JASMERAH
Oleh: Thomson Hutasoit
Bung Karno mengatakan, “Jangan Sekali-sekali Melupakan Sejarah/JAS MERAH”. Wejangan Sang Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 yang juga Presiden pertama Repubilk Indonesia itu kadangkala tidak dipahami, dilupakan, diabaikan sebahagian orang di republik ini sehingga bukti, fakta sejarah perjalanan bangsa dari waktu ke waktu cenderung dimanipulasi demi kepentingan politik temporer.
Padahal, bukti, fakta sejarah perjalanan bangsa dari masa ke masa adalah salah satu instrumen penting dan fundamental mengetahui, memahami, menganalisis, serta mengevaluasi berbagai kelemahan, kekeliruan, kesalahan yang telah terjadi di masa lalu untuk selanjutnya melakukan perbaikan-perbaikan atas segala kelemahan, kekeliruan, kesalahan yang pernah terjadi dalam berbangsa dan bernegara.
Sejarah adalah saksi nyata di masa lalu yang didasarkan atas bukti-bukti, fakta-fakta sehingga sejarah adalah potret nyata masa lalu yang menggambarkan segala hal ikhwal rekam jejak (track record) pelaku-pelaku sejarah yang terlibat dalam penyelenggaraan negara atau pemerintahan di masa lalu. Karena merupakan rekam jejak pelaku-pelaku penyelenggara negara atau pemerintahan maka penulisan sejarah haruslah obyektif tanpa manipulasi bukti-bukti, fakta-fakta agar sejarah tidak hanya sekadar kosmetik politik rezim penguasa yang sangat tidak berkorelasi linier dengan fakta empirik.
Sejarah adalah laman-laman potret perikehidupan berbangsa dan bernegara yang tidak boleh sekali-sekali dilupakan, diabaikan, apalagi dimanipulasi walau dengan alasan apapun. Sebab, apabila terjadi manipulasi bukti, fakta sejarah akan sama artinya mewariskan kebohongan, pembodohan, kepalsuan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Karena itu, amat sangat benar dan bagus apa yang dilakukan komunitas masyarakat yang menamakan diri “Gerakan Melawan Lupa” yang merupakan salah satu wujud nyata “Jangan Sekali-sekali Melupakan Sejarah/JASMERAH” yang dikatakan Bung Karno.
Sadar atau tidak rekam jejak (track record) seseorang pelaku sejarah di masa lalu hanya bisa diketahui, dipahami generasi-generasi berikutnya dari rekam-rekam jejak yang telah dilakukan di masa lalu, bukan apa yang akan dilakukan di masa mendatang, sehingga amat sangat keliru besar serta sesat pikir bila masa lalu seseorang tidak dijadikan salah satu indikator atau parameter karakter seseorang di masa depan. Meminjam istilah Stephen P Robbins PhD (2009), “Prediktor terbaik seseorang di masa depan ialah perilakunya di masa lalu”. Dan inilah sejatinya makna rekam jejak (track record) yang sering dilontarkan para orang-orang pintar di negeri ini.
Salah satu hal yang sering terlupakan, terabaikan dalam memilih, mendaulat seorang pemimpin di masyarakat, bangsa maupun negara adalah melacak rekam jejak seseorang di masa lalu. Padahal, pelacakan rekam jejak seseorang di masa lalu sangat berperan besar menganalisis kecenderungan di masa depan. Selain daripada itu, rekam jejak seseorang juga akan menggambarkan karakter kepribadian seperti; apakah seseorang konsisten atau inkonsisten, jujur atau pembohong, berani atau penakut, keastria atau pengecut, tegas atau ragu-ragu, bertanggung jawab atau melarikan diri dari tanggung jawab, nasionalis atau kolaborator, kompradator, pro rakyat atau penindas rakyat, dan lain sebagainya.
Bukti-bukti, fakta-fakta perilaku seseorang di masa lalu seperti itulah yang amat sangat perlu dilacak komprehensif paripurna dari diri seorang calon pemimpin supaya tidak terjebak politik penciteraan, kosmetik politik para calon pemimpin sehingga terhindar dari rayuan gombal, rayuan maut, serta jual kecap yang selalu kualitas nomor satu.
Kearifan lokal Batak, khususnya Batak-Toba untuk melacak rekam jejak (track record) seseorang ialah “tarida do gaja sian bogas ni patna, tarida do imbo sian soarana, tarida do hau sian parbuena, tarida do jolma sian pangalahona”. Artinya, gajah ketahuan dari jejak kakinya, mawas ketahuan dari soarannya, pohon ketahuan dari buahnya, manusia dicerminkan perilakunya.
Oleh karena itu, tidaklah terlalu sulit untuk mengetahui karakter mental, moral, apakah seseorang layak dipercaya atau tidak mengemban amanah atau kepercayaan melalui membuka laman-laman rekam jejak (track record) seseorang di masa lalu. Karena amat sangat sulit diterima akal sehat para penindas rakyat di masa lalu memproklamerkan diri pembela rakyat, pelaku korupsi di masa lalu menyatakan diri garda terdepan memberantas korupsi, pelanggar hukum di masa lalu berteriak lantang menyatakan diri menegakkan hukum, mengutamakan kepentingan partisan di masa lalu menyatakan diri nasionalis, pelaku rezim pemerintahan diktator otoritarian di masa lalu berteriak lantang garda masyarakat madani, dan lain sebagainya.
Perilaku tak terpuji serta paling memalukan ialah sikap dan sifat inkonsisten seperti peribahsa klasik “menelan muntah sendiri”. Sebaliknya, sikap dan sifat konsisten adalah kesatria sebab tangan mencincang bahu memikul. Dan kepribadian seperti itulah yang pantas dan layak diberi amanah atau kepercayaan kepemimpinan ditengah-tengah masyarakat, bangsa maupun negara.
Jika dicermati seksama perilaku-perilaku yang menyatakan diri tokoh di negeri ini, terutama di masa proses suksesi kepemimpinan nasional, baik pemilihan legislatif (Pileg) maupun pemilihan presiden (Pilpres) 2014 perilaku-perilaku inkonsisten yang sangat memalukan dipertunjukkan terang-benderang, serta telanjang. Mungkin para tokoh-tokoh yang selama ini dianggap paling hebat dan paling lantang meyuarakan koreksi kekeliruan, kesalahan rezim pemerintahan masa lalu kini berubah haluan mendewa-dewakan penguasa yang pernah dilengserkan. Apakah ini penanda nyata bahwa selama ini mereka-mereka sejatinya bukanlah reformer sejati atau telah terjangkit penyakit “agnosia” masih perlu dielaborasi mendalam dan mendetail untuk mengungkap siapakah sebenarnya tokoh-tokoh sejati yang ingin memperbaiki negeri ini. Sebab, orang-orang yang menyatakan diri tokoh-tokoh reformasi telah menunjukkan sikap, sifat inkonsisten terhadap tujuan reformasi tahun 1998 lalu.
Bahkan yang disebut-sebut tokoh reformasi tahun1998 lalu telah melakukan blunder politik dan memecah belah keutuhan bangsa melalui stemen politik tak bermutu semata-mata demi kepentingan partisan. Pemilihan presiden (Pilpres) adalah kontestasi sesama anak bangsa untuk memilih putera/puteri terbaik memegang tampuk kepemimpinan nasional atau presiden/wakil presiden sehingga amat sangat keliru besar serta sesat pikir bila dijadikan “perang” sesama anak bangsa. Dan disinilah penanda nyata kekeliruan, kesalahan paling memalukan dari orang-orang yang menyatakan diri tokoh di republik ini, padahal dirinya sendiri tak pernah mengetahui, memahami paripurna berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dalam Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pemilihan presiden (Pilpres) 2014 adalah kontestasi, kompetisi sesama anak bangsa untuk memilih putera/puteri terbaik untuk melanjutkan tongkat estafet kepemimpinan nasional sehingga sangat keliru besar dan sesat pikir jika ada yang berpikir pemilihan presiden (Pilpres) sebagai “perang badar”. Bukankah stetmen politik seperti itu akan merobek, mengoyak keutuhan bangsa dan negara yang menjadi salah satu musuh laten keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, ke-Bhinnekaan atau Pluralisme di negeri ini.
Oleh sebab itu, sangat disayangkan proses suksesi kepemimpinan nasional alamiah sekali lima tahun yang seyogiyanya pesta atau festival memilih presiden/wakil presiden dimaknai sebuah perang oleh orang-orang tak bertanggung jawab semata-mata dibutakan, ditulikan kepentingan pribadi, kelompok, maupun golongan merusak makna sejati pemilihan umum atau pesta rakyat memilih pemimpinnya. Siapapun yang berpikir dan bertindak merusak makna sejati pemilihan presiden (Pilpres) 2014 tidak pantas dan layak menyandang predikat tokoh masyarakat, bangsa maupun negara. Malah sebaliknya, lebih layak disebut perusak bangsa dan negara yang tidak pantas menyandang predikat ketokohan dalam bentuk apapun.
Inilah bukti, fakta yang perlu dicatat dan dituliskan dalam sejarah perjalanan bangsa dan negara yang bisa dibuka dari generasi ke generasi sepanjang masa di republik ini. Pelaku-pelaku sejarah harus menyadari paripurna bahwa apa yang dilakukan di masa lalu, masa kini, merupakan laman-laman sejarah yang akan dibuka generasi akan datang, termasuk mereka-mereka yang belum lahir saat ini.
Karena itulah, Bapak Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia Ir Soekarno atau Bung Karno menganjurkan dan mengingatkan kepada seluruh anak-anak bangsa “Jangan Sekali-sekali Melupakan Sejarah atau JASMERAH” agar bangsa ini bukan bangsa pikun, agnosia, memori pendek, lupa diri, dan tak tahu sejarah perjalanan bangsanya dari waktu ke waktu.
Mengingat sejarah bukan memelihara dan melestarikan dendam masa lalu, tetapi catatan perjalanan bangsa dan negara yang ditulis berdasarkan bukti dan fakta agar tidak terjadi pembohongan, pemutar balikan bukti, fakta sejarah terhadap generasi mendatang supaya tidak keliru memberi tanda-tanda jasa dan bintang kehormatan di masa akan datang. Karena amat sangat keliru besar memberi tanda jasa dan bintang kehormatan terhadap pengkhianat bangsa atau negara, award anti korupsi terhadap pelaku koruptor, dan lain sebagainya. Sementara putera/puteri terbaik anak bangsa yang telah menunjukkan perjuangannya demi bangsa dan negara tidak mendapat tanda jasa dan bintang kehormatan karena melupakan sejarah perjuangan mereka.
Bangsa yang besar tak pernah lupa dari sejarahnya, dan rangkaian perjalanan sejarah merupakan elemen fundamental membangun semangat perjuangannya menuju cita-cita yang hendak dicapai.
Jangan tulis sejarah melalui manipulasi, pembelokan, penyelundupan bukti, fakta agar tidak mewariskan kebohongan terhadap generasi-generasi berikutnya. Jangan Sekali-sekali Melupakan Sejarah atau JASMERAH agar tidak membohongi diri sendiri dengan orang lain. Sebab, sejarah adalah catatan obyektif, bukti dan fakta diam yang laman-lamannya bisa dipelajari, dianalisa, serta disimpulkan siapa pun untuk mengungkap perilaku masa lalu. (Penulis buku: Kepemimpinan Ditinjau dari Kultur Budaya Batak-Toba).
Medan, 7 Juni 2014
Thomson Hutasoit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.