Langkah Konkrit fundamental Sukseskan Kaldera Toba
Oleh: Thomson Hutasoit
Direktur Eksekutif LSM Kajian Transparansi Kinerja
Instansi Publik (ATRAKTIP)
Niat tulus RE Foundation yang
dimotori tokoh masyarakat Sumatera Utara Dr. RE. Nainggolan MM mantan bupati
Taput, Sekda Provinsi Sumatera Utara beserta seluruh penggiat Danau Toba haruslah
mendapat respons positif dari pemerintah, pemerintah daerah Sumatera Utara,
terutama pemerintah kabupaten Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Toba Samosir,
Samosir, Simalungun, Karo, Dairi, Pakpak Bharat serta seluruh masyarakat di
sekitar Kaldera Toba.
Sebagai gagasan besar, cerdas dan
jenial pengajuan Geopark Nasional Kaldera Toba menjadi Taman Bumi Dunia UNESCO
seluruh pihak sehausnya menyadari, bahwa gagasan ini ialah sebuah langkah
konkrit menggali, melestarikan serta mengembangkan seluruh potensi di sekitar
Kaldera Toba benar-benar berguna dan bermanfaat nyata bagi kehidupan
masyarakat, bangsa maupun negara di masa akan datang.
Pemerintah kabupaten sekitar Danau
Toba harus pula menyadari komprehensif paripurna, bahwa ketertinggalan kemajuan
pembangunan di bona pasogit Batak (kaldera toba-red) adalah akibat kekeliruan
sudut pandang serta kealpaan menggali dan mengembangkan potensi spesifik di
sekitar Kaldera Toba. Bukti kekeliruan itu ialah minimnya perhatian pemerintah
daerah Sumatera Utara serta pemerintah daerah sekitar Kaldera Toba menjadikan
Danau Toba skala prioritas tujuan wisata selama ini.
Padahal, Danau Toba adalah danau terbesar
ketiga di dunia, bahkan danau vulkanik terbesar di atas jagat raya memiliki
keindahan panorama sangat luar biasa yang dianugerahkan Tuhan Yang Mahaesa bagi
bangsa ini. Danau Toba tak pernah dipandang sebagai aset besar mendatangkan
kemakmuran dan kesejahteraan bagi masyarakat sekitar maupun pemerintah Sumatera
Utara hingga tidak dijadikan skala perioritas kebijakan pembangunan dari waktu
ke waktu.
Malah
Danau Toba terkesan dijadikan “sapi perah” sumber pendapatan asli daerah (PAD)
baik bagi pemerintah daerah (Pemda) sekitar Danau Toba maupun Provinsi Sumatera
Utara melalui annual fee, retribusi
air ABT/APU, CD, CSR tanpa memberi perhatian serius pembangunan infrastruktur
memadai di sekitar Kaldera Toba.
Potensi
besar Kaldera Toba hingga kini masih sekadar potensi belaka sebab belum
mendapat perhatian serius dari pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah
kabupaten dalam arah kebijakan pembangunan. Akibatnya, daerah sekitar Kaldera
Toba masih menyandang predikat “peta kemiskinan” di usia republik ke 70 tahun.
Hal
itu seharusnya menggugah kesadaran seluruh stakeholders
Kaldera Toba mendukung serta memberhasilkan pengajuan Geopark Nasional Kaldera
Toba menjadi Taman Bumi Dunia UNESCO agar percepatan pembangunan di segala lini
di sekitar Kaldera Toba dapat didorong dan diefektifkan mewujudkan kemakmuran, kesejahteraan masyarakt sekitar, bahkan bangsa
Indonesia.
Untuk
itu, ada beberapa hal esensial, fundamental yang harus dilakukan sebagai
langkah konkrit menyukseskan Kaldera Toba Taman Bumi Dunia UNESCO antara lain:
Menjadikan Kaldera Toba Skala Prioritas
Pembangunan.
Salah
satu langkah paling dasar mendukung kesuksesan Geopark Nasional Kaldera Toba ialah
menjadikan Geopark Kaldera Toba skala perioritas arah kebijakan pembangunan
provinsi Sumatera Utara, seluruh kabupaten/kota berakses langsung ke Danau Toba.
Skala
perioritas itu tercermin dalam politik anggaran pendapatan dan belanja daerah
(APBD) provinsi Sumatera Utara maupun APBD kabupaten/kota daerah sekitar
Kaldera Toba.
Jika
pemerintah Provinsi Sumatera Utara, pemerintah kabupaten/kota berakses langsung
menjadikan Danau Toba skala prioritas maka pembangunan infrastruktur di sekitar
Kaldera Toba tercermin pada rencana pembangunan jangka panjang (RPJMP) daerah,
rencana pembangunan jangka menengah (RPJPM) daerah yang dijabarankan terang-benderang dalam anggaran pembangunan
dan belanja daerah (APBD) provinsi maupun kabupaten/kota.
Selain
daripada itu, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota sekitar Kaldera
Toba dengan anggota DPR RI, DPD RI daerah pemilihan Sumatera Utara secara bersama-sama berupaya keras
memperjuangkan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) untuk percepatan
pembangunan infrastruktur di sekitar Kaldera Toba. Sebab hanya mengandalkan
kemampuan APBD Provinsi maupun APBD Kabupaten/kota adalah suatu kemustahilan
belaka.
Pemerintah
daerah Sumatera Utara dan DPR RI, DPD RI seharusnya tak akan henti-henti
memperjuangkan dana bagi hasil (DBH) badan usaha milik negara (BUMN) yang
beroperasi di Sumatera Utara kepada pemerintah pusat. Sebab, sungguh tak masuk
akal jika provinsi Sumatera Utara dijadikan “koloni” serta penampung limbah
perusahaan-perusahaan besar di daerah ini.
Kerusakan
infrastruktur, polusi serta dampak sosial tidaklah cukup dikompensasi hanya
melalui annual fee, CD, CSR
perusahaan-perusahaan tersebut.
Berbagai
kerusakan lingkungan, dampak adat budaya, perampasan hak tradisional serta
dampak sosial lainnya harus menjadi landasan dasar arah kebijakan pembangunan
Geopark Kaldera Toba.
Sekalipun
investasi sangat dibutuhkan untuk mendorong percepatan kemajuan pembangunan di
sekitar Kaldera Toba tetapi harus tetap mempertimbangkan dampak yang
ditimbulkan tehadap masyarakat sekitar.
Melindungi Hak Masyarakat Hukum Adat.
Daerah Kaldera Toba adalah daerah
asal-usul (bona pasogit-red) serta pusat peradaban Bangso Batak yakni; Batak
Toba, Simalungun, Karo, Pakpak sehingga Kaldera Toba harus dimaknai salah satu situs
sejarah peradaban manusia di atas planet ini yang tidak boleh sekali-sekali
diabaikan serta ditelantarkan.
Bangso
Batak yang dikenal masyarakat hukum adat dengan berbagai kearifan lokal warisan
leluhur hingga kini masih dipertahankan serta dilestarikan harus pula dipahami
unsur fundamental dalam pembangunan karakter bangsa (national character building) sebagaimana dikatakan Bung Karno
pendiri bangsa Indonesia. Masyarakat hukum adat dengan berbagai kearifan
lokalnya adalah aset bangsa yang bukan saja bernilai keekonomian akan tetapi
juga bernilai kultural yang menjadi jati diri atau identitas bangsa di mata
dunia internasional.
Hukum adat masih merupakan tatanan
paling dasar dan utama dalam mengatur harmoni serta distribusi hak-hak
tradisional masyarakat sehingga sungguh sangat keliru besar bila pemerintah
daerah (Pemda) sekitar Kaldera Toba tidak menjamin hak-hak masyarakat hukum
adat secara konkrit melalui legalitas formal penerbitan peraturan daerah
(Perda) sebagaimana diamanahkan peraturan perundang-undangan di republik ini.
Sebagaimana dikatakan DR. H.P.
Panggabean, SH. MS (2013) dalam Makalahnya “Usulan Aplikatif Penyusunan PERDA
Sumatera Utara tentang peranan masyarakat hukum adat (MAHUDAT) mendukung
otonomi daerah (Otda)” pada seminar nasional MAHUDAT di Medan, bahwa Landasan
jurudis usulan Aplikatif Pembentukan PERDA Sumatera Utara tentang Status dan
wewenang masyarakat hukum adat mendukung kegiatan Otda di Daerah dan desa-desa
di Sumut, antara lain; (a) UUD RI 1945 Amandemen ke 4 pasal 32 tanggung jawab
untuk memajukan kebudayaan nasional, dan hak masyarakat tradisional; (b) UUD RI
1945 pasal 33 ayat (2), yang intinya memuat landasan perekonomian kerakayatan
NKRI; (c) UUD RI 1945 pasal 18 ayat (2B), yang intinya “Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam
undang-undang”; (d) UU RI No. 32 tahun 2004 cq. Jo UU RI No. 12 Tahun 2008 yang
mengatur Pemerintahan Daerah; (e) UU Agraria No. 05 Tahun 1960, pasal 3 yang
menentukan bahwa Hak Agraria yang berlaku atas bumi, air dan udara ialah hukum
adat; (f) UU RI No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup; (g) PP
No. 72 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Desa; (h) Peraturan Menteri Dalam Negeri
No. 39 Tahun 2007 tentang pelestarian dan pengembangan budaya daerah; (i)
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 40 Tahun 2007 tentang pelestarian dan
pengembangan bahasa Negara dan daerah; (j) Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala BPN No. 05 Tahun 1999 tentang pedoman penyelesaian masalah hak
ulayat masyarakat hukum adat; (k) Nilai-nilai budaya suku hak ulayat masyarakat
hukum adat, adalah perintah undang-undang yang harus dilakukan sebagai prinsip
negara hukum.
Selain daripada itu, pada UU RI No.
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang ditinjau kemudian Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang RI No. 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pada pasal 67 ayat (2)
Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan dengan peraturan daerah (Perda).
Kemudian Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 45/PUU-IX/2011
tertanggal 21 Pebruari 2012 tentang penghunjukan kawasan hutan tidak mempunyai
kekuatan hukum tetap alias membatalkan SK Menhut No. 44 tahun 2005 tentang
penghunjukan kawasan hutan di provinsi Sumatera Utara”.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-X/2012 tertanggal 16 Mei 2013
tentang Pengujian UU RI No. 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan yang mengabulkan permohonan dari Aliansi Masyarakat Adat
Nusantara (AMAN), Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kuntu Kabupaten Kampar Provinsi
Riau dan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kesepuhan Cisitu Kabupaten Lebak Banten
hingga kini belum dieksekusi pemerintah,
pemerintah daerah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota di Sumatera Utara
dalam bentuk peraturan daerah (Perda).
Selanjutnya,
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 tahun 2014 pada pasal 2 ditegaskan,
Gubernur dan bupati/walikota melakukan pengakuan dan perlindungan masyarakat
hukum adat. Kemudian, pada pasal 4 disebutkan; Pengakuan dan perlindungan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 dilakukan melalui; a. Indentifikasi
Masyarakat Hukum Adat, b. Verifikasi dan validasi Masyarakat Hukum Adat, dan c,
Penetapan Masyarakat Hukum Adat.
Perintah undang-undang ini jelas,
tegas, terang-benderang mengatur kewajiban pemerintah daerah menerbitkan
peraturan daerah (Perda) untuk menjamin dan melindungi hak-hak masyarakat hukum
adat, serta pemastian keberadaan atau eksistensi masyarakat hukum adat.
Pemerintah
daerah provinsi Sumatera Utara,
pemerintah kabupaten/kota harus menyadari bahwa “kealpaan” menerbitkan
peraturan daerah (Perda) Perlindungan Masyarakat Hukum Adat adalah “kekacauan
berpikir dan pembangkangan konstitusi” serta pengkhianatan hak-hak masyarakat
hukum adat.
Gubernur,
bupati/walikota, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota seharusnya malu berteriak
menyatakan pro rakyat karena fakta dan bukti menyatakan tak satu daerah
kabupaten/kota pun hingga kini menerbitkan peraturan daerah (Perda) masyarakat
hukum adat yang diamanatkan dan/atau diperintahkan undang-undang.
Masyarakat hukum adat terlunta-lunta,
tersiksa, teranyaya, dirampok hak tradisional keperdataannya puluhan tahun,
sementara gubernur, bupati/walikota, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota menutup mata dan telinga
tak pernah peduli atas pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masyarakat hukum
adat di republik ini.
Prof. Dr. Bungaran Antonius Simanjuntak (2013)
“Masyarakat hukum adat itu lah yang berjuang melawan penjajah dan mendirikan
Negara Republik Indonesia. Dan warga masyarakat hukum adat itu yang kemudian
membentuk dan mengakui pemerintah untuk mengatur negara ini.
Negara
yang dibentuk dan diakui masyarakat hukum adat itu untuk melindungi wilayah
negara dari pencaplokan negara asing. Karena itu wajib hukumnya negara harus
juga mengakui dan melindungi masyarakat hukum adat, beserta semua adat
istiadatnya, kebudayaannya, wilayah adatnya, hutan adatnya, laut adatnya yang
telah mereka miliki ribuan tahun yang lalu. Karena itu negara jangan
mengkhianati rakyat tetapi harus melindungi rakyat yang pluralis itu”.
Sebagai
calon Taman Bumi Dunia UNESCO masyarakat hukum adat di sekitar Kaldera Toba
wajib hukumnya mendapat jaminan perlindungan hak-hak tradisional keperdataanya
melalui peraturan daerah (Perda) sesuai perintah konstitusi.
Tanpa
itu, masyarakat hukum adat akan menjadi penumpang (paisolat-red) di tanah
leluhurnya sendiri. Geopark Kaldera Toba Taman Bumi Dunia UNESCO tak bermanfaat
sama sekali bagi masyarakat hukum adat di sekitar Kaldera Toba.
Mengidentifikasi, Inventarisasi Potensi Kaldera
Toba.
Sebagai
konsep besar, cerdas dan jenial “Memuliakan Warisan Alam” Geopark Kaldera Toba
Taman Bumi Dunia UNESCO haruslah menjadi “Laboratorium Perdaban Manusia/LPM”
bukan saja berguna, bermanfaat bagi masyarakat sekitar Kaldera Toba tetapi bagi
seluruh anak-anak manusia di atas planet ini sepanjang masa.
Geopark Kaldera Toba merupakan
konsep terpadu pengembangan kawasan haruslah komprehensif paripurna
mengidentifikasi, menginventarisasi seluruh potensi spesifik meliputi; geologi,
hayati dan budaya (Geo Diversity, Bio
Diversity, Culture Diversity) yang bertujuan untuk konservasi, pendidikan,
penelitian dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di kawasan Kaldera Toba.
Untuk
itu, berbagai kearifan tradisional, adat budaya, situs-situs peradaban, spirit
perjuangan, seperti; falsafah hidup, adat istiadat, kepemimpinan, bahasa,
aksara, kesenian, alat kesenian, pola pertanian, kerajinan, kearifan lingkungan
dan lain-lain harus diidentifikasi, diinventarisasi sebagai unsur penting dan
fundamenatal Geopark Kaldera Toba yang harus dilindungi dan dilestarikan.
Demikian
juga flora dan fauna serta tanaman
endemik, tumbuhan obat-obatan tradisional seperti; ihan Batak, pora-pora, sirih (napuran), jeruk purut (unte anggir),
sae-sae, alum-alum, sijungkot, pultak-pultak, pirdok, andaliman dan lain
sebagainya yang tidak mustahil sangat berguna bagi penelitian medis di masa
mendatang.
Identifikasi,
inventarisasi seluruh potensi Kaldera Toba selanjutnya dipetakan dalam
matriks-matriks pelestarian dan pengembangan yang bukan saja berguna bagi
masyarakat sekitar tetapi bagi seluruh dunia.
Membentuk Koordinasi dan Kerjasama Antar
Kabupaten.
Setuju
tak setuju, sadar atau tidak salah satu kendala dalam pengembangan pembangunan
Kaldera Toba ialah egoisme kedaerahan pasca bergulirnya otonomi daerah
belakangan ini.
Satu
daerah dengan daerah lain merasa paling berhak dan berkompeten menentukan arah
kebijkan pembangunan daerah masing-masing. Arogansi, egoisme itu berdampak
buruk terhadap pengembangan kawasan Kaldera Toba yang meliputi beberapa
kabupaten.
Bila
setiap kabupaten menetapkan arah pembangunan tanpa didasari koordinasi dan
kerjasama antar daerah sekitar Kaldera Toba maka pembangunan dan pengembangan
Kaldera Toba akan besifat parsial yang tidak mustahil menonjolkan egoisme
sektoral. Hal itu tentu sangat bertentangan dengan konsep pembangunan kawasan
terpadu Geoparka Nasional Kaldera Toba menjadi Taman Bumi Dunia UNESCO.
Padahal pembangunan dan pengembangan
kawasan Kaldera Toba menjadi Taman Bumi
Dunia UNESCO harus disadari adalah suatu konsep kawasan terpadu yang melibatkan
seluruh kabupaten di kawasan Kaldera Toba meliputi; Kabupaten Tapanuli Utara,
Toba Samosir, Humbang Hasundutan, Samosir, Simalungun, Karo, Dairi, Pakpak
Bharat yang ditetapkan dalam komitmen pembangunan bersama untuk mengembangkan “Kawasan Kaldera Toba” guna
meningkatkan kemakmuran dan kesejateraan masyarakat sekitar, provinsi, maupun
nasional.
Koordinasi dan/atau kerjasama antar
kabupaten kawasan Kaldera Toba tidak bisa terlepas dari peran aktif pemerintah
daerah Provinsi Sumatera Utara untuk menjembatani kepentingan-kepentingan
kabupaten/kota sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2010 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Tugas dan Wewenang serta Kedudukan Keuangan Gubernur Sebagai Wakil
Pemerintah di Wilayah Provinsi.
Pada
pasal 1 ayat (5) dikatakan; Koordinasi adalah upaya yang dilaksanakan oleh
gubernurr sebagai wakil Pemerintah guna mencapai keterpaduan baik perencanaan maupun
pelaksanaan tugas serta
kegiatan semua instansi vertikal
tingkat provinsi, antara
instansi vertikal dengan satuan
kerja perangkat daerah
tingkat provinsi, antar kabupaten/kota dalam
provinsi yang bersangkutan, serta
antara provinsi dan
kabupaten/kota agar tercapai efektifitas
dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan.
Oleh karena itu, pembentukan
Koordinasi dan Kerjasama antar kabupaten/kota di kawasan Kaldera Toba adalah
tugas dan kewajiban Gubernur Sumatera Utara sesuai perintah konstitusi. Sehingga
jika berkeinginan kuat untuk mensukseskan Geopark Nasional Kaldera Toba menjadi
Taman Bumi Dunia UNESCO kata kuncinya terletak pada peran aktif Gubernur
Sumatera Utara untuk membentuk Badan Koordinasi dan Kerjasama Antar
Kabupaten/Kota Kawasan Kaldera Toba.
Landasan hukum kerjasama antar
daerah adalah UU RI Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya
Bab IX, pasal 78, dimana dikatakan bahwa (1) Pemerintah Daerah dapat melakukan
kerjasama dengan pihak lain atas dasar prinsip saling menguntungkan. Kerjasama
tersebut ditetapkan masing-masing daerah terkait melalui peraturan daerah
(Perda) dan masuk dalam anggaran APBD.
Jana Marie Mehrtens & Benjamin
Abdurahman (2007) “Keterbatasan sumber daya manusia, alam, infrastruktur dan
juga terutama dana menjadikan aliansi pembangunan wilayah sebagai pilihan yang
innovatif”.
Secara umum sebab-sebab perlunya
suatu kerjasama antar daerah dapat digambarkan antara lain sebagai berikut: Pertama, Faktor Keterbatasan Daerah
(Kebutuhan): hal itu dapat terjadi dalam konteks sumber daya manusia, alam,
teknologi dan keuangan, sehingga suatu ‘kebersamaan’ dapat menutupi kelemahan
dan mengisinya dengan kekuatan potensi daerah lainnya. Kedua, Faktor Kebersamaan Kepentingan: adanya persamaan visi
pembangunan dan memperbesar peluang memperoleh ‘keuntungan’, baik finansial
maupun non finansial untuk mencapainya. Ketiga,
Berkembangnya Paradigma Baru: di masyarakat perlunya pengembangan sistem
perencanaan dan pembangunan komunikatif-partisipatif sesuai dengan semangat
otonomi daerah. Keempat, Menjawab
Kekhawatiran Disintegrasi: di mana kerjasama dapat m,enjadi instrumen yang
efektif dalam rangka menggalang persatuan dan kesatuan nasional (sinkronisasi
dan harmonisasi). Kelima, Sinergi
antar Daerah: tumbuhnya kesadaran, bahwa dengan kerjasama antar daerah, dapat
meningkatkan dampak positif dari berbagai kegiatan pembangunan yang semula
sendiri-sendiri menjadi satu kekuatan regional. Keenam, Sebagai Pendorong: dalam mengefektifkan potensi dan
menggalang kekuatan endogen dalam kegiatan pembangunan wilayah.
Membentuk Badan Regional Kawasan Kaldera
Toba.
Sebagai konsep pembangunan dan
pengembangan kawasan tentu diperlukan suatu badan khusus yakni; Badan Regional
Kawasan Kaldera Toba yang merupakan badan koordinasi dan/atau kerjasama antar
daerah kabupaten se kawasan Kaldera Toba.
Badan Regional Kawasan Kaldera Toba
(BRKKT) atau apapun namanya akan berfungsi sebagai Regional Marketing untuk
mempromisikan dan/atau memasarkan potensi investasi di kabupaten kawasan
Kaldera Toba beserta keunggulan-keunggulan spesifik masing-masing kabupaten
tersebut. Oleh karena itu, Badan Regional Kawasan Kaldera Toba akan menjadi
pusat promosi sekaligus pemasaran bersama se kawasan Kaldera Toba.
Sebagai Regional Marketing perlu
melakukan antara lain: 1), Rancangan wilayah, misalnya arsitektur kota dan
panorama, 2), Meningkatkan infrastruktur wilayah, misalnya jalan, pelayanan,
3), Meningkatkan mentalitas wilayah, misalnya keramahtamahan dan kesopanan, 4),
Ketertarikan terhadap wilayah, misalnya pertunjukan seni budaya, pameran
dagang, dan lain sebagainya.
Konsep pembangunan dan pengembangan
kawasan ini tentu haruslah didasarkan pada keinginan tulus ikhlas serta
kehendak kuat untuk mendorong percepatan kemajuan pembangunan di kawasan
Kaldera Toba dengan Motto “Mari Berbuat untuk Kaldera Toba Pusat Peradaban
Manusia” sebelum ajal tiba.
Horas ! Horas ! Horas !
Medan,
30 April 2015
Thomson
Hutasoit.
(Penulis: Sekretaris
Umum Punguan Borsak Bimbinan Hutasoit, Boru, Bere Kota Medan Sekitarnya, Alumni
Pemantapan Nilai-nilai Kebangsaan bagi Kalangan Birokrat, Akademisi, Tokoh
Masyarakat, Tokoh Agama, Tokoh Adat dan Tokoh pemuda di Provinsi Sumatera Utara
tahun 2014, penulis buku).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.