Bagian Kedua
Kepemimpinan
Kerakyatan.
Secara garis besar tipologi kepemimpinan bisa dibedakan atas dua jenis, yakni; kepemimpinan kerakyatan dan
kepemimpinan elitis. Pembagian itu ditinjau dari sisi orientasi kepemimpinan yang
diterapkan di masyarakat, bangsa maupun negara.
Orientasi kepemimpinan dimaksud ialah apakah kepemimpinan itu dijalankan
sesuai keinginan, kehendak rakyat, atau
justru sebaliknya, berdasarkan
keinginan, kehendak pemimpin beserta konco-konconya.
Kepemimpinan kerakyatan ialah suatu kepemimpinan yang didasarkan pada
kehendak, keinginan rakyat. Karena itu, seorang pemimpin harus mengetahui,
memahami denyut kebutuhan, kepentingan rakyat secara konkrit.
Dengan demikian, seorang pemimpin adalah penjelmaan kehendak rakyat, sekaligus
jawaban atas situasi kondisi masyarakat secara riil.
Seorang pemimpin tentu membutuhkan
pengetahuan, pemahaman paripurna tentang apa yang diperlukan atau dibutuhkan
rakyat. Ketika seorang pemimpin menyuarakan, melontarkan sebuah ide, gagasan
atau kebijakan akan mendapat respon positif dari seluruh rakyat karena seluruh ide,
gagasan, visi atau kebijakan dilahirkan sesuai dambaan, harapan, kehendak rakyat itu sendiri. Dalam situasi seperti ini lah
otensitas seorang pemimpin tampak dengan nyata di mata rakyat.
Seorang pemimpin harus memiliki gagasan,
visi, kebijakan yang dijabarkan dari sebuah ideologi, ajaran atau pemikiran
yang dapat diterima rakyat sebagai suatu kebenaran.
Suatu ide, gagasan atau visi besar yang diucapkan seorang pemimpin memiliki
daya magnit membangkitkan semangat (spirit)
masyarakat, bangsa. Dan di sini lah
salah satu peran penting kehadiran seorang pemimpin terhadap kehidupan
masyarakat, bangsa maupun negara. Salah satu contoh konkrit ialah isi ideologi
Soekarno, bukan pikiran ideal yang tidak kena mengena dengan situasi nyata.
Pada Soekarno ideologi merupakan tanggapan atas realitas pengalaman rakyat
dalam sistem kolonial. Soekarno tidak bertolak dari ide untuk merancang
realitas; sebaliknya, mengalami realitas kolonial menuntunnya untuk merumuskan
ideologi. Jadi, apa yang dikatakannya adalah hasil membaca dan mengamati
keadaan nyata sedang terjadi.
Dukungan rakyat terhadap ideologi
Soekarno merupakan indikasi, bahwa suara dan cita-cita mereka terwakili dalam
ideologi itu. Rakyat seolah mendengar suara mereka. Dan kritikannya, kritik
rakyat tersuarakan. Ia menyebut dirinya ”mulut” dan ”telinga” rakyat, suatu
penamaan yang bukan tanpa dasar. (Pdt.
Dr. Ayub Ranoh, 2006).
Semakin besar kemampuan seorang
pemimpin menangkap, menyerap, memahami denyut hati rakyat maka semakin otentik lah
kepemimpinan kerakyatan melekat pada dirinya. Karena, kepemimpinan kerakyatan
bukan sekadar klaim pencitraan diri yang tidak memiliki korelasi dengan
tindakan nyata keberpihakan pada
keinginan, kehendak, kepentingan rakyat.
Kepemimpinan kerakyatan juga tercermin
dari sejauhmana hubungan batin antara seorang pemimpin dengan yang dipimpin.
Sehingga sangat mudah membuktikan,
apakah seseorang itu benar-benar pemimpin kerakyatan atau justru sebaliknya
pemimpin elitis.
Kepemimpinan kerakyatan yang lahir
dari rahim rakyat tentu sangat mengetahui, memahami kebutuhan, keinginan rakyat melalui
pengalaman, serta pengindraan langsung kehidupan rakyat. Oleh sebab itu, apa
yang dialami, dirasakan rakyat merupakan bahagian dari kehidupannya sendiri
yang harus diselesaikan atau dituntaskan.
Seorang pemimpin kerakyatan tak
pernah membangun tembok pemisah antara dirinya dengan rakyat, melainkan
berusaha mendekatkan diri serta gemar mendengarkan, menyerap aspirasi rakyat
seluas-luasnya.
Selanjutnya, menjabarkan berbagai aspirasi itu ke dalam program atau kebijakan
pemerintahan sebagai rencana aksi (action
plan) beserta langkah-langkah
konkrit untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi rakyat.
Pemimpin kerakyatan tak pernah takut
dan/atau menghindari diri dari rakyat. Karena itu, tidak menginginkan berbagai aturan protokoler
kaku yang menimbulkan jurang pemisah antara dirinya dengan rakyat yang dipimpin.
Beberapa contoh pemimpin di negeri
ini yang tidak terlalu suka protokoler
kaku, antara lain; Presiden RI pertama Ir. Soekarno atau Bung Karno, Presiden
RI Keempat KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Gubernur Sumatera Utara EWP.
Tambunan, Walikota Surakarta Solo yang kini menjadi Gubernur DKI Jakarta 2012-2017 Joko Widodo (Jakowi), Walikota
Surabaya Tri Rismaharini, dan lain-lain. Pemimpin-pemimpin ini sangat dekat
dengan rakyat, suka mendengarkan aspirasi, serta peduli nasib orang lain. Mereka
tak ingin terpisah dari rakyat yang dipimpin menjadikan kehadirannya
benar-benar dirasakan secara nyata.
Pemimpin kerakyatan mampu menangkap,
menyerap, memahami dan menjabarkan keinginan rakyat secara konkrit karena
mereka mau mendengarkan jeritan rakyat dengan hati tulus ikhlas, serta
menjadikan aspirasi rakyat itu sebuah rencana aksi dalam program atau kebijakan
pengabdian nyata. Keperpihakan itu lah yang melahirkan ekspektasi rakyat
semakin meningkat dari waktu ke waktu.
Pemimpin kerakyatan bukan lah pakar
teori belaka yang dibangun dari asumsi-asumsi, postulat-postulat, melainkan melahirkan
ideologi, rencana, program, visi-misi melalui penginderaan empiris pengalaman
rakyat. Sehingga program atau kebijakan yang ditelorkan adalah inventarisasi
berbagai masalah sekaligus solusi nyata. Bukan sekadar retorika pragmatis bertujuan
membangun pencitraan diri sebagaimana dilakonkan para pemimpin elitis di negeri
ini.
Salah satu hal istimewa dari
Presiden Amerika Serikat Ricard M. Nixon
(30 april 1973) ketika terjadi skandal Watergate
yang memaksa dirinya mengundurkan diri bulan Agustus 1974. Ia mengatakan “…Apapun
yang ditimbulkan oleh kasus ini sebelumnya, dan betapa pun tidak patutnya
kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan berkaitan dengan skandal kotor ini, saya
ingin agar rakyat Amerika, saya ingin Anda semua tahu bahwa di balik bayangan
keraguan yang muncul selama masa jabatan saya selaku presiden, keadilan akan
ditregakkan secara penuh, jujur, dan tidak memihak, terlepas dari siapa pun
yang terlibat.
Jabatan ini merupakan kepercayaan suci dan saya bertekad untuk menjaga
kepercayaan itu.
Dalam setiap organisasi, orang yang
berada di puncak haruslah memikul tanggung jawab. Oleh karenanya, tanggung
jawab atas semua masalah ini ada di sini, di kantor ini. Saya menerimanya. Dan
saya bersumpah pada Anda malam ini, dari kantor ini, bahwa saya akan melakukan
apa saja dalam batas kekuasaan saya untuk memastikan, bahwa yang salah akan
diadili, dan pelanggaran serupa takkan terjadi lagi dalam proses politik kita
di tahun-tahun mendatang, jauh sesudah saya meninggalkan kantor ini”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.