Benarkah
BLSM Sejahterakan Rakyat ?
Oleh
: Thomson Hutasoit
Salah satu isu seksi pada pertengahan bulan Juni 2013
tepatnya tanggal 17 Juni 2013 adalah Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia (DPR RI) tentang penetapan APBN-P 2013 yang dikaitkan dengan
rencana kenaikan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dari harga Bensin Rp 4.500
menjadi Rp 6.500, Solar dari Rp 4.500 menjadi Rp 5.500 dengan berbagai
kompensasi, dan salah satu diantaranya Bantuan Langsung Sementara Masyarakat
(BLSM) atau sebutan guyon Balsem sebesar Rp 150.000 per bulan selama 4 bulan
kepada 15,5 juta rumah tangga rakyat miskin atau sebesar Rp 9,3 triliun. Infrastruktur
dasar Percepatan dan perluasan pembangunan infrastruktur : Permukiman, air
minum, dan sumber daya air sebesar Rp 6,0 triliun. Kedua kompenen ini
dikategorikan Program Khusus. Kemudian Program Percepatan Perluasan
Perlindungan Sosial (P4S) yang terdiri dari; Raskin (beras untuk masyarakat
miskin) Bantuan beras bagi 15,5 juta rumah tangga miskin selama 3 bulan sebesar
Rp 4,3 triliun. BSM (bantuan siswa miskin) tersedia bagi 16,6 juta siswa
sebesar Rp 7,5 triliun. PKH (program keluarga harapan) untuk 2,4 juta rumah
tangga sangat miskin/keluarga sangat miskin sebesar Rp 0,7 triliun. Total
alokasi dana kompensasi BBM sebesar Rp 27,9 triliun.(Kompas, 18/6).
Sidang Paripurna DPR RI tentang penetapan APBN-P 2013
yang diwarnai unjuk rasa mahasiswa, buruh, masyarakat di berbagai daerah di
dukung/diterima 5 Fraksi DPR RI antara lain; Partai Demokrat 143 suara, Partai
Golkar 98 suara, PAN 40 suara, PPP 34 suara, PKB 23 suara, total
menerima/mendukung 338 suara. Sementara yang menolak terdiri dari 4 Fraksi
antara lain; PDI-Perjuangan 91 suara, PKS 51 suara, Partai Gerindra 25 suara,
Partai Hanura 14 suara, total menolak 181 suara.
Satu hal aneh adalah ketika harga BBM bersubsidi
dinaikkan justru pagu subsidi BBM mengalami kenaikan dari Rp 194 triliun pada
APBN 2013 menjadi Rp 210 triliun pada APBN-P 2013 atau terjadi kenaikan sebesar
Rp 16 triliun. Kompensasi BBM sebesar Rp 27,9 triliun sehingga kenaikan harga
BBM bersubsidi tersebut hanya menolong APBN sebesar Rp 11,9 triliun agar tidak
jebol sebagaimana didengung-dengungkan pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono
(SBY) sebagai salah satu alasan mengapa harus menaikkan harga BBM bersubsidi
pada APBN-P 2013.
Melihat angka Rp 11,9 triliun untuk penyelamatan APBN
supaya tidak jebol tentu saja tidak terlalu masuk akal sebab pemerintahan SBY
masih getol melakukan pinjaman atau mengutang hingga ratusan triliun rupiah
sehingga kenaikan harga BBM bersubsidi semakin mengundang pertanyaan besar
apakah memang benar untuk mensejahterakan rakyat atau justru menyengsarakan
rakyat pasca kenaikan harga BBM bersubsidi. Karena itu, pemerintahan SBY perlu
menjelaskan transparan berapa jumlah pengurangan beban APBN dari kenaikan harga
BBM setelah penetapan APBN 2013 dengan rincian
perhitungan angka impor riil BBM dikali kenaikan harga BBM pasca APBN-P 2013 agar
masyarakat tidak mencurigai bahwa kebijakannya itu tidak bermuatan politis
menjelang pemilihan presiden (Pilpres) maupun pemilihan legislatif (Pileg) 2014
akan datang. Sebab menurut logika umum jika subsidi BBM dikurangi melalui
kenaikan harga BBM bersubsidi maka pagu anggran subsidi BBM di APBN-P 2013 akan
semakin turun, namun dalam kenyataannya justru subsidi BBM mengalami kenaikan
sebesar Rp 16 triliun dari APBN 2013 sebesar Rp 194 triliun menjadi APBN-P 2013
sebesar Rp 210 triliun sehingga amat sangat wajar jika ditengah-tengah masyarakat saat ini muncul
berbagai analisis serta kecurigaan dan tudingan menyebut ‘kebijakan
sinterklas’, bahkan ada yang menyebut ‘suap politik’ untuk meraih simpatik
ataupun meraih suara pemilih pada Pileg dan Pilpres 2014 akan datang.
Selain daripada itu, yang patut disayangkan serta
mengecewakan publik adalah ketidaktahuan pimpinan DPR RI tentang ‘Pasal
Lapindo’ muncul di pasal 9 APBN-P 2013 tentang APBN tahun Anggaran 2013 dimana
pemerintah menganggarkan Rp 155 miliar untuk korban Lumpur Lapindo menunjukkan
betapa tidak profesionalnya DPR RI dalam membahas RAPBN-P 2013. Rakyat semakin
curiga terhadap kinerja DPR RI dalam mengemban tugas serta kewenangan
konstitusionalnya yakni hak budgeting sehingga perdebatan alot Sidang Paripurna
DPR RI tidak lebih dari sandiwara politik gincu pemanis tontonan rakyat di
panggung politik Senayan. Sungguh tidak masuk akal menyetujui APBN-P 2013
tetapi yang disetujui tidak tahu sama sekali. Dan pernyataan-pernyataan
pimpinan DPR RI patut dicurigai politik cuci tangan ala Pontius Pilatus yang
menyalipkan Yesus Kristus pada zaman kerajaan Romawi. Betapa kejam dan kejinya
para politisi republik ini yang sehari-hari tidak pernah lupa mengklaim diri
wakil rakyat melihat gelombang unjuk rasa yang dimotori mahasiswa dan buruh
hingga berdarah-darah sementara
“tuan-tuan” di Senayan masih mampu tertawa terbahak-bahak, tidak tahu yang
diputuskan, serta saling ejek ala “TK” sebagaimana dikatakan Presiden KH
Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.
Belum lagi alokasi anggaran sosialisasi kompensasi
kenaikan harga BBM bersubsidi 400-an miliar rupiah terhadap 15,5 juta rakyat
miskin “tumbal” APBN-P 2013 yang dihadang gelombang unjuk rasa atau demontrasi
di seluruh Indonesia menambah kecurigaan ada apa dibalik keputusan politik mengalaskan
penyelamatan APBN tidak jebol itu.
Sungguh menarik Artikel Donny Gahral Adian di Harian
Kompas, Rabu 19 Juni 2013 dengan ‘judul Politik Tanpa Keputusan’ dimana
dikatakan bahwa, “Tidak ada keputusan politik apa pun di rapat paripurna
tentang APBN-P kemarin. Rapat itu menunjukkan betapa politisi kita bercakap dengan
kosakata yang sama, kosakata ekonomi. Ekonomi adalah soal aturan (nomos) yang
bergeming. Aturan mati ekonomi berbunyi: :”Jika subsidi BBM tidak dikurangi,
maka APBN jebol”. Maka, mereka yang menolak pengurangan subsidi BBM berarti
setuju APBN jebol. Padahal, terlepas dari subsidi yang sebagian besar dinikmati
orang kaya, kita masih bisa berdebat, apakah APBN jebol oleh subsidi atau oleh
korupsi. Kita juga bisa berdebat, apakah layak negara sekaya Indonesia APBN-nya
hanya Rp 1.600 triliun ? Kita sibuk mempersoalkan pengeluaran, tetapi malas
mendongkrak pemasukan.
Namun apa mau dikata, aturan emas ekonomi mendominasi
jalan pikiran politisi Senayan. Koalisi (yang mulai retak) pun satu suara soal
aturan emas tersebut. Subsidi BBM wajib dikurangi untuk menyelamatkan APBN.
Pertanyaannya, apakah menyelamatkan APBN sekonyong-konyong menyelamatkan rakyat
? Siapa yang diselamatkan APBN atau rakyat ? Kita bisa berkeras bahwa APBN yang
sehat akan menyejahterakan rakyat. Masalahnya, ke mana uang hasil desubsidisasi
yang pernah dilakukan selama ini ? Apakah uang tersebut sungguh dipakai untuk
perbaikan kesejahteraan rakyat ? Atau itu sepenuhnya dipakai untuk kebijakan
populis yang berdampak politik jangka pendek” tanya Dosen Filsafat Politik
Universitas Indonesia.
Pelaksana
Tugas Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Bambang Permadi
Soemantri mengatakan, “sebenarnya kenaikan harga BBM bersubsidi tidak menghemat
anggaran dalam arti kemudian muncul sisa dana tunai. Namun kebijakan itu
sifatnya mengerem pembengkakan subsidi. Oleh sebab itu, tidak serta merta
kemudian tersedia dana untuk menambah pagu anggaran atas sejumlah program yang
sudah ada atau mendanai program baru” (Kompas, 19-06-2013).
Postur
APBN-P 2013 antara lain: A. Pendapatan Negara pada APBN 2013 sebesar Rp 1.529,
70 triliun sementara pada APBN-P 2013 sebesar Rp 1.502,00 triliun atau
mengalami penurunan sebesar Rp 27,70 triliun, terdiri dari: (I) Pendapatan
Dalam Negeri pada APBN 2013 sebesar Rp 1.525,20 triliun sementara pada APBN-P
2013 sebesar Rp 1.497,50 triliun atau mengalami penurunan sebesar Rp 27,70
triliun. (II) Penerimaan Hibah pada APBN 2013 sebesar Rp 4.483,60 triliun
sementara pada APBN-P 2013 sebesarRp 4.483,60 triliun atau tidak mengalami
perubahan. B. Belanja Negara pada APBN 2013 sebesar Rp 1.683,01 triliun
sementara pada APBN-P 2013 sebesar Rp 1.726,20 triliun atau mengalami kenaikan
sebesar Rp 43, 19 triliun, terdiri dari: (I) Belanja pemerintah Pusat pada APBN
2013 sebesar Rp 1.154,40 triliun sementara pada APBN-P sebesar Rp 1.196,20
triliun atau mengalami kenaikan sebesar Rp 42,40 triliun. (II) Transfer ke
Daerah pada APBN 2013 sebesar Rp 528,60 triliun sementara pada APBN-P 2013
sebesar Rp 529,40 triliun atau mengalami kenaikan sebesar Rp 0,80 triliun. C.
Keseimbangan Primer pada APBN 2013 minus (-) sebesar Rp 40,09 triliun sementara
pada APBN-P 2013 minus (-) sebesar Rp 111,70 triliun atau mengalami kenaikan minus
(-) sebesar Rp 71,61 triliun. Defisit Anggaran pada APBN 2013 minus (-) sebesar Rp 153,40 triliun sementara
pada APBN-P 2013 minus (-) sebesar Rp 224,20 triliun atau mengalami kenaikan
minus (-) sebesar Rp 70,80 triliun (sumber data Kompas, 19/06/2013).
Dari
gambaran postur APBN-P 2013 diatas Pendapatan Negara mengalami penurunan
sebesar Rp 27,70 triliun, sebaliknya disisi Belanja Negara mengalami kenaikan
sebesar Rp 43,19 triliun sehingga alasan pemerintahan SBY menaikkan harga BBM
bersubsidi untuk menyelamatkan APBN tidak jebol semakin tidak masuk akal.
Sementara dampak negatif dari kenaikan harga BBM bersubsidi akan berpotensi
melahirkan “Pemiskinan Sistemik”. Jika terjadi kenaikan angka kemiskinan,
pengangguran, penurunan daya beli karena harga-harga kebutuhan rakyat melambung
tinggi pasca kenaikan harga BBM bersubsidi maka pemerintahan SBY telah
melakukan kebijakan inkonstitusional karena gagal melaksanakan perintah
Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh rakyat Indonesia serta memajukan kesejahteraan umum dan
seterusnya. Pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) bahwa kenaikan
harga BBM bersubsidi merupakan pilihan paling pahit menyelamatkan perekonomian
Indonesia serta mengurangi beban pemerintahan akan datang sepertinya sulit
diterima akal sehat serta sangat tidak sesuai dengan perintah konstitusi sebab
postur APBN selama ini masih belum menunjukkan efisiensi serta efektifitas
optimal karena pos mata anggaran masih mayoritas (± 70-80 persen) untuk
kepentingan penyelenggara negara atau pemerintahan, pembayaran pokok pinjaman
beserta bunganya yang setiap tahun hampir menyerupai deret ukur. Sehingga
kenaikan besaran APBN setiap tahun tidak berkorelasi langsung dengan
peningkatan kemakmuran, kesejahteraan rakyat mayoritas di negeri ini.
Peta
jalan pembangunan nasional jangka pendek, jangka menengah, jangka panjang yang
dikenal Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) di masa lalu yang dijabarkan
selanjutnya dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) yang menjadikan
republk ini pernah dijuki “Macan Asia” sebab mampu swasembada pangan kini
berubah menjadi importir riil beras, kacang kedelai, jagung, buah-buahan, ikan
asin, garam, gula, BBM, dan kebutuhan primer rakyat lainnya harus pula dimaknai
hasil kekeliruan mengelola negeri ‘kolam susu’ ini sesuai amanat pasal 33 UUD
Republik Indonesia 1945. Infrastruktur jalan, iringasi, pemberdayaan petani,
pekebun, nelayan, yang merupakan penyerap tenaga kerja terbesar di negeri
agraris ini tidak pernah dijadikan prioritas pembangunan sehingga anak-anak
republik ini terpaksa jadi ‘kuli’ di negeri orang lain karena di negeri sendiri
tidak ada lowongan kerja memadai. Sebutan “pahlawan devisa” terhadap Tenaga
Kerja Indonesia (TKI) hanyalah pelipur lara sebagai kompensasi wanprestasi
serta kekeliruan negara atau pemerintah mengemban perintah konstitusi melindungi
seluruh rakyatnya.
Seharusnya,
pemerintahan SBY lebih bijaksana bila melakukan efisiensi pos mata anggaran
dengan memangkas pos-pos alokasi anggaran tak terlalu urgen termasuk memangkas
belanja perjalanan dinas, belanja gedung, belanja kendaraan dinas super lux,
belanja sosialisasi, menghilangkan kebocoran anggaran, efisiensi sektor energi,
memotong mata rantai distribusi, memberantas penyelundupan BBM serta tindak korupsi di berbagai institusi
penyelenggara negara yang menjadi predator keuangan republik ini. Pengembangan
sumber energi terbarukan secara konsisten berkelanjutan tidak pernah nyata
dilakukan supaya tercipta kedaulatan energi dalam negeri di masa akan datang. Malah
sebaliknya menerapkan kebijakan menambah beban rakyat ketika menjelang Idul
Fitri, tahun ajaran baru yang sudah pasti terjadi lonjakan kenaikan harga-harga
kebutuhan rakyat. Bukankah APBN ditujukan untuk kepentingan meningkatkan kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat, tapi mengapa demi menyelamatkan APBN rakyat harus dikorbankan
? Inilah salah satu bukti logika terbalik manajemen pengelolaan negara atau
pemerintahan amat sangat bias kewajiban negara atau pemerintahan mewujudkan
kemakmuran, kesejahteraan berkeadilan sesuai amanat konstitusi.
Selain
daripada itu, pemerintahan SBY harus menjelaskan transparan apakah menaikkan
harga BBM bersubsidi merupakan jalan satu-satunya menyelamatkan fiskal disertai
perhitungan rinci berapa biaya produksi, biaya distribusi BBM agar rakyat bisa
menerima kebijakan pemerintahan SBY menaikkan harga BBM bersubsidi bukan hanya
menonjolkan pemberian kompensasi kenaikan BBM bersubsidi sebagai wujud
mencerdaskan bangsa serta implementasi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik wujud nyata hak asasi
manusia (HAM) dalam berbangsa dan bernegara.
Sekadar mengingatkan bahwa menurut data BPS (2010) jumlah
penduduk miskin sebesar 13,3 persen atau setara dengan 31,02 juta serta
dilaporkan ke Pertemuan Tingkat Tinggi PBB mengenai Tujuan Pembangunan
Millenium yang berlangsung pada tanggal 20-22 September 2010 di New York.
Sementara Program Kesehatan Masyarakat yang diperuntukkan bagi orang miskin
penerima iuran dari pemerintah berjumlah 76,4 juta orang (Kompas, 10/3/2011,
Thomson Hutasoit, Potret Retak Berbangsa Bernegara, 2011, Hal 170) menunjukkan
betapa absurdnya akurasi data rakyat miskin di negeri ini. Belum lagi tidak
masuk akal penetapan Nominal Indikator Kemiskinan (NIKI) yang didasarkan pada
Standar Kemiskinan pengeluaran rata-rata Rp 211.000 perbulan perorang, dengan
perincian pemenuhan makanan Rp 5.000 perhari, perorang atau Rp 155.615
perbulan, dan non makanan sebesar Rp 56.000 perbulan (BPS, 210) menambah
kecurigaan bukan hanya 13,3 persen atau setara dengan 31,02 juta rakyat miskin
di republik ini di tahun 2010 lalu. Yang paling aneh adalah klaim pemerintah
bahwa berhasil meningkatkan pendapatan perkapita sebesar Rp 27 juta pertahun
atau sebesar Rp 2,5 juta perbulan sementara upah minimum provinsi (UMP), upah
minimum kota/kabupaten (UMK) masih dikisaran Rp 1.600.000 hingga Rp 1.750.000
perbulan menambah semakin terang benderang betapa negeri ini telah keliru
mengelola negara sesuai amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
1945 yang mewajibkan negara “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
rakyat Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,
turut serta mewujudkan perdamaian dunia, serta keadilan sosial” bagi seluruh
rakyatnya. Hal itu adalah perintah konstitusi sehingga setiap kebijakan yang berlawanan
dengan perintah konstitusi harus dimaknai wanprestasi serta penyelewengan
konstitusi berkonsekwensi inkonstitusional. Artinya, jika negara atau
pemerintahan mengeluarkan kebijakan berdampak menimbulkan “Kemiskinan Sistemik”
negara atau pemerintahan harus memikul tanggung jawab konstitusional.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Menko
Kesra (2010), anggaran untuk pengentasan warga dari kemiskinan naik setiap
tahun, bahkan kenaikannya cukup spektakuler. Tahun 2004, misalnya anggaran
kemiskinan sekitar Rp 16,7 triliun, tahun berikutnya naik menjadi 23 triliun,
dan tahun 2006 naik menjadi Rp 43 triliun . Tahun berikutnya berturut-turut
naik menjadi Rp 51 triliun (2007), Rp 68 triliun (2008), Rp 66 triliun (2009) dan
tahun 2010 melonjak menjadi Rp 94 triliun. Namun lonjakan anggaran itu tidak
disertai penurunan angka kemiskinan yang signifikan. Jumlah penduduk miskin
pada kurun waktu yang sama 16,7 persen (2004), lalu turun menjadi 16 persen (2005),
naik lagi menjadi 17,8 persen (2006), kemudian turun menjadi 16,6 persen
(2007), 15,4 persen (2008), 14,2 persen (2009), dan terakhir sekitar 13,3
persen (2010).
Penurunan itu jauh lebih lambat dibandingkan dengan
China. Tahun 1990, jika menggunakan angka kemiskinan absolut 1 dollar AS
perkapita pertahun, saat itu di China jumlahnya 31 persen, sedangkan di
Indonesia hanya 26 persen. Kini angka kemiskinan absolut di China tinggal 6,1
persen, sedangkan di Indonesia 5,9 persen (Kompas, 10/03/2011, Thomson
Hutasoit, 2011, Hal 168-169).
Dari catatan penulis selama pemerintahan Presiden Susilo
Bambang Yudoyono (SBY) kebijakan kenaikan/penurunan harga BBM bersubsidi tidak
pernah dikomunikasikan secara transparan sehingga mengundang kecurigaan di
ruang publik. Pada bulan Agustus 2005 kenaikan harga BBM bersubsidi rata-rata
sebesar 125 persen, pada tahun 2008 harga BBM bersubsidi seharga Rp 6.000. Tapi
pada Januari 2009 turun dua kali menjadi Rp 5.500/per liter dan Rp 4.500/ per
liter ketika menjelang Pilpres 2009. Kemudian menaikkan kembali pada 21 Juni
2013 pukul 00.00 Wib dari harga premium Rp 4.500/per liter menjadi Rp 6.500/per
liter dan Solar dari Rp 4.500/per liter menjadi Rp 5.500/per liter tanpa
menjelaskan perhitungan angka-angka produksi, distribusi secara transparan.
Dari data-data
tersebut tentu ada perbedaan paradigma yang diterapkan China dengan Indonesia
yakni negeri China menggenjot pembangunan infrastruktur untuk mendorong
pertumbuhan perekonomian rakyat mayoritas, sementara di Indonesia lebih
cenderung menerapkan “politik sinterklas” membagi-bagi uang dalam program
Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan terulang kembali dengan program Bantuan
Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) atau Balsem sebagaimana tergambar pada
postur APBN-P 2013.
Rakyat negeri ini mungkin tidak akan keberatan atau
menolak untuk berkorban menyelamatkan negara sebagai wujud kewajiban bela
negara sebagaimana dilakukan rakyat Thailand ketika krisis ekonomi tahun 1998
yang lalu asalkan saja pengelolaan manajemen penyelenggaraan negara atau
pemerintahan telah dilakukan dengan baik dan benar. Tetapi bila kehadiran
negara absen di ruang publik maka rakyat tentu berpikir sejuta kali mendukung
kebijakan negara atau pemerintahan secara optimal, termasuk kebijakan menaikkan
harga BBM bersubsidi walau dibarengi program sinterklas macam-macam. Rakyat
tidak pernah menginginkan program belas kasihan dari negara atau pemerintah
seperti bantuan langsung tunai (BLT), beras rakyat miskin (Raskin), bantuan
siswa miskin (BSM), bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) dan lain
sebagainya tapi program pemberdayaan rakyat mandiri agar rakyat mampu berdiri
diatas kaki sendiri (BERDIKARI) seperti pemikiran jenial, monumental Bung Karno
‘TRI SAKTI’ yakni Berdaulat dalam politik, Berkepribadian dalam kebudayaan,
Berdikari dalam ekonomi. Karena sungguh tidak masuk akal petani, pekebun, nelayan menjadi sasaran beras rakyat miskin
(Raskin) di negeri agraris.
Multiplier
Efek Pasca Kenaikan Harga BBM Bersubsidi
Salah satu cabang-cabang produksi yang penting bagi negara
dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasi oleh negara (pasal 33 ayat
2 UUD RI 1945) adalah bahan bakar minyak (BBM). Karena menguasai hajat hidup
orang banyak negara atau pemerintah tidak boleh sembarangan menentukan
kebijakan bahan bakar minyak (BBM) sebab akan menimbulkan multiplier efek
terhadap perikehidupan rakyat secara kolektif. Alasan menaikkan harga BBM
bersubsidi karena sebagian besar dinikmati kalangan masyarakat menengah ke atas
bukanlah alasan brilian sebab masih ada instrumen lain seperti menaikkan pajak
progresif kendaraan bermotor sebagai program subsidi silang antara si kaya
dengan rakyat kurang mampu. Dengan penerapan pajak progresif kendaraan bermotor
maka bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi tidak perlu dinaikkan sebab para
pemilik kendaraan bermotor telah menanggung pajak semakin besar atas penggunaan
bahan bakar minyak (BBM) kendaraannya. Penerapan pajak progresif kendaraan
bermotor selain mencerminkan rasa keadilan juga melindungi rakyat tidak mampu
dari multiplier efek kenaikan BBM seperti ongkos transportasi, kenaikan
harga-harga kebutuhan rakyat. Akan tetapi, kebijakan tersebut masih belum
diterapkan maksimal padahal kebijakan seperti itu jauh lebih cerdas daripada
kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi yang sangat berpotensi melahirkan
pemiskinan sistemik pada level masyarakat diatas angka kemiskinan absolut.
Kompensasi kenaikan BBM bersubsidi berupa Bantuan
Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) atau Balsem sebesar Rp 150.000 perbulan
selama 4 bulan terhadap 15,5 juta rumah
tangga miskin sangat tidak menolong dari dampak multiplier efek kenaikan harga
BBM bersubsidi sebab harga-harga kebutuhan kehidupan sehari-hari akan mengalami
kenaikan secara otomatis. Bila kita asumsikan program keluarga berencana (KB)
di negeri ini telah berhasil maka satu keluarga terdiri dari suami, istri dan
tiga orang anak sehingga jumlah satu keluarga lima orang. Maka BLSM atau Balsem
sebesar Rp 150.000 : 30 hari : 5 orang sama dengan Rp 1.000 perorang/perhari.
Seandainya kelima orang tersebut beraktivitas dengan menggunakan transpotasi
umum satu estafel saja dengan kenaikan ongkos transportasi pasca kenaikan BBM
bersubsidi rata-rata Rp 1.000-Rp 1.500 maka kenaikan ongkos transportasi yang
harus ditanggung Rp 30.000 hingga Rp 45.000 per orang/per bulan sehingga satu
rumah tangga miskin akan menanggung kenaikan
ongkos transportasi 5 orang x Rp 30.000-Rp 45.000 = Rp 150.000 hingga Rp
225.000. sementara yang diterima sebesar Rp 150.000 per bulan/per rumah tangga
miskin. Ongkos transportasi ini masih satu komponen kebutuhan belum lagi
kenaikan harga-harga kebutuhan lain akan mengalami kenaikan harga-harga akibat
kenaikan harga BBM bersubsidi menambah kemelaratan rakyat semakin berat.
Kebijakan jalan pintas tanpa memperhitungkan dampak
multiplier efek kebijakan adalah cerminan ketidakberpihakan penyelenggara
negara atau pemerintahan terhadap rakyatnya sekaligus pelanggaran terhadap
konstitusi yang mengamanatkan melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
rakyat Indonesia. Perintah konstitusi itu merupakan parameter untuk mengevalusi
berhasil tidaknya suatu rezim pemerintahan berkuasa termasuk pemerintahan SBY
saat ini. Alasan-alasan rasionalisasi adalah suatu tindakan kejahatan yang
dilakukan negara atau pemerintahan terhadap rakyatnya. Sigmund Freud mengatakan
“ Manusia bukan saja pandai membikin rasional namun juga cerdas membikin
rasionalisasi. Dalih yang berbahaya adalah rasionalisasi yang disusun secara
sistematis dan menyakinkan. Dalih semacam ini bisa memukau apalagi bila
didukung oleh sarana seperti kekuasaan” (Jujun S Suriasumantri, 1982; hal:
243). Alasan rasionalisasi adalah suatu tindak kejahatan yang membikin sesuatu
seolah-olah rasional apalagi didukung kekuasaan sehingga masyarakat dipaksa
menerima kebijakan itu walau tidaklah bijaksana. Apa yang dirasakan anak-anak
negeri ini sangat berkorelasi dengan pendapat Sigmund Freud dimana pemerintahan
SBY membangun alasan menyelamatkan APBN, menyelamatkan perekonomian, BBM bersubsidi lebih banyak
digunakan masyarakat menengah ke atas adalah sebuah alasan rasionalisasi yang
seolah-olah rasional. Padahal alasan itu amat sangat tidak masuk akal.
Pasal 3 ayat (1) UU RI Nomor 17 tahun 2003 tentang
Keuangan Negara dikatakan, ”Keuangan Negara dikelola secara tertib, taat pada
peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan
bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan”. Dan pada
pasal 7 ayat (1) dikatakan, “Kekuasaan atas pengelolaan keuangan negara
digunakan untuk mencapai tujuan bernegara”. Selanjutnya pada penjelasan poin 4
Azas-azas Umum Pengelolaan Keuangan Negara dikatakan, “Dalam rangka mendukung
terwujudnya good governance dalam penyelenggaraan negara, pengelolaan keuangan
negara perlu diselenggarakan secara profesional, terbuka, dan bertanggung jawab
sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar.
Sesuai dengan amanat Pasal 23 C Undang-Undang Dasar 1945 tentang Keuangan
Negara tersebut ke dalam asas-asas umum yang meliputi baik asas-asas yang telah
lama dikenal dalam keuangan negara, seperti asas tahunan, asas universalitas,
asas kesatuan, dan asas spesialitas maupun asas baru sebagai percerminan best
practices (penerapan kaidah-kaidah yang baik) dalam pengelolaan keuangan
negara, antara lain: akuntabilitas berorientasi pada hasil, profesionalitas,
proporsionalitas, keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara, pemerikasaan
keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri”. Dari amanat konstitusi
tersebut apakah sudah benar alasan menyelamatkan APBN dan perekonomian
pemerintahan SBY menambah beban rakyat. Bukankah tujuan pengelolaan keuangan
negara mewujudkan tujuan bernegara yakni kemakmuran, kesejahteraan, serta
keadilan ? Tapi mengapa justru rakyat yang dipaksa menyelamaykan APBN. Selain
daripada itu, bukankah pengawasan yang lemah maka terjadi inefisiensi di sektor
energi, penyelundupan BBM, penggunaan BBM tidak tepat sasaran, serta postur
APBN tidak pro rakyat mayoritas mencerminkan ketidakprofesionalan dalam
pengelolaan keuangan negara ? Apakah sesuai asas kepatutan dan asas keadilan
menggeser kelemahan, ketidakprofesionalan pemerintahan berkuasa mengelola
keuangan negara dibebankan kepada rakyat ? Inilah berbagai kejanggalan dibalik
kebijakan pemerintahan SBY menaikkan harga BBM bersubsidi yang mulai berlaku
pukul 00.00 wib 21 Juni 2013 lalu.
Kenaikan harga BBM bersubsidi mau tidak mau, suka tidak
suka, bijak tidak bijak, sudah menjadi keputusan politik di republik ini
sebagai pilihan paling pahit ala Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) dan
dampak multiplier efek pasca kenaikan harga BBM bersubsidi harus
dipertanggungjawabkan rezim berkuasa di masa mendatang. Pertanggungjawaban
dimaksud adalah dampak-dampak negatif seperti turunnya daya beli, kenaikan
harga-harga kebutuhan rakyat, termasuk potensi pemiskinan sistemik akibat
kenaikan harga BBM bersubsidi ke depan.
Demikian juga “tuan-tuan” anggota Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) Republik Indonesia yang mendukung dan mengamini kenaikan harga BBM
bersubsidi harus juga dimintai pertanggungjawaban apabila kelak angka rakyat
miskin bertambah di negeri ini, dan bila perlu rakyat harus menghukum mereka
pada pemilihan legislatif (Pileg) 2014 dengan tidak memilihnya sebab mereka
bukan wakil rakyat melainkan “Stempel” rezim berkuasa melegalisasi kebijakan
menambah penderitaan rakyat.
Sebagai keputusan politik kenaikan harga BBM bersubsidi
tentu tidak bisa diukur dari logika linier atau logika ekonomi an sich karena
bila menggunakan logika-logika tersebut pasti tak akan nyambung serta masih
bisa diperdebatkan apakah kenaikan harga BBM bersubsidi satu-satunya pilihan
paling tepat untuk menyelamatkan APBN, menyelamatkan perekonomian, serta
mengendalikan BBM bersubsidi agar tepat sasaran. Pengakuan Presiden SBY bahwa
kenaikan harga BBM bersubsidi merupakan pilihan paling pahit tidak pula serta
merta tindakan penyelamatan negara sebab pemerintah belum menunjukkan kinerja
maksimal dalam manajemen energi di negeri ini. Bahkan merupakan out put serta impact ketidakmampuan pemerintahan SBY selama dua periode membangun
peta jalan kedaulatan energi dalam negeri melalui pengembangan energi
terbarukan secara optimal. Belum lagi keragu-raguan mengambil keputusan
menimbulkan ketidakpastian hingga kehadiran negara absen di ruang publik.
Berbagai rencana kerap diwacanakan tapi eksekusinya tak kunjung-kunjung
direalisasi, misalnya pengembangan energi dari pohon jarak tapi hingga kini
pabrik pengelolahannya tidak pernah terlaksana sehingga pohon jarak yang telah
ditanami masyarakat dibakar sia-sia. Ini salah satu contoh kecil dari berbagai
kebijakan yang diwacanakan pemerinatahan SBY.
Oleh sebab itu, pemerintahan SBY tidak boleh berhenti
pada titik menaikkan harga BBM bersubsidi saja tetapi merencanakan,
melaksanakan pengembangan energi terbarukan secara konsisten berkesinambungan agar
tidak terulang lagi kebijakan “jalan pintas” menaikkan harga BBM bersubsidi
dengan berbagai alasan rasionalisasi yang sangat berbahaya dalam berbangsa dan
bernegara. Selain daripada itu, pernyataan-pernyataan pemerintah yang
mengatakan bahwa distribusi kompensasi kenaikan harga BBM bersubsidi akan tepat
sasaran harus dipertanggungjawabkan bila data-data rumah tangga miskin nantinya
melenceng sebab pernyataan-pernyataan itu adalah pernyataan resmi pemerintahan
SBY sehingga perlu diawasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) termasuk
proses pendataan, distribusi supaya tidak terulang lagi
penyimpangan-penyimpangan seperti sebelum-sebelumnya.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selaku lembaga
independen di republik ini harus mendalami proses kenaikan harga BBM bersubsidi
karena belum menunjukkan transparansi sebagaimana amanat peraturan
perundang-undangan di negeri ini agar pengorbanan rakyat tidak sia-sia serta
APBN-P 2013 tidak menjadi bancakan partai-partai politik ataupun politisi
menjelang Pileg dan Pilpres 2014 mendatang. KPK harus pro aktif mengungkap
kemungkinan terjadinya persekongkolan politik dibalik kenaikan harga BBM
bersubsidi agar para pengunjuk rasa atau demonstrasi penolakan kenaikan harga
BBM bersubsidi pada APBN-P 2013 mendapat penjelasan transparan karena APBN-P
2013 merupakan dokumen publik serta menggunakan uang rakyat. Hal itu juga
merupakan langkah konkret terwujudnya good governance and clean governace di
negeri ini. Sebab hingga kini transparansi masih sebatas retorika karena walau
paradigma telah berubah tapi penyelenggara negara atau pemerintahan masih belum
berubah. Akuntabilitas kebijakan publik harus menjadi elemen fundamental agar
suatu kebijakan tidak seperti melesatkan anak panah menyasar tak tahu
juntrungannya.
Medan,
24 Juni 2013
Thomson Hutasoit.
Penulis
: Direktur Eksekutif Lembaga Swadaya Masyarakat Kajian Transparansi Kinerja
Instansi Publik (ATRAKTIP), Mantan Ketua Umum Dewan Pimpinan Daerah Gabungan
Pengusaha Kontraktor Indonesia (DPD GABPKIN) Provinsi Sumatera Utara 2008-2012,
Wakil Pemimpin Redaksi SKI ASPIRASI, Staf Ahli salah satu Fraksi di DPRD Kota Medan 2006-2009 dan 2011-2014, penulis
buku Indikator Bangsa Bangkrut, Potret Retak Berbangsa Bernegara, Misteri
Negara Salah Urus, Keluhuran Budaya Batak-Toba, Meneropong serta Mengamati
Visi-Misi Gubernur Sumatera Utara ‘Rakyat Tidak Lapar, Rakyat Tidak Bodoh,
Rakyat Tidak sakit, serta Punya Masa Depan’, serta ± 250 artikel di berbagai
media massa, tinggal di Medan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.