Kepastian Hukum
0leh: Thomson Hutasoit
Direktur Eksekutif LSM Kajian Transparansi Kinerja
Instansi Publik (ATRAKTIP)
Diskusi paling klasik baik
formal maupun informal ialah seputar membangun kepastian hukum dalam berbangsa
dan bernegara. Tetapi, pada tataran empirik masalah kepastian hukum terkadang
menimbulkan multitafsir serta ambivalensi ketika diperhadapkan pada pergesekan
kepentingan individu, institusi dan lain sebagainya. Kepastian hukum menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2007) ialah perangkat hukum suatu negara
yang mampu menjamin hak dan kewajiban setiap warga negara. Artinya, kepastian
perangkat hukum suatu negara yang menjamin hak dan kewajiban setiap warga
negara tidak boleh ditafsirkan atas kepentingan apapun. Sebab, apabila perangkat
hukum negara diinterpretasikan dari sudut pandang norma-norma lain, seperti
norma agama, norma sopan santun, norma sosial dan lain-lain justru kepastian
hukum tak akan pernah terwujud.
Norma
hukum bersifat memaksa harus pula disadari adalah salah satu norma paling mampu menjamin kepastian hak dan
kewajiban setiap warga negara secara universal disertai sanksi-sanksi riil atas
pelanggaran antar individu, antar lembaga hingga dikenal adagium hukum “tak
seorang pun boleh di hukum bila hukum tidak mengaturnya”. Harus pula disadari,
bahwa ketidakmampuan norma agama, norma sopan santun, norma susila, norma
sosial, dan norma lainnya memberikan sanksi tegas dan langsung terhadap pelanggaran
norma-norma itulah alasan paling fundamental lahirnya norma hukum bersifat
memaksa disertai sanksi langsung terhadap pelanggarnya supaya terjamin hak dan
kewajiban setiap warga negara tanpa kecuali dalam berbangsa dan bernegara.
Salah
satu ancaman paling laten terhadap upaya membangun kepastian hukum ialah
munculnya multitafsir dan pasal-pasal karet dari suatu produk hukum itu
sendiri. Produk-produk hukum yang seharusnya memberi kepastian hukum terhadap
setiap warga negara justru sebaliknya melahirkan ketidakpastian hukum yang pada
ujung-ujungnya menimbulkan prahara hukum serta debat kusir tak karuan
sebagaimana terjadi pada kisruh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) versus
Kepolisian Negara Republik Indonesia belakangan ini. Seandainya, ruang
multitafsir dan pasal-pasal karet tidak menyelimuti berbagai produk hukum di
republik ini maka kisruh hukum tidak akan timbul bagaikan belantara tak
berujung yang menguras energi bangsa terbuang sia-sia.
Sebagai
negara hukum polemik, kisruh, perseteruan antar lembaga penegak hukum tentu
merupakan hal paling memalukan dan mengecewakan. Betapa tidak, lembaga penegak
hukum yang didalamnya bertumpuk ahli-ahli hukum berkaliber sejagat sungguh
sangat tak masuk akal berseteru satu sama lain dalam menjalankan penegakan
hukum yang baik dan benar. Walau masing-masing pihak berupaya mendasarkan diri
pada argumentasi-argumentasi dalil-dalil
hukum super canggih bila produk hukum tidak diselimuti multitafsir serta
pasal-pasal karet maka publik akan sangat mudah melihat siapakah yang berupaya
melakukan pembelokan, pembelotan, penyelundupan hukum secara telanjang.
Tetapi,
karena produk-produk hukum di negeri ini masih dijejali dalil-dalil sumir, multitafsir,
pasal-pasal karet yang tidak pernah disadari atau mungkin juga disengaja oleh
pembuat undang-undang dilatari “perselingkuhan, persekongkolan, persubahatan” berkelindan
kepentingan pihak tertentu menjadikan banyak produk peraturan perundang-undangan
tidak menggambarkan kepastian hukum sejati. Hal itu bisa dibuktikan dengan
banyaknya produk hukum di republik ini diajukan peninjauan materi (yudicial
review) ke Mahkamah Agung (MA) maupun ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dan paling tak masuk akal ialah apabila
lembaga-lembaga penegak hukum terjebak ke pusaran “politisasi hukum” dan
kepentingan pelanggengan penguasa dan kekuasaan.
Sekalipun
pun hukum lahir dari proses politik, tetapi ketika produk hukum itu telah
diputuskan/ditetapkan sebagai peraturan perundang-undangan yang absah maka
setiap warga negara harus tunduk, patuh, menghormati dan menjunjung tinggi
sebagai perangkat hukum negara mengikat untuk menjamin hak dan kewajiban setiap
warga negara, tanpa kecuali. Karena itu, seluruh produk perundang-undangan
tidak boleh sekali-sekali didasarkan atas boncengan kepentingan sektoral apalagi
mendiskriminasi yang ujung-ujungnya menimbulkan ketidakadilan dalam berbangsa
dan bernegara.
Perdebatan
akademis, mendengar aspirasi publik (public
hearing) seharusnya telah selesai
ketika suatu produk hukum disetujui, diputuskan dan ditetapkan serta
diundangkan di dalam Lembaran Negara (LN) resmi. Selanjutnya, di dalam
implementasinya tak terlalu diperlukan lagi berbagai tafsir-tafsir hukum
aneh-aneh ataupun perdebatan yang menimbulkan kebingungan di ruang publik.
Oleh
karena itulah para pembuat peraturan perundang-undangan yakni Dewan Perwakilan Rakyat(DPR), Dewan
Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, Kabupaten/Kota serta eksekutif (presiden,
gubernur, bupati/walikota) tidak boleh sekali-sekali “kejar paket, kejar
target, kejar tayang” dalam melahirkan peraturan perundang-undangan sekadar
mencapai atau memenuhi kewajiban konstitusional tanpa mempertimbangkan kualitas
produk perundang-undangan yang ditelorkan.
Kekeliruan
bahkan sesat pikir para pembuat undang-undang ialah mengklaim diri telah
berhasil kinerjanya bila mampu melahirkan berbagai produk perundang-undangan
walaupun tak berkualitas adalah sebuah fenomena yang amat sangat mengecewakan
dan memprihatinkan belakangan ini. Padahal, capaian keberhasilan kinerja pembuat
peraturan perundang-undangan sesungguhnya bukanlah terletak pada seberapa banyak
(kuantitas) produk hukum yang dilahirkan, tetapi seberapa berkualitas produk
perundang-undangan yang dikeluarkan untuk menjamin kepastian hukum dalam
berbangsa dan bernegara.
Pembuat
undang-undang seharusnya malu terhadap rakyat jika berbagai peraturan
perundang-undangan mendapat penolakan publik kemudian diajukan peninjauan materi
ke Mahkamah Agung (MA) maupun Mahkamah Konstitusi (MK) yang notabene menghabiskan uang rakyat. Berbagai
produk peraturan perundang-undangan yang tidak secara nyata-nyata untuk
melindungi kepentingan rakyat kerap menjadi prioritas program legislasi,
sementara peraturan perundang-undangan untuk melindungi kepentingan rakyat tak
kunjung lahir, seperti; peraturan perundang-undangan tentang masyarakat hukum
adat supaya masyarakat hukum adat tuan di tanah leluhurnya. Permasalahan hak
masyarakat hukum adat yang telah memakan korban, baik harta maupun nyawa hingga
kini masih belum menjadi prioritas legislasi nasional. Padahal, persoalan atau
kasus-kasus masyarakat hukum adat di hampir seluruh daerah di republik ini
telah berlangsung puluhan tahun tanpa penyelesaian tuntas.
Jangan
salahkan sinisme masyarakat bila sampai pada konklusi, bahwa pembuat
undang-undang telah menjadikan program legislasi nasional (Prolegnas) salah
satu bancakan untuk “menggerogoti keuangan Negara”. Sebab, fakta membuktikan
banyak produk perundang-undangan diajukan untuk dibatalkan melalui judicial reiew, ke Mahkamah Agung (MA) maupun ke Mahkamah
Konstitusi (MK) karena tidak sinkron dengan undang-undang diatasnya.
Sungguh
sangat kontraproduktif, ambivalen dan ambigu cita-cita membangun kepastian
hukum justru dikotori pertarungan tarik-menarik kepentingan sektoral lembaga
penegakan hukum sebagaimana perseteruan-perseteruan yang terjadi selama ini. Perseteruan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) versus Kepolisian Negara Republik Indonesia
yang “dibranding” Cicak vs Buaya, Perseteruan Kejaksaan Agung Republik
Indonesia versus Kepolisian Negara Republik Indonesia, bahkan perseteruan Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia versus Kejaksaan Agung Republik Indonesia
yang dilabeli “Ustadz di kampung maling” menjadi menu tontonan publik tak
bermutu disebabkan egoisme sektoral belaka.
Rakyat
semakin bingung menonton drama perseteruan antar lembaga penegak hukum apalagi
diseret-seret ke ranah politik ataupun opini publik menimbulkan kegaduhan, kekisruhan luar biasa
di negeri ini.
Roscoe
Pound mengatakan, Hukum adalah sekumpulan penuntun yang berwibawa atau
dasar-dasar ketetapan yang dikembangkan dan ditetapkan oleh suatu teknik yang
berwenang atas latar belakang cita-cita tentang ketertiban masyarakat dan hukum
yang sudah diterima (Sudarsono, 2007;167).
Sebagai
penuntun berwibawa atau dasar-dasar ketetapan yang mengatur ketertiban masyarakat
atau hukum tentu haruslah sebuah produk hukum yang terang-benderang, jelas dan
tegas bukan produk-produk hukum multitafsir serta pasal-pasal karet yang
memberi peluang aneka interpretasi menimbulkan ketidakpastian hukum.
Pembuat
undang-undang seharusnya menyadari, bahwa produk hukum multitafsir dan
pasal-pasal karet yang tidak mustahil semata-mata mengakomodasi kepentingan
terselubung pihak tertentu pada suatu ketika akan menjadi “bom waktu” timbulnya
prahara hukum di kemudian hari. Oleh karena itu, pembuat undang-undang tidak
boleh sekali-sekali terjebak pada boncengan kepentingan ataupun atas order
pihak-pihak tertentu dalam melahirkan produk peraturan perundang-undangan.
Ancaman Kepastian Hukum.
Jika
diperhatikan cermat dan seksama ada beberapa faktor yang mempengaruhi sulitnya
membangun kepastian hukum di negeri ini, antara lain;
Pertama, Produk hukum yang tidak
tegas dan jelas membuka peluang multitafsir dalam ranah implementasi. Hal itu
bisa dilihat dari berbagai produk peraturan perundang-undangan yang masih
menggunakan pasal-pasal karet dan multitafsir. Ketidaktegasan, ketidakjelasan
peraturan perundang-undangan membuka aneka interprestasi atau tafsir-tafsir hukum
ketika terjadi peristiwa hukum ditengah
kehidupan berbangsa dan bernegara. Padahal, kepastian hukum hanya bisa terwujud
apabila produk hukum benar-benar penuntun berwibawa yang harus dipatuhi, dijunjung
tinggi seluruh warga negara, tanpa kecuali. Bukankah hal itu sudah diatur
secara tegas dan jelas pada pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945 ? Tetapi, justru banyak ditemukan produk peraturan
perundang-undangan mendegradasi, menegasi serta menyimpang dari konstitusi atau
peraturan perundang-undangan diatasnya.
Kedua, Politisasi
hukum yakni menarik-narik permasalahan hukum ke ranah politik. Memang harus
diakui, bahwa hukum atau peraturan perundang-undangan lahir dari suatu proses
politik, tetapi ketika peraturan perundang-undangan itu telah diputuskan/ditetapkan
menjadi suatu peraturan perundang-undangan resmi dan absah serta diundangkan di
dalam Lembaran Negara (LN) resmi maka setiap warga negara harus tunduk, patuh, menghormati
dan menjunjung tinggi, tanpa kecuali. Siapapun, termasuk pembuat undang-undang
itu sendiri harus tunduk dan taat terhadap undang-undang sebagai penuntun dan
pedoman dalam berbangsa dan bernegara. Politisasi terhadap hukum harus pula
dimaknai ancaman nyata dan laten dalam upaya membangun kepastian hukum. Segala
bentuk intervensi dari pilar-pilar kekuasaan menjadi penyebab pertama dan utama
kegagalan membangun kepastian hukum di negeri ini.
Ketiga, Tekanan massa (unjuk rasa,
demonstrasi-red) yaitu pemaksaan kehendak dengan gelombang unjuk rasa atau
demonstrasi. Pasca reformasi, fenomena unjuk rasa atau demonstrasi sepertinya
dianggap salah satu cara paling ampuh untuk memaksa institusi atau lembaga
penyelenggara negara.
Parlemen
jalanan secara obyektif harus diakui merupakan akibat tersumbatnya saluran
aspirasi rakyat yang seharusnya dijalankan institusi-institusi negara. Namun
demikian, tidak mustahil juga gelombang unjuk rasa atau demonstrasi telah
terjebak pada kepentingan subyektif hingga muncul kelompok pro dan kelompok
kontra atas terjadinya peristiwa hukum. Misalnya, kisruh Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) versus Kepolisian Negara Republik Indonesia belakangan ini
menimbulkan unjuk rasa atau demonstrasi pro dan kontra terhadap kedua institusi
penegak hukum itu. Masing-masing
kelompok unjuk rasa atau demonstrasi memaksakan kehendak dengan berbagai
argumentasi hukum, etika, norma, bahkan tidak mustahil atas fanatisme ego
sektoral institusi atau lembaga. Harus disadari, bahwa bila hukum tunduk atau
kalah atas tekanan unjuk rasa atau demonstrasi maka hingga kapan pun kepastian
hukum tidak akan pernah terwujud di negeri ini.
Fenomena
maraknya gelombang unjuk rasa atau demonstrasi pasca reformasi menjadikan
republik ini tiada hari tanpa unjuk rasa atau demonstrasi harus pula disiasati
cermat dan cerdas dalam upaya membangun kepastian hukum. Sebab, tidak mustahil
gelombang unjuk rasa atau demonstrasi dilatari kepentingan subyektivitas pihak
tertentu belaka.
Keempat, Vonis di luar
pengadilan yakni pelekatan predikat bersalah (terpidana) terhadap seseorang
walaupun belum ada keputusan pengadilan berkekuatan hukum tetap atas dugaan pelanggaran tindak pidana.
Bukankah yang berhak secara konstitusi memutuskan dan/atau menetapkan seseorang
melanggar hukum adalah hak mutlak absolut hakim atau pengadilan ? Akan tetapi
belakangan ini kerap terjadi vonis bersalah
diluar pengadilan negara resmi.
Padahal, republik ini selalu lantang mengatakan menjunjung tingga prinsip
“Praduga tak bersalah (precumption of
ennocence)” yang menjamin tak seorang pun divonis bersalah sebelum
keputusan dan/atau penetapan pengadilan negara resmi.
Azas
Praduga tak bersalah adalah jaminan kepastian hukum sejati yang menjamin tak
seorang pun bisa divonis terpidana, kecuali keputusan dan/atau ketetapan
pengadilan negara berkekuatan hukum tetap. Apakah masih ada kepastian hukum
jika seseorang diberi label “Terpidana” hanya berdasarkan opini publik ?. Bila
opini publik bisa memutuskan dan/atau menetapkan seseorang menjadi terpidana
untuk apa masih dipertahankan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Mahkamah
Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK) dan pengadilan lainnya di negeri ini.
Kelima, Intervensi kekuasaan yakni
tekanan kekuasaan terhadap proses hukum yang sedang berlangsung. Berbagai opini
masyarakat yang mendesak Presiden Jokowi agar menggunakan hak konstitusionalnya
untuk menghentikan proses hukum terkait kisruh Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) versus Kepolisian Negara Republik Indonesia belakangan ini adalah salah
satu bukti faktual. Padahal, Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla
telah tegas menyatakan sikapnya, bahwa proses hukum atas kasus ini harus
dilakukan transparan, terbuka, obyektif tanpa intervensi dari pihak manapun. Sikap
tegas Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla tak mau mengintervensi
proses hukum yang sedang berlangsung harus pula dimaknai upaya konkrit
membangun kepastian hukum. Sebab kepastian hukum hanya bisa terwujud tanpa
intervensi dari pihak manapun.
Segala
bentuk intervensi, baik domestik maupun luar negeri terhadap putusan pengadilan
berkekuatan hukum tetap harus pula dimaknai ancaman laten kepastian hukum di
republik ini. Kepastian hukum hanya bisa terwujud apabila setiap orang patuh,
tunduk, menghormati, menjunjung tinggi putusan hukum pengadilan berkekuatan
hukum tetap. Bila putusan hukum tunduk pada intervensi kekuasaan dan
kepentingan politik maka sampai kapan pun kepastian hukum tak akan pernah
terwujud di negeri ini.
Keenam, Peradilan bersih, mandiri
dan berwibawa yakni suatu proses peradilan jujur, terbuka, transparan, mandiri
tanpa terpengaruh anasir apapun. Kemandirin dan kewibawaan lembaga peradilan
tentu haruslah diisi oleh para hakim yang bersih, berintegritas, kapabel, kredibel
yang dibuktikan putusan-putusan hukum yang dijatuhkan. Sebagai wakil “Tuhan”
hakim tentu haruslah bertanggungjawab atas putusannya demi kebenaran dan
keadilan hukum, moral dan kepada Tuhan Yang Mahaesa. Karena itu, hakim harus
mandiri dan berwibawa menjatuhkan putusan yang mencerminkan kebenaran dan
keadilan universal.
Seorang
hakim tidak boleh sekali-sekali terpengaruh atas godaan, pengaruh pihak mana
pun juga, sebab kewibawaan lembaga peradilan tercermin dari putusan yang
mengandung kebenaran dan keadilan publik itu sendiri. Jika putusan pengadilan
telah mampu mencerminkan kebenaran dan keadilan maka upaya-upaya hukum seperti;
naik banding, kasasi maupun peninjauan kembali (PK) akan bisa diminimalisasi
sehingga tumpukan kasus-kasus di Mahkamah Agung (MA) akan bisa ditekan.
Sungguh
sangat menyedihkan sekaligus mengecewakan apabila putusan pengadilan
berkekuatan hukum tetap tidak kunjung dieksekusi, termasuk putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) yang bersifat tetap hingga timbul ketidakpastian hukum ditengah-tengah
masyarakat, bangsa maupun negara. Misalnya, Putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 45/PUU-IX/2011 tertanggal 21 Pebruari 2012
tentang penghunjukan kawasan hutan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap alias
membatalkan SK Menhut No. 44 tahun 2005 tentang penghunjukan kawasan hutan di Provinsi
Sumatera Utara” belum secara tegas dan nyata-nyata mengembalikan hak masyarakat
adat di Provinsi Sumatera Utara. Masyarakat hukum adat belum memperoleh
kepastian hukum tentang hak-haknya sehingga sampai saat ini masih berjuang
untuk mencari kebenaran dan keadilan ke berbagai lembaga negara, termasuk DPRD
Kabupaten/Kota, DPRD Provinsi, DPR RI maupun ke instansi terkait.
Masyarakat hukum adat Desa
Pandumaan-Sipituhuta, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan yang
telah bertahun-tahun berjuang untuk mengembalikan hak turun-temurunnya hingga
kini belum berhasil, padahal Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 45/PUU-IX/2011
sudah keluar tiga(3) tahun silam.
Inilah salah satu potret buram kepastian hukum
di republik ini yang turut mendegradasikan wibawa lembaga hukum di mata
masyarakat. Hal ini tentu harus menjadi perhatian serius dari pemerintahan
Jokowi-Jusuf Kalla yang ingin mewujudkan kepastian hukum di negeri ini.
Kepastian hukum sejatinya tercermin dari
eksekusi putusan pengadilan berkekuatan tetap, bukan berbagai putusan “mancan
ompong” yang tak kunjung dieksekusi.
Oleh karena itu, jika pemerintahan Jokowi-Jusuf
Kalla berkeinginan kuat untuk mewujudkan kepastian hukum di republik ini maka
Presiden Jokowi-Wakil Presiden Jusuf Kalla harus memastikan dan mengawasi
secara langsung eksekusi putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, bukan
hanya sekadar wacana maupun retorika sebagaimana pemerintahan-pemerintahan
sebelumnya.
Presiden dan wakil presiden bukan dimaksudkan
mengintervensi proses peradilan, tetapi mendorong pelaksanaan eksekusi putusan
pengadilan berkekuatan hukum tetap supaya kepastian hukum di negeri ini
benar-benar terlaksana secara nyata. Putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap
dalam bentuk apapun harus segera dieksekusi, tanpa terpengaruh intervensi dari
pihak manapun sebab Indonesia adalah negara berdaulat yang tak boleh
sekali-sekali tunduk kepada pihak lain.
Negara Republik Indonesia adalah negara hukum
maka segala kebijakan negara atau pemerintahan harus dilandaskan pada
konstitusi serta peraturan perundang-undangan yang berlaku secara tegas dan
pasti untuk menjamin kepastian hukum terhadap setiap warga negara, tanpa
kecuali, termasuk pihak asing di negeri ini. Siapapun, lembaga apapun,
perusahaan apapun yang berada di republik ini harus tunduk dan patuh terhadap
hukum Indonesia. Ini adalah harga mati demi menjaga harkat, martabat, jati diri
dan kewibawaan republik ini di mata internasional.
Medan,
9 Maret 2015
Thomson
Hutasoit.
(Alumni
Pemantapan Nilai-nilai Kebangsaan Lemhannas RI bagi kalangan Akademisi,
Birokrasi, Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat, Tokoh Adat, Tokoh Pemuda di Provinsi
Sumatera Utara, tahun 2014).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.