Bagian Pertama
Pendahuluan.
Salah satu menu diskusi paling menarik diperbincangkan sepanjang masa ialah
tipologi kepemimpinan yang dilakonkan para pemimpin, baik pemimpin formal
maupun informal di skop lokal, nasional, ataupun internasional.
Tipologi kepemimpinan memiliki korelasi terhadap martabat, marwah serta
jati diri suatu bangsa di mata pergaulan antar bangsa-bangsa di dunia. Sebab,
tipologi kepemimpinan merupakan salah satu energi besar membangun kebanggaan serta kewibawaan bangsa.
Kepemimpinan suatu bangsa sangat
berpengaruh besar membangun keunggulan
dibandingkan bangsa-bangsa lain, yang
ditandai berbagai karya monumental ataupun keunggulan spesifik berdaya saing di fora internasional.
Menurut Wlliam Marston seperti dikutip oleh Bobinski (2000)
mengklasifikasikan pemimpin dalam 4 (empat) jenis, yaitu; pemimpin Dominance,
Influencing, Steadiness, dan Compliance.
Model kepemimpinan Marston diberi nama model DISC.
Pemimpin tipe D (Dominance)
cenderung menguasai situasi, kaya akan inisiatif, suka tantangan, tidak suka status quo, tegas, memiliki hasrat kuat
untuk mencapai prestasi tinggi, tidak suka neko-neko, dan lebih berorientasi
pada tugas. Pemimpin ini kadang dijuki hawk
(elang) atau lion (singa).
Pemimpin tipe I (Influencing)
gemar berinteraksi sosial, menghormati sesama, dan suka dihormati, penuh
optimisme, masalah apa pun yang dihadapi diyakini dapat diatasinya, rasa humor
yang tinggi, dan pasti minta pendapat orang lain sebelum bertindak.
Pemimpin tipe S (Steadiness)
bercirikan loyal, suka melayani orang lain, pencinta damai, rileks namun
pekerja keras, bertindak atau berkomunikasi tidak langsung, jika tidak setuju
ia tidak mengatakannya terus terang, lamban dalam mengambil keputusan, dan
tidak suka konfrontasi. Mereka sering dijuki dove (merpati) atau Golden
Retriever (memilih mundur daripada konfrontasi).
Pemimpin tipe C (Compliance) selalu
berpedoman pada hukum dan prosedur dalam bertindak. Ia takut jika tidak
mengikuti prosedur.
Tipe D juga menghindari konflik, bahkan tidak antusias untuk membalas jika
ditantang. Ia memiliki penalaran yang tinggi, selalu mencari fakta dan bukti
ketika bertindak sehingga ia dijuluki objective
thinker. Satu lagi cirinya perfectionist.
(Prof. DR. Tjipta Lesmana, MA, 2009).
Kepemimpinan ialah kemampuan untuk membimbing, mengarahkan, mendorong,
membangkitkan, menggerakkan pihak lain mencapai tujuan. Melalui kepiawian, kemahiran berkomunikasi efektif mampu memengaruhi orang lain.
Melalui kepiawian, kemahiran kepemimpinan setiap orang merasakan sentuhan-sentuhan
batiniah antara pemimpin dengan yang dipimpin.
Seorang pemimpin tentu harus memiliki nilai plus dibanding dengan yang
dipimpin seperti, kecerdasan, intelektualitas, karakter mental, kejujuran,
keberanian, ketegasan, integritas, serta jati diri yang bisa ditiru dan
diteladani.
Misalnya, ketika para pemuda memaksa Bung Karno memproklamasikan
kemerdekaan Republik Indonesia sebelum tanggal 17 Agustus 1945, dimana ketika
itu para pemuda memaksa bahkan mengancam Bung Karno supaya segera memproklamasikan
kemerdekaan, tapi dengan tegas Bung Karno menyatakan kepada Adam Malik, Chairul
Saleh, B.M. Diah, Sukarni, Wikana dan lain-lain. ”Lalu apa ?” Soekarno
berteriak sambil melompat dari kursi dalam keadaan sangat marah. ”Jangan
coba-coba mengancamku. Jangan kalian berani memerintahku. Justru kalian harus
mengerjakan apa yang kuinginkan. Aku tak akan pernah mau dipaksa menuruti
kemauan kalian!” (Hendri F. Isnaeni,
2009).
Makna sejati kepemimpinan ialah kemampuan seorang pemimpin menghimpun, melindungi, mengayomi, mendorong,
membangkitkan, mengarahkan, menggerakkan, serta memberi keteladanan kepada
pihak lain untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan.
Untuk melakukan hal itu, seorang pemimpin bisa saja menerapkan model
kepemimpinan kerakyatan ataupun
kepemimpinan elitis sebagaimana pola-pola kepemimpinan yang kerap dilakukan di
berbagai belahan dunia.
Tipologi kepemimpin memiliki perbedaan paradigma tentang bagaimana
kepemimpinan itu dilakukan, bagaimana pengaruhnya terhadap rakyat, bangsa maupun
negara. Hal inilah yang selalu jadi menu perbincangan hangat serta pemikiran
kritis dikala terjadi pemilihan pemimpin (suksesi) dari masa ke masa.
Salah satu esensi kepemimpinan pada komunitas Batak, khususnya Batak-Toba
ialah sebutan ”raja atau panggonggomi” yaitu; seseorang yang mampu melindungi, mengayomi,
mengarahkan, mendorong, menyemangati, mengendalikan, mencerdaskan, serta menegakkan
kebenaran dan keadilan ditengah-tengah masyarakat, bangsa.
Kepemimpinan merupakan elemen fundamental serta esensial dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara sehingga sangat membutuhkan kualitas manajerial
istimewa dari seorang pemimpin. Karenanya, tidak sembarang orang bisa di daulat
jadi pemimpin. Seorang pemimpin harus
lah orang-orang pilihan memiliki keunggulan, keistimewaan di atas rata-rata
kemampuan orang lain. Keunggulan, keistimewaan itu pula lah membedakannya
dengan yang dipimpin.
Keunggulan, Keistimewaan yang dimaksud
lebih berporos pada parameter karakter moral, mental, seperti; kecerdasan, kejujuran,
keluhuran, keberanian, kepedulian, kasih,
keadilan, semangat atau spirit
(marsahala) dalam menjalankan amanah yang dipercayakan pada dirinya.
Faktor karakter moral, mental seperti itu merupakan elemen paling dasar dalam memilih dan/atau menentukan seorang
pemimpin pada komunitas Batak-Toba. Sebab, eksistensi pemimpin pada komunitas
Batak-Toba yang menganut hukum adat (hukum tak tertulis) adalah kemampuan menjalankan tugas-tugas
kepemimpinan yang dilandasi musyawarah menuju mufakat, termasuk dalam implementasi,
menentukan sanksi-sanksi, serta penegakannya sebagai pranata yang mengatur tata hidup komunal.
Paranata hidup itu, selanjutnya
dijadikan aturan hukum yang harus dihormati dan dijunjung tinggi seluruh individu
masyarakat Batak-Toba dalam hidup sehari-hari.
Fondasi dasar kehidupan Batak-Toba ialah
falsafah Dalihan Na Tolu (DNT) yaitu; somba marhula-hula, manat mardongan tubu,
elek marboru yang merupakan warisan leluhur. Falsafah Dalihan Na Tolu (DNT) telah
membentuk karakter spesifik, jati diri Batak-Toba dari generasi ke generasi.
Esensi kepemimpinan pada suatu masyarakat,
bangsa tentu memiliki ciri khas sesuai kearifan lokal yang tumbuh berkembang
pada suatu masyarakat, bangsa. Sehingga jenis, macam, ragam, corak kepemimpinan
tidak bisa diseragamkan satu sama lain.
Dalam ungkapan Batak-Toba hal itu disebut, “Asing dolok asing do sihaporna,
Asing luat asing do nang adatna” atau seperti peribahasa klasik,” lain lubuk lain
ikannya” yang menunjukkan bahwa ragam, jenis, macam, corak kepemimpinan bisa berbeda-beda pula.
Keragaman kearifan lokal yang tumbuh
subur di masyarakat, bangsa juga melahirkan berbagai tipologi kepemimpinan yang belum tentu sesuai
dan serasi bila diseragamkan (uniform)
ataupun diterapkan pada masyarakat, bangsa yang
berbeda. Aneka ragam kepemimpinan berdasarkan kearifan lokal perlu
digali, didalami, serta dikembangkan sebagai
salah satu instrumen penting memformulasi kepemimpinan berbasis kearifan lokal
supaya benar-benar menyentuh kehidupan nyata sesuai dengan jati diri bangsa
bersangkutan.
Nilai-nilai luhur kearifan lokal
ditengah-tengah kehidupan masyarakat merupakan elemen dasar parameter
menganalisis esensi kepemimpinan, apakah
sesuai dengan nilai-nilai kultur budaya yang masih diakui kebenarannya
ditengah-tengah komunitas. Sebab, adakalanya, yang dianggap baik pada
masyarakat, bangsa tertentu belum tentu baik pada masyarakat, bangsa lain.
Esensi kepemimpinan dari sudut perspektif
kearifan lokal atau kultur budaya akan lebih sesuai dan serasi diterapkan pada
masyarakat, bangsa bersangkutan sehingga perlu digali, dikembangkan untuk
memperluas khasanah kepemimpinan berbasis kearifan lokal.
Sebab, suatu tipologi kepemimpinan tidak terlepas dari nilai kultur budaya
yang tumbuh berkembang ditengah-tengah kehidupan masyarakat, bangsa itu
sendiri.
Nilai-nilai kearifan lokal mewarnai karakter berpikir, bertindak yang tidak
mudah dilepaskan dari suatu komunitas karena sudah menjadi jati diri masyarakat,
bangsa yang membedakannya dengan komunitas lain.
Pada komunitas Batak-Toba
kepemimpinan merupakan hal paling penting serta strategis sehingga seorang
pemimpin harus mampu memosisikan diri sebagai panutan, tauladan dalam segala
hal, sebab seorang pemimpin bukan bagian dari masalah, melainkan solusi
berbagai masalah yang dihadapi masyarakat, bangsa. Karena itu, seorang pemimpin
harus mampu menempatkan diri sebagai public
figure yang pantas ditiru, digugu, serta ditauladani oleh seluruh elemen
masyarakat, bangsa.
Sebagai seorang pemimpin (raja,
panggomggomi) harus memiliki kemampuan ”raja urat ni uhum, na mora ihot ni
hosa, raja si horus na lobi, sitambai na longa, raja parbahul-bahul na bolon,
partataring so ra mintop, paramak so balunon, parsangkalan so mahiang, partogi
pangihutan, panungkunan pandapotan, panungkunan ni uhum, pangahitan ni roha,
raja na marsahala, na tulut di hata na so lupa di poda, raja singa ni uhum na
hot di ruhut-ruhut, pamuro so mantat sior, parmahan so mantat batahi, ompu ni
na bisuk na pantas di roha, parorot so manggotili,
parmeme so mambonduti, si pasiang ilu sian mata, si paulak hosa loja, raja
parhata siat di tonga ni mangajana, na sintong manimbangi na so siida
rupa, pardasing so ra teleng, parhatian
so ra monggal dan lain sebagainya.
Keunggulan karakter moral, mental, seperti
itu lah yang menjadi parameter kepemimpinan pada komunitas Batak-Toba agar
kehadiran seorang pemimpin benar-benar solusi nyata seluruh perikehidupan
rakyat dan bangsa.
Walaupun kepemimpinan pada Batak-Toba
cenderung bersifat non formal, tapi
kepemimpinan memiliki peran penting dan strategis menjaga tertib sosial
sehingga kepemimpinan harus dilandasi
keunggulan karakter moral agar diakui,
dihormati, dituruti seluruh lapisan masyarakat.
Pengakuan, penurutan, penghormatan kepada seorang pemimpin pada Batak-Toba didasarkan
atas kapabilitas, kredibilitas, integritas, soliditas, serta keistimewaan
karakter moral yang pantas ditiru dan ditauladani. Bukan karena paksaan atau
berbagai sanksi yang diterapkan.
Pada komunitas Batak-Toba
kepemimpinan bukanlah kekuasaan territorial (kekuasaan formal) seperti pada sistem kepemimpinan pemerintahan, melainkan
kepemimpinan non formal yang
berfungsi dan berperan sebagai garda terdepan penjaga nilai-nilai luhur budaya warisan
nenek moyang.
Sebagai garda terdepan menjaga, memelihara nilai kultur budaya, seorang pemimpin
harus mampu memosisikan diri perekat seluruh elemen masyarakat. Harus pula difahami
paripurna, bahwa penyebutan raja pada Batak-Toba seperti; raja ni hula-hula,
raja ni dongan tubu, raja ni boru, raja ni dongan sahuta, raja ni ale-ale,
tidak lah indentik dengan sistem kerajaan yang dianut sistem pemerintahan di
dunia.
Raja Patik Tampubolon mengatakan, ”Di halak Batak, adong do hata raja di
pangke tu ganup horong ima; Raja ni Hula-hula, Raja ni Dongan Tubu dohot Raja
ni Boru. Jotjot do diartihon halak ”hata raja” sai songon harajaon pamarentaon,
hape ndang apala i na tinuju ni hata i, ai na marlapatan doi tu hatomanon,
hasortaon, hahormaton, hasangapon, dohot angka na asing pangalaho na raja.
Jadi hata raja ima patuduhon ianggo halak Batak ingkon marpangalaho na raja
do , ndang songon pangalaho ni hatoban na so marhasangapon di tonga-tonga ni
huta dohot mangajana” . (Dalam terjemahan bebas, bahwa pengertian raja pada
bangso Batak bukan raja dalam arti
pemerintahan, melainkan kualitas karakter moral, sopan santun, kehormatan,
kemuliaan, kewibawaan, dan lain sebagainya. Jadi sebutan raja menunjukkan bahwa
bangso Batak harus berperilaku seorang raja, bukan seperti perangai, perilaku
budak yang tidak memiliki harga diri, kehormatan sama sekali. Orang yang
berperilaku seorang raja akan dihormati ditengah-tengah masyarakat, bangsa
maupun negara).
Penyebutan predikat raja pada komunitas Batak-Toba lebih menunjuk sub struktur elemen masyarakat yang setara,
sederajat, serta saling menghormati satu
sama lain. Kedudukan atau posisi Hula-hula, Dongan Tubu, Boru adalah setara dan
sederajat, hanya fungsi dan tugas lah yang berbeda di antara ketiga unsur Dalihan Na Tolu (DNT)
itu.
Dalam demokrasi Dalihan Na Tolu
(DNT) yang didasarkan pada kearifan lokal Batak-Toba memosisikan seluruh unsur
setara, sederajat dan seimbang dalam hak dan kewajiban masing-masing.
Oleh sebab itu, model kepemimpinan klasik yang telah terbukti mampu
menjamin kelanggengan hubungan harmoni komunitas Batak, khususnya Batak-Toba
perlu digali dan dikembangkan salah satu model kepemimpinan, baik ditingkat
lokal, nasional maupun internasional.
Sehebat, sepesat apa pun capaian kemajuan
suatu bangsa, tanpa didasari nilai-nilai luhur kearifan lokal yang telah
menjadi identitas atau jati diri bangsa, kemajuan itu hanya lah suatu kemajuan
tanpa fondasi kuat.
Karena itu, kearifan kultur budaya tidak
boleh sekali-sekali disepelekan atau diabaikan dalam proses berbangsa bernegara,
sebab nilai-nilai luhur kearifan lokal telah membentuk karakter spesifik bangsa
bersangkutan. Bangsa tak berjati diri tak akan pernah tampil menjadi bangsa
unggul di percaturan bangsa-bangsa beradab di atas jagat raya ini.
Selain daripada itu, harus pula
disadari bahwa penyebutan nama suku, bangsa selalu didasarkan atas kearifan
lokal bangsa bersangkutan. Misalnya, penyebutan marga pada komunitas Batak,
khususnya Batak-Toba didasari adat budaya yang diwariskan para leluhur.
Sekalipun pada era belakangan ini, suku-suku lain telah menyandang marga Batak,
khususnya Batak-Toba, tetapi penyandangan marga itu harus lah melalui prosesi adat budaya yang bisa
diterima dan diakui komunitas Batak. Tidak boleh asal-asalan, sesuka hati atau semau gue.
Kebudayaan adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia
seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat. Atau, keseluruhan pengetahuan
manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta
pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya (KBBI, 2007).
Budaya (pikiran, akal budi, adat istiadat) tidak mudah dilepaskan dari
kepribadian suatu komunitas karena telah mendarah daging atau menjadi jati dirinya.
Segala bentuk penyimpangan nilai-nilai budaya yang dianut komunitas merupakan
pelanggaran norma-norma hidup yang diakui dan dijunjung tinggi seluruh elemen masyarakat.
Oleh karena itu, berbagai kemajuan yang tidak sesuai dengan kultur budaya
bangsa belum tentu bisa diterima atau diakui masyarakat, bangsa
bersangkutan, sebab tak sesuai kultur budaya bangsanya. Misalnya,
mode pakaian, gaya bicara, pola tingkah laku, sistem kepemimpinan dan lain
sebagainya yang diadopsi dari bangsa lain.
Salah satu hal pasti ialah segala
sesuatu yang didasarkan atas nilai-nilai hidup atau kultur budaya relatif
paling serasi dan efektif karena sesuai dengan jati diri bangsa.
Selain daripada itu, kemampuan
memilih dan/atau menentukan pemimpin negarawan adalah salah satu hal
fundamental dalam menentukan arah perjalanan bangsa. Karena hanya ditangan
pemimpin berintegritas dan berkepribadian tak tercela dan berkeadilan lah
kejayaan bangsa atau negara terjamin.
Jimly Asshiddiqie mengatakan,
”Negarawan itu orang yang sudah selesai dengan hidupnya, tidak lagi memiliki
cita-cita untuk mendapat jabatan lebih tinggi. Tidak lagi punya cita-cita untuk
mendapat uang lebih banyak”. (Kompas,
19-02-2014, Hal: 3, Kol: 6).
Kehadiran
pemimpin negarawan yang mengabdikan seluruh pemikiran dan hidupnya demi
kepentingan rakyat salah satu tugas paling dasar, sebab hanya ditangan pemimpin
seperti itu lah harapan, cita-cita, dambaan
bisa suatu kenyataan yakni;
kemakmuran, kesejahteraan, keadilan, serta kebahagiaan seluruh masyarakat,
bangsa maupun negara.