JASMERAH
Oleh: Thomson Hutasoit
Bung Karno mengatakan, “Jangan Sekali-sekali Melupakan Sejarah/JAS MERAH”. Wejangan Sang Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 yang juga Presiden pertama Repubilk Indonesia itu kadangkala tidak dipahami, dilupakan, diabaikan sebahagian orang di republik ini sehingga bukti, fakta sejarah perjalanan bangsa dari waktu ke waktu cenderung dimanipulasi demi kepentingan politik temporer.
Padahal, bukti, fakta sejarah perjalanan bangsa dari masa ke masa adalah salah satu instrumen penting dan fundamental mengetahui, memahami, menganalisis, serta mengevaluasi berbagai kelemahan, kekeliruan, kesalahan yang telah terjadi di masa lalu untuk selanjutnya melakukan perbaikan-perbaikan atas segala kelemahan, kekeliruan, kesalahan yang pernah terjadi dalam berbangsa dan bernegara.
Sejarah adalah saksi nyata di masa lalu yang didasarkan atas bukti-bukti, fakta-fakta sehingga sejarah adalah potret nyata masa lalu yang menggambarkan segala hal ikhwal rekam jejak (track record) pelaku-pelaku sejarah yang terlibat dalam penyelenggaraan negara atau pemerintahan di masa lalu. Karena merupakan rekam jejak pelaku-pelaku penyelenggara negara atau pemerintahan maka penulisan sejarah haruslah obyektif tanpa manipulasi bukti-bukti, fakta-fakta agar sejarah tidak hanya sekadar kosmetik politik rezim penguasa yang sangat tidak berkorelasi linier dengan fakta empirik.
Sejarah adalah laman-laman potret perikehidupan berbangsa dan bernegara yang tidak boleh sekali-sekali dilupakan, diabaikan, apalagi dimanipulasi walau dengan alasan apapun. Sebab, apabila terjadi manipulasi bukti, fakta sejarah akan sama artinya mewariskan kebohongan, pembodohan, kepalsuan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Karena itu, amat sangat benar dan bagus apa yang dilakukan komunitas masyarakat yang menamakan diri “Gerakan Melawan Lupa” yang merupakan salah satu wujud nyata “Jangan Sekali-sekali Melupakan Sejarah/JASMERAH” yang dikatakan Bung Karno.
Sadar atau tidak rekam jejak (track record) seseorang pelaku sejarah di masa lalu hanya bisa diketahui, dipahami generasi-generasi berikutnya dari rekam-rekam jejak yang telah dilakukan di masa lalu, bukan apa yang akan dilakukan di masa mendatang, sehingga amat sangat keliru besar serta sesat pikir bila masa lalu seseorang tidak dijadikan salah satu indikator atau parameter karakter seseorang di masa depan. Meminjam istilah Stephen P Robbins PhD (2009), “Prediktor terbaik seseorang di masa depan ialah perilakunya di masa lalu”. Dan inilah sejatinya makna rekam jejak (track record) yang sering dilontarkan para orang-orang pintar di negeri ini.
Salah satu hal yang sering terlupakan, terabaikan dalam memilih, mendaulat seorang pemimpin di masyarakat, bangsa maupun negara adalah melacak rekam jejak seseorang di masa lalu. Padahal, pelacakan rekam jejak seseorang di masa lalu sangat berperan besar menganalisis kecenderungan di masa depan. Selain daripada itu, rekam jejak seseorang juga akan menggambarkan karakter kepribadian seperti; apakah seseorang konsisten atau inkonsisten, jujur atau pembohong, berani atau penakut, keastria atau pengecut, tegas atau ragu-ragu, bertanggung jawab atau melarikan diri dari tanggung jawab, nasionalis atau kolaborator, kompradator, pro rakyat atau penindas rakyat, dan lain sebagainya.
Bukti-bukti, fakta-fakta perilaku seseorang di masa lalu seperti itulah yang amat sangat perlu dilacak komprehensif paripurna dari diri seorang calon pemimpin supaya tidak terjebak politik penciteraan, kosmetik politik para calon pemimpin sehingga terhindar dari rayuan gombal, rayuan maut, serta jual kecap yang selalu kualitas nomor satu.
Kearifan lokal Batak, khususnya Batak-Toba untuk melacak rekam jejak (track record) seseorang ialah “tarida do gaja sian bogas ni patna, tarida do imbo sian soarana, tarida do hau sian parbuena, tarida do jolma sian pangalahona”. Artinya, gajah ketahuan dari jejak kakinya, mawas ketahuan dari soarannya, pohon ketahuan dari buahnya, manusia dicerminkan perilakunya.
Oleh karena itu, tidaklah terlalu sulit untuk mengetahui karakter mental, moral, apakah seseorang layak dipercaya atau tidak mengemban amanah atau kepercayaan melalui membuka laman-laman rekam jejak (track record) seseorang di masa lalu. Karena amat sangat sulit diterima akal sehat para penindas rakyat di masa lalu memproklamerkan diri pembela rakyat, pelaku korupsi di masa lalu menyatakan diri garda terdepan memberantas korupsi, pelanggar hukum di masa lalu berteriak lantang menyatakan diri menegakkan hukum, mengutamakan kepentingan partisan di masa lalu menyatakan diri nasionalis, pelaku rezim pemerintahan diktator otoritarian di masa lalu berteriak lantang garda masyarakat madani, dan lain sebagainya.
Perilaku tak terpuji serta paling memalukan ialah sikap dan sifat inkonsisten seperti peribahsa klasik “menelan muntah sendiri”. Sebaliknya, sikap dan sifat konsisten adalah kesatria sebab tangan mencincang bahu memikul. Dan kepribadian seperti itulah yang pantas dan layak diberi amanah atau kepercayaan kepemimpinan ditengah-tengah masyarakat, bangsa maupun negara.
Jika dicermati seksama perilaku-perilaku yang menyatakan diri tokoh di negeri ini, terutama di masa proses suksesi kepemimpinan nasional, baik pemilihan legislatif (Pileg) maupun pemilihan presiden (Pilpres) 2014 perilaku-perilaku inkonsisten yang sangat memalukan dipertunjukkan terang-benderang, serta telanjang. Mungkin para tokoh-tokoh yang selama ini dianggap paling hebat dan paling lantang meyuarakan koreksi kekeliruan, kesalahan rezim pemerintahan masa lalu kini berubah haluan mendewa-dewakan penguasa yang pernah dilengserkan. Apakah ini penanda nyata bahwa selama ini mereka-mereka sejatinya bukanlah reformer sejati atau telah terjangkit penyakit “agnosia” masih perlu dielaborasi mendalam dan mendetail untuk mengungkap siapakah sebenarnya tokoh-tokoh sejati yang ingin memperbaiki negeri ini. Sebab, orang-orang yang menyatakan diri tokoh-tokoh reformasi telah menunjukkan sikap, sifat inkonsisten terhadap tujuan reformasi tahun 1998 lalu.
Bahkan yang disebut-sebut tokoh reformasi tahun1998 lalu telah melakukan blunder politik dan memecah belah keutuhan bangsa melalui stemen politik tak bermutu semata-mata demi kepentingan partisan. Pemilihan presiden (Pilpres) adalah kontestasi sesama anak bangsa untuk memilih putera/puteri terbaik memegang tampuk kepemimpinan nasional atau presiden/wakil presiden sehingga amat sangat keliru besar serta sesat pikir bila dijadikan “perang” sesama anak bangsa. Dan disinilah penanda nyata kekeliruan, kesalahan paling memalukan dari orang-orang yang menyatakan diri tokoh di republik ini, padahal dirinya sendiri tak pernah mengetahui, memahami paripurna berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dalam Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pemilihan presiden (Pilpres) 2014 adalah kontestasi, kompetisi sesama anak bangsa untuk memilih putera/puteri terbaik untuk melanjutkan tongkat estafet kepemimpinan nasional sehingga sangat keliru besar dan sesat pikir jika ada yang berpikir pemilihan presiden (Pilpres) sebagai “perang badar”. Bukankah stetmen politik seperti itu akan merobek, mengoyak keutuhan bangsa dan negara yang menjadi salah satu musuh laten keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, ke-Bhinnekaan atau Pluralisme di negeri ini.
Oleh sebab itu, sangat disayangkan proses suksesi kepemimpinan nasional alamiah sekali lima tahun yang seyogiyanya pesta atau festival memilih presiden/wakil presiden dimaknai sebuah perang oleh orang-orang tak bertanggung jawab semata-mata dibutakan, ditulikan kepentingan pribadi, kelompok, maupun golongan merusak makna sejati pemilihan umum atau pesta rakyat memilih pemimpinnya. Siapapun yang berpikir dan bertindak merusak makna sejati pemilihan presiden (Pilpres) 2014 tidak pantas dan layak menyandang predikat tokoh masyarakat, bangsa maupun negara. Malah sebaliknya, lebih layak disebut perusak bangsa dan negara yang tidak pantas menyandang predikat ketokohan dalam bentuk apapun.
Inilah bukti, fakta yang perlu dicatat dan dituliskan dalam sejarah perjalanan bangsa dan negara yang bisa dibuka dari generasi ke generasi sepanjang masa di republik ini. Pelaku-pelaku sejarah harus menyadari paripurna bahwa apa yang dilakukan di masa lalu, masa kini, merupakan laman-laman sejarah yang akan dibuka generasi akan datang, termasuk mereka-mereka yang belum lahir saat ini.
Karena itulah, Bapak Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia Ir Soekarno atau Bung Karno menganjurkan dan mengingatkan kepada seluruh anak-anak bangsa “Jangan Sekali-sekali Melupakan Sejarah atau JASMERAH” agar bangsa ini bukan bangsa pikun, agnosia, memori pendek, lupa diri, dan tak tahu sejarah perjalanan bangsanya dari waktu ke waktu.
Mengingat sejarah bukan memelihara dan melestarikan dendam masa lalu, tetapi catatan perjalanan bangsa dan negara yang ditulis berdasarkan bukti dan fakta agar tidak terjadi pembohongan, pemutar balikan bukti, fakta sejarah terhadap generasi mendatang supaya tidak keliru memberi tanda-tanda jasa dan bintang kehormatan di masa akan datang. Karena amat sangat keliru besar memberi tanda jasa dan bintang kehormatan terhadap pengkhianat bangsa atau negara, award anti korupsi terhadap pelaku koruptor, dan lain sebagainya. Sementara putera/puteri terbaik anak bangsa yang telah menunjukkan perjuangannya demi bangsa dan negara tidak mendapat tanda jasa dan bintang kehormatan karena melupakan sejarah perjuangan mereka.
Bangsa yang besar tak pernah lupa dari sejarahnya, dan rangkaian perjalanan sejarah merupakan elemen fundamental membangun semangat perjuangannya menuju cita-cita yang hendak dicapai.
Jangan tulis sejarah melalui manipulasi, pembelokan, penyelundupan bukti, fakta agar tidak mewariskan kebohongan terhadap generasi-generasi berikutnya. Jangan Sekali-sekali Melupakan Sejarah atau JASMERAH agar tidak membohongi diri sendiri dengan orang lain. Sebab, sejarah adalah catatan obyektif, bukti dan fakta diam yang laman-lamannya bisa dipelajari, dianalisa, serta disimpulkan siapa pun untuk mengungkap perilaku masa lalu. (Penulis buku: Kepemimpinan Ditinjau dari Kultur Budaya Batak-Toba).
Medan, 7 Juni 2014
Thomson Hutasoit.
Selasa, 10 Juni 2014
Sabtu, 15 Maret 2014
Bagian Kedua
Kepemimpinan
Kerakyatan.
Secara garis besar tipologi kepemimpinan bisa dibedakan atas dua jenis, yakni; kepemimpinan kerakyatan dan
kepemimpinan elitis. Pembagian itu ditinjau dari sisi orientasi kepemimpinan yang
diterapkan di masyarakat, bangsa maupun negara.
Orientasi kepemimpinan dimaksud ialah apakah kepemimpinan itu dijalankan
sesuai keinginan, kehendak rakyat, atau
justru sebaliknya, berdasarkan
keinginan, kehendak pemimpin beserta konco-konconya.
Kepemimpinan kerakyatan ialah suatu kepemimpinan yang didasarkan pada
kehendak, keinginan rakyat. Karena itu, seorang pemimpin harus mengetahui,
memahami denyut kebutuhan, kepentingan rakyat secara konkrit.
Dengan demikian, seorang pemimpin adalah penjelmaan kehendak rakyat, sekaligus
jawaban atas situasi kondisi masyarakat secara riil.
Seorang pemimpin tentu membutuhkan
pengetahuan, pemahaman paripurna tentang apa yang diperlukan atau dibutuhkan
rakyat. Ketika seorang pemimpin menyuarakan, melontarkan sebuah ide, gagasan
atau kebijakan akan mendapat respon positif dari seluruh rakyat karena seluruh ide,
gagasan, visi atau kebijakan dilahirkan sesuai dambaan, harapan, kehendak rakyat itu sendiri. Dalam situasi seperti ini lah
otensitas seorang pemimpin tampak dengan nyata di mata rakyat.
Seorang pemimpin harus memiliki gagasan,
visi, kebijakan yang dijabarkan dari sebuah ideologi, ajaran atau pemikiran
yang dapat diterima rakyat sebagai suatu kebenaran.
Suatu ide, gagasan atau visi besar yang diucapkan seorang pemimpin memiliki
daya magnit membangkitkan semangat (spirit)
masyarakat, bangsa. Dan di sini lah
salah satu peran penting kehadiran seorang pemimpin terhadap kehidupan
masyarakat, bangsa maupun negara. Salah satu contoh konkrit ialah isi ideologi
Soekarno, bukan pikiran ideal yang tidak kena mengena dengan situasi nyata.
Pada Soekarno ideologi merupakan tanggapan atas realitas pengalaman rakyat
dalam sistem kolonial. Soekarno tidak bertolak dari ide untuk merancang
realitas; sebaliknya, mengalami realitas kolonial menuntunnya untuk merumuskan
ideologi. Jadi, apa yang dikatakannya adalah hasil membaca dan mengamati
keadaan nyata sedang terjadi.
Dukungan rakyat terhadap ideologi
Soekarno merupakan indikasi, bahwa suara dan cita-cita mereka terwakili dalam
ideologi itu. Rakyat seolah mendengar suara mereka. Dan kritikannya, kritik
rakyat tersuarakan. Ia menyebut dirinya ”mulut” dan ”telinga” rakyat, suatu
penamaan yang bukan tanpa dasar. (Pdt.
Dr. Ayub Ranoh, 2006).
Semakin besar kemampuan seorang
pemimpin menangkap, menyerap, memahami denyut hati rakyat maka semakin otentik lah
kepemimpinan kerakyatan melekat pada dirinya. Karena, kepemimpinan kerakyatan
bukan sekadar klaim pencitraan diri yang tidak memiliki korelasi dengan
tindakan nyata keberpihakan pada
keinginan, kehendak, kepentingan rakyat.
Kepemimpinan kerakyatan juga tercermin
dari sejauhmana hubungan batin antara seorang pemimpin dengan yang dipimpin.
Sehingga sangat mudah membuktikan,
apakah seseorang itu benar-benar pemimpin kerakyatan atau justru sebaliknya
pemimpin elitis.
Kepemimpinan kerakyatan yang lahir
dari rahim rakyat tentu sangat mengetahui, memahami kebutuhan, keinginan rakyat melalui
pengalaman, serta pengindraan langsung kehidupan rakyat. Oleh sebab itu, apa
yang dialami, dirasakan rakyat merupakan bahagian dari kehidupannya sendiri
yang harus diselesaikan atau dituntaskan.
Seorang pemimpin kerakyatan tak
pernah membangun tembok pemisah antara dirinya dengan rakyat, melainkan
berusaha mendekatkan diri serta gemar mendengarkan, menyerap aspirasi rakyat
seluas-luasnya.
Selanjutnya, menjabarkan berbagai aspirasi itu ke dalam program atau kebijakan
pemerintahan sebagai rencana aksi (action
plan) beserta langkah-langkah
konkrit untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi rakyat.
Pemimpin kerakyatan tak pernah takut
dan/atau menghindari diri dari rakyat. Karena itu, tidak menginginkan berbagai aturan protokoler
kaku yang menimbulkan jurang pemisah antara dirinya dengan rakyat yang dipimpin.
Beberapa contoh pemimpin di negeri
ini yang tidak terlalu suka protokoler
kaku, antara lain; Presiden RI pertama Ir. Soekarno atau Bung Karno, Presiden
RI Keempat KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Gubernur Sumatera Utara EWP.
Tambunan, Walikota Surakarta Solo yang kini menjadi Gubernur DKI Jakarta 2012-2017 Joko Widodo (Jakowi), Walikota
Surabaya Tri Rismaharini, dan lain-lain. Pemimpin-pemimpin ini sangat dekat
dengan rakyat, suka mendengarkan aspirasi, serta peduli nasib orang lain. Mereka
tak ingin terpisah dari rakyat yang dipimpin menjadikan kehadirannya
benar-benar dirasakan secara nyata.
Pemimpin kerakyatan mampu menangkap,
menyerap, memahami dan menjabarkan keinginan rakyat secara konkrit karena
mereka mau mendengarkan jeritan rakyat dengan hati tulus ikhlas, serta
menjadikan aspirasi rakyat itu sebuah rencana aksi dalam program atau kebijakan
pengabdian nyata. Keperpihakan itu lah yang melahirkan ekspektasi rakyat
semakin meningkat dari waktu ke waktu.
Pemimpin kerakyatan bukan lah pakar
teori belaka yang dibangun dari asumsi-asumsi, postulat-postulat, melainkan melahirkan
ideologi, rencana, program, visi-misi melalui penginderaan empiris pengalaman
rakyat. Sehingga program atau kebijakan yang ditelorkan adalah inventarisasi
berbagai masalah sekaligus solusi nyata. Bukan sekadar retorika pragmatis bertujuan
membangun pencitraan diri sebagaimana dilakonkan para pemimpin elitis di negeri
ini.
Salah satu hal istimewa dari
Presiden Amerika Serikat Ricard M. Nixon
(30 april 1973) ketika terjadi skandal Watergate
yang memaksa dirinya mengundurkan diri bulan Agustus 1974. Ia mengatakan “…Apapun
yang ditimbulkan oleh kasus ini sebelumnya, dan betapa pun tidak patutnya
kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan berkaitan dengan skandal kotor ini, saya
ingin agar rakyat Amerika, saya ingin Anda semua tahu bahwa di balik bayangan
keraguan yang muncul selama masa jabatan saya selaku presiden, keadilan akan
ditregakkan secara penuh, jujur, dan tidak memihak, terlepas dari siapa pun
yang terlibat.
Jabatan ini merupakan kepercayaan suci dan saya bertekad untuk menjaga
kepercayaan itu.
Dalam setiap organisasi, orang yang
berada di puncak haruslah memikul tanggung jawab. Oleh karenanya, tanggung
jawab atas semua masalah ini ada di sini, di kantor ini. Saya menerimanya. Dan
saya bersumpah pada Anda malam ini, dari kantor ini, bahwa saya akan melakukan
apa saja dalam batas kekuasaan saya untuk memastikan, bahwa yang salah akan
diadili, dan pelanggaran serupa takkan terjadi lagi dalam proses politik kita
di tahun-tahun mendatang, jauh sesudah saya meninggalkan kantor ini”.
Kalkulasi Peluang Perolehan Kursi Legislatif
Kalkulasi
Peluang Perolehan Kursi Legislatif
Oleh : Drs.
Thomson Hutasoit
Direktur
Eksekutif LSM Kajian Transparansi Kinerja Instansi Publik (ATRAKTIP)
Pemilihan Legislatif (Pileg) 9 April
2014 tinggal menghitung hari dan para calon legislatif (caleg) DPR RI, DPD RI,
DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota sudah semakin degdegan apakah berhasil atau
tidak memperoleh kursi wakil rakyat yang sangat didambakan.
Para calon legislatif telah
melakukan pendekatan kepada calon konstituen, baik langsung maupun tidak
langsung. Berbagai cara sosialisasi untuk memperkenalkan diri yang tentu sangat
menguras tenaga, pikiran, bahkan menghabiskan dana yang tidak sedikit. Ada pula
siang malam bergerilya berkunjung dari pintu ke pintu ala Ebiet G. Adie
orang-orang yang tidak pernah dikenal sebelumnya. Kunjungan ke rumah-rumah
calon pemilih bertabur berbagai kebaikan seperti pemberian bingkisan sembako,
sandang-pangan, dana-dana sumbangan, bahkan ada pula yang membangun fasilitas
umum yang tentu menguras kantong calon legislatif. Hal itu terpaksa dilakukan untuk
meraih simpatik calon pemilih agar mau menjatuhkan hak pilih kepada caleg
bersangkutan.
Kondisi seperti itu menggeser makna
sejati pemilihan umum (Pemilu) dari pendidikan politik rakyat ke penciteraan
diri para caleg sebagai sosok sinterklas yang membagi-bagikan aneka kebaikan
seolah-olah dermawan yang sangat peduli penderitaan pihak lain. Padahal,
tindakan-tindakan itu hanyalah sebuah kepalsuan, bahkan pembohongan, pembodohan
politik yang sangat kental nuansa keberpurak-purakan sebagai salah satu taktik
strategi meraih simpatik pemilih. Berbagai kemasan citra diri tak masuk akal
dengan memanfaatkan kekurangmampuan masyarakat memahami eksistensi sejati
memilih dan menghadirkan calon-calon wakil rakyat sepertinya bergayung sambut
antara caleg dengan calon konstituen. Akibatnya, masyarakat terperangkap atas
kebaikan palsu tanpa mempertimbangkan kredibilitas, kapabilitas, kapasitas,
integritas kepribadian para caleg ditengah-tengah masyarakat
sebelum-sebelumnya.
Sinyalemen para pakar politik yang
mengatakan, bahwa memori atau ingatan bangsa ini sangat pendek sepertinya
mendekati kenyataan, sebab masyarakat terkesan mudah percaya dan diyakinkan
dengan taktik strategi menabur kebaikan palsu seperti pemberian sembako,
sumbangan-sumbangan, hingga lupa mencermati rekam jejak kinerja para caleg sebelumnya.
Hal itu, tentu sangat berbahaya dalam upaya menghadirkan wakil-wakil rakyat
yang mampu mengemban amanah dan memperjuangkan aspirasi rakyat ke depan. Harus
diingat setiap pengeluaran atau biaya politik (cost politic) akan dikompensasi setelah kekuasaan diraih. Aspirasi
rakyat tidak akan menjadi perioritas sebelum pulang modal, bahkan keuntungan
kompensasi politik transaksional yang telah dikeluarkan para caleg. Dan inilah
salah satu sebab mengapa para caleg mau menghabiskan dana cukup signifikan
dalam tahapan pemilihan.
Berharap tentu boleh-boleh saja dan
tidak salah, namanya juga usaha ! Akan tetapi, bila seluruh calon legislatif
berharap demikian, optimis menang dan memperoleh kursi maka di sini lah
berbagai masalah akan timbul seperti; bertambah jumlah orang stres, bertambah
angka kemiskinan, meningkat kekecewaan hidup, bahkan tidak mustahil terjadi
keretakan hubungan keluarga, kerabat dan lain-lain pasca pemilihan legislatif (Pileg).
Bila para Caleg sejak semula mempersiapkan diri bahwa pemilihan legislatif adalah kompetisi
yang sudah pasti ada yang kalah dan menang maka para caleg telah mempersiapkan
diri meneima kekalahan atau kemenangan pada 9 April 2014 nanti. Tetapi, jika
para Caleg hanya berambisi menang, serta
menghabiskan dana besar untuk mengejar bayang-bayang kelabu atau
kemenangan di sini lah timbul pertanyaan besar, bagaimana nantinya Caleg
bersangkutan pasca pileg. Sementara rumor
di masyarakat telah dipersiapkan ruangan rumah sakit jiwa untuk menampung para
Caleg yang tidak siap menerima kekalahan pada pemilihan legislatif nanti.
Bila angka pengidap penyakit jiwa
meningkat pasca pileg maka sangat disayangkan kejadian demikian, karena telah
menciderai makna sejati pemilihan umum legislatif (pileg) wahana pendidikan
politik rakyat sekaligus pesta demokrasi yang seharusnya mendatangkan
kebahagiaan. Tetapi, bila para caleg kalah nantinya banyak yang menderita
stres, sakit jiwa, karena telah menghabiskan harta kekayaan yang
ditabur-taburkan pada proses pileg tanpa kalkulasi peluang menang atau mendapat
kursi maka hal itu merupakan kesalahan besar yang perlu direnungkan
sedalam-dalamnya.
Dari pengamatan penulis beberapa
kali pemilihan umum di negeri ini, bahwa para kandidat legislatif masih banyak
yang tidak membuat kalkulasi peluang menang atau memperoleh kursi DPR RI, DPD
RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota secara matang. Padahal, kalkulasi
peluang menang sangat diperlukan setiap kandidat agar tidak terbuai bayang-banyang
semu yang bisa menimbulkan kekecewaan di kemudian hari. Belum lagi, parameter
ketokohan seseorang di mata rakyat. Tidak mustahil juga para caleg adalah
sosok-sosok yang tak pernah dikenal masyarakat sebelum masa pencalegan sehingga
sangat menyulitkan ketika melakukan sosialisasi ke masyarakat. Salah satu rumus
instan yang kerap dilakukan caleg-caleg seperti itu adalah menabur-naburkan
berbagai kebaikan seperti; memberi sembako, sandang-pangan,
sumbangan-sumbangan, memberi papan bunga, dan lain-lain yang tentu membutuhkan
biaya sangat besar pula.
Pemberian seperti itu, belum bisa
menjadi jaminan perolehan suara pada pileg nanti, karena fenomena yang tubuh di
masyarakat saat ini, siapa pun yang menawarkan, memberi akan di tamping, soal
memilih itu urusan nanti. Kondisi inilah yang perlu dicermati para caleg agar
tak terlalu optimistis meraih kemenangan sehingga lupa mempersiapkan diri
menerima kekalahan.
Sistem
pemilihan legislatif 2014 membuka pertarungan terbuka antar caleg dalam
internal partai dan pertarungan caleg antara partai. Pertarungan antar caleg di
internal partai dengan sistem suara terbanyak memungkinkan antar caleg di dalam
satu partai saling bantai-membantai, dan tidak mustahil juga saling menjatuhkan
satu sama lain. Padahal, pertarungan antar caleg dalam satu partai seharusnya
tidak elegan sebelum partai bersangkutan memperoleh kursi dari alokasi kursi di
satu daerah pemilihan (Dapil) tertentu.
Pertarungan
paling pertama dan utama sebenarnya adalah bagaimana supaya partai itu mendapat alokasi kursi pada dapil, karena
bila suatu partai tidak mendapat alokasi kursi maka perolehan suara partai akan
musnah atau hilang. Pertarungan antar caleg dalam satu partai akan sia-sia.
Karena itu, sangat keliru besar apabila caleg-caleg dalam satu partai
‘bantai-membatai’ dengan melancarkan kampanye hitam untuk menyerang caleg
separtainya. Selain tidak menarik simpatik konstituen, tindakan itu
mencerminkan ambisius caleg sekaligus merugikan partainya.
Kemampuan,
kecerdasan membuat kalkulasi peluang menang, selain meminimalisasi biaya para
caleg juga mempersiapkan diri menerima apapun hasil pileg nanti supaya tidak
stres ataupun sakit jiwa sebagaimana sinyalemen masyarakat terhadap caleg pasca
pileg.
Sesuai
ketentuan undang-undang pemilihan umum legislatif (Pileg) 2014 jumlah caleg setiap
partai 100 persen x alokasi kursi, jumlah partai politik peserta pemilu
sebanyak 12 partai. Misalnya; DPRD Kota
Medan sebanyak 50 kursi maka jumlah caleg yang bertarung memperebutkan kursi
tersebut, 50 kursi x 12 partai = 600 caleg. Jumlah yang kalah atau tidak
memperoleh kursi sebanyak 550 orang. Bila dipertajam lagi dengan pembagian
daerah pemilihan (dapil). Alokasi kursi di Dapil Medan 3 sebanyak 8 kursi yang
meliputi; Medan Baru, Medan Petisah, Medan Barat, Medan Helvetia yang akan
diperebutkan 12 partai x 8 caleg = 96 caleg.
Dalam
hal inilah perlu dilakukan kalkulasi peluang menang secara cermat dan cerdas,
partai-partai mana yang berpeluang besar memperoleh alokasi kursi. Jika
seandainya, seluruh partai mencermati peluang menang dengan seksama maka saat
ini juga telah mendapat gambaran hampir dapat dipastikan partai mana saja dari
12 partai tersebut yang berpeluang besar memperoleh jatah kursi di Dapil Medan
3.
Untuk
memberi gambaran, pada Pileg 2009 yang pesertanya 48 partai, alokasi 7 kursi, yang
berhasil memperoleh kursi di Dapil Medan 3 antara lain; Partai Demokrat 2
kursi, Partai Golkar 1 kursi, PDP-Perjuangan 1 kursi, Partai Damai Sejahtera
(PDS) 1 kursi, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 1 kursi, Partai Persatuan Rakyat
Nasional (PPRN) 1 kursi. Dari perolehan kursi itu bila dianalisis dengan
cermat, cerdas akan memberi gambaran bagi partai-partai peserta di pemilihan
legislatif 2014 akan datang, dan hal yang sama bisa dijadikan dasar kalkulasi
peluang menang di daerah-daerah lain.
Sebab,
alangkah naifnya terlalu optimistis memperoleh kemenangan tanpa mengkalkulasi peluang menang dengan
memperhitungkan langkah-langkah yang telah dilakukan sehingga tidak mimpi di
siang bolong. Kecermatan, kecerdasan caleg untuk melakukan kalkulasi peluang
menang sebelum 9 Apil 2014 sangat diperlukan supaya tidak terperosok ke dalam
lubang sedalam-dalamnya, serta resiko fatal pada diri caleg pasca pemilu.
Mengorbankan
segala hal tanpa mengkalkulasi peluang menang adalah tindakan kurang cerdas dan
akan menuai segunung kekecewaan, kecuali para caleg sejak semula berniat tulus
memberi pendidikan politik kepada rakyat sebagai tanggung jawab warga negara
yang baik. Akan tetapi, hal itu masih sangat jauh dari ranah berpikir dan bertindak
para kandidat yang bertarung saat ini. Buktinya, sesama satu partai saja pun
saling sikut-menyikut, saling menjelekkan, dan perang terbuka antar caleg
semata-mata dilatari ambisi dan egoisme pribadi untuk meraih kekuasaan. Jadi,
sangat sulit diterima logika akal sehat seorang caleg tidak didorong ambisi
berkuasa walaupun mengeluarkan dana cukup signifikan.
Tidaklah
terlalu tendensius bila dikatakan, bahwa banyak caleg-caleg yang tidak mampu
melakukan kalkulasi peluang menang pada pileg 2014, sebab bukti berbicara para
caleg masih cenderung mengandalkan kemampuan finansial daripada menawarkan visi
perjuangannya kepada masyarakat seandainya terpilih kelak sebagai wakil rakyat.
Bahkan, ada caleg yang tidak mampu menjelaskan visinya secara konkrit ketika masyarakat
mempertanyakan pada saat datang sosialisasi. Padahal, pada kesempatan seperti
itulah para caleg menjelaskan visi-misinya secara langsung kepada masyarakat
supaya bisa diketahui layak tidaknya mengemban aspirasi rakyat.
Para
caleg harus memahami rakyat sekarang sudah semakin pintar dan cerdas, dan tidak
semua mau “menjual diri” atau memilih caleg karena dapat uang, sembako,
sandang-pangan, dan aneka kebaikan sesaat, karena rakyat sudah tahu pemberian
itu nanti akan di kompensasi ketika kekuasaan sudah di tangan. Berbagai
kasus-kasus korupsi, penyelewengan jabatan, pengabaian aspirasi rakyat dari
wakil-wakilnya adalah akibat politik transaksional dalam merebut jabatan. Bila
saat ini rakyat menerima pemberian caleg-caleg belum menjamin mereka memilih,
bahkan di kalangan masyarakat kini berembus kencang slogan “Terima uangnya
jangan pilih orangnya” sebagai puncak gunung es kekecewaan terhadap para
penabur janji, pengidap penyakit lupa karena di mabuk kekuasaan. Oleh sebab
itu, para caleg kiranya membuat kalkulasi peluang menang sebelum terjerembab
pada penyesalan dan kekecewaan amat sangat dalam, termasuk berhati-hati
menggelontorkan berbagai kebaikan sesaat seperti, politik uang (money politic) yang belum menjamin suara
pemilih. Persiapkan diri siap kalah siap menang supaya tidak stres, sakit jiwa
pasca pemilihan legislatif. Pemilihan adalah kompetisi yang di dalamnya ada
yang kalah ada pula yang menang. Rakyat berdaulat untuk memilih dan menentukan
siapa yang layak dan pantas diserahi amanah sebagai wakil rakyat.
Selamat
berdemokrasi ! Pepatah klasik mengatakan’ “Pikir itu pendapatan, sesal kemudian
tak berguna. Petarung handal selalu berprinsip “Dalam pertarungan menang dan
kalah adalah hal yang wajar dan biasa”.
Medan, 9 Maret 2014.
Sabtu, 08 Maret 2014
DETEKSINEWS: REKAM KUNJUNGAN BONA PASOGIT
DETEKSINEWS: REKAM KUNJUNGAN BONA PASOGIT: REKAM KUNJUNGAN BONA PASOGIT BORSAK BIMBINAN HUTASOIT DESA TIPANG, KECAMATAN BAKTIRAJA KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN Hari/Tan...
Kepemimpinan ditinjau dari Kultur Budaya Batak-Toba
Bagian Pertama
Pendahuluan.
Salah satu menu diskusi paling menarik diperbincangkan sepanjang masa ialah
tipologi kepemimpinan yang dilakonkan para pemimpin, baik pemimpin formal
maupun informal di skop lokal, nasional, ataupun internasional.
Tipologi kepemimpinan memiliki korelasi terhadap martabat, marwah serta
jati diri suatu bangsa di mata pergaulan antar bangsa-bangsa di dunia. Sebab,
tipologi kepemimpinan merupakan salah satu energi besar membangun kebanggaan serta kewibawaan bangsa.
Kepemimpinan suatu bangsa sangat
berpengaruh besar membangun keunggulan
dibandingkan bangsa-bangsa lain, yang
ditandai berbagai karya monumental ataupun keunggulan spesifik berdaya saing di fora internasional.
Menurut Wlliam Marston seperti dikutip oleh Bobinski (2000)
mengklasifikasikan pemimpin dalam 4 (empat) jenis, yaitu; pemimpin Dominance,
Influencing, Steadiness, dan Compliance.
Model kepemimpinan Marston diberi nama model DISC.
Pemimpin tipe D (Dominance)
cenderung menguasai situasi, kaya akan inisiatif, suka tantangan, tidak suka status quo, tegas, memiliki hasrat kuat
untuk mencapai prestasi tinggi, tidak suka neko-neko, dan lebih berorientasi
pada tugas. Pemimpin ini kadang dijuki hawk
(elang) atau lion (singa).
Pemimpin tipe I (Influencing)
gemar berinteraksi sosial, menghormati sesama, dan suka dihormati, penuh
optimisme, masalah apa pun yang dihadapi diyakini dapat diatasinya, rasa humor
yang tinggi, dan pasti minta pendapat orang lain sebelum bertindak.
Pemimpin tipe S (Steadiness)
bercirikan loyal, suka melayani orang lain, pencinta damai, rileks namun
pekerja keras, bertindak atau berkomunikasi tidak langsung, jika tidak setuju
ia tidak mengatakannya terus terang, lamban dalam mengambil keputusan, dan
tidak suka konfrontasi. Mereka sering dijuki dove (merpati) atau Golden
Retriever (memilih mundur daripada konfrontasi).
Pemimpin tipe C (Compliance) selalu
berpedoman pada hukum dan prosedur dalam bertindak. Ia takut jika tidak
mengikuti prosedur.
Tipe D juga menghindari konflik, bahkan tidak antusias untuk membalas jika
ditantang. Ia memiliki penalaran yang tinggi, selalu mencari fakta dan bukti
ketika bertindak sehingga ia dijuluki objective
thinker. Satu lagi cirinya perfectionist.
(Prof. DR. Tjipta Lesmana, MA, 2009).
Kepemimpinan ialah kemampuan untuk membimbing, mengarahkan, mendorong,
membangkitkan, menggerakkan pihak lain mencapai tujuan. Melalui kepiawian, kemahiran berkomunikasi efektif mampu memengaruhi orang lain.
Melalui kepiawian, kemahiran kepemimpinan setiap orang merasakan sentuhan-sentuhan
batiniah antara pemimpin dengan yang dipimpin.
Seorang pemimpin tentu harus memiliki nilai plus dibanding dengan yang
dipimpin seperti, kecerdasan, intelektualitas, karakter mental, kejujuran,
keberanian, ketegasan, integritas, serta jati diri yang bisa ditiru dan
diteladani.
Misalnya, ketika para pemuda memaksa Bung Karno memproklamasikan
kemerdekaan Republik Indonesia sebelum tanggal 17 Agustus 1945, dimana ketika
itu para pemuda memaksa bahkan mengancam Bung Karno supaya segera memproklamasikan
kemerdekaan, tapi dengan tegas Bung Karno menyatakan kepada Adam Malik, Chairul
Saleh, B.M. Diah, Sukarni, Wikana dan lain-lain. ”Lalu apa ?” Soekarno
berteriak sambil melompat dari kursi dalam keadaan sangat marah. ”Jangan
coba-coba mengancamku. Jangan kalian berani memerintahku. Justru kalian harus
mengerjakan apa yang kuinginkan. Aku tak akan pernah mau dipaksa menuruti
kemauan kalian!” (Hendri F. Isnaeni,
2009).
Makna sejati kepemimpinan ialah kemampuan seorang pemimpin menghimpun, melindungi, mengayomi, mendorong,
membangkitkan, mengarahkan, menggerakkan, serta memberi keteladanan kepada
pihak lain untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan.
Untuk melakukan hal itu, seorang pemimpin bisa saja menerapkan model
kepemimpinan kerakyatan ataupun
kepemimpinan elitis sebagaimana pola-pola kepemimpinan yang kerap dilakukan di
berbagai belahan dunia.
Tipologi kepemimpin memiliki perbedaan paradigma tentang bagaimana
kepemimpinan itu dilakukan, bagaimana pengaruhnya terhadap rakyat, bangsa maupun
negara. Hal inilah yang selalu jadi menu perbincangan hangat serta pemikiran
kritis dikala terjadi pemilihan pemimpin (suksesi) dari masa ke masa.
Salah satu esensi kepemimpinan pada komunitas Batak, khususnya Batak-Toba
ialah sebutan ”raja atau panggonggomi” yaitu; seseorang yang mampu melindungi, mengayomi,
mengarahkan, mendorong, menyemangati, mengendalikan, mencerdaskan, serta menegakkan
kebenaran dan keadilan ditengah-tengah masyarakat, bangsa.
Kepemimpinan merupakan elemen fundamental serta esensial dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara sehingga sangat membutuhkan kualitas manajerial
istimewa dari seorang pemimpin. Karenanya, tidak sembarang orang bisa di daulat
jadi pemimpin. Seorang pemimpin harus
lah orang-orang pilihan memiliki keunggulan, keistimewaan di atas rata-rata
kemampuan orang lain. Keunggulan, keistimewaan itu pula lah membedakannya
dengan yang dipimpin.
Keunggulan, Keistimewaan yang dimaksud
lebih berporos pada parameter karakter moral, mental, seperti; kecerdasan, kejujuran,
keluhuran, keberanian, kepedulian, kasih,
keadilan, semangat atau spirit
(marsahala) dalam menjalankan amanah yang dipercayakan pada dirinya.
Faktor karakter moral, mental seperti itu merupakan elemen paling dasar dalam memilih dan/atau menentukan seorang
pemimpin pada komunitas Batak-Toba. Sebab, eksistensi pemimpin pada komunitas
Batak-Toba yang menganut hukum adat (hukum tak tertulis) adalah kemampuan menjalankan tugas-tugas
kepemimpinan yang dilandasi musyawarah menuju mufakat, termasuk dalam implementasi,
menentukan sanksi-sanksi, serta penegakannya sebagai pranata yang mengatur tata hidup komunal.
Paranata hidup itu, selanjutnya
dijadikan aturan hukum yang harus dihormati dan dijunjung tinggi seluruh individu
masyarakat Batak-Toba dalam hidup sehari-hari.
Fondasi dasar kehidupan Batak-Toba ialah
falsafah Dalihan Na Tolu (DNT) yaitu; somba marhula-hula, manat mardongan tubu,
elek marboru yang merupakan warisan leluhur. Falsafah Dalihan Na Tolu (DNT) telah
membentuk karakter spesifik, jati diri Batak-Toba dari generasi ke generasi.
Esensi kepemimpinan pada suatu masyarakat,
bangsa tentu memiliki ciri khas sesuai kearifan lokal yang tumbuh berkembang
pada suatu masyarakat, bangsa. Sehingga jenis, macam, ragam, corak kepemimpinan
tidak bisa diseragamkan satu sama lain.
Dalam ungkapan Batak-Toba hal itu disebut, “Asing dolok asing do sihaporna,
Asing luat asing do nang adatna” atau seperti peribahasa klasik,” lain lubuk lain
ikannya” yang menunjukkan bahwa ragam, jenis, macam, corak kepemimpinan bisa berbeda-beda pula.
Keragaman kearifan lokal yang tumbuh
subur di masyarakat, bangsa juga melahirkan berbagai tipologi kepemimpinan yang belum tentu sesuai
dan serasi bila diseragamkan (uniform)
ataupun diterapkan pada masyarakat, bangsa yang
berbeda. Aneka ragam kepemimpinan berdasarkan kearifan lokal perlu
digali, didalami, serta dikembangkan sebagai
salah satu instrumen penting memformulasi kepemimpinan berbasis kearifan lokal
supaya benar-benar menyentuh kehidupan nyata sesuai dengan jati diri bangsa
bersangkutan.
Nilai-nilai luhur kearifan lokal
ditengah-tengah kehidupan masyarakat merupakan elemen dasar parameter
menganalisis esensi kepemimpinan, apakah
sesuai dengan nilai-nilai kultur budaya yang masih diakui kebenarannya
ditengah-tengah komunitas. Sebab, adakalanya, yang dianggap baik pada
masyarakat, bangsa tertentu belum tentu baik pada masyarakat, bangsa lain.
Esensi kepemimpinan dari sudut perspektif
kearifan lokal atau kultur budaya akan lebih sesuai dan serasi diterapkan pada
masyarakat, bangsa bersangkutan sehingga perlu digali, dikembangkan untuk
memperluas khasanah kepemimpinan berbasis kearifan lokal.
Sebab, suatu tipologi kepemimpinan tidak terlepas dari nilai kultur budaya
yang tumbuh berkembang ditengah-tengah kehidupan masyarakat, bangsa itu
sendiri.
Nilai-nilai kearifan lokal mewarnai karakter berpikir, bertindak yang tidak
mudah dilepaskan dari suatu komunitas karena sudah menjadi jati diri masyarakat,
bangsa yang membedakannya dengan komunitas lain.
Pada komunitas Batak-Toba
kepemimpinan merupakan hal paling penting serta strategis sehingga seorang
pemimpin harus mampu memosisikan diri sebagai panutan, tauladan dalam segala
hal, sebab seorang pemimpin bukan bagian dari masalah, melainkan solusi
berbagai masalah yang dihadapi masyarakat, bangsa. Karena itu, seorang pemimpin
harus mampu menempatkan diri sebagai public
figure yang pantas ditiru, digugu, serta ditauladani oleh seluruh elemen
masyarakat, bangsa.
Sebagai seorang pemimpin (raja,
panggomggomi) harus memiliki kemampuan ”raja urat ni uhum, na mora ihot ni
hosa, raja si horus na lobi, sitambai na longa, raja parbahul-bahul na bolon,
partataring so ra mintop, paramak so balunon, parsangkalan so mahiang, partogi
pangihutan, panungkunan pandapotan, panungkunan ni uhum, pangahitan ni roha,
raja na marsahala, na tulut di hata na so lupa di poda, raja singa ni uhum na
hot di ruhut-ruhut, pamuro so mantat sior, parmahan so mantat batahi, ompu ni
na bisuk na pantas di roha, parorot so manggotili,
parmeme so mambonduti, si pasiang ilu sian mata, si paulak hosa loja, raja
parhata siat di tonga ni mangajana, na sintong manimbangi na so siida
rupa, pardasing so ra teleng, parhatian
so ra monggal dan lain sebagainya.
Keunggulan karakter moral, mental, seperti
itu lah yang menjadi parameter kepemimpinan pada komunitas Batak-Toba agar
kehadiran seorang pemimpin benar-benar solusi nyata seluruh perikehidupan
rakyat dan bangsa.
Walaupun kepemimpinan pada Batak-Toba
cenderung bersifat non formal, tapi
kepemimpinan memiliki peran penting dan strategis menjaga tertib sosial
sehingga kepemimpinan harus dilandasi
keunggulan karakter moral agar diakui,
dihormati, dituruti seluruh lapisan masyarakat.
Pengakuan, penurutan, penghormatan kepada seorang pemimpin pada Batak-Toba didasarkan
atas kapabilitas, kredibilitas, integritas, soliditas, serta keistimewaan
karakter moral yang pantas ditiru dan ditauladani. Bukan karena paksaan atau
berbagai sanksi yang diterapkan.
Pada komunitas Batak-Toba
kepemimpinan bukanlah kekuasaan territorial (kekuasaan formal) seperti pada sistem kepemimpinan pemerintahan, melainkan
kepemimpinan non formal yang
berfungsi dan berperan sebagai garda terdepan penjaga nilai-nilai luhur budaya warisan
nenek moyang.
Sebagai garda terdepan menjaga, memelihara nilai kultur budaya, seorang pemimpin
harus mampu memosisikan diri perekat seluruh elemen masyarakat. Harus pula difahami
paripurna, bahwa penyebutan raja pada Batak-Toba seperti; raja ni hula-hula,
raja ni dongan tubu, raja ni boru, raja ni dongan sahuta, raja ni ale-ale,
tidak lah indentik dengan sistem kerajaan yang dianut sistem pemerintahan di
dunia.
Raja Patik Tampubolon mengatakan, ”Di halak Batak, adong do hata raja di
pangke tu ganup horong ima; Raja ni Hula-hula, Raja ni Dongan Tubu dohot Raja
ni Boru. Jotjot do diartihon halak ”hata raja” sai songon harajaon pamarentaon,
hape ndang apala i na tinuju ni hata i, ai na marlapatan doi tu hatomanon,
hasortaon, hahormaton, hasangapon, dohot angka na asing pangalaho na raja.
Jadi hata raja ima patuduhon ianggo halak Batak ingkon marpangalaho na raja
do , ndang songon pangalaho ni hatoban na so marhasangapon di tonga-tonga ni
huta dohot mangajana” . (Dalam terjemahan bebas, bahwa pengertian raja pada
bangso Batak bukan raja dalam arti
pemerintahan, melainkan kualitas karakter moral, sopan santun, kehormatan,
kemuliaan, kewibawaan, dan lain sebagainya. Jadi sebutan raja menunjukkan bahwa
bangso Batak harus berperilaku seorang raja, bukan seperti perangai, perilaku
budak yang tidak memiliki harga diri, kehormatan sama sekali. Orang yang
berperilaku seorang raja akan dihormati ditengah-tengah masyarakat, bangsa
maupun negara).
Penyebutan predikat raja pada komunitas Batak-Toba lebih menunjuk sub struktur elemen masyarakat yang setara,
sederajat, serta saling menghormati satu
sama lain. Kedudukan atau posisi Hula-hula, Dongan Tubu, Boru adalah setara dan
sederajat, hanya fungsi dan tugas lah yang berbeda di antara ketiga unsur Dalihan Na Tolu (DNT)
itu.
Dalam demokrasi Dalihan Na Tolu
(DNT) yang didasarkan pada kearifan lokal Batak-Toba memosisikan seluruh unsur
setara, sederajat dan seimbang dalam hak dan kewajiban masing-masing.
Oleh sebab itu, model kepemimpinan klasik yang telah terbukti mampu
menjamin kelanggengan hubungan harmoni komunitas Batak, khususnya Batak-Toba
perlu digali dan dikembangkan salah satu model kepemimpinan, baik ditingkat
lokal, nasional maupun internasional.
Sehebat, sepesat apa pun capaian kemajuan
suatu bangsa, tanpa didasari nilai-nilai luhur kearifan lokal yang telah
menjadi identitas atau jati diri bangsa, kemajuan itu hanya lah suatu kemajuan
tanpa fondasi kuat.
Karena itu, kearifan kultur budaya tidak
boleh sekali-sekali disepelekan atau diabaikan dalam proses berbangsa bernegara,
sebab nilai-nilai luhur kearifan lokal telah membentuk karakter spesifik bangsa
bersangkutan. Bangsa tak berjati diri tak akan pernah tampil menjadi bangsa
unggul di percaturan bangsa-bangsa beradab di atas jagat raya ini.
Selain daripada itu, harus pula
disadari bahwa penyebutan nama suku, bangsa selalu didasarkan atas kearifan
lokal bangsa bersangkutan. Misalnya, penyebutan marga pada komunitas Batak,
khususnya Batak-Toba didasari adat budaya yang diwariskan para leluhur.
Sekalipun pada era belakangan ini, suku-suku lain telah menyandang marga Batak,
khususnya Batak-Toba, tetapi penyandangan marga itu harus lah melalui prosesi adat budaya yang bisa
diterima dan diakui komunitas Batak. Tidak boleh asal-asalan, sesuka hati atau semau gue.
Kebudayaan adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia
seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat. Atau, keseluruhan pengetahuan
manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta
pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya (KBBI, 2007).
Budaya (pikiran, akal budi, adat istiadat) tidak mudah dilepaskan dari
kepribadian suatu komunitas karena telah mendarah daging atau menjadi jati dirinya.
Segala bentuk penyimpangan nilai-nilai budaya yang dianut komunitas merupakan
pelanggaran norma-norma hidup yang diakui dan dijunjung tinggi seluruh elemen masyarakat.
Oleh karena itu, berbagai kemajuan yang tidak sesuai dengan kultur budaya
bangsa belum tentu bisa diterima atau diakui masyarakat, bangsa
bersangkutan, sebab tak sesuai kultur budaya bangsanya. Misalnya,
mode pakaian, gaya bicara, pola tingkah laku, sistem kepemimpinan dan lain
sebagainya yang diadopsi dari bangsa lain.
Salah satu hal pasti ialah segala
sesuatu yang didasarkan atas nilai-nilai hidup atau kultur budaya relatif
paling serasi dan efektif karena sesuai dengan jati diri bangsa.
Selain daripada itu, kemampuan
memilih dan/atau menentukan pemimpin negarawan adalah salah satu hal
fundamental dalam menentukan arah perjalanan bangsa. Karena hanya ditangan
pemimpin berintegritas dan berkepribadian tak tercela dan berkeadilan lah
kejayaan bangsa atau negara terjamin.
Jimly Asshiddiqie mengatakan,
”Negarawan itu orang yang sudah selesai dengan hidupnya, tidak lagi memiliki
cita-cita untuk mendapat jabatan lebih tinggi. Tidak lagi punya cita-cita untuk
mendapat uang lebih banyak”. (Kompas,
19-02-2014, Hal: 3, Kol: 6).
Kehadiran
pemimpin negarawan yang mengabdikan seluruh pemikiran dan hidupnya demi
kepentingan rakyat salah satu tugas paling dasar, sebab hanya ditangan pemimpin
seperti itu lah harapan, cita-cita, dambaan
bisa suatu kenyataan yakni;
kemakmuran, kesejahteraan, keadilan, serta kebahagiaan seluruh masyarakat,
bangsa maupun negara.
Langganan:
Postingan (Atom)