Pembrontakan Konstruksi Ilahi
Oleh: Thomson Hutasoit
Dalam Alkitab Kejadian dijelaskan,
Allah menciptakan langit dan bumi serta isinya secara lengkap. Dan Allah
melihat bahwa semuanya itu baik.
Jika
diperhatikan konstruksi Ilahi beraneka ragam itu cermat dan cerdas maka seluruh
karya cipta Tuhan Yang Maha Esa beraneka ragam (plural) sejatinya mewujudkan FirmanNya: “Berkembangbiaklah dan
bertambah banyaklah serta penuhilah air dalam laut, dan hendaklah burung-burung
di bumi bertambah banyak” kemudian
diikuti firman berikutnya: “Hendaklah bumi mengeluarkan segala jenis makhluk
yang hidup, ternak dan binatang melata segala binatang liar”, selanjutnya,
Berfirmanlah Allah: “Baiklah kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa
Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara
dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang
merayap di bumi”. Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambarNya, menurut
gambar Allah diciptakanNya dia; laki-laki dan perempuan diciptakanNya mereka.
Allah memberkati mereka, lalu Allah
berfirman kepada mereka; “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi
dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di
udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi”(Kejadian 1; 1-28).
Jika diperhatikan cermat dan seksama
konstruksi Ilahi paling dasar atas alam semesta ialah keragaman, kemajemukan,
atau pluralisme menjamin kelangsungan hidup semesta alam sepanjang masa.
Allah
menciptakan terang dan gelap sehingga manusia mengenal siang dan malam untuk
kebutuhan waktu beraktivitas dan beristirahat atau tidur. Siang dan malam
adalah perbedaan waktu yang akan menjamin proses kehidupan kapan beraktivitas dan
kapan pula beristirahat memulihkan kembali energi agar kehidupan berlangsung
berkesinambungan. Sebab, bila beraktivitas terus-menerus tanpa henti, tak
seorang pun mampu melakukannya walau robot sekali pun.
Karena
itu, perbedaan siang dan malam sejatinya ialah mata rantai kesinambungan kehidupan
semesta alam konstruksi Ilahi tiada satu insan pun di atas jagat raya ini bisa
menyangkalnya.
Kemudian,
bila diperhatikan cermat dan seksama tidak ada satu pun ciptaan Tuhan Yang Maha
Esa hanya satu jenis, tetapi diciptakan berpasang-pasangan. Manusia diciptakan
laki-laki dan perempuan, binatang diciptakan jantan dan betina, tumbuh-tumbuhan
pun demikian. Semuanya itu demi kelangsungan generasi untuk menguasai alam
semesta sebagaimana termaktub dalam firmanNya.
Keberagaman,
kemajemukan ataupun pluralisme adalah Konstruksi Ilahi atas alam semesta yang
tak bisa ditolak atau dibantah siapapun di atas dunia ini. Penolakan atas
keberagaman, kemajemukan, atau pluralisme adalah pembrontakan konstruksi Ilahi
serta pengingkaran eksistensi diri karya cipta Tuhan Yang Maha Esa.
Sadar
atau tidak asal muasal manusia jatuh ke dalam dosa sejatinya ialah akibat pembrontakan
konstruksi Ilah disebabkan egoisme berkuasa dari diri manusia itu sendiri.
Manusia telah dirasuki egoisme berkuasa akan menghalalkan segala cara untuk
mewujudkan ambisi haus kuasa, termasuk mengingkari eksistensi diri selaku karya
cipta Tuhan Yang Maha Esa. Keberagaman, kemajemukan, atau pluralisme yang
sejatinya kontruksi Ilahi menjamin kesinambungan alam semesta dibelokkan
menjadi ancaman kekuasaan yang harus dimusnahkan karena dianggap ancaman
terhadap dirinya.
Padahal,
bila dia seorang laki-laki haruslah membutuhkan seorang perempuan yang notabene berbeda dengan dirinya sendiri
untuk melanjutkan kesinambungan generasi sebagaimana firman Allah:
Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu,
berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala
binatang yang merayap di bumi”.
Kekuasaan
yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa terhadap manusia tentu bukanlah kekuasaan
untuk membumi hanguskan semesta alam, melainkan kekuasaan untuk menjamin
kelangsungan konstruksi Ilahi atas seluruh keberagaman, kemajemukan, atau
pluralisme supaya seluruh makhluk di alam semesta terjamin kelangsungan
hidupnya.
Oleh
sebab itu, segala upaya ingin menghilangkan keberagaman, kemajemukan, atau
pluralisme patut dimaknai pembrontakan konstruksi Ilahi, seperti; genosida
ingin memusnahkan etnik tertentu, konflik dengan alasan perbedaan agama dan
kepercayaan, tidak sama haluan politik, dan lain sebagainya.
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2007) Kekuasaan ialah kemampuan orang atau
golongan untuk menguasai orang atau golongan lain berdasarkan kewibawaan,
wewenang, karisma, atau kekuatan fisik. Atau (huk) fungsi menciptakan dan memantapkan kedamaian (keadilan) serta
mencegah dan menindak ketidakdamaian atau ketidakadilan.
Oleh
karena itu, menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan, termasuk
memberangus keberagaman, kemajemukan, atau pluralisme adalah bentuk nyata
pembrontakan konstruksi Ilahi yang tidak boleh sekali-sekali dilakukan
manusia mengaku diri beragama dan ber-Tuhan walau
dengan alasan apapun.
Keberagaman,
kemajemukan, atau pluralisme adalah konstruksi Ilahi untuk menjamin
keberlansungan dan kesinambungan kehidupan alam semesta, bukan konstruksi
manusia yang cenderung dirasuki keuntungan dan kepentingan diri tanpa
menghiraukan kepentingan kosmos.
Karena
itulah Clarence Darrow (1926) mengatakan, “Saya tidak percaya pada hukum
kebencian. Keyakinan saya mungkin tidak selalu terbukti benar, namun saya
percaya pada hukum cinta. Saya percaya Anda tidak dapat melakukan apapun dengan
kebencian. Saya ingin melihat suatu masa ketika manusia mengasihi sesamanya,
dan melupakan warna kulit dan kepercayaannya. Kita tak pernah beradab sebelum
masa itu tiba”.
Meminjam
pemikiran Clarence Darrow sejatinya membentuk kemanusiaan yang adil dan beradab sebagaimana termaktub pada
sila kedua Pancasila dasar Negara Republik Indonesia tercinta ini bukanlah
hanya sekadar outopis belaka, tetapi untuk dilaksanakan seluruh rakyat secara
nyata di negeri ini.
Ketika
individu, kelompok, golongan menyadari, bahwa hukum kebencian atas nama apapun
akan membawa malapetaka terhadap diri sendiri, kelompok, maupun golongan maka
timbul kesadaran untuk saling mengasihi
didasari hukum cinta menjadikan seantero dunia taman persemaian
kedamaian bagi alam semesta.
Ketika
manusia menyadari tak akan mampu berbuat apa-apa tanpa hukum cinta maka
sejatinya manusia telah sampai pada tingkat kemanusiaan yang adil dan beradab
sebagai kontruksi Ilahi sehingga keberagaman, kemajemukan, atau pluralisme
adalah pelangi kehidupan semesta alam, dan di atas pelangi kehidupan itu
pulalah Tuhan Yang Maha Esa menetapkan janjinya terhadap kesinambungan
kehidupan semesta alam.
Salah
satu contoh sederhana ialah apabila Tuhan Yang Maha Esa menciptakan manusia
hanya laki-laki atau perempuan saja, apakah mungkin kesinambungan keturunan
(generasi) bisa terlaksana ? Bukankah laki-laki dengan perempuan berbeda ?
Tetapi justru dalam perbedaan itulah Tuhan Yang Maha Esa menetapkan janjinya
agar beranakcuculah dan berkembang untuk memenuhi bumi serta menguasai seluruh
isinya.
Karena
itu, tidak ada alasan membenci keragaman, kemajemukan, atau pluralisme di atas
jagat raya ini walau dengan alasan apapun, kecuali bagi mereka-mereka yang
ingin melakukan pembrontakan konstruksi Ilahi.
Sungguh
sulit diterima akal sehat, bila seseorang mengaku diri beragama dan ber-Tuhan
sementara dia tidak menerima kontruksi Ilahi atas alam semesta.
Birahi Kekuasaan.
Salah satu akar utama penyebab
pembrontakan konstruksi Ilahi ialah birahi kekuasaan yang tumbuh dalam diri
manusia itu sendiri. Keangkuhan, kesombongan, keserakahan, ketamakan, kelobaan,
serta ingin menyetarakan diri dengan sang pencipta alam semesta hingga
menobatkan dirinya monopoli kebenaran atas segala hal. Dan demi menggapai
kekuasaan tidak mustahil pula dilancarkan hukum kebencian melalui genderang
perang untuk memusnahkan lawan kekuasaan.
Penderitaan
demi penderitaan, bahkan kemusnahan tak terperikan sering terjadi semata-mata
disebabkan birahi kekuasaan itu sendiri. Bahkan Vladimir Ilyich Lenin (1917)
dengan lantang mengatakan, “Tidak diragukan lagi, pertanyaan utama dalam setiap
revolusi adalah pertanyaan soal kekuasaan negara. Kelas mana yang memegang
kekuasaan, menentukan segalanya”.
Padahal, Thomas Jefferson (1801)
mengatakan, “Sebagai sesama warga negara yang saling menghormati, kita tentu
maklum bahwa harkat kita tidak ditentukan oleh kelahiran, melainkan oleh
perilaku kita. Bukan agama apa yang penting, tetapi bagaimana kita menjalankan
agama kita. Apa lagi yang penting selain kebebasan yang akan menghantar kita
menjadi masyarakat yang bahagia dan sejahtera ?
Ya,
ternyata masih ada satu lagi, para warga sekalian, yakni sebuah pemerintahan
bijaksana dan cermat, yang mampu mencegah seseorang menciderai orang lain, yang
mampu melindungi setiap orang dalam berjuang mengupayakan kemapanan dan
perbaikan nasib, dan yang takkan merampas roti dari mulut seorang buruh yang
sudah mengucurkan keringat untuk mendapatkannya. Inilah prinsip-prinsip
pemerintahan yang baik, yang perlu ada demi kebaikan kita semua”.(Haris
Munandar, Terj, 2009).
Sesungguhnya, tujuan pendirian
negara-bangsa atau Negara Republik Indonesia yang diperjuangkan para pendiri
bangsa (founding fathers) ialah untuk
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial.
Bukan
seperti diharapkan para “begundal politik” haus kuasa yang membelokkan tujuan
negara menjadi memperkaya diri, kelompok maupun golongan seperti nafsu politik
para dewan terhormat memaksakan Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan
(UP2DP) atau Dana Aspirasi sebesar Rp 20
miliyar per anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia per daerah
pemilihan (Dapil) yang menjadi polemik ditengah masyarakat saat ini. Inilah
salah satu contoh konkrit birahi kekuasaan yang menabrak perintah konstitusi
demi memenuhi birahi politik. Berbagai alibi dan rasionalisasi pembenar birahi
kekuasaan para wakil rakyat untuk menjadikan diri “eksekutif” pengguna anggaran
haruslah disiasati dan dicermati suatu cermin birahi kekuasaan semata yang
sangat bertentangan dengan sistem ketatanegaraan negeri ini.
Bukankah seharusnya, para tuan-tuan
terhormat akan lebih bijak dan cerdas apabila fokus menjalankan fungsi
konstitusionalnya sebagaimana tertuang pada pasal 20 A Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945 (Amandemen) selengkapnya berbunyi; ayat (1),
Dewan Perwakilan Rakyat memiliki legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi
pengawasan, (2), Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam
pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai
interplesi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat, (3), Selain hak yang diatur
dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, setiap anggota Dewan Perwakilan
Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat,
serta hak imunitas, (4), Ketentuan lebih lanjut hak Dewan Perwakilan Rakyat dan
hak anggota Dewan Perwakilan Rakyat diatur dalam undang-undang.
Ketentuan pasal 20 A ini sungguh
amat jelas dan tegas tanpa perlu dilakukan tafsir macam-macam. Namun dalam
implementasinya dengan memanfaatkan ayat (4) yang notabene domain Dewan Perwakilan Rakyat selaku pembuat
undang-undang bersama pemerintah (presiden) acapkali dilakukan penyimpangan,
penyelundupan semata-mata demi memenuhi
nafsu kekuasaan ataupun kepentingan politik para maniak kuasa.
Hak
interpelasi, hak angket, hak menyatakan pendapat sering digunakan anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai palu godam untuk
menekan/membungkam eksekutif (presiden, gubernur, bupati/walikota) yang sama
sekali tidak berkorelasi dengan kepentingan rakyat.
Salah
satu contoh konkrit ialah batalnya tiga kali hak interpelasi yang digulirkan
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sumatera Utara periode
2009-2014 dan periode 2014-2019 terhadap Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo
Nugroho tanpa penjelasan memadai kepada rakyat Provinsi Sumatera Utara hingga
muncul kecurigaan “ada udang di balik peyek”.
Sadar atau tidak intrik-intrik
politik yang dilancarkan para wakil rakyat ini akan menimbulkan
ketidakpercayaan publik (public distrust)
terhadap para wakil rakyat di negeri ini. Akibatnya, timbul “gugatan” apakah
para wakil rakyat masih layak dan pantas menyandang predikat “dewan yang
terhormat”.
Padahal, kehormatan telah
diteladankan Mohandas K. Gandhi, “Ia bersumpah tak akan minta perlindungan
hukum untuk cedera yang hanya dialami sendiri. Ia berkomitmen pada komunitas
dan akan mengorbankan apa pun yang harus dikorbankan atas nama mereka.
Kita
sendiri harus jadi perubahan yang kita inginkan di dunia ini”. Bagi Gandi, anti
kekerasan lebih daripada sekadar taktik pertahanan pasif terhadap penindasan.
Ini
merupakan idealisme, atau lebih akurat, cara mencapai keadaan ideal – kebenaran
yang menurut keyakinannya ada Tuhan di dalamnya. Ia tak membenci musuhnya. Ia
berusaha mengubah mereka. Ia melihat kebaikan dalam diri mereka, meski kita
mungkin hanya bisa melihat sedikit – dan berniat jadi contoh anti kekerasan
serta persaudaraan dengan semua manusia untuk membangkitkan nurani moral
penindasnya”. (Mc Cain & Mark Salter, 2009).
Birahi kekuasaan telah mendorong
manusia berlaku hipokrit (munafik) hingga kerap ditemukan kepura-puraan,
pembohongan, tipu muslihat, serta seolah-olah untuk menutupi kamuflase politik.
Menggunakan
pembingkaian kata (framing) mengatasnamakan
kepentingan rakyat bukanlah hal baru dan canggih sebab hal-hal seperti itu
telah berulangkali menjadi tontonan tak bermutu di ruang publik. Bahkan
penggunaan kata-kata santun membungkus makna berbeda seperti, pekerja seks
komersial (PSK) untuk pelaku pelacuran telah menjadi permakluman serta
pemahaman lazim di negeri ini.
Padahal,
penggunaan kata “pekerja” menurut KBBI (2007) ialah orang yang bekerja; orang
yang menerima upah atas hasil kerjanya; buruh; karyawan. Sehingga penggunaan
kata pekerja seks komersial (PSK) sejatinya adalah kekeliruan serta sesat pikir
pelegalan terhadap pelacuran yang konsekuensinya tidak perlu diuber-uber dan
dikejar-kejar, ditangkap, dipenjara apabila dianggap dan dilegalkan sebagai
pekerja.
Meminjam
pemikiran Sigmund Freud, bahwa “Manusia bukan saja pandai membikin rasional
namun juga cerdas membikin rasionalisasi. Dalih yang berbahaya adalah
rasionalisasi yang disusun secara sitematis dan meyakinkan. Dalih semacam itu
bisa memukau apalagi bila didukung oleh sarana seperti kekuasaan”. (Jujun S
Suriasumantri, 1985).
Selain
itu, kemunafikan juga mendorong berbagai kepura-puraan, seolah-olah, serta
kepalsuan dalam perilaku hidup sehari-hari. Oleh karena itulah muncul berbagai
idiom seperti; harimau berbulu domba, musang berbulu ayam, maling teriak
maling, pelanggar hukum berteriak lantang garda hukum, penindas rakyat
berteriak pro rakyat, diktator otoriter berteriak demokratis, pelaku maksiat
berteriak anti maksiat, dan lain sebagainya. Berlindung di balik tameng adalah
perilaku munafik paling berbahaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara saat ini.
Kisah-kisah
perampokan harta negara paling termasyihur di dunia ialah kisah Robin Hud dan
Fablio Escobar yang menjadi legenda sepanjang masa dengan menggunakan dalih
rasionalisasi. Kisah-kisah seperti itu tidak mustahil akan muncul kembali walau
dalam kemasan berbeda.
Berbuat
baik terhadap rakyat dengan merampas, merampok, menggarong harta negara sejatinya
adalah pembohongan besar serta tipu muslihat paling berbahaya tak layak dan
pantas dilakukan manusia-manusia beradab.
Memosisikan
diri sebagai dermawan, dewa penolong, penyelamat rakyat dengan merampok harta
kekayaan negara adalah kemunafikan besar dilandasi birahi kekuasaan.
Sungguh
sangat disesalkan apa yang dilakukan “begundal-begundal politik” selalu mengatasnamakan rakyat dalam
menggulirkan agenda politik menguntungkan pribadi, kelompok maupun golongan
selama ini. Bila dicermati sangat banyak program mengatasnamakan rakyat, tetapi
semuanya itu hanyalah kepalsuan belaka.
Berbagai
bantuan atas nama rakyat sejatinya hanyalah intrik politik untuk menguras mata
anggaran, baik anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) maupun anggaran
pendapatan dan belanja daerah (APBD) setiap tahunnya. Buktinya, bantuan sosial
(Bansos) yang ditampung dalam mata anggaran APBN maupun APBD banyak menjadi lahan
bancakan para elite-elite politik serta modus korupsi anggaran dengan alasan
memperjuangkan aspirasi rakyat.
Egoisme
pribadi, kelompok maupun golongan adalah tembok pemisah dengan pihak lain sekaligus
akar pemicu timbulnya pergesekan, perselisihan, perseteruan, bahkan konflik
dengan berbagai hukum kebencian mendatangkan malapetaka tak terperikan. Egoisme
inilah sumbu penyulut berbagai perselisilan, perseteruan ataupun konflik
ditengah masyarakat, bangsa maupun negara di atas jagat raya ini.
Memosisikan diri di atas pihak lain, merasa
diri paling tinggi di atas orang lain, merasa paling benar dibanding orang
lain, merasa paling berjasa dibanding orang lain, dan lain sebagainya adalah
salah satu cermin nyata egoisme yang merasuki diri seseorang. Hal ini sungguh
sangat berbahaya sebab manusia tak akan pernah hidup dan berkembang tanpa
dukungan, sokongan manusia lainnya. Dan karena itu pulalah Aristoteles mengatakan
manusia adalah “makhluk sosial”. Akan tetapi kesadaran itu terlupakan akibat
egoisme manusia itu sendiri. Kesadaran inilah kunci utama hukum cinta agar
perbedaan, kemajemukan, pluralisme konstruksi Ilahi bisa abadi.
Medan, 01 Juli 2015
Thomson
Hutasoit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.