Persatuan Energi Membangun Indonesia
Oleh: Thomson Hutasoit
Direktur Eksekutif LSM Kajian
Transparansi Kinerja Instansi Publik (ATRAKTIP)
Pendahuluan.
Salah satu energi bangsa terlupakan
selama 70 tahun Kemerdekaan Republik Indonesia ialah sila ketiga Pancasila
yakni; Persatuan Indonesia sejak dari Sabang hingga ke Merauke dengan segala
perbedaan, keragaman, kemajemukan di dalamnya tercermin dalam lambang negara Bhinneka
Tunggal Ika.
Para pendiri bangsa (founding fathers) menyadari komprehensif
paripurna, bahwa perbedaan, keragaman, kemajemukan adalah konstruksi Ilahi bagi
alam semesta sehingga setiap insan yang mengaku cipataan Ilahi tidak ada yang
berhak menolak dan memberangusnya dari atas semesta walau dengan alasan apapun
juga.
Kecerdasan, kejenialan para pendiri
bangsa merekonstruksi karya cipta Tuhan Yang Maha Esa kedalam Pancasila
ideologi negara-bangsa Indonesia menjadikan Pancasila merupakan salah satu
keajaiban dunia yang mampu mempersatukan aneka perbedaan, keragaman,
kemajemukan nusantara kedalam “Rumah Besar Bangsa Indonesia” yang
diproklamasikan oleh Bung Karno-Bung Hatta 17 Agustus 1945 atas nama seluruh
bangsa Indonesia.
Kemampuan putera-puteri nusantara
menyatukan aneka perbedaan, keragaman, kemajemukan dengan membuang jauh-jauh ego
sektarian-primordial seperti; ego suku, agama, ras, antar golongan/SARA adalah
wujud nyata kemampuan para pemimpin membangun persatuan bangsa menuju Indonesia
merdeka. Masing-masing menyadari “bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh” dan
dalam kearifan budaya Batak Toba dikenal “Tamtamna do tajomna, rim ni tahi do
gogona” memiliki makna sama dengan peribahasa klasik “berat sama dipikul,
ringan sama dijinjing” merupakan sifat Gotong-Royong masyarakat bumi nusantara
sejak zaman dahulukala.
Sifat Gotong-Royong telah menjadi
karakter spesifik, jati diri masyarakat nusantara sepertinya terabaikan pasca
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 hingga kerap terjadi
penonjolan egoisme sektoral dalam kehidupan masyarakat, bangsa maupun negara.
Sifat individualistis, hedonis, konsumtif, unsolidaritas sangat bertolak
belakang dengan sifat, karakter masyarakat bumi nusantara menjadi karakter baru
mengancam ‘persatuan’ sesama anak bangsa yang alpa menjaga dan melestarikan
karakter masyarakat nusantara dalam berbagai kebijakan negara ataupun
pemerintahan selama kurun waktu 70 tahun kemerdekaan republik ini. Akibatnya,
berbagai gesekan, karut maut, serta pertarungan politik atas nama ego sektoral
menjadikan negeri ini tertunda mewujudkan janji Proklamasi sebagaimana
termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
yakni; melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa kecuali.
Kita patut bersyukur, api semangat
‘persatuan’ para pendiri bangsa 70 tahun silam kini kembali digelorakan
Presiden Republik Indonesia ke tujuh Joko Widodo pada hari ulang tahun (HUT)
Kemerdekaan Republik Indonesia ke 70 sebagai semangat membangun bangsa
Indonesia sejak dari Sabang hingga ke Merauke dengan menggali seluruh potensi
tersebar di seluruh bumi nusantara.
Revitalisasi persatuan adalah sebuah
kecerdasan, kejenialan Presiden Jokowi karena semangat persatuan terpatri pada
sila ketiga Pancasila sadar atau tidak, setuju tak setuju sepertinya telah
mengalami degradasi di benak anak-anak bangsa yang terjebak pada tarik-menarik
kepentingan politik menimbulkan prahara politik di era belakangan ini.
Ego-ego
kepentingan politik individual, kelompok maupun golongan telah merobek-robek
kepentingan negara-bangsa mengakibatkan terbuangnya energi bangsa yang
seharusnya digunakan membangun negara-bangsa justru terbuang sia-sia untuk
menyelesaikan berbagai konflik, perseteruan bernuansa egoisme
sektarian-primordialisme.
Kesadaran paripurna para pendiri
bangsa tentang eksistensi negara-bangsa Indonesia terdiri dari bangsa-bangsa
dengan perbedaan, keragaman, kemajemukan nusantara bersatu dalam “Rumah Besar
Indonesia” diikat Pancasila sepertinya belum menjadi kesadaran paripurna
seluruh bangsa Indonesia, termasuk para elite politik yang masih menjonjolkan
egoisme sektoral dalam menjalankan tugas, pokok dan fungsi (Tupoksi)
penyelenggaraan negara atau pemerintahan sehingga kerap muncul rivalitas
Institusi, perseteruan antar lembaga, merasa sok di atas hukum menunculkan
kegaduhan politik di republik ini. Jika masing-masing lembaga/institusi negara
atau pemerintahan menyadari bahwa menyelesaikan persoalan bangsa hanya bisa
dilakukan bahu-membahu, tamtamna do tajomna, rim ni tahi do gogona maka tidak
akan pernah lupa “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing” atau bersatu kita
teguh bercerai kita runtuh.
Sebab
persatuan ialah gabungan (ikatan, kumpulan, dsb) beberapa bagian yang sudah
bersatu (KBBI, 2007) sehingga jika negara-bangsa Indonesia adalah negara
persatuan maka seluruh insan di negeri ini harus menyadari komprehensif
paripurna tentang arti dan makna persatuan itu sendiri. Tak ada satu pihak pun
merasa diri di atas pihak lain, tak ada merasa di atas hukum, tak ada satu lembaga/instansi
pun merasa superior dibanding lembaga/instansi lain sesuai hak dan kewenangan
yang diatur konstitusi negara.
Budaya Saling Menghargai.
Penginderaan Presiden Jokowi atas
menipisnya budaya saling menghargai sungguh cerdas dan jenial serta faktual
sebab persatuan tak akan pernah terwujud dengan nyata jika individu,
masyarakat, kelompok maupun golongan tidak saling menghargai satu sama lain
dalam perbedaan, keragaman, kemajemukan. Jika masing-masing merasa diri paling
superior atas nama apapun maka akan terjadi diskriminasi ataupun ketidakadilan
ditengah masyarakat, bangsa maupun negara. Egoisme “ke-Aku-an” akan memunculkan
arogansi terhadap pihak lain. Merevolusi mental ke-Aku-an, ke-Kami-an menjadi
ke-Kita-an adalah langkah konkrit menghilangkan “Rivalitas” antar
lembaga/institusi yang menjadi sumber prahara berbangsa dan bernegara selama
ini.
Kunci pertama dan utama menumbuhkembangkan
‘persatuan’ ialah membangun kesadaran ke-Kita-an bagi seluruh rakyat Indonesia,
terutama pada penyelenggara negara atau pemerintahan supaya setiap orang,
lembaga/institusi mengerti dan memahami bahwa apapun yang dikerjakan,
dilaksanakan ditujukan kepada kepentingan seluruh rakyat dan negara. Karena
itu, sungguh tepat apa yang dikatakan Presiden Joko Widodo pada Pidato
Kenegaraan 14 Agustus 2015 di depan Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam
rangka memperingati HUT Kemerdekaan RI ke-70 selaku Kepala Negara Republik
Indonesia. “Menipisnya budaya saling menghargai dan tenggang rasa tidak hanya
terjadi di masyarakat, tetapi juga di institusi resmi, seperti lembaga penegak
hukum, organisasi kemasyarakatan, media, dan partai politik. Kondisi ini
membuat bangsa terjebak pada lingkaran ego masing-masing, dan akhirnya
menghambat pembangunan, budaya kerja, gotong royong dan karakter bangsa. Tanpa
kesantunan politik, tata krama hukum dan ketatanegaraan, serta kedisiplinan
ekonomi, kita akan kehilangan optimism dan lamban mengatasi persoalan-persoalan
lain, termasuk tantangan ekonomi”.(Kompas, 15/08/2015).
Selaku Kepala Negara Presiden Joko
Widodo telah menunjukkan keteladanan kepemimpinan kepada seluruh rakyat
Indonesia, pimpinan lembaga-lembaga negara, elite partai politik, terutama
kepada para pakar politik yang cenderung nyeleneh mempersoalkan atau menolak
Presiden sebagai Kepala Negara yang menimbulkan kegaduhan dalam sistem
ketatanegaraan presidensial. Rakyat lelah dan letih mempersaksikan para elite
“sok di atas hukum, sok pintar, sok hebat, sok benar, sok paling berjasa”
menjadi sumber prahara dalam berbangsa dan bernegara.
Seharusnya para elite politik di
negeri ini menyadari bahwa Bangsa Indonesia tak akan pernah lahir jika para
pendiri bangsa (founding fathers) gagal
membangun persatuan rakyat bumi nusantara dengan segala perbedaan, keragaman,
kemajemukan saling menghargai, menghormati, duduk sama rendah, berdiri sama
tinggi yang merupakan kearifan budaya rakyat bumi nusantara sejak dahulukala. Kearifan
budaya rakyat nusantara inilah yang terkikis dari para elite-elite politik yang
beradagium “tidak ada lawan abadi, kepentingan politiklah abadi” yang sangat
berbanding terbaik dengan kearifan budaya nusantara.
Salah
satu contoh konkrit ialah “terbelahnya Gedung DPR RI” atas Koalisi Merah Putih
(KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) mengusung pasangan calon presiden 2014
lalu tidak serta merta berlanjut pada pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada)
09 Desember 2015 akan datang. Sebab fakta membuktikan partai politik kelompok
KMP dengan KIH berkolaborasi mengusung pasangan calon kepala daerah asal cocok
dengan kepentingan partai politik. Padahal, perseteruan KMP dan KIH di DPR RI
Senayan Jakarta telah menimbulkan kekhawatiran, ketakutan rakyat atas
kelanggengan perjalanan bangsa ini ke depan.
Para elite politik seharusnya
menyadari, bahwa rakyat Indonesia masih banyak berpikir lurus, lugu dan polos,
bukan seperti cara berpikir elite politik sulit ditebak, sebab sulit membedakan
antara sungguh-sungguh dengan berpura-pura, antara setuju dengan tidak, antara
mendukung dengan menolak, antara jujur dan munafik, antara jelas dengan tak
jelas sulit diprediksi sebelum palu diketukkan. Belum lagi kemahiran, kepiawian
memainkan kata-kata bersayap yang sulit dicerna rakyat belum mahir intrik
politik para elite politik piawi melakukan politik cuci tangan ala Pontius
Piltus pada zaman penyaliban Tuhan Yesus 2.000-an tahun silam.
Koreksi total terhadap karakter
munafik, sok di atas hukum, tidak menghargai pihak lain, individualistis,
hedonisme, komsumerisme, tak solider, menyelengkan amanah dan aji mumpung
adalah sasaran sejati dari “Revolusi Mental” agenda Presiden Joko Widodo selaku
Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan perlu didukung optimal anak-anak
Ibu Pertiwi supaya negeri ini bangkit sebagai raksasa dunia.
Api
semangat “Persatuan” adalah energi maha dahsyat membangun Indonesia yang
diwariskan para pendiri bangsa sejak Gerakan Budi Utomo 1908, Sumpah Pemuda 28
Oktober 1928, Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 yang
mempersatukan ke-Bhinnekaan bumi nusantara dalam “Rumah Besar Bangsa Indonesia”
taman sari bangsa bagaikan pelangi indah di ufuk biru tanda perjanjian Tuhan
Yang Maha Esa kelangsungan alam semesta. Karena itu, ketika bangsa-bangsa lain
menyangsikan dan tidak percaya kelanggengan negara-bangsa Indonesia yang
mempersatukan perbedaan, keragaman, kemajemukan atau pluralisme,
multikuturalisme, justru bangsa ini patut bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa menganugerahkan
PANCASILA ideologi Bangsa Indonesia
salah satu keajaiban dunia.
Pancasila yang dilahirkan Bung Karno
1 juni 1945 harus benar-benar landasan berpikir, bertindak seluruh rakyat
Indonesia dalam berbangsa dan bernegara agar keberlangsungan perbedaan,
keragaman, kemajemukan, pluralisme, multikulturalisme di bumi nusantara abadi
sepanjang masa.
Persatuan merupakan kearifan budaya
nusantara adalah energi pembangunan bangsa harus digelorakan kembali bukan
hanya sekadar retorika melainkan kesadaran sejati seluruh rakyat Indonesia,
sebab tanpa persatuan mustahil membangun Indonesia sejak dari Sabang sampai ke
Merauke.
Harus disadari pula, bahwa persatuan
hanya bisa terwujud jika seluruh anak-anak bangsa saling menghargai,
menghormati dalam kesederajatan, kesetaraan sebagaimana termaktub pada pasal 29
ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, “Segala warga
negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
Karena itu, sudah saatnya
menghentikan pertentangan atas nama perbedaan, keragaman, kemajemukan,
pluralisme, multikulturalisme dari pihak manapun juga, dan menyadari
komprehensif paripurna bahwa pikiran, tindakan seperti itu adalah kekeliruan
besar serta sesat pikir yang mengancam keutuhan dan kelanggengan bangsa Indonesia
berdasarkan Pancasila.
Bersatu
kita teguh, bercerai kita runtuh. Merdeka !
Medan,
18 Agustus 2015
Thomson
Hutasoit.
(Alumni
Pemantapan Nilai-nilai Kebangsaan Bagi Kalangan Birokrat, Akademisi, Tokoh
Masyarakat, Tkoh Agama, Tokoh Adat dan Tokoh Pemuda di Provinsi Sumatera Utara,
Nomor:064/IX/2014) tinggal di Medan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.