Pembuktian Janji Presiden Jokowi “Hanya Tunduk Konstitusi dan kehendak Rakyat”
Oleh : Thomson Hutasoit
Pendahuluan.
Ketika presiden/wakil presiden Joko
Widodo (Jokowi)/ H.M. Jusuf Kalla (JK) menucapakan Sumpah/Janji di depan Sidang
Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) 20 Oktober 2014 lalu, Jokowi
dengan tegas dan lantang mengatakan “Hanya tunduk pada konstitusi dan kehendak
rakyat” tentu diingat dan dicatat rakyat republik ini sebagai parameter
mengukur konsistensi pemerintahan Jokowi/JK untuk lima tahun ke depan.
Mungkin bagi sebahagian pihak di
negeri ini pernyataan Jokowi itu dianggap hanya sekadar jargon politik, bahkan lips service belaka bercermin pada statement-statement politik pemerintahan
sebelum-sebelumnya yang sangat berbanding terbalik antara pernyataan atau
janji-jani dengan fakta empirik implementasi di lapangan. Bahkan, di masa
pemerintahan otoritarian orde baru (Orba) rezim Soeharto rakyat harus pintar
membaca makna terbalik dibalik pernyataan pemerintahan ketika itu. Berbagai
jargon politik seperti menyesuaikan harga yang memiliki makna sama dengan
kenaikan harga, dan lain-lain amat sangat banyak diproduksi untuk “mengelabui”
berbagai kebijakan keliru pemerintahan. Rakyat diposisikan sebagai “mahluk bodoh”
yang tidak mampu sama sekali mengerti dan memahami pengelolaan tata
pemerintahan yang baik dan benar. Dan jika ada yang berani melakukan penolakan
dan parotes terhadap pemerintah berkuasa siap-siap dijadikan musuh negara
dengan diberi label “PKI (Partai Komunis Indonesia)” yang merupakan momok
paling menakutkan pada zaman itu. Bahkan banyak rakyat yang kritis terhadap
pemerintahan mengalami “kematian perdata” tanpa pernah mengetahui pelanggaran
hukum apa yang telah dilakukan.
Penolakan terhadap kebijakan
pemerintah berkuasa diotomatisasi sebagai penolakan terhadap negara. Padahal,
pemerintahan berkuasa (eksekutif) tidaklah sama dan indentik dengan negara yang
menurut para ahli tata negara, bahwa negara terdiri dari pemerintahan yang sah,
rakyat, wilayah dan pengakuan internasional. Sehingga amat keliru besar apabila
menyamakan pemerintah berkuasa (eksekutif/presiden) dengan negara.
Sekalipun secara tegas, jelas,
terang-benderang dalam konstitusi dinyatakan, bahwa Negara Republik Indonesia
berdasarkan hukum tetapi dalam kenyataannya hukum cenderung dijadikan alat
kekuasaan. Bahkan banyak peraturan perundang-undangan diproduksi semata-mata
alat kekuasaan dan melanggengkan kekuasaan itu sendiri. Akibatnya, ketundukan
terhadap hukum dan konstitusi tergantikan masif dan absolut ketundukan pada
kekuasaan. Karena itu, muncul pameo di ruang publik “segudang kebenaran
segenggam kekuasaan, kekuasaan lah menentukan atau pemenang”. Pameo ini tentu
sangatlah berbahaya dan mengancam eksistensi negeri ini sebagai negara hukum.
Karena itu, pernayataan Jokowi di
depan Sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia ketika
dirinya resmi secara de facto dan de jure sebagai presiden Kepala Negara
dan Kepala Pemerintahan sungguh fundamental, cerdas dan jenial untuk
mengembalikan rel manajemen pengelolaan negara yang hanya tunduk pada
konstitusi dan kehendak rakyat sebagai wujud nyata negara hukum dan demokrasi.
Pernyataan kenegaraan yang
dikumandangkan Presiden Jokowi kepada seluruh rakyat Indonesia, bahkan ke
seluruh penjuru seantero jagat raya kemungkinan besar terluput dari pantauan
pihak-pihak tertentu karena ketika itu ada yang dimabuk eforia kemenangan dan
adapula yang masih dirundung kekalahan sehingga pernyataan sang presiden yang
sedemikian esensial terluput pula dari perhatian sungguh-sungguh atas statement politik pemerintahan Jokowi-JK
lima tahun ke depan.
Seandainya, setiap orang, elite
politik di negeri ini mengerti, memahami dan menyadari arti dan makna
pernyataan Presiden Jokowi komprehensif dan paripurna maka tak perlu heran dan
terperanjat atas langkah kebijakan Jokowi dalam menyelesaikan berbagai kisruh
politik yang terjadi di republik ini, termasuk penyelesaian kisruh Komisi
pemberantasan Korupsi (KPK) versus Kepolisian Negara Republik Indonesia yang
dipicu pengajuan calon Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Komisaris
Jenderal Polisi Budi Gunawan yang kemudian ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) yang selanjutnya oleh Praperadilan Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan dinyatakan tidak sah dan tidak mengikat secara hukum.
Dalam situasi kegaduhan dan kisruh
politik yang sedemikian sulit dan pelik Presiden Jokowi dipaksa dan ditekan
dari berbagai kutub kepentingan politik seperti partai politik pendukung yang
tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yakni; PDI-Perjuangan, Partai
Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan
Pembangunan (PPP kubu Romi), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai
Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKP-Indonesia). Partai oposisi yang tergabung
dalam Koalisi Merah Putih (KMP) yakni; Partai Gerakan Indonesia Raya
(Gerindra), Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Keadilan Sejahtera (PKS),
Partai Amanat Nasional (PAN) Partai Demokrat (PD), Partai Bulan Bintang (PBB).
Koalisi masyarakat sipil penggiat anti korupsi, pakar hukum, akademisi, dan
kelompok masyarakat lainnya yang kadangkala “merasa di atas hukum” memaksakan
kehendak masing-masing dengan berbagai argumentasinya.
Menghadapi kisruh dan kegaduhan
politik itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menunjukkan jiwa kenegarawanan yang
sangat luar bisa dengan mengeluarkan statement
politik “Jangan ada sok di atas
hukum”. Pernyataan ini tentu terasa menohok bagi pihak-pihak yang selama ini
“paling hebat, paling top, paling benar. paling suci, paling pintar, paling
berkuasa” di negeri ini.
Pernyataan itu sebenarnya adalah
sebuah sinyal sikap politik Presiden Jokowi sebagaimana telah diucapkan di
depan Sidang Paripurna Majelis Permusyaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia 20
Oktober 2014 “Hanya tunduk pada konstitusi dan kehendak rakyat”.
Tunduk pada Konstitusi.
Bagi
sebahagian orang Sumpah/Janji Jabatan mungkin dipandang hanya sekadar upacara
seremonial belaka. Tapi bagi Presiden Jokowi yang mengawali karier politik dari
Walikota Surakarta Solo, Gubernur DKI Jakarta selanjutnya Presiden Republik
Indonesia adalah Sumpah/Janji yang harus dipertanggungjawabkan secara hukum,
moral dan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehingga Sumpah/Janji Jabatan itu adalah
harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar dengan alasan apapun juga.
Pada pasal 9 ayat (1) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dengan tegas dikatakan, bahwa Sebelum
memangku jabatanya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau
berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau
Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana termaktub pada Sumpah
Presiden (Wakil Presiden): “Demi Allah,
saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil
Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang
teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya
dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa”.
Bila diperhatikan dan dicermati
seksama lafal Sumpah Presiden (Wakil Presiden) pada pasal 9 ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 maka pernyataan Presiden
Jokowi “Hanya Tunduk pada konstitusi dan kehendak rakyat” adalah wujud nyata
Negara Republik Indonesia (NRI) sebagai negara hukum.
Walaupun presiden sebagai Kepala Negara dan
Kepala Pemerintahan tidak boleh sekali-sekali mempertontonkan kekuasaan “di
atas hukum (konstitusi)”. Sebab kekuasaan presiden bukan tak terbatas. Jika
presiden memosisikan diri di atas hukum bukan tunduk kepada konstitusi maka
presiden telah menjadikan dirinya diktator otoriter sebagaimana rezim
pemerintahan Soeharto yang ditumbangkan reformasi 1998 lalu.
Sekalipun Joko Widodo (Jokowi) kader
PDI-Perjuangan serta didukung partai pengusung yakni Koalisi Indonesia Hebat
(KIH) dia sadar sesadar-sadarnya begitu mengucapkan Sumpah Presiden dirinya
“hanya tunduk kepada konstitusi dan kepentingan Nusa dan Bangsa” bukan lagi
tunduk pada kepentingan partai politik pengusungnya apalagi masih menjadikan
dirinya petugas partai yang notabene
partisan.
Batas
Jokowi petugas partai berhenti dan berakhir ketika Joko Widodo (Jokowi)
mengucapkan Sumpah Presiden di hadapan Sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) Republik Indonesia, kemudian sejak detik itu Jokowi telah memangku
Jabatan Presiden Republik Indonesia milik seluruh rakyat Indonesia, bukan
presiden partai politik tertentu.
Sebagai milik seluruh rakyat
Indonesia, baik yang berpartai politik maupun non partai politik Jokowi harus
memosisikan diri “hanya tunduk pada konstitusi” bukan lagi tunduk kepada partai
politik. Pertanyaannya ialah apakah Jokowi telah “mengkhianati atau mbalelo”
terhadap partai politik pengusungnya ? Tentu tidak ! Justru partai politik
pengusungnyalah yang tidak memahami, menyadari arti dan makna Sumpah Presiden
(Wakil Presiden) secara baik dan benar sehingga masih ingin “mendikte dan
memaksakan” kepentingan partai politiknya kepada kader partai yang telah
memangku jabatan publik yang memikul kewajiban mengayomi, melindungi seluruh
rakyat Indonesia, tanpa kecuali. Kekeliruan pengertian, pemahaman demikianlah
memicu kecenderungan ketua atau petinggi
partai politik berusaha sekuat tenaga dan pemikiran menjadi calon presiden,
gubernur, bupati/walikota di negeri ini.
Pada sistem pemerintahan parlementer
ketua atau petinggi partai politik menjadi presiden/wakil presiden, gubernur,
bupati/walikota adalah hal wajar, tetapi pada sistem pemerintahan presidensial
hal seperti itu harus dipahami suatu kekeliruan luar biasa sebab presiden
adalah pilihan rakyat langsung.
Sekalipun calon presiden/wakil
presiden, gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota
diusung partai politik tetapi menentukan keterpilihan tetap berada di tangan
rakyat, bukan di tangan partai politik. Buktinya, calon presiden, gubernur,
bupati/walikota dengan pasangannya yang didukung partai politik besar ataupun
koalisi partai-partai tidak otomatis memenangi pemilihan yang digelar. Partai
politik atau koalisi partai politik yang merupakan “makhluk aneh” pada sistem
pemerintahan presidensial sejatinya hanya berfungsi dan berperan memasok dan
mengajukan kader-kader terbaiknya untuk dipilih rakyat pada pemilihan presiden,
gubernur, bupati/walikota sebagaimana diatur Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945, Undang-undang Pemilihan Umum, Undang-Undang Partai
Politik, dan lain sebagainya.
Kekeliruan semacam inilah yang ingin
diperbaiki dan diluruskan Presiden Jokowi yang diawali statement politik kenegaraan pada detik-detik awal
memangku presiden periode 2014-2019 di depan Sidang Paripurna MPR RI 20 Oktober
2014 lalu. Sikap politik Presiden Joko Widodo (Jokowi) “hanya tunduk pada
konstitusi dan kehendak rakyat” sepertinya belum bisa diterima para elite
politik yang selama ini telah “merampas dan mengkudeta” kedaulatan rakyat
menjadi kedaulatan partai politik. Sikap politik Presiden Jokowi yang seiring
sejalan dengan amanah konstitusi telah dianggap para “oportunis” politik
sebagai “pengkhianatan atau sikap mbalelo” Jokowi pada partai pengusung serta
terancamnya kepentingan partai dalam pemerintahan Jokowi-JK lima tahun ke depan.
Statement
keras tak luput dilontarkan di ruang publik, bahkan niatan-niatan
penggunaan hak interpelasi, hak angket, hak mengajukan pendapat sebagai cermin
kekecewaan atas sikap politik Jokowi, sadar atau tidak sadar memperjelas
kekeliruan mengerti dan memahami sistem pemerintahan presidensial sejati para
elite politik di republik ini. Untunglah, kecerdasan politik rakyat di negeri
ini telah jauh menembus “kelicikan” pencundang-pecundang politik yang
bertengger dipusaran epicentrum partai politik saat ini.
Tunduk pada konstitusi bukan sekadar
retorika dan penghias bibir (lips service)
tetapi upaya nyata melandaskan kebijakan publik beralaskan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945 beserta seluruh peraturan perundang-undangan
seadil-adilnya, selurus-lurusnya tanpa intervensi pihak manapun. Inilah wujud
ketegasan seorang negarawan sejati, bukan para oportunis politik, “sok di atas hukum” yang merasa diri paling
hebat dan paling berjasa di negeri ini.
Berbagai pihak berteriak lantang
tentang kepastian hukum tetapi jika diperhatikan dengan cermat dan seksama
tidak sedikit pula mereka mempertontonkan perilaku ambivalen, ambigu ketika
bersinggungan dengan kepentingan politiknya sendiri. Bahkan tidak sedikit pula
menjalankan hukum sebagai alat kekuasaan yang ujung-ujungnya merusak tatanan
hukum di republik ini berakibat negara hukum tanpa kepastian hukum. Fenomena
yang terjadi belakangan ini hukum tunduk di bawah tekanan “unjuk
rasa/demonstrasi ataupun politik” karena merasa “Sok di atas hukum”.
Kesadaran Presiden Jokowi
memosisikan diri “Tunduk pada konstitusi” ketika kekuasaan digenggam adalah
suatu hal langka dan istimewa di belantara haus kuasa yang selalu memosisikan
diri di atas hukum patut dimaknai oase di gurun pasir kekacauan berhukum di
negeri ini.
Jika
makna sejati kehadiran hukum untuk membatasi arogansi kekuasaan terhadap pihak
lemah maka sepanjang sejarah perjalanan republik ini justru sebaliknya hukum
menjadi alat kekuasaan untuk melanggengkan kekuasaan itu sendiri. Disinilah
bukti nyata, bahwa pemangku kekuasaan “Tidak pernah nyata-nyata hanya tunduk
pada konstitusi” sebagaimana sikap tegas Presiden Jokowi yang berkehendak kuat
menegakkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 secara baik dan
benar supaya republik ini benar-benar negara hukum.
Oleh sebab itu, pernyataan tegas
Presiden Jokowi “hanya tunduk konstitusi” harus dijadikan kesadaran baru untuk
menghentikan dan mengakhiri segala bentuk intervensi hukum dalam bentuk apapun
agar republik ini mampu menyongsong hari depan lebih baik.
Tunduk pada kehendak rakyat.
Pernyataan “tunduk pada kehendak rakyat”
adalah cerminan nyata menghormati, menjunjung tinggi daulat rakyat yang memilih
Jokowi sebagai Presiden Republik Indonesia periode 2014-2019 melalui pemilhan
umum 2014 lalu.
Jokowi menyadari sesadar sadarnya,
bahwa keterpilihannya sebagai presiden dan H.M. Jusuf Kalla wakil presiden
tidak lain dan tidak bukan hanyalah kehendak rakyat semata. Partai politik
pengusung adalah kendaraan atau sarana pencalonan yang diamanahkan konstitusi.
Keterpilhan pasangan calon presiden, gubernur, bupati/walikota bukan ditentukan
partai politik, tetapi pilihan (suara) rakyat terhadap sosok (figur) calon
pemimpin yang dikehendaki rakyat itu sendiri.
Harus disadari pula, bahwa keterpilihan
presiden, gubernur, bupati/walikota dalam sistim pemilihan langsung ditentukan
suara rakyat bukan suara partai politik. Karena itulah presiden hanya tunduk
pada kehendak rakyat yang memilihnya, bukan partai politik pengusungnya. Rakyat
lah yang berdaulat untuk memilih dan menentukan pemimpinnya (presiden/wakil
presiden), sementara partai politik hanya berhak mengajukan atau mengusung
calon presiden, gubernur, bupati/walikota dalam pemilihan umum.
Ketegasan sikap politik Jokowi yang
“hanya tunduk pada konstitusi dan kehendak rakyat” adalah wujud nyata jiwa
kenegarawanan sejati yang mengerti dan memahami komprehensif paripurna sistem
pemerintahan presidensial murni yang dibelokkan pada pemerintahan-pemerintahan
sebelumnya.
Pergantian rezim pemerintahan sejak
republik ini merdeka belum secara nyata-nyata memperkuat sistem pemerintahan
presidensial harus pula dimaknai sebagai akibat kekeliruan pemahaman tentang
sistem pemerintahan yang diamanahkan konstitusi. Kekeliruan pemahaman itulah
yang ingin diperbaiki dan diluruskan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang diawali
sikap politiknya “Hanya tunduk pada konstitusi dan kehendak rakyat” di depan
Sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia 20
Oktober 2014 lalu.
Sikap politik yang ingin
mengembalikan “Kedaulatan di tangan rakyat” bukan di tangan partai politik
seharusnya dimaknai seluruh rakyat Indonesia sebagai “Tonggak Sejarah Baru”
kembalinya republik ini pada cita-cita para pendiri bangsa (founding fathers) yang diproklamerkan 17
Agustus 1945 berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945, Bhinneka Tunggal Ika dalam bingkai Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) seperti ditegaskan pada pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945 berbunyi: “Kedaulatan adalah di tangan rakyat,
dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat” (Asli),
selanjutnya diamandemen pasal 1 ayat (2) “Kedaulatan berada ditangan rakyat,
dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.
Selanjutnya, pasal 6A Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (Amandemen) ayat (1) Presiden dan Wakil
Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat; (2) Pasangan
calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan partai politik atau gabungan partai
politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”; dan
seterusnya.
Dari amanah konstitusi ini jelaslah,
bahwa sikap politik Presiden Jokowi adalah seiring sejalan, senafas dan sejiwa
dengan amanah konstitusi sehingga sangat tidak beralasan bila ada partai
politik ingin memakzulkan (impeachment)
Jokowi karena tidak “tunduk” pada garis partai politik pengusungnya.
Presiden Jokowi berkeinginan kuat
untuk menegakkan, menjunjung tinggi
konstitusi dengan baik dan benar, sebaliknya partai politik ingin
membelokkan, mengkhianti konstitusi demi kepentigan partai. Kisruh, karut marut
peta politik pasca pelantikan Presiden Jokowi/Wakil Presiden JK mempertegas
kekeliruan pemahaman sistem pemerintahan presidensial selama ini. Presiden Jokowi ingin meluruskan,
mengembalikan sistem pemerintahan presidensial yang baik dan benar, sementara
partai politik pungusung tak rela melepaskan cengkraman politiknya terhadap
presiden/wakil presiden karena tetap masih beranggapan/berasumsi presiden adalah
“petugas partai”.
Sikap politik Jokowi “Hanya tunduk
pada konstitusi dan kehendak rakyat” tidak boleh kendur sebab sikap dan jiwa
kenegarawanan seperti itulah dambaan seluruh rakyat di negeri ini untuk
mengembalikan “kedaulatan ditangan rakyat” secara nyata.
Maju terus, rakyat berada dibelakang
pemerintahan Jokowi-JK.
Medan,
8 Maret 2015
(Penulis: Alumni Pemantapan Nilai-nilai
Kebangsaan Lemhannas RI bagi kalangan Akademisi, Birokrasi, Tokoh Masyarakat,
Tokoh Agama, Tokoh Adat Tokoh Pemuda di Provinsi Sumatera Utara tahun 2014).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.