Sekum
Punguan Borsak Bimbinan Hutasoit, Boru, Bere Kota Medan Sekitanya:
Pemkab
Sekitar Danau Toba Segera Bentuk Perda Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat
Mendukung Geopark Kaldera Danau Toba.
Medan,
Sekretaris Umum Punguan Borsak
Bimbinan Hutasoit, Boru, Bere Kota Medan Sekitarnya Drs. Thomson Hutasoit
mengatakan, untuk mendukung dan mensukseskan pengajuan Geopark Nasional Kaldera
Toba menjadi Taman Bumi Dunia UNESCO yang saat ini sedang dalam proses
“Pemerintah Kabupaten di sekitar Danau Toba yakni; Kabupaten Tapanuli Utara,
Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Toba Samosir (Tobasa), Kabupaten
Samosir, Kabupaten Simalungun, Kabupaten Karo, Kabupaten Dairi, Kabupaten
Pakpak Bharat harus segera membentuk/menerbitkan peraturan daerah (Perda) untuk
melindungi hak masyarakat hukum adat agar seluruh keunggulan spesifik kearifan
lokal terlindungi maksimal selaku calon Taman Bumi Dunia UNESCO di masa akan datang”. Hal itu, dikatakannya kepada wartawan
menyikapi berbagai pemberitaan tentang Geopark Nasional Kaldera Toba menuju Taman Bumi Dunia UNESCO belakangan ini yang
diprakarsai RE Foundation, hari Rabu (11/3) di Medan.
Thomson Hutasoit yang juga Direktur
Eksekutif Lembaga Swadaya Masyarakat Kajian Transparansi Kinerja Instansi
Publik (LSM ATRAKTIP) lebih lanjut mengatakan, “Selain keindahan panorama Danau
Toba sebagai tujuan wisata, daerah Kaldera Toba juga merupakan pusat peradaban
bangso Batak yakni; Batak Toba, Batak Simalungun, Batak Karo, Batak Pakpak yang
memiliki kultur budaya, adat-istiadat serta kearifan lokal warisan leluhur yang
masih diakui, dilestarikan dan dijunjung tinggi hingga saat ini”, pungkasnya.
Kultur budaya, adat-istiadat,
kearifan lokal serta situs-situs sejarah warisan leluhur bangso Batak di
sekitar Kaldera Toba adalah salah satu hal paling esensial, fundamental yang
perlu mendapat perlindungan maksimal dari pemerintah daerah di sekitar Danau
Toba. Sebab tujuan hakiki menjadikan Geopark Nasional Kaldera Toba Taman Bumi
Dunia UNESCO bukan saja hanya terbatas di sektor pariwisata, tetapi lebih luas
dari situ ialah mengangkat dan/atau menggali berbagai keunggulan spesifik yang
berguna dan bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik masyarakat sekitar Kaldera
Toba, Provinsi Sumatera Utara, Nasional maupun internasional.
Salah
satu contoh konkrit ialah bagaimana masyarakat sekitar Kaldera Toba
mempertahankan sistem kekeluargaan, kekerabatan puluhan generasi dengan
falsafah Dalihan Na Tolu yakni; somba marhula-hula, manat mardongan tubu, elek
marboru hingga kini masih dipertahankan
dan dilestarikan, termasuk di seluruh daerah diasporanya. Demikian juga
kearifan lokal menjaga, melestarikan lingkungan hidup, dan lain sebagainya.
Pemerintah daerah sekitar Kaldera
Toba harus menyadari, bahwa kultur budaya, adat-istiadat, kearifan lokal, serta
tumbuh-tumbuhan spesifik seperti; kemenyaan (haminjon), andaliman, hau ingul
maupun tumbuhan obat-obatan lain yang hanya tumbuh di sekitar Kaldera Toba
adalah aset paling berharga yang perlu dilindungi melalui peraturan daerah
(Perda) agar tidak hilang atau punah akibat lindasan kemajuan jaman maupun
investasi serampangan di daerah sekitar Danau Toba.
Kita melihat, bahwa pemerintah
kabupaten di sekitar Kaldera Toba (Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Humbang
Hasundutan, Kabupaten Toba Samosir (Tobasa), Kabupaten Samosir, Kabupaten
Simalungun, Kabupaten Karo, Kabupaten Dairi, Kabupaten Pakpak Bharat) yang notabene merupakan masyarakat hukum adat
belum satu daerah pun menerbitkan peraturan daerah (Perda) perlindungan hak
masyarakat hukum adat.
Padahal,
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2004 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang,
pada pasal 4 ayat (3) Penguasaan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat
hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta
tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Kemudian pasal 5 ayat (3)
Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum
adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya. Ayat (4) Apabila
dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi,
maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada Pemerintah. Selanjutnya, pasal
17 ayat (2) Pembentukan wilayah pengelolaan hutan tingkat unit pengelolaan
dilaksanakan dengan mempertimbangkan karakteristik lahan, tipe hutan, fungsi huta,
kondisi daerah aliran sungai, sosial budaya, ekonomi, kelembagaan masyarakat
setempat termasuk masyarakat hukum adat dan batas administrasi Pemerintahan. Pasal
67 ayat (1) Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan
diakui keberadaannya berhak: (a) melakukan pemungutan hasil hutan untuk
pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan; (b)
melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan
tidak bertentangan dengan undang-undang; (c) mendapatkan pemberdayaan dalam
rangka meningkatkan kesejahteraannya. Ayat (2) Pengukuhan keberadaan dan
hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dengan Peraturan Daerah; ayat (3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ini kan perintah undang-undang, tapi
mengapa sampai saat ini tidak satu pun pemerintah daerah di sekitar Kaldera
Toba menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) Perlindungan Hak Masyarakat Hukum
Adat, tanya Thomson Hutasoit pemerhati Masyarakat Hukum Adat Desa
Pandumaan-Sipituhuta, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan dengan
nada kesal.
Bukankah,
pemerintah daerah di sekitar Danau Toba “bangga” menyebut dirinya daerah hukum
adat ? Tapi mengapa tak pernah berpikir untuk melahirkan Peraturan Daerah
(Perda) sebagaimana diamanahkan pasal 67 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 tahun
1999 tentang Kehutanan yang kemudian ditinjau Undang-Undang Republik Indonesia
No 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang hingga saat ini. Padahal, berbagai
tuntutan masyarakat hukum adat memperjuangkan hak turun-temurunnya (hak tanah
ulayat-red) termasuk hutan masyarakat hukum adat tidak pernah mendapat respons
positif dari pemerintah daerah (Eksekutif, DPRD) melalui penerbitan peraturan
daerah (Perda) sesuai perintah undang-undang.
Karena itu, menurut pandangan kita
jika pemerintah daerah (Pemda) di sekitar Kaldera Toba benar-benar mendukung
maksimal keberhasilan Geopark Nasional Kaldera Toba menjadi Taman Bumi Dunia
UNESCO harus segera membuat Peraturan Daerah (Perda) Perlindungan Masyarakat
Hukum Adat agar masyarakat sekitar Kaldera Toba benar-benar tuan di tanah
leluhurnya. Tanpa itu, Geopark Kaldera Toba Taman Bumi Dunia UNESCO tidak
membawa manfaat nyata bagi masyarakat sekitar Danau Toba, urai putera Humbang
Hasundutan ini mengingatkan.
Selaku putera Bona Pasogit (Humbang
Hasundutan-red) kita sangat mendukung prakarsa RE Foundation yang dimotori
Tokoh Masyarakat Sumatera Utara Dr. RE. Nainggolan, MM mantan Bupati Tapanuli
Utara, Sekretaris Daerah Provinsi Sumatera Utara, juga Drs.S.I.S Sihotang MM
Wakil Ketua Forum Pelestarian Budaya Provinsi Sumatera Utara mantan Bupati
Dairi beserta penggiat Geopark Danau Toba lainnya selama ini.
Kita
sangat setuju dan mendukung niat tulus semua pihak yang peduli dengan Geopark
Kaldera Toba sembari mengetuk hati sanubari pemangku amanah Pemerintahan Daerah
(Pemda) di sekitar Danau Toba supaya segera melahirkan Peraturan Daerah (Perda)
Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat serta pengukuhan dan pemastian daerah
sekitar Danau Toba masih nyata-nyata masyarakat hukum adat.
Para
Bupati/Wakil Bupati, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di Kabupaten
Tapanuli Utara, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Toba Samosir (Tobasa),
Kabupaten Samosir, Kabupaten Simalungun, Kabupaten Karo, Kabupaten Dairi,
Kabupaten Pakpak Bharat sudah saatnya berkoordinasi serta bekerjasama untuk
mendukung suksesnya Geopark Nasional Kaldera Toba menjadi Taman Bumi Dunia
UNESCO melalui langkah-langkah konkrit, termasuk percepatan penerbitan
peraturan daerah (Perda) perlindungan hak masyarakat hukum adat.
Kita berkeyakinan, jika Geopark
Nasional Kaldera Toba benar-benar menjadi Taman Bumi Dunia UNESCO akan
mengangkat harkat dan martabat Batak mendunia sekaligus mendatangkan berbagai
kemajuan dan kesejahteraan bagi masyarakat sekitar Danau Toba, Provinsi
Sumatera Utara maupun bagi bangsa Indonesia di masa akan datang.
Sungguh
sangat sedih dan memprihatinkan predikat peta kemiskinan yang melekat pada Bona
Pasogit hingga di usia 70 tahun kemerdekaan republik ini patutlah menjadi
perhatian dan permenungan seluruh putera-puteri Bona Pasogit dimanapun berada.
Oleh sebab itu, kita sangat berharap kepada seluruh stakeholders Kaldera Toba untuk saling bahu-membahu, topang-menopang,
dukung-mendukung mengangkat Bona Pasogit Batak ke fora internasional agar peta kemiskinan berubah
menjadi Bona Pasogit Sejahtera, dambaan, impian seluruh umat manusia, harapnya
mengakhiri kepada wartawan.
Medan,
11 Maret 2015
Drs.
Thomson Hutasoit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.