Paradoks
Perubahan Paradigma
Oleh
: Thomson Hutasoit
Salah satu diskusi
paling seksi di era millennia adalah lahirnya paradigma baru dalam pola pikir,
pola tindak demokratis, transparan, partisipatif serta akuntabel sebagai ciri
masyarakat modern yang merupakan titik balik era ketertutupan serba rahasia,
tertata kaku, monopoli tafsir kebenaran dari kekuasaan sentralistik otoritarian
yang diusung era reformasi di berbagai bangsa atau negara di atas jagat raya
ini. Perubahan paradigma yang mengoreksi berbagai tradisi pengaturan super kaku
tentu akan berhadapan dengan berbagai kendala yang tidak mudah diselesaikan
dengan tuntas sebab para penganut paradigma lama yang telah merasakan manisnya
madu ketertutupan serba kaku akan menafsirkan paradigma baru demokratis,
transparan, partisipatif, akuntabel telah terlalu jauh mencampuri ranah sakral
tradisi monopoli tafsir kebenaran kekuasaan sentralistik otoritarian yang
menjadi area absolut pemangku kekuasaan.
Perubahan paradigma walau segencar apapun diwacanakan
tidak berkorelasi dengan kemauan, kerelaan, kesanggupan menerima paradigma baru
sehingga munculkan pameo ‘paradigma telah berubah manusianya tidak mau berubah’
akibatnya makna sejati demokrasi yang ditandai transparansi, partisipasi, dan
akuntabilitas menjadi sebuah paradoks. Artinya, pada tataran kata-kata tidak
pernah lupa mempropagandakan paradigma baru akan tetapi pada tataran
implementatif justru berupaya menjadikan segala sesuatu serba rahasia. Salah
satu contoh nyata adalah tertutupnya
akses publik untuk mengetahui anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN),
anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) dimana pada rezim pemerintahan
sentralistik otoritarian orde baru (Orba) diposisikan “dokumen rahasia negara”
sehingga akses publik seluas-luasnya terhadap APBN atau APBD diberangus melalui
berbagai legalitas ketat dan kaku. Pandangan sentralistik otoriatarian yang
menjadikan APBN atau APBD dokumen rahasia negara di masa era reformasipun masih
dipraktekkan penyelenggara negara atau pemerintahan padahal anggaran pendapatan
dan belanja negara (APBN) atau anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD)
telah menjadi dokumen publik di era reformasi sebagaimana amanah Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Peraturan Pemerintah
Nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Undang-undang Nomor 40
tentang Pers, yang kemudian dipertegas Undang-undang Nomor 14 tahun 2008
tentang Keterbukaan Informasi Publik disertai sanksi pidana serta denda atas
pengabaian amanah peraturan perundang-undangan tersebut.
Sungguh menarik artikel J Kristiadi di Harian Kompas 2
Juli 2013 dengan ‘judul Menjadikan RUU Ormas sebagai “Memoria Passionis” Spirit
yang mengobarkan semangat publik, yang gigih, tanpa lelah, dan pantang menyerah
menolak RUU Organisasi Kemasyarakatan, paling mendasar adalah memori terhadap
represi penguasa masa lalu yang melumpuhkan masyarakat sipil (civil society) dengan ne-negara-kan
mereka. Masyarakat kehilangan ruang publik yang seharusnya jadi ranah untuk mengembangkan
kekuatan masyarakat yang demokratis berhadapan dengan (vis a vis) negara. Perilaku otoritas politik yang memonopoli
kekuasaan dan kebenaran telah mengakibatkan luka batin mendalam serta trauma
politik yang terekam kuat dalam kenangan publik. Memori semacam itu, secara
teknis disebut memori statik. Ia adalah ingatan bermuatan kesumat dan siap
meledak, baik dalam bentuk perlawanan maupun pembangkangan politik. Padahal,
kenangan yang sarat dengan penderitaan masa lalu selalu dapat ditransformasikan
menjadi ingatan memuliakan kehidupan. Dengan syarat, ingatan tersebut
menjajinkan harapan kehidupan yang lebih baik. Kenangan itu bersifat dinamis,
biasa disebut memoria passionis. Ironisnya, negara yang didalamnya terdapat
tokoh-tokoh yang mengaku reformis dan bagaimana getirnya kelaliman rezim masa
lalu seakan ingin memaksakan RUU yang dikhawatirkan publik menjadi bibit
pemasung kebebasan berserikat menjadi regulasi. Memaksakan putusan politik yang
merusak memoria passionis adalah tahap awal cara negara menundukkan masyarakat
secara absolut”.
Sekadar memutar ulang memori masa lalu ketika rezim
sentralistik otoriter berkuasa di republik ini adalah setiap perbedaan
pandangan berbeda dengan pemerintah berkuasa diposisikan perlawanan serta
pembangkangan terhadap negara. Pandangan demikian tentu sangat tidak benar
sebab pemerintah berkuasa tidaklah indentik dengan negara sebab pemerintah adalah
salah satu pilar kekuasaan yakni kekuasaan eksekutif, legislatif, yudikatif
yang menjadi unsur utama demokrasi apabila ketiga pilar ini setara dan
seimbang. Oleh karena itu, pembungkaman, pemberangusan, pemasungan perbedaan
pendapat apalagi menerapkan “Kematian Perdata” terhadap masyarakat yang tidak
seiring sejalan dengan kebijakan pemerintah berkuasa adalah paradoks demokrasi
yang selalu dibangga-banggakan di negeri ini.
Idiom klasik ‘sejarah selalu berulang kembali’ nampaknya
kini sedang membuktikan diri setelah 16 tahun era reformasi (1998) yang
dimotori para intelektual muda atau mahasiswa di negeri ini, dimana hakikat
reformasi merupakan koreksi total kekeliruan sentralistik otoriter rezim
Soeharto memonopoli kekuasaan dan kebenaran
ditopang Golkar dengan tiga jalurnya dengan langgeng menguasai kekuasaan
sentralistik otoriter selama ± 32 tahun mempraktekkan demokrasi semu.
Kekuatan-kekuatan masyarakat madani dibonsai sedemikian rupa melalui rezim
stabilitas hingga pembredelan berbagai media massa, menggebuk dan/atau memasung
lawan-lawan politik, serta kematian perdata bagi elemen-elemen masyarakat yang
berseberangan dengan rezim berkuasa. Akan tetapi, memori demikian nampaknya
telah terlupakan dari memori rezim berkuasa saat ini, walaupun rezim ini
sebenarnya dilahirkan era reformasi berdarah-darah 16 tahun silam. Apakah ini
merupakan keistimewaan karakter bangsa yang mudah memaafkan kesalahan atau
kekeliruan masa lalu, atau justru penanda nyata betapa bangsa ini telah
dijangkiti virus amnesia atau lupa ingatan sehingga orang-orang yang menamakan
dirinya reformis ingin mengulangi kesalahan yang sama ketiga kalinya dalam
berbangsa dan bernegara.
Sikap inkonsistensi untuk mendorong tumbuhnya kekuatan
masyarakat madani yang mengusung paradigma transparansi, partisipasi,
akuntabilitas wujud nyata demokrasi substantif tidak terlepas dari masih
bertenggernya alumni-alumni rezim sentralistik otoriter di masa lalu. Harus
diakui bahwa punggawa-punggawa kekuasaan di era reformasi mayoritas masih
berada ditangan generasi-generasi rezim sentralistik otoriter sehingga perubahan
paradigma baru masih cenderung retorika serta wacana belaka. Bahkan paradigma
transparansi, partisipasi, akuntabilitas dianggap salah satu ancaman
kelanggengan kekuasaan sehingga perlu diatur, ditata serta dikendalikan dengan
bermacam-macam legalitas sesuai kaca mata kekuasaan. Pandangan seperti itu
sangat paradoks dengan wacana membangun masyarakat madani (civil society) yang selalu didengung-dengungkan di republik ini.
Perubahan paradigma akan mengalami hambatan dikala
perubahan itu berpotensi mengusik kemapanan apalagi di struktur kekuasaan masih
bertengger rezim-rezim sentralistik otoritarian yang telah mendarah daging
mengimplementasikan serba ketertutupan, pengaturan ketat dan kaku sebab yang
menamakan diri reformis masih produk masa lalu yang sangat alergi terhadap
paradigma baru. Para pemangku kekuasaan di era reformasi masih barang baru stok
lama yang sangat asing dengan paradigma baru sehingga perubahan paradigma tidak
lain dan tidak bukan hanyalah sekadar wacana ataupun retrorika belaka.
Buktinya, transparansi, partisipasi, akuntabilitas penyelenggaraan negara atau
pemerintahan masih barang langka di republik ini sekalipun gerakan reformasi
telah berusia 16 tahun berlalu. Pemangku kekuasaan masih cenderung memaksakan
kehendak terhadap rakyat tanpa membuka ruang partisipasi rakyat melalui public hearing seluas-luasnya sebelum
melahirkan kebijakan publik yang muaranya berhubungan dengan kepentingan
publik. Malah dari kasus-kasus yang terjadi di era reformasi menunjukkan bahwa
pemangku kekuasaan masih memosisikan rakyat berhadap-hadapan secara diameteral
sebagai lawan atau musuh sehingga kebijakan publik yang hendak ditelorkan
pemangku kekuasaan cenderung ditutup-tutupi. Kondisi ini tentu sangat paradoks
dengan paradigma baru penyelenggaraan negara atau pemerintahan good governance and clean governance yang
ditandai tumbuhnya transparansi, partisipasi dan akuntabilitas. Tindakan
kekerasan yang menimpa para jurnalistik, lembaga swadaya masyarakat (LSM) serta
organisasi kemasyarakatan yang getol mengkristisi karut-marut kebijakan
penyelenggara negara atau pemerintahan merupakan salah satu bukti nyata betapa
negeri ini belum mampu menerima atau mengimplementasikan paradigma baru secara
empirik karena pemangku kekuasaan masih bahagian dari masa lalu yang alergi
dengan transparansi, partisipasi dan akuntabilitas.Bila pemangku kekuasaan
telah mengimplementasikan paradigma baru secara nyata kritisi setajam apapun
dari media massa, LSM, ormas, penggiat sosial pasti dimaknai wujud nyata
partisipasi publik dalam berbangsa dan bernegara. Karena itu, nafsu kekuasaan menelorkan
berbagai regulasi yang mengekang ruang partisipasi publik harus pula dipahami
sebagai titik balik putaran reformasi 1998 lalu karena pemangku kekuasaan belum
berubah dari tabiat-tabiat masa lalu yang super nafsu memasung partisipasi
ruang publik.
Rasa ketakutan terusiknya tahta kekuasaan menjadi salah
satu arus utama mengapa pemangku kekuasaan beserta konco-konconya super nafsu
melahirkan regulasi-regulasi macam-macam, padahal tanpa diatur, ditata dengan
peraturan perundang-undangan bersifat lex
specialist pun bisa diselesaikan dengan tuntas apabila pengekan hukum dilaksanakan
dengan tegas dan pasti sehingga alasan-alasan rasionalisasi yang dikembangkan
pemangku kekuasaan atas penerbitan berbagai regulasi berpotensi memasung
partisipasi publik adalah sebuah alibi faktor ketakutan yang mengusik kelanggengan kekuasaan. Di
ruang diskusi, seminar, serta berbagai perhelatan ilmiah lainnya pemangku
kekuasaan selalu mempropagandakan betapa pentingnya ruang partisipasi publik,
tapi ketika ruang partisipasi publik diimplementasikan media massa, LSM, Ormas,
serta para akademisi melalui kritik-kritik keras maka pemangku kekuasaan yang
masih bertabiat sentralistik otoriter menjadi lawan atau musuh yang perlu
dibungkam melalui rezim regulasi ketat dan kaku. Hal itu tentu sangat
berbanding terbalik dengan demokratisasi substansial yang mendorong partisipasi
masyarakat dalam berbangsa dan bernegara. Alumni mashab sentralistik otoriter
yang masih bercokol di tampuk-tampuk kekuasaan di era reformasi sudah barang pasti
sangat alergi dengan era keterbukaan dimotori intelektual muda yang belum
berkelindan dengan kekuasaan sentralistik oteriter yang menjadi catatan buram
penuh noda di masa lalu.
Era
Baru Revolusi Berpikir
Salah satu langkah fundamental mendorong paradigma baru
menuju percepatan demokrasi substansial adalah melakukan revolusi berpikir
melalui lembaga-lembaga pendidikan, baik formal maupun informal dengan
melibatkan intektual-intelektual muda di jajaran pemangku kekuasaan. Regenerasi
kepemimpinan sudah seharusnya didorong
maksimal untuk memangku berbagai jabatan strategis termasuk tampuk kepemimpinan
nasional maupun daerah yang masih steril dari paradigma sentralistik otoriter.
Sebab sulit diterima akal sehat para pelaku paradigma sentralistik otoriter
mampu menerima paradigma baru yang sangat asing dengan dirinya. Misalnya,
berteriak dengan lantang melakukan pemberantasan korupsi padahal di masa lalu
adalah aktor utama pelaku korupsi menggerogoti keuangan negara ditandai dengan
imperium harta kekayaan yang sulit diterima akal apabila dikaitkan dengan
besaran gaji ketika mengemban amanah atau jabatan. Dorongan media massa, LSM,
Ormas, akademisi, cendikiawan dan lain-lain untuk menerapkan pembuktian
terbalik untuk mengungkap harta kekayaan para pemangku kekuasaan hingga kini
masih mendapat perlawanan keras. Padahal pembuktian terbalik inilah salah satu
instrumen untuk mendorong terwujudnya pemerintahan yang bersih, bebas dari
korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di republik ini.
Andaikan benar pemangku kekuasaan berkeinginan kuat
mengimplementasikan paradigma baru yakni transparansi, partisipasi, dan
akuntabilitas maka penerapan pembuktian terbalik yang disuarakan elemen-elemen
masyarakat pasti mendapat respon positif dari pemangku kekuasaan. Tetapi karena
pembuktian terbalik itu akan merembet ke jantung kekuasaan yang penuh
karut-marut maka pemangku kekuasaan berupaya mengabaikan atau menolaknya dengan
berbagai alibi. Malah mencari argumentasi macam-macam seperti berpotensi
melanggar hak asasi manusia (HAM) dan lain sebagainya, padahal argumentasi itu
hanyalah alibi mengamankan kekuasaan.
Salah satu kepemimpinan fenomenal di era reformasi ini
adalah kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi) dengan Basuki Tjahaya Purnama (Ahok)
yang terlahir dari rahim reformasi. Jokowi dan Ahok yang sama-sama berlatar
pengusaha di masa reformasi terjun ke dunia politik masing-masing menjadi
walikota Solo dan bupati Kartanegara Timur dengan mengukir prestasi sebagai
walikota dan bupati terbaik di kancah nasional maupun internasional.
Keserdahanaan, kesahajaan, kejujuran, keterbukaan dalam memangku kekuasaan menjadi
sangat fenomenal ketika para pemangku kekuasaan di republik ini membangun
tembok-tembok besar memisahkan dirinya dengan rakyat. Jokowi dan Ahok telah
menjadikan tahtanya tahta rakyat, sifat pangreh paraja menjadi pamong praja
(parhobas-red) dengan gaya komunikasi kearifan lokal sehingga mampu mengajak,
mengarahkan rakyat yang dipimpinnya ke arah pencapaian tujuan berbangsa dan
bernegara. Keberhasilan kedua pemimpin reformis memimpin kota Solo dan
Kertanegara Timur menghantarkan keduanya naik kelas memimpin Provinsi DKI
Jakarta yang telah haus merindukan Ali Sadikin muda menata ibu kota negara
dengan kesederhanaan, kesahajaan, kejujuran, keterbukaan, ketegasan serta mampu
melakukan revolusi berpikir untuk mengangkat potensi bangsanya.
Jokowi dan Ahok bukanlah alumni kekuasaan sentralistik
otoriter melainkan anak reformasi berparadigma baru yang tertanam dalam dirinya
transparansi, partisipasi, serta akuntabilitas sehingga gaya kepemimpinannya
yang selalu dekat dengan rakyat melalui blusukan hingga ke lorong-lorong kumuh
untuk mengetahui secara langsung kondisi empirik rakyatnya menjadi sangat
istimewa dan fenomenal ketika rakyat DKI Jakarta khususnya, dan bangsa
Indonesia umumnya merindukan kehadiran si Bung (Bung Karno-red), Bang Ali
Sadikin memimpin republik ini. Jokowi, Ahok serta pemimpin reformis lainnya
berani mengimplementasikan paradigma baru yakni transparansi, partisipasi,
akuntabilitas sebab mereka bukanlah anak zaman ketertutupan serba kaku ataupun
alumni rezim sentralistik otoritarian sebagaimana sebahagian besar pemangku
kekuasaan yang masih bercokol di tampuk-tampuk kekuasaan saat ini.
Era baru revolusi berpikir adalah mengubah mindset atau pola pikir dan pola tindak
secara total dari era ketertutupan ke era keterbukaan dalam alam nyata, bukan
sekadar retorika. Sebab sekadar konsep retorika atau wacana akan melahirkan
ilusi ke alam outopis yang tidak pernah membumi. Langkah-langkah konkret
implementasi paradigma baru yang mendorong tumbuhnya partisipasi publik dalam
menentukan kebijakan negara atau pemerintahan yang dikenal dengan model bottom-up
untuk mendorong keterlibatan publik dalam pembangunan. Keterlibatan dan
partisipasi publik seluas-luasnya bukan makhluk asing lagi bagi rakyat
Nusantara yang disebut gotong-royong. Model bottom-up
adalah kebalikan model Top-down yang
diterapkan sistem pemerintahan sentralistik otoritarian dimana pusat-pusat
kekuasaan mendiktekan kebijakan publik berdasarkan ilusi, halusinasi pusat
kekuasaan itu sendiri. Akibatnya, berbagai kebijakan publik yang muaranya untuk
kepentingan publik cenderung bias atau tidak tepat sasaran. Pada model
sentralistik otoriter peran partisipasi publik tidak diakomodir secara optimal,
bahkan tidak dilibatkan sama sekali padahal publiklah yang mengetahui,
merasakan langsung di lapangan. Kalau dianalogikan model top-down mirip dengan orang bodoh menggarami laut atau memberi
permata kepada bayi yang tidak tahu arti dan maknanya.
Bias kebijakan publik yang kerap terjadi di negeri ini
adalah akibat kurangnya keterlibatan publik dalam proses pembuatan kebijakan
publik sebab pemangku kekuasaan masih cenderung menempuh jalan pintas serta
gampangan. Peran masyarakat dibonsai karena pemangku kekuasaan yang diisi
barang baru stok lama masih belum berubah dari tradisi ketertutupan yang sudah
mengkristal dalam dirinya. Sifat-sifat kepangrehan masih kental melekat pada
diri sebahagian besar pemangku kekuasaan sehingga sangat sulit menerima
paradigma baru sebagai pamong praja (parhobas-red) sekalipun menyatakan diri
abdi negara. Padahal dalam sistem pemerintahan demokratis kedaulatan berada
ditangan rakyat. Namun dalam tataran implementatif daulat rakyat tidak pernah
maksimal diwujudkan, buktinya peran serta masyarakat melalui public hearing selalu diabaikan dengan
berbagai alasan seperti keterbatasan waktu dan lain sebagainya. Public hearing seluas-luasnya adalah
salah satu wujud nyata daulat rakyat dalam menentukan kebijakan publik agar
rakyat tidak sekadar obyek kebijakan tetapi sekaligus subyek kebijakan, dengan
demikian partisipasi publik semakin optimal.
Salah satu contoh konkret adalah musyawarah rencana
pembangunan (Musrenbang) yang masih bersifat elitis serta belum melibatkan
partisipasi publik seluas-luasnya menimbulkan pembangunan tidak tepat sasaran
untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, padahal dana yang
digelontorkan cukup besar. Andaikan proyek pembangunan yang dilaksanakan
didasarkan pada kebutuhan riil maka output,
outcome, serta impact pembangunan
itu akan nyata mendongkrak percepatan peningkatan kemakmuran serta
kesejahteraan rakyat. Misalnya, peningkatan taraf hidup petani melalui
pembangunan sarana irigasi, infrastruktur jalan, pemberian bibit sesuai
klimatologi, ketersediaan pupuk serta pestisida, ketersediaan lahan pertanian,
jaminan harga hasil pertanian, kredit modal, dan lain sebagainya agar
kedaulatan pangan dalam negeri bisa terjamin. Tetapi apa lacur, pemerintah
malah menempuh jalan pintas dengan kebijakan sinterklas melalui pemberian beras
masyarakat miskin (Raskin) yang tidak pernah sama sekali membangun kemandirian
petani. Malah mendorong petani di republik ini fakir miskin yang tergantung
pada belas kasihan pemerintah.
Berbagai argumentasi dilontarkan pemangku kekuasaan
disokong pula koloborasi sindikat intektual pesanan untuk menggerogoti
keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitif negeri dilintasan
khatulistiwa ini, diantaranya membangun aksioma-aksioma kebijakan tidak lagi
mengandalkan keunggulan sumber daya alam (SDA) pertanian, perkebunan,
perikanan, peternakan, nelayan, sementara disisi sebaliknya arus impor beras,
jagung, kacang kedelai, ikan, garam, daging, buah-buahan, dan lain-lain
menginvasi republik ini dari waktu ke waktu. Kedaulatan rakyat tani, pekebun,
nelayan serta ekonomi kerakyatan lainnya hanya sebatas pesta demokrasi atau
pemilihan umum (Pemilu), baik pemilihan legislatif (Pileg), pemilihan kepala
daerah (Pilkada), maupun pemilihan presiden (Pilpres) selain itu mereka tidak
pernah memiliki kedaulatan lagi. Menjadikan rakyat komoditas politik adalah
pertanda nyata betapa paradigma baru masih sekadar retorika serta barang langka
di negeri ini.
Paradigma baru demokrasi langsung pasca reformasi yang
membuka peluang kehadiran pemimpin dari rahim rakyat masih belum secara nyata
mendatangkan kepemimpinan kerakyatan untuk mewujudkan daulat rakyat. Hal itu
sebagai akibat gerakan reformasi belum murni diusung generasi reformis. Para
musang berbulu ayam, harimau berbulu domba masih bercokol di tampuk-tampuk
kekuasaan, dan hal yang sama juga dialami republik ini di masa kemerdekaan
silam dimana para antek-antek penjajah kolonial memegang tampuk kepemimpinan
setelah merdeka. Akibatnya, karakter-karakter feodal yang mendarah daging
dipraktekkan terhadap bangsanya. Bila di masa kolonial penjajahan dilakukan
bangsa lain maka di masa kemerdekaan penjajahan sesama anak bangsa dilakukan
melalui kebijakan kekuasaan untuk mengeksploitasi kedaulatan dari tangan
rakyat. Kekeliruan demi kekeliruan, kesalahan demi kesalahan terulang kembali
dalam berbangsa dan bernegara sebab negeri ini lupa membangun karakter bangsa (national character building) sebagaimana
dianjurkan Bung Karno pendiri bangsa ini.
Karena itu, pendidikan karakter bangsa sesuai amanat
Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, Pancasila, Bhinneka
Tunggal Ika dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) harus
segera dilakukan untuk melahirkan generasi-generasi kepemimpinan berkarakter
dan berjati diri merubah karakter feodal sebagai wujud paradigma baru dalam
berbangsa dan bernegara. Sifat kepangrehan harus direvolusi segera menjadi
kepamongprajaan (parhobahas-red) agar daulat rakyat tidak sekadar wacana atau
retorika.
Salah satu langkah konkret adalah merubah arah kebijakan
negara atau pemerintahan yang memprioritaskan kepentingan rakyat dalam politik
anggaran, baik anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) maupun anggaran
pendapatan dan belanja daerah (APBD) yang hingga kini masih menitik beratkan
pemuasan nafsu birahi kekuasaan. Sebab negara akan kuat jika rakyatnya kuat,
negara akan berdaulat bila rakyat berdaulat. Bukan sebaliknya, negara akan kuat
jika rakyatnya tak berdaya.
Regenerasi
Kepemimpinan
Salah satu indikator keberhasilan bangsa atau negara
berlangsungnya regenerasi kepemimpinan dengan baik dan benar yang ditandai
tersedianya kader-kader pemimpin bangsa berkarakter negarawan. Mempersiapkan
kader bangsa berkarakter negarawan menjadi salah satu perioritas pembangunan
bangsa kedepan sebab regenerasi kepemimpinan secara alamiah tidak bisa ditunda
oleh kekuatan manapun juga. Regenerasi kepemimpinan alamiah harus dipersiapkan
dengan terencana berkesinambungan karena itu pendidikan kader bangsa melahirkan
pemimpin negarawan tidak boleh ditunda-tunda. Pembangunan karakter bangsa (national character building) sebagaimana
dianjurkan Bung Karno sangat fundamental karena kejayaan bangsa sangat
ditentukan kepemimpinan berkarakter berjati diri, ambisius membangun kebanggaan
bangsanya. Sehebat apapun pembangunan fisik tanpa dibarengi kepemimpinan
berkarakter berjati diri akan sulit diharapkan membawa bangsa Indonesia negara
adidaya, malah berpotensi menjadi bangsa bangkrut, bahkan bangsa gagal serta
hilang dari percaturan dunia sebagaimana dialami Yugoslavia, Uni Sovyet Rusia (USR)
yang tidak mampu mengenal jati dirinya.
Karena itu, pendidikan kader bangsa harus segera
dilaksanakan untuk melahirkan kader-kader kepemimpinan negarawan yang mengenal
keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitif bangsa Indonesia dilintasan
khatulistiwa serta memiliki sumber daya alam (SDA) maha besar untuk mewujudkan
tujuan berbangsa dan bernegara yakni masyarakat makmur, sejahtera serta
berkeadilan. Pembangunan sumber daya manusia (SDM) melalui pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi (Iptek) untuk menggali dan mengefektifkan potensi
keunggulan bangsa memperkuat daya saing di fora internasional perlu
dilaksanakan dengan tetap berlandaskan karakter kebangsaan dan keindonesiaan.
Pancasila, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, Bhinneka Tunggal Ika,
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) harus terus menerus dibumikan sejak
dini melalui lembaga-lembaga pendidikan, baik formal maupun non formal. Dengan
demikian nasionalisme kebangsaan tidak terdegredasi dari generasi ke generasi
sepanjang masa.
Generasi muda sebagai pemegang tongkat estafet
kepemimpinan bangsa akan menentukan kelanggengan perjalanan bangsa di masa akan
datang, karena itu harus dipersiapkan dengan matang agar proses suksesi
kepemimpinan berlangsung mulus tanpa gejolak. Defisit kepemimpinan negarawan
sebagaimana menjadi kekhawatiran era belakangan ini akan terjawab karena
kader-kader pemimpin negarawan akan lahir melalui pembangunan kader bangsa
secara berkesinambungan. Selanjutnya, pemimpin-pemimpin lanjut usia (lansia) sudah
saatnya mendorong munculnya kader-kader muda berkualitas berkarakter negarawan
memegang tampuk kepemimpinan agar regenerasi alamiah tidak stagnan.
Pemimpin-pemimpin berusia lanjut sudah perlu memosisikan diri sebagai guru
bangsa dan tidak perlu lagi berupaya menghambat atau menjegal kader-kader muda
agar stagnasi kepemimpinan di berbagai level tidak terjadi.
Selain daripada itu, peran partai politik sebagai pemasok
kandidat kepemimpinan harus berbenah diri untuk mempersiapkan kandidat pemimpin
melalui kaderisasi terencana, berkesinambungan untuk mempersiapkan kandidat
pemimpin muda berdasarkan kualitas, kapasitas, kredibilitas, serta
berintegritas, bukan seperti saat ini
yang cenderung didasari politik
transaksional maupun politik trah. Rekrut kader harus terbuka seluas-luasnya
terlebih intelektual-intelektual muda dari dunia kampus agar kualitas kandidat
pemimpin diberbagai level meningkat terus menerus dari waktu ke waktu.
Pesta demokrasi 2014 merupakan transisi generasi kedua
kepada generasi ketiga mengingat usia republik ini telah 68 tahun pasca
kemerdekaan. Sekaitan dengan itu pula maka generasi kedua sudah seharusnya
legowo dari tampuk-tampuk kepemimpinan nasional maupun daerah supaya stagnasi
kepemimpinan tidak terjadi di masa-masa akan datang. Sejarah membuktikan bahwa
aruh perubahan selalu dimotori kawula-kawula muda berkualitas sehingga salah
satu indikator keberhasilan partai politik sejauhmana partai tersebut mencetak
kader-kader muda mumpuni untuk melanjutkan tongkat estafet kepemimpinan
selanjutnya. Hal itulah sebenarnya salah satu kerja politik yang perlu
dilakukan optimal bukan hanya perebutan kekuasaan yang penuh kegaduhan.
Komunikasi politik sangat rendah, bahkan buruk yang diperlihatkan politisi
negeri ini pertanda nyata betapa buruknya kaderisasi yang dilakukan
partai-partai politik saat ini. Padahal kepiawian berdiplomasi sangat
ditentukan kemampuan komunikasi politik seorang politisi itu sendiri.
Argumentasi-argumentasi dangkal serta tak berkualitas acapkali dilontarkan para
politisi menambah degradasi kepercayaan (distrust)
publik yang ditandai turunnya elektabilitas pemilih.
Pemilihan legislatif (Pileg), pemilihan presiden
(Pilpres) 2014 sudah diambang pintu,
bahkan calon legislatif (caleg) serta calon presiden (capres) telah digadang-gadang
dengan berbagai kemasan pencitraan sebagai magnit politik untuk meraih simpatik
calon pemilih. Barang baru stok lama pun tidak ketinggalan mempropagandakan
diri agen perubahan sehingga perubahan paradigma semakin paradoks. Alih-alih
rakyat sulit memahami, bahkan bingung tujuh keliling mana sebenarnya paradigma
baru, mana pula paradigma lama dikemas atas nama perubahan semakin tak jelas.
Kata perubahan memang salah satu kata bahasa politik paling seksi dilontarkan,
tapi perubahan dimaksud apakah dari paradigma transparansi, partisipasi,
akuntabilitas ke arah serba tertata, serba tertutup, serba rahasia seperti di
masa orde baru (Orba) atas nama stabilitas partisipasi publik di bungkam, atau
sebaliknya, meningkatkan demokrasi prosedural ke arah demokrasi substansial
membangun masyarakat madani. Inilah pekerjaan rumah (PR) seluruh rakyat bangsa
ini agar pesta demokrasi 2014 benar-benar mampu melahirkan pemimpin
berparadigma baru untuk mengusung bangsa menepati janji Proklamasi Kemerdekaan
Republik Indonesia mewujudkan masyarakat makmur, sejahtera, serta berkeadilan.
Harapan bangsa yang sempat pudar atas kepemimpinan
kembali bergelora lagi dengan munculnya putra-putra bangsa berkarakter berjati
diri dengan kualitas kepemimpinan teruji, misalnya Joko Widodo (Jokowi), Mahfud
MD, Anis Baswedan, Dahlan Iskan, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan lain-lain
dari generasi kedua dan ketiga. Yang menjadi pertanyaan besar adalah apakah
rakyat Indonesia benar-benar menginginkan perubahan paradigma dengan memberi
kepercayaan terhadap mereka sebagai pimpinan nasional untuk mengusung paradigma
baru di republik ini. Pemimpin-pemimpin demikianlah tumpuan harapan menuju
Indonesia jaya, tetapi bila tidak maka paradoks perubahan paradigma lah yang
masih berlangsung di republik ini.
Medan,
3 Juli 2013
Thomson
Hutasoit.
Penulis
: Direktur Eksekutif Lembaga Swadaya Masyarakat Kajian Transparansi Kinerja
Instansi Publik (ATRAKTIP), Mantan Ketua Umum Dewan Pimpinan Daerah Gabungan
Pengusaha Kontraktor Indonesia (DPD GABPKIN) Provinsi Sumatera Utara 2008-2012,
Wakil Pemimpin Redaksi SKI ASPIRASI, Staf Ahli salah satu Fraksi di DPRD Kota Medan 2006-2009 dan 2011-2014, penulis
buku Indikator Bangsa Bangkrut, Potret Retak Berbangsa Bernegara, Misteri
Negara Salah Urus, Keluhuran Budaya Batak-Toba, Meneropong serta Mengamati
Visi-Misi Gubernur Sumatera Utara ‘Rakyat Tidak Lapar, Rakyat Tidak Bodoh,
Rakyat Tidak sakit, serta Punya Masa Depan’, serta ± 250 artikel di berbagai
media massa, tinggal di Medan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.