LSM ATRAKTIP
Menhut Segera Tuntaskan Sengketa Masyarakat Adat Pandumaan-Sipituhuta
Medan, Aspirasi.
Direktur Eksekutif Lembaga Swadaya Masyarakat Kajian Transparansi Kinerja Instansi Publik (ATRAKTIP) Drs Thomson Hutasoit minta Menteri Kehutanan Republik Indonesia segera tuntaskan sengketa masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL), Tbk supaya kondusivitas masyarakat pulih kembali seperti sediakala. Hal itu dikatakannya kepada wartawan SKI ASPIRASI hari Selasa (12/3) di Medan.
Thomson mengatakan lebih lanjut, kita melihat kekurang pedulian serta political will dari berbagai pihak untuk menuntaskan kasus ini hingga masyarakat tidak percaya lagi terhadap institusi negara dalam menyelesaikan sengketa mereka. Dari berbagai data yang kita dapatkan terkesan beberapa kejanggalan dalam penyelesaian sengketa masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta dengan pihak PT Toba Pulp Lestari, Tbk antara lain;
Pertama, Permasalahan sengketa masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta bermula pasca keluarnya SK Menteri Kehutanan RI Nomor: 439/Kpts-II/1992 tertanggal 1 Juni 1992 yang memberi izin Hak Penguasaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) kepada PT Inti Indorayon Utama (PT IIU) seluas 269.060 Ha di 8 kabupaten antara lain; Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Toba Samosir, Samosir, Simalungun, Dairi, Pakpak Bharat, dan Tapanuli Selatan, yang diduga tidak terlebih dahulu mempertimbangkan hak-hak masyarakat hukum adat atau tanah ulayat masyarakat setempat.
Kedua, Sebagaimana diketahui bahwa PT Inti Indorayon Utama (PT IIU) telah pernah dihentikan operasionalnya akibat tuntutan masyarakat pada tahun 1997-2002 yang kemudian berganti nama menjadi PT Toba Pulp Lestari (TPL), Tbk dengan paradigma baru sesuai SK Menhut Nomor: 351/Menhut-II/2004 tertanggal 24 Pebruari 2004 dengan luas 269.060 Ha. Tapi dalam kenyataannya PT TPL, Tbk tetap menggunakan izin sesuai SK Menhut Nomor: 439/Kpts-II/1992. Sehingga pergantian nama tersebut dicurigai hanya “memperdaya” masyarakat. Karena apabila benar sesuai tuntutan masyarakat maka sebelum mengeluarkan SK Menhut Nomor: 351/Menhut-II/2004 klaim-klaim masyarakat adat dan tanah ulayat sudah harus dikeluarkan dari izin tersebut.
Ketiga, Telah terjadi “perampasan, pencaplokan, dan penghilangan” hak masyarakat hukum adat dan tanah ulayat secara massif dengan dalih masyarakat hukum adat atau tanah ulayat tidak mampu memberikan/menunjukkan alas hak formal (bukti hitam di atas putih-red) padahal masyarakat hukum adat atau tanah ulayat tidak pernah memiliki bukti tertulis. Hukum adat adalah hukum tak tertulis sehingga pembebanan pembuktian bukti tertulis adalah kekeliruan fatal serta kekacauan berpikir amat sangat tidak masuk akal. Setiap pihak yang hendak meminta beban pembuktian tertulis kepada masyarakat adat atau tanah ulayat menunjukkan ketidaktahuan terhadap eksistensi masyarakat hukum adat di republik ini. Hukum adat salah satu hukum dasar negara tak tertulis yang diakui di republik ini.
Keempat, Keterlambatan pemerintah cq. Menteri Kehutanan Republik Indonesia menyelesaikan permasalahan sengketa masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan karena Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan dalam suratnya bernomor S.1157/KM-3/07 yang ditujukan kepada Jannus Lumban Batu Ketua Kelompok Tani Kemenyaan dalam isi suratnya mengatakan,”Menanggapi surat saudara No. 034/B/KTK/VIII/2007 tanggal 20 Agustus 2007 perihal sebagaimana tersebut pada pokok surat di atas, kami sampaikan saat ini sedang dalam percermatan Departemen Kehutanan. Kurun waktu 2007 sampai 2013 atau selama 6 (enam) tahun adalah suatu kurun waktu cukup panjang tidak mendapat penyelesaian, sementara masyarakat adat Pandumaan-Sipihuta tidak pernah nyaman dan selalu mendapat “intimidasi” psikologis. Gelombang unjuk rasa menuntut hak dilakukan berkali-kali dan bahkan berujung ditahannya 16 orang warga Pandumaan-Sipituhuta di Mapoldasu 26 Pebruari 2013 lalu.
Kelima, Pembuktian telanjang pelanggaran UUD Republik Indonesia 1945 pasal 33 akibat terbitnya UU RI Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Dimana pada pasal 21 UU RI Nomor 25 tahun 2007 secara gambling dikatakan, “Selain fasilitas sebagaimana dimaksud dalam pasal 18, Pemerintah memberikan kemudahan pelayanan dan/atau perizinan kepada perusahaan penanaman modal untuk memperoleh : (a), Hak atas tanah, (b), Fasilitas pelayanan keimigrasian, dan (c), Fasilitas perizinan impor.
Keenam, Sesuai SK Menteri Kehutanan RI Nomor: 493/Kpts-II/1992 tentang pemberian Izin Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri terdapat; (a), Pada Diktum Pertama ayat 2 menetapkan bahwa; “menetapkan luas dan batas definitif areal ditetapkan oleh Menteri Kehutanan. (b), Pada Diktum Kelima ayat 4 menetapkan bahwa; “penataan batas seluruh areal kerjanya selambat-lambatnya 36 bulan sejak keputusan ini. Keputusan dikeluarkan Menteri Kehutanan tanggal 1 Juni 1992 tetapi hingga bulan Maret 2013 belum dilaksanakan sebagaimana mestinya. Tapi anehnya, Menteri Kehutanan yang mengeluarkan izin tidak bisa berbuat apa-apa alias “impoten”, sementara masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta sudah terlunta-lunta hidupnya akibat tak jelas tata batas izin PT TPL yang dulunya bernama PT IIU.
Ketujuh, “Pelecahan” nyata terhadap Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi A dan B DPRD Provinsi Sumatera Utara dengan Kapoldasu, Bupati Humbang Hasundutan, Dinas Kehutanan Provsu, dan PT Toba Pulp Lestari, Tbk hari Senin 12 Nopember 2013 di ruang Rapat Komisi A DPRDSU, dimana kesimpulan rapat antara lain; 1. Diminta kepada TPL tidak mengusik Kemenyaan yang ada pada tata batas. 2. Diharapkan kepada Pemkab Humbahas agar mendata masyarakat yang mempunyai hak usaha kemenyaan agar tidak ada kelompok tertentu mengatasnamakan masyarakat. 3. TPL secara serius melakukan sosialisasi kepada semua pihak Informal Leader & Formal Leader sebagai bentuk dialog. 4. CSR perlu dikelola dengan transparan dan penggunaan menyentuh kepada kepentingan masyarakat. 5. Laksanakan pola kolaborasi antara TPL dengan masyarakat dengan membuat MOU yang saling menguntungkan. 6. Diminta kepada Kapolda agar mengutamakan Pendekatan Hukum Adat Perdamaian dalam menangani kasus hukum yang terjadi di areal konsesi TPL beberapa hari yang lalu.
Kedelapan, Berdasarkan Laporan Perkembangan Operasi PT Toba Pulp Lestari, Tbk Juli-Desember 2005 yang disampaikan Januari 2006 disebut bahwa; terdapat Lahan Pihak Lain di Unit I, Blok I (AN) 4.616 Ha, Blok II (TE) 41.817 Ha, Blok IV (HB) 3.282 Ha. Unit II, Blok III (TU) 27.049 Ha, Blok V (SA) 8.332 Ha, Blok VI (PS) 25.862 Ha. Jumlah Total Lahan Pihak lain 110.959 Ha. Pertanyaan: Lahan siapa yang dimaksud dengan lahan pihak lain hingga kini belum diketahui dengan jelas sehingga perlu dijelaskan transparan agar publik mengetahui seluas-luasnya.
Kesembilan, Pelecehan serta pengangkangan kasat mata atas kesepakatan bersama atau Statemen Kunjungan Kerja Komisi A DPRD Provinsi Sumatera Utara Bersama dengan Dinas Kehutanan Kabupaten Humbang Hasundutan, PT Toba Pulp Lestari, Tbk di Kementerian Kehutanan RI. Adapun kesepakatan bersama atau Statemen yang dibuat adalah; a. Pada akhir Januari atau sampai dengan tanggal 31 Januari 2013 harus ada Tapal Batas. b. Adanya kemitraan. c. Pada Bulan Pebruari 2013 MOU sudah ada.
Kesepuluh, Keberpihakan pihak Kepolisian terhadap PT TPL, Tbk terkesan sangat kasat mata mengakibatkan Kepolisian berhadap-hadapan dengan masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta yang menuntut hak tanah leluhurnya. Kepolisian bukan lagi pelindung rakyat tetapi pelindung pengusaha atau pemilik modal akan mencoreng wajah kepolisian di mata publik. Padahal Jenderal Sudirman (1946) mengatakan,”anak-anakku, tentara Indonesia, kamu bukanlah serdadu sewaan tetapi tentara yang berideologi yang sanggup berjuang dan menempuh maut untuk keluhuran tanah airmu. Percaya dan yakinlah, bahwa kemerdekaan satu negara, yang didirikan di atas timbunan runtuhan ribuan jiwa harta benda dari rakyat dan bangsanya, tidak akan dapat dilenyapkan oleh manusia siapa pun juga. Berjuang terus, saya tetap memimpin kamu sekalian. Tuhan Insya Allah melindungi perjuangan suci kita”…(Haris Munandar, 2008).
Kesebelas, Pemerintah Kabupaten Humbang Hasundutan terkesan kurang gigih memperjuangkan nasib masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta ke pemerintah cq. Kementerian Kehutanan sehingga kasus sengketa masyarakat adat pandumaan-Sipituhuta dengan PT TPL, Tbk berlarut-larut serta melelahkan yang ditandai gelombang unjuk rasa dalam eksklasi besar-besaran hingga ke Mapoldasu.
Keduabelas, Tidak konsisten dan sinkron memperjuangkan/melanjutkan tuntutan rakyat sesuai hasil Pansus DPRD Humbang Hasundutan Nomor: 14 tahun 2012 tentang Rekomendasi Panitia Khusus SK 44/Menhut-II/2005 dan Eksistensi PT Toba Pulp Lestari, Tbk di Humbang Hasundutan tertanggal 19 Juni 2012, termasuk Berita Acara Pengukuran Areal Kerja IUPHHK-HT Toba Pulp Lestari, Tbk yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Rekomendasi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Humbang Hasundutan. Padahal pada butir 5 (lima) Rekomendasi DPRD Humbang Hasundutan secara tegas disebutkan,” Usulan Revisi Batas Areal Kerja IUPHHK-HT Toba Pulp Lestari, Tbk dan berita acara Pengukuran titik-titik koordinat Areal Kerja IUPHHK-HT Toba Pulp Lestari, Tbk di kabupaten Humbang Hasundutan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Rekomendasi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Humbang Hasundutan”.
Ketigabelas, Hal paling aneh, PT TPL sepertinya “tuan tanah” yang berlagak membagi tanah kepada masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta pemilik hak purba jauh sebelum republik ini merdeka dengan alasan PT TPL, Tbk telah memegang izin dari pemerintah. Apakah PT TPL, Tbk ingin mempraktekkan Sisuan bulu jadi paisolat sebagaimana ungkapan leluhur yang menunjukkan tergusurnya pemilik tanah dari tanah leluhurnya.
Keempatbelas, PT Toba Pulp Lestari, Tbk terkesan arogan serta tidak menghormati Rekomendasi Pansus DPRD Kabupaten Humbang Hasundutan yang telah merekomendasikan standpas sesuai butir 4 (empat) Rekomendasi Pansus DPRD Kabupaten Humbang Hasundutan, “Agar Pemerintah Kabupaten Humbang Hasundutan memerintahkan PT Toba Pulp Lestari, Tbk supaya tidak melakukan kegiatan (Stanpas) di semua areal yang masih bermasalah” tetapi dengan mengandalkan izin yang diperoleh dari pemerintah tidak mengindahkan rekomendasi tersebut.
Kelimabelas, Telah terjadi rekayasa Berita Acara Kesepakatan antara masyarakat Desa Aek Nauli dengan PT Toba Pulp Lestari, Tbk secara sepihak pada hari Senin, 7 Maret 2011 yang ditanda tangani beberapa orang warga serta dua Kades antara lain; Kades Aek Nauli I dan Kades Aek Nauli II dengan mahar Rp 30 juta di atas kertas meterai Rp 6.000 yang memicu Mosi Tidak Percaya serta meminta kedua Kades tersebut diajukan diberhentikan Bupati Humbang Hasundutan Drs Maddin Sihombing MSi dengan tembusan Gubernur Sumatera Utara, Pimpinan DPRD Humbang Hasundutan dan Camat Pollung.
Keenambelas, Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten Humbang Hasundutan serta instansi terkait belum pernah melakukan pengukuran secara akurat berapa luas hutan yang telah dikuasai PT TPL, Tbk hingga kini sehingga tidak tertutup kemungkinan terjadi “perambahan hutan atau melewati ijin konsesi secara illegal”.
Ketujuhbelas, Belum disosialisasikan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 45/PUU-IX/2011 tertanggal 21 Pebruari 2012 yang telah membatalkan SK 44/Menhut-II/2005 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Provinsi Sumatera Utara. Sehingga penunjukan kawasan hutan seluas 3.742.120 Ha di Sumatera Utara tidak berkekuatan hukum serta tidak relevan lagi.
Lebih lanjut Thomson Hutasoit mengatakan, permasalahan ini telah disampaikannya kepada Ketua Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Politik Rahmawati Soekarnoputri, Lemhamnas RI, bahkan telah menulis Buku Meneropong serta Mengamati Visi-Misi Gubernur Sumatera Utara H Syamsul Arifin Silaban SE ‘Rakyat Tidak Bodoh, Tidak Lapar, Tidak Sakit, dan Punya Masa Depan” tahun 2010 lalu dan telah disampaikan buku tersebut kepada Bupati Humbang Hasundutan Drs Maddin Sihombing MSI, Wakil Bupati Drs Marganti Manullang, Ketua DPRD Kabupaten Humbang Hasundutan Bangun Silaban SE, Anggota DPR RI Dr Capt Anton Sihombing MSc, dan pejabat terkait di Provinsi Sumatera Utara serta anggota DPRD provinsi Sumatera Utara. Jadi kita tidak pernah berhenti mengikuti sengketa masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta ini bahkan kita sudah langsung terjun ke lokasi 2008 lalu. Karena itu, kita meminta Menteri Kehutanan RI segera tuntaskan kasus sengketa masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta dengan PT TPL, Tbk sebab kasus ini telah menimbulkan instabilitas di kabupaten Humbang Hasundutan khususnya dan Sumatera Utara Umumnya. Jangan sampai ada pihak-pihak membawa kasus ini ke Komnas HAM internasional maupun lembaga-lembaga lain karena Kementerian Kehutanan tidak mau tahu dengan kesengsaraan rakyat, tutupnya. (M.03).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.