan dan dikesampingkan pemerintah daerah menetapkan peraturan daerah (Perda) pengakuan, pengukuhan, pemastian eksistensi dan perlindungan hak masyarakat hukum adat (MHA), tanpa alasan apapun. Tapi sungguh disayangkan dan disesalkan pemerintah daerah (provinsi, kabupaten/kota) sepertinya “Alpa” melaksanakan perintah konstitusi sehingga eksistensi dan perlindungan hak masyarakat hukum adat belum menjadi perhatian serius di negeri ini. Bahkan, daerah kabupaten/kota di provinsi Sumatera Utara yang disebut-sebut daerah Masyarakat Hukum Adat (MHA) masih belum menerbitkan peraturan daerah (Perda) pengakuan, pengukuhan, pemastian serta perlindungan hak masyarakat hukum adat menjamin legalitas formal berbangsa dan bernegara hingga saat ini.
Pemerintah daerah (Provinsi, Kabupaten/Kota) wajib hukumnya menetapkan peraturan daerah (Perda) pengakuan, pengukuhan, pemastian perlindungan hak masyarakat hukum adat (MHA) sebagaimana ditegaskan pasal 67 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Sebab, Eksistensi masyarakat hukum adat (MHA) beserta hak-hak keperdataannya ditetapkan berdasarkan peraturan daerah (Perda).
Peraturan daerah (Perda) diusulkan eksekutif atau hak inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi, kabupaten/kota sesuai prosedur penerbitan peraturan daerah (Perda). Sehingga belum terbitnya peraturan daerah (Perda) merupakan kelalaian dan/atau pengabaian serta pembangkangan kolektif pemerintah daerah (provinsi, kabupaten/kota) terhadap konstitusi secara telanjang, terang-benderang.
Berbagai regulasi dasar penerbitan peraturan daerah (Perda) pengakuan, pengukuhan, pemastian perlindungan hak masyarakat hukum adat (MHA) sebagaimana telah diuraikan diatas serta peraturan perundang-undangan lainnya anatara lain; Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2007 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan serta Pemanfaatan Hutan, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015, Nomor 88 Tahun 2017, Nomor 86 tahun 2018 terkait dengan Reforma Agraria, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P. 32/MENLHK-SETJEN/2015 tentang Hutan Hak, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 21/MENLHK-SETJEN/KUM.1/4/2019 tentang Hukum Adat dan Hutan Hak pada tanggal 29 April 2019, SK. 347/MENLHK/PSKL/PKTHA/KUM. 1/5/2019 tentang Perpanjangan Kelompok Kerja Percepatan Penetapan Hutan Adat, dan lain-lain.
Bila pemerintah daerah (provinsi, kabupaten/kota), termasuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kertekad kuat memberi kepastian hukum terhadap Eksistensi serta Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat (MHA) dan tidak mengabaikan perintah konstitusi maka tak ada alasan tidak menerbitkan dan menetapkan peraturan daerah (Perda) di daerah masing-masing.
Apakah Pemerintah Daerah Mengabaikan Legalitas Masyarakat Hukum Adat (MHA) ?
Apakah Pemerintah Daerah Melakukan Pembangkangan terhadap Konstitusi ?
Bangga kah menyebut diri Masyarakat Hukum Adat (MHA) tanpa Pengakuan, Pengukuhan, Pemastian Perlindungan Hak Keperdataannya ?
Apakah benar Negara telah melaksanakan kewajibannya melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia…dst dengan membiarkan Masyarakat Hukum Adat (MHA) tanpa kepastian hukum di negeri ini ?
Inilah jeritan hati nurani serta penderitaan klasik Masyarakat Hukum Adat (MHA) perlu segera disikapi Pemerintahan Joko Widodo-KH. Ma’ruf Amin periode 2019-2024 agar tercatat tinta emas pemimpin pro rakyat mewujudkan “Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Medan, 9 Juli 2019
Salam NKRI…….!!! MERDEKA…….!!!
Oleh: Drs. Thomson Hutasoit.
“Katanya” hukum dasar Negara Republik Indonesia adalah hukum dasar tertulis (Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945) dan hukum dasar tak tertulis (hukum adat). Mengapa digunakan kata “katanya” ?
Hal itu menunjukkan bentuk kekecewaan amat sangat dalam di hati pikiran Masyarakat Hukum Adat (MHA) selama tujuh dekade pasca kemerdekaan republik yakni Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, eksistensi dan legalitas Masyarakat Hukum Adat (MHA) belum secara nyata diakui dan dihormati di negeri tercinta ini.
Hal itu lah menimbulkan pertanyaan paling fundamental tentang arti hakiki kemerdekaan, kedudukan hukum adat pada struktur hukum nasional, serta tanggung jawab negara terhadap rakyatnya pasca kemerdekaan bangsa ini.
Masyarakat Hukum Adat (MHA) belum secara nyata merdeka di tanah leluhurnya sekalipun penjajah kolonial telah hengkang dari bumi Ibu Pertiwi. Bahkan sebaliknya, Masyarakat Hukum Adat (MHA) tidak pernah berdaulat diatas tanah leluhurnya, sekalipun disebut-sebut Hukum Adat adalah hukum dasar tertinggi tak tertulis di republik ini.
Rakyat pemegang hak purba belum menjadi prioritas dalam penguasaan dan/atau pengusahaan tanah dan hutan sebagai wujud nyata kedaulatan berada ditangan rakyat, dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar (pasal 1 ayat 2 UUD RI 1945).
Menurut Maria Soemardjono mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM), “Komunitas masyarakat hukum adat berhak menuntut setiap pemerintah daerah masing-masing untuk menetapkan wilayah adat mereka. Sebab, perlindungan negara terhadap entitas masyarakat hukum adat sudah diberikan melalui Peraturan menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat”. Penetapan wilayah adat memiliki tiga syarat, antara lain; ada anggota masyarakat, suatu wilayah dengan batas-batas yang jelas, dan ada pranata sosial yang masih hidup/berlangsung. Pranata sosial bisa berupa kewenangan menjalankan hukum dan sanksi. Saat sudah ada dua contoh peraturan daerah menetapkan dan mengatur wilayah adat yaitu bagi masyarakat hukum adat Lundayah, dan masyarakat adat Baduy di Lebak, Banten. Yang perlu didorong adalah partisipasi politik masyarakat adat mau mendorong setiap pemerintah daerah menetapkan peraturan daerah guna melindungi eksistensi masyarakat adat (Kompas, 23/7/2007).
Pada pembukaan Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) III di Pontianak, Kalimantan Barat (17/3/2007) Raja Devasish Roy Perwakilan Masyarakat Internasional mengatakan, “Penguatan kembali hak atas tanah adat beserta hukum adat diyakini mampu menopang kelangsungan pengelolaan sumber daya alam untuk pertumbuhan ekonomi secara nasional. Untuk mewujudkannya, kemitraan masyarakat adat yang diperkirakan kini masih mencapai 70 juta jiwa di Indonesia dengan pemerintah sekarang mutlak diperjuangkan. Saya mendorong masyarakat adat di Indonesia untuk terus memperjuangkan dan mendiskusikan kepada pemerintah perlunya penguatan kembali hak atas tanah-tanah adat, hukum-hukum masyarakat adat, dan ekonomi” (Kompas, 18/3/2007).
Selanjutnya, AR Mecer, Ketua Presidium Aliansi Masyarakat Adat Kalimantan Barat mengatakan, “Tantangan mewujudkan transformasi sosial yang lebih adil dan sejahtera saat ini adalah rehabilitasi dan pemulihan tatanan sosial politik serta tatanan ekologis. Demokratisasi politik melalui otonomi daerah tidak cukup kalau belum dibarengi dengan pemberian otonomi komunitas masyarakat adat. Masyarakat adat memiliki hak-hak yang dapat dibedakan, namun tidak dapat dipisahkan. Oleh sebab itu, usaha revitalisasi, pengayaan, dan penguatan terhadap pranata masyarakat adat meliputi aturan kelembagaan, dan metode masyarakat adat tidak boleh ditunda lagi”. Bahkan, Direktur Eksekutif Institut Dayakologi John Bamba mengatakan, “Dengan alasan keseragaman langkah pembangunan, pranata sosial masyarakat adat saat ini sedang dihancurkan”.
Menurut Mina Susan Setra Wakil Ketua I Kongres Masyarakat Adat Nusantara III, “Penindasan secara politis bagi masyarakat adat masih terjadi di sejumlah wilayah yang tereksploitasi sumber daya alamnya dan masyarakat adat kurang diperhatikan kepentingannya. Eksploitasi pihak luar itu sering menimbulkan kerusakan alam yang akhirnya merugikan masyarakat adat”.
Sonny Keraf Wakil Ketua komisi VIII DPR RI yang membidangi lingkungan mengatakan, “Pelibatan masyarakat adat lokal penting agar mereka menerima manfaat langsung. Selama ini mereka lebih sering menjadi korban, termasuk pencemaran lingkungan dari aktivitas usaha”. Kurangnya kepedulian pemerintah terhadap lingkungan hidup tercermin pada lambannya pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengelolaan Sumber Daya Alam. Seretnya penanganan RUU sekaligus cerminan adanya perbedaan sikap tentang masyarakat adat. Pembahasan lebih dari tiga tahun tentang RUU Pengelolaan Sumber Daya Alam, yang tak kunjung usai, diwarnai tarik ulur pengaturan hak masyarakat adat dan kelembagaannya. Departemen Kehutanan bahkan mempersoalkan pemanfaatan sumber daya alam oleh masyarakat adat, sedangkan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral mengkhawatirkan eksploitasi hutan oleh masyarakat adat akan dicampuri pihak lain” (Kompas, 17/3/2007).
Dari berbagai uraian diatas betapa belum terperhatikan eksistensi Masyarakat Hukum Adat (MHA) di republik ini sekalipun sering disebut-sebut Hukum Dasar Tertinggi adalah Hukum Dasar Tertulis (UUD RI 1945) dan Hukum Dasar Tak Tertulis (Hukum Adat) menjadi dasar dari segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam berbangsa dan bernegara.
Hiruk-pikuk politik pertarungan suksesi kepemimpinan nasional maupun daerah (presiden/wakil presiden, gubernur, bupati/walikota) telah berlangsung beberapa kali sepertinya belum nyata-nyata menjadikan “Eksistensi Masyarakat Hukum Adat (MHA)” prioritas visi-misi secara riil. Akibatnya, Eksistensi Masyarakat Hukum Adat (MHA) serta Perlindungan Hak Keperdataannya menjadi kasus klasik tak pernah tuntas. Sementara, Masyarakat Hukum Adat (MHA) telah menjadi korban ketidakadilan sangat memilukan di republik ini. Salah satu contoh konkrit, permasalahan hutan masyarakat adat Desa Pandumaan-Sipituhuta, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan, Provinsi Sumatera Utara, dan lain sebagainya.
Kasus-kasus Masyarakat Hukum Adat (MHA) adalah permasalahan paling menonjol serta klasik di hampir seluruh wilayah Indonesia sepanjang perjalanan bangsa ini. Walau demikian, penyelesaian kasus-kasus Masyarakat Hukum Adat (MHA) belum perioritas dalam arah kebijakan nasional maupun pemerintahan daerah hingga kini.
Kealpaan Pemerintah Daerah.
Pengakuan, pengukuhan, pemastian, perlindungan hak Masyarakat Hukum Adat (MHA) adalah amanat konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang harus dilaksanakan oleh penyelenggara negara atau pemerintahan, terutama pemerintah daerah, baik pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota dalam menerbitkan peraturan daerah (Perda) sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pasal 67 selengkapnya berbunyi;
Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih adadan diakui keberadaannya berhak:
melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan;
melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang;
mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.
Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pengakuan, pengukuhan, pemastian perlindungan hak Masyarakat Hukum Adat (MHA) dengan tegas diamanahkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 pasal 18B berbunyi; “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Selanjutnya, pasal 28 I ayat (3) berbunyi, “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria pasal 3 dan pasal 5 selengkapnya berbunyi;
Pasal 3 Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
Pasal 5 Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-Undang ini dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsure-unsur yang berdasar pada hukum agama. Penjelasan pasal 3 dan pasal 5 dapat dilihat selengkapnya pada Penjelasan Umum (II angka 3) dan Penjelasan Umum (III angka 1) Undang_Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Demikian juga Undang-Undang republik Indonesia Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan, pasal 9 ayat (2) menegaskan, “dalam hal tanah yang diperlukan merupakan tanah hak ulayat masyarakat hukum adat yang menurut kenyataannya masih ada, mendahului pemberian hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemohon hak wajib melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat pemegang hak hak ulayat dan warga pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah, dan imbalannya.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-X/2012 tertanggal 16 Mei 2013 atas yudisial rewiew pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan telah menegaskan, “Hutan Adat termasuk Hutan Hak” Bukan “Hutan Negara”. Mahkamah Konstitusi memutuskan, “Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”, bukan sebagaimana mengartikan “hutan adat” adalah hutan Negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bersifat final and binding ini menjadi dasar fundamental tak bisa diabaikan dan dikesampingkan pemerintah daerah menetapkan peraturan daerah (Perda) pengakuan, pengukuhan, pemastian eksistensi dan perlindungan hak masyarakat hukum adat (MHA), tanpa alasan apapun. Tapi sungguh disayangkan dan disesalkan pemerintah daerah (provinsi, kabupaten/kota) sepertinya “Alpa” melaksanakan perintah konstitusi sehingga eksistensi dan perlindungan hak masyarakat hukum adat belum menjadi perhatian serius di negeri ini. Bahkan, daerah kabupaten/kota di provinsi Sumatera Utara yang disebut-sebut daerah Masyarakat Hukum Adat (MHA) masih belum menerbitkan peraturan daerah (Perda) pengakuan, pengukuhan, pemastian serta perlindungan hak masyarakat hukum adat menjamin legalitas formal berbangsa dan bernegara hingga saat ini.
Pemerintah daerah (Provinsi, Kabupaten/Kota) wajib hukumnya menetapkan peraturan daerah (Perda) pengakuan, pengukuhan, pemastian perlindungan hak masyarakat hukum adat (MHA) sebagaimana ditegaskan pasal 67 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Sebab, Eksistensi masyarakat hukum adat (MHA) beserta hak-hak keperdataannya ditetapkan berdasarkan peraturan daerah (Perda).
Peraturan daerah (Perda) diusulkan eksekutif atau hak inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi, kabupaten/kota sesuai prosedur penerbitan peraturan daerah (Perda). Sehingga belum terbitnya peraturan daerah (Perda) merupakan kelalaian dan/atau pengabaian serta pembangkangan kolektif pemerintah daerah (provinsi, kabupaten/kota) terhadap konstitusi secara telanjang, terang-benderang.
Berbagai regulasi dasar penerbitan peraturan daerah (Perda) pengakuan, pengukuhan, pemastian perlindungan hak masyarakat hukum adat (MHA) sebagaimana telah diuraikan diatas serta peraturan perundang-undangan lainnya anatara lain; Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2007 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan serta Pemanfaatan Hutan, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015, Nomor 88 Tahun 2017, Nomor 86 tahun 2018 terkait dengan Reforma Agraria, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P. 32/MENLHK-SETJEN/2015 tentang Hutan Hak, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 21/MENLHK-SETJEN/KUM.1/4/2019 tentang Hukum Adat dan Hutan Hak pada tanggal 29 April 2019, SK. 347/MENLHK/PSKL/PKTHA/KUM. 1/5/2019 tentang Perpanjangan Kelompok Kerja Percepatan Penetapan Hutan Adat, dan lain-lain.
Bila pemerintah daerah (provinsi, kabupaten/kota), termasuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kertekad kuat memberi kepastian hukum terhadap Eksistensi serta Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat (MHA) dan tidak mengabaikan perintah konstitusi maka tak ada alasan tidak menerbitkan dan menetapkan peraturan daerah (Perda) di daerah masing-masing.
Apakah Pemerintah Daerah Mengabaikan Legalitas Masyarakat Hukum Adat (MHA) ?
Apakah Pemerintah Daerah Melakukan Pembangkangan terhadap Konstitusi ?
Bangga kah menyebut diri Masyarakat Hukum Adat (MHA) tanpa Pengakuan, Pengukuhan, Pemastian Perlindungan Hak Keperdataannya ?
Apakah benar Negara telah melaksanakan kewajibannya melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia…dst dengan membiarkan Masyarakat Hukum Adat (MHA) tanpa kepastian hukum di negeri ini ?
Inilah jeritan hati nurani serta penderitaan klasik Masyarakat Hukum Adat (MHA) perlu segera disikapi Pemerintahan Joko Widodo-KH. Ma’ruf Amin periode 2019-2024 agar tercatat tinta emas pemimpin pro rakyat mewujudkan “Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Medan, 9 Juli 2019
Salam NKRI…….!!! MERDEKA…….!!!
Langganan:
Postingan (Atom)