PEMASTIAN EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADAT (MHA).
Oleh: Drs. Thomson Hutasoit.
“Katanya” hukum dasar Negara Republik Indonesia adalah hukum dasar tertulis (Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945) dan hukum dasar tak tertulis (hukum adat). Mengapa digunakan kata “katanya” ?
Hal itu menunjukkan bentuk kekecewaan amat sangat dalam di hati pikiran Masyarakat Hukum Adat (MHA) selama tujuh dekade pasca kemerdekaan republik yakni Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, eksistensi dan legalitas Masyarakat Hukum Adat (MHA) belum secara nyata diakui dan dihormati di negeri tercinta ini.
Hal itu lah menimbulkan pertanyaan paling fundamental tentang arti hakiki kemerdekaan, kedudukan hukum adat pada struktur hukum nasional, serta tanggung jawab negara terhadap rakyatnya pasca kemerdekaan bangsa ini.
Masyarakat Hukum Adat (MHA) belum secara nyata merdeka di tanah leluhurnya sekalipun penjajah kolonial telah hengkang dari bumi Ibu Pertiwi. Bahkan sebaliknya, Masyarakat Hukum Adat (MHA) tidak pernah berdaulat diatas tanah leluhurnya, sekalipun disebut-sebut Hukum Adat adalah hukum dasar tertinggi tak tertulis di republik ini.
Rakyat pemegang hak purba belum menjadi prioritas dalam penguasaan dan/atau pengusahaan tanah dan hutan sebagai wujud nyata kedaulatan berada ditangan rakyat, dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar (pasal 1 ayat 2 UUD RI 1945).
Menurut Maria Soemardjono mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM), “Komunitas masyarakat hukum adat berhak menuntut setiap pemerintah daerah masing-masing untuk menetapkan wilayah adat mereka. Sebab, perlindungan negara terhadap entitas masyarakat hukum adat sudah diberikan melalui Peraturan menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat”. Penetapan wilayah adat memiliki tiga syarat, antara lain; ada anggota masyarakat, suatu wilayah dengan batas-batas yang jelas, dan ada pranata sosial yang masih hidup/berlangsung. Pranata sosial bisa berupa kewenangan menjalankan hukum dan sanksi. Saat sudah ada dua contoh peraturan daerah menetapkan dan mengatur wilayah adat yaitu bagi masyarakat hukum adat Lundayah, dan masyarakat adat Baduy di Lebak, Banten. Yang perlu didorong adalah partisipasi politik masyarakat adat mau mendorong setiap pemerintah daerah menetapkan peraturan daerah guna melindungi eksistensi masyarakat adat (Kompas, 23/7/2007).
Pada pembukaan Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) III di Pontianak, Kalimantan Barat (17/3/2007) Raja Devasish Roy Perwakilan Masyarakat Internasional mengatakan, “Penguatan kembali hak atas tanah adat beserta hukum adat diyakini mampu menopang kelangsungan pengelolaan sumber daya alam untuk pertumbuhan ekonomi secara nasional. Untuk mewujudkannya, kemitraan masyarakat adat yang diperkirakan kini masih mencapai 70 juta jiwa di Indonesia dengan pemerintah sekarang mutlak diperjuangkan. Saya mendorong masyarakat adat di Indonesia untuk terus memperjuangkan dan mendiskusikan kepada pemerintah perlunya penguatan kembali hak atas tanah-tanah adat, hukum-hukum masyarakat adat, dan ekonomi” (Kompas, 18/3/2007).
Selanjutnya, AR Mecer, Ketua Presidium Aliansi Masyarakat Adat Kalimantan Barat mengatakan, “Tantangan mewujudkan transformasi sosial yang lebih adil dan sejahtera saat ini adalah rehabilitasi dan pemulihan tatanan sosial politik serta tatanan ekologis. Demokratisasi politik melalui otonomi daerah tidak cukup kalau belum dibarengi dengan pemberian otonomi komunitas masyarakat adat. Masyarakat adat memiliki hak-hak yang dapat dibedakan, namun tidak dapat dipisahkan. Oleh sebab itu, usaha revitalisasi, pengayaan, dan penguatan terhadap pranata masyarakat adat meliputi aturan kelembagaan, dan metode masyarakat adat tidak boleh ditunda lagi”. Bahkan, Direktur Eksekutif Institut Dayakologi John Bamba mengatakan, “Dengan alasan keseragaman langkah pembangunan, pranata sosial masyarakat adat saat ini sedang dihancurkan”.
Menurut Mina Susan Setra Wakil Ketua I Kongres Masyarakat Adat Nusantara III, “Penindasan secara politis bagi masyarakat adat masih terjadi di sejumlah wilayah yang tereksploitasi sumber daya alamnya dan masyarakat adat kurang diperhatikan kepentingannya. Eksploitasi pihak luar itu sering menimbulkan kerusakan alam yang akhirnya merugikan masyarakat adat”.
Sonny Keraf Wakil Ketua komisi VIII DPR RI yang membidangi lingkungan mengatakan, “Pelibatan masyarakat adat lokal penting agar mereka menerima manfaat langsung. Selama ini mereka lebih sering menjadi korban, termasuk pencemaran lingkungan dari aktivitas usaha”. Kurangnya kepedulian pemerintah terhadap lingkungan hidup tercermin pada lambannya pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengelolaan Sumber Daya Alam. Seretnya penanganan RUU sekaligus cerminan adanya perbedaan sikap tentang masyarakat adat. Pembahasan lebih dari tiga tahun tentang RUU Pengelolaan Sumber Daya Alam, yang tak kunjung usai, diwarnai tarik ulur pengaturan hak masyarakat adat dan kelembagaannya. Departemen Kehutanan bahkan mempersoalkan pemanfaatan sumber daya alam oleh masyarakat adat, sedangkan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral mengkhawatirkan eksploitasi hutan oleh masyarakat adat akan dicampuri pihak lain” (Kompas, 17/3/2007).
Dari berbagai uraian diatas betapa belum terperhatikan eksistensi Masyarakat Hukum Adat (MHA) di republik ini sekalipun sering disebut-sebut Hukum Dasar Tertinggi adalah Hukum Dasar Tertulis (UUD RI 1945) dan Hukum Dasar Tak Tertulis (Hukum Adat) menjadi dasar dari segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam berbangsa dan bernegara.
Hiruk-pikuk politik pertarungan suksesi kepemimpinan nasional maupun daerah (presiden/wakil presiden, gubernur, bupati/walikota) telah berlangsung beberapa kali sepertinya belum nyata-nyata menjadikan “Eksistensi Masyarakat Hukum Adat (MHA)” prioritas visi-misi secara riil. Akibatnya, Eksistensi Masyarakat Hukum Adat (MHA) serta Perlindungan Hak Keperdataannya menjadi kasus klasik tak pernah tuntas. Sementara, Masyarakat Hukum Adat (MHA) telah menjadi korban ketidakadilan sangat memilukan di republik ini. Salah satu contoh konkrit, permasalahan hutan masyarakat adat Desa Pandumaan-Sipituhuta, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan, Provinsi Sumatera Utara, dan lain sebagainya.
Kasus-kasus Masyarakat Hukum Adat (MHA) adalah permasalahan paling menonjol serta klasik di hampir seluruh wilayah Indonesia sepanjang perjalanan bangsa ini. Walau demikian, penyelesaian kasus-kasus Masyarakat Hukum Adat (MHA) belum perioritas dalam arah kebijakan nasional maupun pemerintahan daerah hingga kini.
Kealpaan Pemerintah Daerah.
Pengakuan, pengukuhan, pemastian, perlindungan hak Masyarakat Hukum Adat (MHA) adalah amanat konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang harus dilaksanakan oleh penyelenggara negara atau pemerintahan, terutama pemerintah daerah, baik pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota dalam menerbitkan peraturan daerah (Perda) sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pasal 67 selengkapnya berbunyi;
Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih adadan diakui keberadaannya berhak:
melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan;
melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang;
mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.
Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pengakuan, pengukuhan, pemastian perlindungan hak Masyarakat Hukum Adat (MHA) dengan tegas diamanahkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 pasal 18B berbunyi; “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Selanjutnya, pasal 28 I ayat (3) berbunyi, “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria pasal 3 dan pasal 5 selengkapnya berbunyi;
Pasal 3 Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
Pasal 5 Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-Undang ini dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsure-unsur yang berdasar pada hukum agama. Penjelasan pasal 3 dan pasal 5 dapat dilihat selengkapnya pada Penjelasan Umum (II angka 3) dan Penjelasan Umum (III angka 1) Undang_Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Demikian juga Undang-Undang republik Indonesia Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan, pasal 9 ayat (2) menegaskan, “dalam hal tanah yang diperlukan merupakan tanah hak ulayat masyarakat hukum adat yang menurut kenyataannya masih ada, mendahului pemberian hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemohon hak wajib melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat pemegang hak hak ulayat dan warga pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah, dan imbalannya.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-X/2012 tertanggal 16 Mei 2013 atas yudisial rewiew pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan telah menegaskan, “Hutan Adat termasuk Hutan Hak” Bukan “Hutan Negara”. Mahkamah Konstitusi memutuskan, “Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”, bukan sebagaimana mengartikan “hutan adat” adalah hutan Negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bersifat final and binding ini menjadi dasar fundamental tak bisa diabaikan dan dikesampingkan pemerintah daerah menetapkan peraturan daerah (Perda) pengakuan, pengukuhan, pemastian eksistensi dan perlindungan hak masyarakat hukum adat (MHA), tanpa alasan apapun. Tapi sungguh disayangkan dan disesalkan pemerintah daerah (provinsi, kabupaten/kota) sepertinya “Alpa” melaksanakan perintah konstitusi sehingga eksistensi dan perlindungan hak masyarakat hukum adat belum menjadi perhatian serius di negeri ini. Bahkan, daerah kabupaten/kota di provinsi Sumatera Utara yang disebut-sebut daerah Masyarakat Hukum Adat (MHA) masih belum menerbitkan peraturan daerah (Perda) pengakuan, pengukuhan, pemastian serta perlindungan hak masyarakat hukum adat menjamin legalitas formal berbangsa dan bernegara hingga saat ini.
Pemerintah daerah (Provinsi, Kabupaten/Kota) wajib hukumnya menetapkan peraturan daerah (Perda) pengakuan, pengukuhan, pemastian perlindungan hak masyarakat hukum adat (MHA) sebagaimana ditegaskan pasal 67 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Sebab, Eksistensi masyarakat hukum adat (MHA) beserta hak-hak keperdataannya ditetapkan berdasarkan peraturan daerah (Perda).
Peraturan daerah (Perda) diusulkan eksekutif atau hak inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi, kabupaten/kota sesuai prosedur penerbitan peraturan daerah (Perda). Sehingga belum terbitnya peraturan daerah (Perda) merupakan kelalaian dan/atau pengabaian serta pembangkangan kolektif pemerintah daerah (provinsi, kabupaten/kota) terhadap konstitusi secara telanjang, terang-benderang.
Berbagai regulasi dasar penerbitan peraturan daerah (Perda) pengakuan, pengukuhan, pemastian perlindungan hak masyarakat hukum adat (MHA) sebagaimana telah diuraikan diatas serta peraturan perundang-undangan lainnya anatara lain; Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2007 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan serta Pemanfaatan Hutan, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015, Nomor 88 Tahun 2017, Nomor 86 tahun 2018 terkait dengan Reforma Agraria, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P. 32/MENLHK-SETJEN/2015 tentang Hutan Hak, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 21/MENLHK-SETJEN/KUM.1/4/2019 tentang Hukum Adat dan Hutan Hak pada tanggal 29 April 2019, SK. 347/MENLHK/PSKL/PKTHA/KUM. 1/5/2019 tentang Perpanjangan Kelompok Kerja Percepatan Penetapan Hutan Adat, dan lain-lain.
Bila pemerintah daerah (provinsi, kabupaten/kota), termasuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kertekad kuat memberi kepastian hukum terhadap Eksistensi serta Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat (MHA) dan tidak mengabaikan perintah konstitusi maka tak ada alasan tidak menerbitkan dan menetapkan peraturan daerah (Perda) di daerah masing-masing.
Apakah Pemerintah Daerah Mengabaikan Legalitas Masyarakat Hukum Adat (MHA) ?
Apakah Pemerintah Daerah Melakukan Pembangkangan terhadap Konstitusi ?
Bangga kah menyebut diri Masyarakat Hukum Adat (MHA) tanpa Pengakuan, Pengukuhan, Pemastian Perlindungan Hak Keperdataannya ?
Apakah benar Negara telah melaksanakan kewajibannya melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia…dst dengan membiarkan Masyarakat Hukum Adat (MHA) tanpa kepastian hukum di negeri ini ?
Inilah jeritan hati nurani serta penderitaan klasik Masyarakat Hukum Adat (MHA) perlu segera disikapi Pemerintahan Joko Widodo-KH. Ma’ruf Amin periode 2019-2024 agar tercatat tinta emas pemimpin pro rakyat mewujudkan “Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Medan, 9 Juli 2019
Salam NKRI…….!!! MERDEKA…….!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.