Kedudukan Hak Waris Batak Toba
Oleh: Thomson Hutasoit
Pendahuluan.
Batak adalah bangso (suku-red) yang
menganut sistem keturunan atau kekerabatan garis bapa (patrilineal) sehingga
meletakkan hak waris penuh pada anak laki-laki. Salah satu hak waris paling
dasar bagi suku Batak, khususnya Suku Batak Toba adalah garis silsilah
(Tarombo) yang diwariskan turun-temurun pada anak laki-laki. Sementara anak
perempuan (boru-red) tak pernah dijadikan penerus garis silsilah (tarombo)
sebab anak perempuan (boru) akan mewarisi garis silsilah (tarombo) suaminya
pasca perkawinan.
Warisan paling dasar dan fundamental
bagi Batak Toba adalah mewarisi garis silsilah, bukan harta kebendaan
sebagaimana sering dipersengketakan antara anak laki-laki dengan anak perempuan
atas harta peninggalan orang tua.
Jika diperhatikan cermat dan
seksama, bahwa penyelesaian sengketa warisan peninggalan orang tua antara anak
laki-laki (baoa-red) dengan anak perempuan (boru-red) pasca Yurisprudensi
Mahkamah Agung (MA) Nomor: 179 K/Sip/1961 tanggal 1 November 1961 yang
memutuskan Kedudukan Laki-laki dan Perempuan Batak sama dalam Warisan,
Yurisprudensi MA itu sepertinya tidak secara utuh bisa dijadikan memberi
kedudukan sama antara laki-laki dengan perempuan terlebih pada warisan dasar silsilah
(tarombo) hingga saat ini.
Penulisan silsilah (tarombo) pada
Batak Toba sebagai simbol keturunan (sundut-red) selalu didasarkan pada anak
laki-laki yang mewarisi marga bapaknya bukan marga ibu seperti yang diwarisi
sistem garis keturunan matrilineal. Padahal, garis silsilah (tarombo) inilah
warisan paling dasar bagi Batak Toba sepanjang masa, bukan pemilikan harta
benda dari orang tua yang telah meninggal.
Karena itu, Yurisprudensi Mahkamah
Agung (MA) Nomor: 179 K/Sip/1961 belum secara penuh dan bulat menyelesaikan
sengketa waris pada Batak Toba, apalagi pasca penyelesaian sengketa warisan
melalui peradilan negara akan berimplikasi terputusnya hubungan persaudaraan
(Hula-hula dan Boru-red) yang sangat kontradiksi dengan falsafah Dalihan Na
Tolu (DNT); somba marhula-hula, manat mardongan tubu, elek marboru.
Pengadilan Negara yang mengadili
sengketa Harta Warisan sejatinya hanyalah terbatas pada harta benda fisik an sich, sementara warisan non fisik
seperti silsilah (tarombo) tidak pernah tersentuh Yurisprudensi Mahkamah Agung
(MA) yang merupakan hak waris fundamental tradisional berdasarkan kultur budaya
Batak Toba. Sehingga pilihan penyelesaian sengketa warisan Batak Toba perlu
dipertimbangkan matang, seksama dan hati-hati sebab bisa menimbulkan
terputusnya hubungan kekerabatan (marhula-hula marboru-red) pasca putusan
pengadilan.
Hak Waris Mutlak Absolut.
Bangso (Suku-red) Batak yang
menganut sistem keturunan patrilineal (laki-laki) meletakkan garis keturunan
mutlak absolut pada laki-laki. Garis keturunan itu pada Batak dikenal garis
Silsilah (Tarombo) yang diwariskan turun-temurun sejak dari nenek moyang Batak.
Pada Batak, khususnya Batak Toba
tidak pernah dituliskan anak perempuan (boru) di garis Silsilah atau Tarombo
hingga saat ini. Garis Silsilah atau Tarombo selalu diletakkan pada anak
laki-laki. Senadainya pun ditemukan nama anak perempuan (boru) tertulis di
dalam Tarombo, hal itu hanyalah nama melekat pada bapaknya atau ompungnya saja.
Bukan berarti, bahwa si anak perempuan (boru) itu melanjutkan garis silsilah
atau tarombo kerabatnya. Karena itu, di daerah Dolok Sanggul, Kabupaten Humbang
Hasundutan masih bisa ditemukan prosesi adat “Ganti Nama” dari anak perempuan
(boru) kepada itonya (laki-laki) untuk dilekatkan menjadi sebutan “pahompu
panggoran” bagi ompungnya. Tetapi di daerah-daerah lain prosesi adat seperti
itu bisa saja tidak dilembagakan lagi pada masa-masa belakangan ini. Walau
demikian, penerus silsilah atau tarombo tetap hak waris mutlak absolut anak
laki-laki.
Hak waris mutlak absolut (Silsilah
atau Tarombo) adalah konsekwensi pilihan garis keturunan laki-laki yang dianut
Bangso (Suku) Batak sejak dari leluhur.
Harus pula diingat dan dipahami,
bahwa sistem garis keturunan yang ada di atas jagat raya ini ada tiga macam,
yakni; garis keturunan patrilineal (laki-laki), garis keturunan matrilineal
(perempuan), dan garis keturunan parensial (laki-laki, perempuan) sehingga
pemberian atau peletakan hak warisan mutlak absolut pada anak laki-laki pada
Batak, khususnya Batak Toba adalah konsekuensi pilihan hukum garis keturunan
patrilineal.
Hak waris paling fundamental bagi
Batak adalah garis Silsilah atau Tarombo secara turun-temurun, bukan hak waris
kebendaan (harta benda) seperti kasus-kasus hukum yang sering diajukan ke meja
pengadilan oleh generasi Batak Toba belakangan ini.
Berbagai kasus tuntutan hak waris
Batak Toba yang diselesaikan melalui pengadilan negara belakangan ini perlu
dipikirkan mendalam dan mendetail melalui pengertian, pemahaman komprehensif
paripurna hak waris sejati dalam sistem garis keturunan patrilineal yakni garis
Silsilah atau Tarombo Batak Toba dari generasi ke generasi. Sebab garis keturunan
bapak bagi Batak, khususnya Batak Toba telah menjadi tatanan baku dalam sistem
kekerabatan (Partuturan) secara universal. Sementara perebutan harta warisan
hanyalah bersifat kasuistik diantara bersaudara satu bapak (marhaha maranggi,
mariboto na marsaama) dalam pembagian harta warisan peninggalan orang tua.
Pengertian, pemahaman kedudukan anak
laki-laki dan anak perempuan berdasarkan kultur budaya Batak, khususnya Batak
Toba yang menganut sistem garis keturunan patrilineal, anak laki-laki ialah
penerus garis Silsilah atau Tarombo bapaknya merupakan ketentuan baku dalam
penulisan garis Silsilah atau Tarombo terlembagakan sejak zaman nenek moyang
hingga saat ini. Sedangkan anak perempuan (boru) yang akan kawin ke laki-laki
lain akan mewarisi garis Silsilah atau Tarombo suaminya sehingga dikenal
ungkapan Batak Toba “Boru patimbo parik ni halak”. Artinya, marga suaminyalah
menjadi garis Silsilahnya pasca perkawinan, bukan lagi marga bapaknya. Dan
disinilah titik episentrum mengapa bangso Batak, khususnya Batak Toba amat
sangat bersedih apabila tidak mempunyai keturunan anak laki-laki (marurat) yang
akan berkonsekuensi terputus penulisan garis Silsilah atau Tarombo di kerabat
(marga) nya.
Pandangan serta pemahaman bangso
Batak, khususnya Batak Toba, bahwa manusia ciptaan Tuhan di atas bumi ini ada
beberapa macam ditilik dari keturunan (parianakhonon) yakni; Na Gabe, Na
Marurat, Na Marbulung, Na Purpur.
Na Gabe ialah seseorang yang
mempunyai keturunan anak laki-laki (lahi-lahi, baoa) dan anak perempuan (boru).
Dan menurut pandangan serta pemahaman Batak orang seperti inilah yang paling
diidam-idamkan dalam hidup bangso Batak. Penulisan garis Silsilah atau Tarombo
terhadap orang ini berjalan secara berkesinambungan karena mempunyai keturunan
anak laki-laki sebagai penerus garis Silsilah atau Tarombo.
Na Marurat ialah seseorang yang
hanya mempunyai keturunan anak laki-laki sehingga selalu menginginkan
(manarihon) kehadiran seorang anak perempuan (boru). Penulisan garis Silsilah
atau Tarombo terhadap orang ini berjalan secara berkesinambungan karena
mempunyai keturunan anak laki-laki sebagai penerus garis Silsilah atau Tarombo,
walaupun tidak mempunyai anak perempuan (boru).
Na Marbulung ialah seseorang yang
hanya mempunyai keturunan anak perempuan (boru). Penulisan garis Silsilah atau
Tarombo akan terhenti atau terputus, walaupun mempunyai anak perempuan (boru)
karena penerus garis Silsilah atau Tarombo hanya terletak pada anak laki-laki.
Na Purpur ialah seseorang yang tidak
mempunyai keturunan anak laki-laki maupun anak perempuan (baoa manang boru).
Penulisan garis Silsilah atau Tarombo akan terhenti atau terputus.
Inilah klasifikasi umum dan
terlembagakan dalam adat budaya Batak, khususnya Batak Toba yang merupakan
warisan leluhur dan pada fakta empirik masih ditemukan dilaksanakan dan
dijunjung tinggi sebagai landasan fundamental baku dalam penulisan garis
Silsilah atau Tarombo hingga saat ini. Sebab bukti dan fakta dalam penulisan
garis Silsilah atau Tarombo bangso Batak, khususnya Batak Toba hingga saat ini
“TIDAK PERNAH” menuliskan anak perempuan (boru) dalam Silsilah atau Tarombo.
Pengertian, pemahaman kedudukan
laki-laki (lahi-lahi, baoa) dan perempuan (boru) komprehensif paripurna dalam
sistem kekerabatan Batak Toba akan meminimalisasi perkara pembagian harta
warisan yang diajukan ke meja pengadilan di masa-masa mendatang.
Oleh sebab itu, peletakan hak waris
mutlak absolut yakni penerus garis Silsilah atau Tarombo pada anak laki-laki
harus pula dipahami merupakan hak waris fundamental dan sejati bagi bangso
Batak, khususnya Batak Toba sebagai konsekuensi pilihan sistem garis keturunan
patrilineal, bukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Untuk itu, perlu dilakukan
kajian-kajian hukum tentang Hak Waris bangso Batak, khususnya Batak Toba secara
komprehensif paripurna agar tidak tergesa-gesa menyimpulkan, bahwa perbedaan
hak waris laki-laki dengan perempuan adalah pelanggaran hak asasi manusia
(HAM).
Hak Waris Limitatif.
Jika diperhatikan cermat dan seksama
berbagai kasus-kasus sengketa Hak Warisan yang diajukan generasi-generasi
Batak, khususnya Batak Toba ke pengadilan negara belakangan ini bisa dikatakan
hanya sekitar sengketa Hak Warisan Harta Kebendaan yang dimiliki seseorang
orang tua meninggal oleh para putera-puterinya (anak laki-laki dan anak
perempuan-red) an sich. Kemudian,
Yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) Nomor: 179 K/Sip/1961 tanggal 1 November 1961
yang memutuskan Kedudukan Laki-laki dan Perempuan Batak sama dalam Warisan juga
tidak secara utuh dan terang-benderang meletakkan kedudukan sama antara
laki-laki dengan perempuan di dalam hak warisan dasar sebagai penerus
Silsilah atau Tarombo.
Hak Waris fundamental dan sejati bagi Batak,
khususnya Batak Toba ialah penerus garis
Silsilah atau Tarombo, bukanlah hak waris harta kebendaan fisik sebagaimana
sering dipersengketakan pada masa belakangan ini.
Jika
putusan pengadilan negara mampu memberikan kedudukan sama (hak waris) antara
laki-laki dengan perempuan dalam pembagian harta kebendaan orang tua meninggal,
justru pasca putusan pengadilan negara timbul ekses negatif dalam struktur
kekerabatan seperti terputusnya hubungan bersaudara (marhaha maranggi,
mariboto-red) dikemudian hari. Padahal, falsafah Dalihan na Tolu yakni; Somba
Marhula-hula, Manat Mardongan Tubu, Elek Marboru bagi orang Batak, khususnya
Batak Toba tidak bisa terlepas sepanjang hayat.
Karena
itu, putusan pengadilan negara ( Yurisprudensi Mahkamah Agung) tidak pernah
mampu menyelesaikan sengketa hak warisan orang Batak, khususnya Batak Toba,
kecuali hak warisan limitatif (hak waris harta kebendaan) semata. Pengadilan
negara tidak berkewenangan memutuskan hak waris tradisional yaitu hak waris
penerus garis Silsilah atau Tarombo berdasarkan garis keturunan patrilinial.
Oleh
karena itu, patut dimengerti dan dipahami, bahwa Yurisprudensi Mahkamah Agung
(MA) Nomor: 179 K/Sip/1961 tanggal 1 November 1961 yang memutuskan Kedudukan
Laki-laki dan Perempuan Batak sama dalam Warisan hanyalah bersifat limitatif
yakni terbatas hanya pada hak waris harta kebendaan an sich. Dan itu pulalah
sebabnya hingga saat ini mayoritas orang Batak, khususnya Batak Toba masih
memilih dan menggunakan hukum adat tradisional (kearifan leluhur) dalam
pembagian harta warisan orang tua.
Hak
waris limitatif bisa juga dianologikan dengan Undang-Undang No. 56 PRP Tahun
1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Dimana pada pasal 7 ayat (2)
Mengenai hak gadai yang pada mulai berlakunya Peraturan ini belum berlangsung 7
tahun, maka pemilik tanahnya berhak untuk memintanya kembali setiap waktu
setelah tanaman yang ada selesai dipanen, dengan membayar uang tebusan yang
besarnya dihitung menurut rumus (7 + ½) – waktu berlangsung hak gadai : 7 x
uang gadai, dengan ketentuan bahwa sewaktu-waktu hak gadai itu telah
berlangsung 7 tahun maka pemegang gadai wajib mengembalikan tanah tersebut
tanpa pembayaran uang tebusan, dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada
selesai dipanen. Ayat (3) Ketentuan dalam ayat (2) pasal ini berlaku juga
terhadap hak gadai yang diadakan sesudah mulai berlakunya Peraturan ini.
Menurut
yurisprudensi tetap Mahkamah Agung ketentuan pasal 7 ini bersifat “memaksa”.
(Putusan No. 420/K/Sip/1968 dan No. 810/K/Sip/1970). Kemudian Keputusan Menteri
Pertanian dan Agraria No. Sk. 10/Ka/1963 tentang Penegasan Berlakunya Pasal 7
Undang-Undang No. 56/1960 Bagi Gadai Tanaman Keras pada konsideran Menimbang:
(a) bahwa untuk menghilangkan unsur-unsur yang bersifat pemerasan daripada
gadai, Undang-Undang No. 56 Prp tahun 1960 (L.N. tahun 1960 No. 174) menentukan
dalam pasal 7, bahwa tanah-tanah pertanian yang sudah digadai selama 7 tahun
atau lebih harus dikembalikan kepada yang empunya, tanpa kewajiban untuk
membayar tebusan; (b) bahwa ketentuan tersebut sub a itu berdasarkan kenyataan,
bahwa sebenarnya hasil tanah yang diterima oleh pemegang gadai tanah pertanian
jauh melebihi bunga yang layak daripada uang yang diterima oleh yang empunya
tanah; (c) bahwa kenyataan tersebut sub b berlaku juga bagi tanaman-tanaman
keras, sebagai pohon kelapa, pohon buah-buahan dan sebagainya, yang digadaikan
berikut atau tidak berikut tanahnya dan karena itu ketentuan tersebut sub a
seharusnya berlaku juga bagi gadai tanaman keras.
Memutuskan:
Pertama: Menegaskan, bahwa mengingat tujuan dan jiwa ketentuan gadai dalam pasal
7 Undang-Undang No. 56 Prp tahun 1960 (L.N. tahun 1960 No. 174), ketentuan
tersebut berlaku juga bagi tanaman-tanaman keras yang digadaikan, berikut atau
tidak berikut tanahnya; Kedua: Keputusan ini mulai berlaku pada hari ditetapkan
dan mempunyai kekuatan surut hingga tanggal 1 Januari 1961.
Selanjutnya,
Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No. 20 Tahun 1963 tentang Pedoman
Penyelesaian Masalah Gadai, pada pasal 4 ayat (1) Jika didalam menyelesaikan
gadai yang diadakan sebelum tanggal 1 Januari 1961 terjadi sengketa antara
fihak-fihak yang berkepentingan, maka (a) pada tingkat pertama penyelesaiannya
supaya diusahakan secara musyawarah antara penggadai dan pemegang gadai, dengan
disaksikan oleh Kepala Desa/Panitia Landreform Desa tempat letak tanah atau
tanaman yang bersangkutan; (b) jika tidak dapat dicapai penyelesaiannya secara
tersebut di atas, maka soalnya diajukan kepada Panitia Lendreform Daerah
Tingkat II melalui Panitia Lendreforma Kecamatan, untuk mendapat keputusan,
Panitia Landreform Kecamatan memberi pertimbangan kepada Panitia Lendreform
Tingkat II; (c) jika salah satu atau kedua fihak tidak dapat menerima keputusan
Panitia Landreform Tingkat II, maka fihak yang bersangkutan dipersilahkan untuk
mengajukan soalnya kepada Pengadilan Negeri untuk mendapat keputusan.
Putusan
Mahkamah Agung No. 2422/Sip/1981: Dengan membiarkan sawah/kebun sengketa tidak
ditebus selama 40 tahun maka penggugat dianggap telah melepaskan haknya untuk
menebus sawah/kebun tersebut. (lihat; Prof. Boedi Harsono SH, 1989).
Yang
menjadi pertanyaan, mengapa Undang-Undang ini tidak dijadikan orang Batak,
khususnya Batak Toba untuk penyelesaian Hak Gadai secara maksimal ? tentu
jawabannya, bila Undang-Undang ini dilakukan akan berpotensi menimbulkan
gesekan dan keretakan kekerabatan pada Batak, khususnya Batak Toba yang notabene pemegang hak gadai adalah
keluarga, kerabat ataupun sanak famili.
Inilah
potret hak-hak menurut hukum negara atau Undang-Undang tidak secara otomatis
diterapkan pada masyarakat hukum adat seperti Batak, khususnya Batak Toba
hingga saat ini. Jadi sekalipun menurut hukum negara diatur kesamaan hak waris
laki-laki dan perempuan, tapi dalam implementasinya masih lebih cenderung
menggunakan hak waris menurut Batak, khususnya Batak Toba yang merupakan
tatanan berhukum sejak nenek moyang hingga saat ini.
Apakah
tabu menyelesaikan sengketa hak waris (waris kebendaan-red) pada Batak,
khususnya Batak Toba melalui Pengadilan Negara (Pengadilan Negeri) ? tentu
jawabannya “tidak”. Tetapi harus diingat dan dicamkan, bahwa penyelesaian
sengketa melalui Pengadilan Negeri akan berpotensi menimbulkan keretakan
hubungan kekeluargaan atau kekerabatan sebagaimana makna hakiki falsafah
Dalihan Na Tolu yang dihormati, dijunjung tinggi bangso Batak sepanjang masa.
Medan,
16 Pebruari 2015
Thomson
Hutasoit.
(Penulis:
Sekretaris Umum Punguan Borsak Bimbinan Hutasoit, Boru, Bere Kota Medan
Sekitarnya, penulis buku).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.