Warisan Ranjau Politik
Oleh: Thomson Hutasoit
Direktur Eksekutif LSM Kajian Transparansi Kinerja
Instansi Publik (ATRAKTIP)
Sesungguhnya suksesi
kepemimpinan nasional merupakan proses alamiah yang harus berlangsung dari satu
rezim pemerintahan ke rezim pemerintahan berikutnya sesuai perintah
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (Asli) maupun (Amandemen).
Tetapi proses suksesi sejak Presiden Republik Indonesia pertama Ir. Soekarno
atau Bung Karno ke Presiden RI kedua Soeharto, Soeharto ke Presiden RI ketiga
BJ Habibie, BJ Habibie ke Presiden keempat KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur,
Gus Dur ke Presiden RI kelima Megawati Soekarnoputri atau Mbak Mega, Mbak Mega
ke Presiden keenam Susilo Bambang Yudoyono (SBY), SBY ke Presiden ketujuh Joko
Widodo (Jokowi) selalu mewariskan “ranjau politik” alias tak pernah mulus.
Suksesi
pemerintahan paling mutahir ialah pergantian rezim pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono (SBY)-Boediono pada tanggal
20 Oktober 2014 yang sepertinya membangun tradisi baru dimana saat pelantikan
Presiden/Wakil Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan HM. Jusuf Kalla (JK) duduk
berdampingan pada Sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Republik Indonesia yang pada periode-periode sebelumnya tak pernah terjadi
peristiwa kenegaraan seperti itu.
Presiden
Susilo Bambang Yudoyono (SBY) menyambut kedatangan Presiden Joko Widodo
(Jokowi) di Isatana Negara yang menurut konstitusi tak diatur prosesi semacam
itu. Sebab begitu Presiden/Wakil Presiden mengucapkan Sumpah/Janji di depan
Sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia seketika itu
pula secara otomatis berakhir masa periode pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono
(SBY)-Boediono menurut konstitusi.
Walaupun
secara konstitusi tidak ada ketentuan yang mengatur tradisi seperti itu,
tradisi baru suksesi nasional dari rezim pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono
(SBY)-Bediono ke rezim pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dan HM. Jusuf Kalla
(JK) 20 Oktober 2014 patut dimaknai salah satu langkah awal membangun
kedewasaan berpolitik di tanah air. Apalagi jika tradisi baru tersebut benar-benar
murni dan tidak meninggalkan “ranjau politik” pada pemerintahan berikutnya.
Akan
tetapi, jika seandainya tradisi baru suksesi nasional yang berlangsung hanya
sekadar kamuflase politik dan penuh keberpurak-purakan maka makna sejati
tradisi baru yang dibangun pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono (SBY)-Boediono
ke pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-HM. Jusuf Kalla (JK) menjadi sirna dan tak
bermanfaat apa-apa dalam membangun kedewasaan berpolitik bangsa ini.
Jika
rezim pemerintahan SBY-Boediono ingin mengubah tradisi pergantian rezim
pemerintahan sebelum-sebelumnya yang tidak pernah berlangsung mulus, lancar dan
damai alias tak meninggalkan “dendam politik” sangatlah tak elegan apabila
masih mewariskan “rajau politik” pada pemerintahan berikutnya.
Rezim
pemerintahan akan diganti harus berupaya keras mempersiapkan agenda-agenda
nasional secara baik dan benar supaya tidak berpotensi menimbulkan kegaduhan,
kekacauan politik pasca suksesi. Dengan demikian, rezim pemerintahan baru tidak
direcoki atau diusik kegaduhan, kekacaun politik sehingga pemerintahan baru
bisa bekerja efektif, efisien melanjutkan estafet kepemimpinan nasional lima
tahun ke depan.
Tradisi
baru suksesi nasional tanpa meninggalkan beban politik masa lalu adalah suksesi
beretika dan beradab, serta pantas dan layak menjadi catatan sejarah
perkembangan perpolitikan di republik ini. Akan tetapi, tradisi baru suksesi
nasional yang masih mewariskan “ranjau politik” hanyalah sebuah filosofi “Katak
Berenang” (Parlange-lange ni si bagur-red) yakni; jernih di depan keruh di
belakang alias penciteraan diri yang dibungkus penuh keberpurak-purakan serta
meninggalkan “bom” waktu pada pemerintahan baru.
Politik
Katak Berenang (Parlenge-lange ni si Bagur) sama sekali tak pantas dan layak
diwariskan dalam politik beretika dan beradab sebab politik Katak Berenang yakni
“jernih di muka keruh di belakang” sungguh sangat berbahaya terhadap rezim pemerintahan
baru yang akan disibukkan kisruh, kegadugan politik warisan pemerintahan
sebelumnya. Dan inilah yang dimaksudkan “Warisan Ranjau Politik” yang
seharusnya tidak patut diwariskan pemerintahan lama ke pemerintahan
penggantinya.
Ranjau Politik.
Jika
dicermati seksama kisruh, kegaduhan politik yang terjadi di republik ini pasca
terpilihnya Presiden/Wakil Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan HM. Jusuf Kalla
(JK) 09 Juli 2014 lalu ada beberapa hal yang perlu ditelisik mendetail dan
obyektif dibalik tradisi baru suksesi nasional 20 Oktober 2014 lalu.
Bila
proses suksesi kepemimpinan nasional ingin terlaksana dengan baik tanpa gejolak
politik maka pemerintahan sebelumnya harus membuka jalan terlaksananya suksesi
pemerintahan yang mulus, lancar, damai tanpa “ranjau atau jebakan” politik
sehingga pemerintahan baru benar-benar efektif, efisien melanjutkan
pemerintahan ke depan.
Untuk
itu, berbagai produk peraturan perundang-undangan yang melibatkan eksekutif
(presiden) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI hendaknya diupayakan tidak
berpotensi menimbulkan kisruh ataupun kegaduhan politik bagi pemerintahan baru
selaku pemegang estafet kepemimpinan nasional sehingga pergantian rezim
pemerintahan tidak menimbulkan goncangan politik yang menggangu roda pemerintahan
berikutnya. Artinya, rezim pemerintahan boleh berganti secara alamiah tapi roda
pemerintahan berjalan sebagaimana mestinya.
Tetapi
fakta membuktikan, terbitnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun
2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD oleh sebahagian besar anggota DPR RI
periode 2009-2014 pada tanggal 8 Juli 2014 yang dimotori Koalisi Merah Putih
(KMP) yaitu; Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Gerakan Indonesia Raya
(Gerindra), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN),
Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai
Demokrat (PD) mengambil sikap “abu-abu” telah menimbulkan kisruh, kegaduhan
politik di negeri ini.
Koalisi
Merah Putih (KMP) pada pemilihan presiden 09 Juli 2014 adalah pendukung/pengusung
pasangan calon Presiden/Wakil Presiden Prabowo Subianto/Hatta Rajasa yang
dikalahkan pasangan calon Presiden/Wakil Presiden Joko Widodo (Jokowi)/H.M.
Jusuf Kalla yang didukung/diusung Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang jumlah
kursinya di DPR RI minoritas.
Kekalahan
kubu Koalisi Merah Putih (KMP) mengusung pasangan Prabowo Subianto/Hatta Raja
dalam pemilihan presiden 09 Juli 2014 menjadi rentetan pertarungan di Gedung
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI yang ditandai lahirnya UU RI Nomor 17 Tahun
2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau UU MD3 yang sangat controversial yang
pada akhirnya menyapu bersih pimpinan DPR RI berserta alat kelengkapan dewan
(AKD). PDI-Perjuangan selaku pemenang pemilihan legislatif (Pileg) 2014 tidak
bisa otomatis menduduki posisi Ketua DPR RI periode 2014-2019. Padahal pada
periode sebelumnya yakni 2009-2014 Partai Demokrat pemenang pemilihan legislatif
(Pileg) otomatis menduduki Ketua DPR RI periode 2009-2014 (Undang-Undang RI
Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR,DPR, DPD, dan DPRD atau MD3-red).
Selanjutnya,
empat hari menjelang akhir masa baktinya, 26 September 2014 DPR RI periode
2009-2014 kembali menyetujui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun
2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota atau yang dikenal UU
Pilkada oleh DPRD atau pemilihan tidak langsung. Kemudian Presiden Susilo
Bambang Yudoyono (SBY) mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pilkada untuk membatalkan UU
RI Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota oleh
DPRD.
Undang-undang
RI Nomor 17 tahun 2014 tentang MD3, Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 2014
tentang Pilkada, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1
Tahun 2014 tentang Pilkada telah menimbulkan kisruh, kegaduhan politik
membebani serta merepotkan Jokowi-JK diawal-awal pemerintahannya.
Seandainya,
pemerintahan sebelumnya (SBY-Boediono-red) benar-benar membangun tradisi baru suksesi nasional maka UU RI Nomor
17 Tahun 2014 tentang MD3, UU RI Nomor 22 tentang Pilkada yang menimbulkan
kegaduhan dan kisruh politik tak akan pernah lahir sebab DPR RI periode
2009-2014 mayoritas dikuasai Partai Demokrat selaku partai pemerintahan rezim
Susilo Bambang Yudoyono (SBY)-Boediono yang seluruh anak negeri ini tahu
tergabung dalam Setgab Koalisi Partai-SBY-Boediono.
Sungguh
sangat disayangkan, niat baik Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) yang juga
Ketua Umum Partai Demokrat dan Edi Baskoro Yudoyono (Anak SBY-red) Sekretaris
Jenderal Partai Demokrat “diciderai dan dikotori” anggota DPR RI dari partainya
sendiri dengan melakukan walkout di
saat-saat genting pengambilan keputusan tentang UU RI Nomor 22 Tahun 2014
tentang Pilkada. Padahal menurut pernyataan SBY di berbagai media Susilo
Bambang Yudoyono (SBY) memerintahkan para anggotanya di DPR RI suapaya allout memperjuangkan Pemilihan Kepala
Daerah Langsung (Pilkada) dengan tambahan syarat, bukan melakukan tindakan walkout yang membuka kemenangan kubu
Koalisi Merah Putih (KMP) menyetujui UU RI Nomor 22 Tahun 2014 pemilihan kepala
daerah melalui DPRD atau pemilihan tidak langsung.
Bermain
cantik dan canggih dalam politik merupakan suatu kepiawian walau pada akhirnya
bisa dianalisis apakah benar atau berpurak-purak benar, setuju atau
berpurak-purak setuju atas lahirnya undang-undang yang menuai penolakan publik
itu.
Untuk
menganalisis makna dibalik pernyataan politik perlu dilihat dan diketahui
secara pasti siapakah pengusul UU RI
Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau UU MD3, UU RI Nomor 22
tahun 2014 tentang Pilkada. Pemastian itu sangat diperlukan supaya terlihat
jelas, terang-benderang siapa paling “bernafsu atau berkepentingan” atas
lahirnya Undang-undang penuh kontrovesi itu.
Bila
pemerintah yang mengusulkan sebuah undang-undang maka undang-undang tersebut
merupakan inisiatif pemerintah, sebaliknya jika DPR RI yang mengusulkan
undang-undang berarti inisiatif DPR RI lah melahirkan undang-undang tersebut.
Memahami
mekanisme pengajuan undang-undang secara utuh dan jelas memberi pemahaman
komprehensif paripurna terhadap publik untuk selanjutnya bisa menilai obyektif
siapakah sebenarnya “biang kerok” dibalik kisruh, kegaduhan politik atas
lahirnya Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3, Undang-Undang RI
Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pilkada.
Sebab
acapkali ditemukan politik cuci tangan ala Pontius Pilatus yang seolah-olah tak
berdosa dan terlibat dalam suatu kebijakan, kasus ketika terjadi kisruh atau
kegaduhan atas kebijakan atau kasus tersebut.
Politik
cuci tangan, politik kambing hitam, politik penciteraan dan lain sebagainya
bukanlah barang baru di dunia politik kumuh tak beradab di jagat raya ini. Itu
pulalah sebabnya sangat sukar dan sulit mengetahui, memahami antara yang
benar-benar dengan yang berpurak-purak dalam keputusan politik. Masing-masing
dengan piawi membentangkan argumentasi canggih mempertahankan pendapatnya. Akibatnya,
rakyat semakin bingung dan sulit menentukan siapa yang benar-benar dan siapa
pula yang berpurak-purak.
Warisan
ranjau politik adalah sebuah potensi yang bisa memicu kisruh, kegaduhan politik
yang diwariskan pemerintahan sebelumnya kepada pemerintahan selanjutnya.
Berbagai kebijakan dalam ideologi, politik, ekonomi, sosial, hukum, pertahanan
dan keamananan serta kebijakan publik lainnya yang berpotensi menimbulkan
gejolak ditengah-tengah kehidupan masyarakat, bangsa maupun negara menjadi
beban pemerintahan selanjutnya.
Pemerintahan
baru yang seharusnya bisa berjalan efektif, efisien untuk melanjutkan
pemerintahan pendahulunya justru disibukkan berbagai kasus yang belum
terselesaikan di masa pemerintahan sebelumnya. Berbagai ranjau politik yang
selalu mewarnai perjalanan negeri ini dari satu rezim pemerintahan ke rezim
pemerintahan berikutnya seperti; bebab utang, peraturan perundang-undangan
tumpang tindih, tindak pidana korupsi, illegal
fishing, illegal logging, illegal mining, kewibawaan lembaga penyelenggara
negara atau pemerintahan, serta perseteruan antar institusi yang tidak pernah
terselesaikan dengan tuntas.
Sebagai
tradisi baru pergantian rezim pemerintahan yang di mulai pada era Susilo
Bambang Yudoyono (SBY)-Boediono ke Jokowi-Jusuf Kalla walaupun masih diselimuti
“warisan ranjau politik” patut dimaknai lahirnya “Tonggak Sejarah Baru” suksesi
kepemimpinan nasional yang perlu ditradisikan pada pemerintahan berikutnya.
Yang tidak perlu ditradisikan ialah mewariskan ranjau politik agar negeri ini
terhindar dari kisruh, gaduh, dan prahara politik menguras energi bangsa
terbuang sia-sia.
Presiden
Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla perlu kiranya lima tahun ke depan
mempersiapkan susksesi nasional atau pergantian rezim pemerintahan yang lancar,
mulus, dan damai, tanpa mewariskan ranjau politik kepada pemerintahan
selanjutnya.
Kisruh,
gaduh, prahara politik yang terjadi di awal-awal pemerintahan Jokowi-Jusuf
Kalla harus dijadikan pelajaran berharga, dan tak akan terulang kembali di masa
akan datang agar benar-benar seperti pernyataan Jokowi, bahwa pemilihan umum
adalah pesta dan kegembiraan rakyat, bukan menimbulkan ketakuatan.
Medan,
09 Maret 2015
Thomson
Hutasoit.
(Penulis:
Alumni Pemantapan Nilai-nilai Kebangsaan Lemhannas RI bagi kalangan Akademisi,
Birokrasi, Tokoh Agama, Tokoh Adat, Tokoh Masyarakat, Tokoh Pemuda, di Provinsi
Sumatera Utara, Tahun 2014) tinggal di Medan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.