Oleh :
Thomson Hutasoit
Direktur eksekutif LSM Kajian Transparansi Kinerja Instansi Publik (ATRAKTIP)
Bagian Pertama.
Pendahuluan.
Dalam rangka memperingati Hari
Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia ke 67 (17 Agustus 2012-red)
Gubernur Sumatera Utara non aktif H. Syamsul Arifin, SE penyandang gelar Dato’
Seri membuat Iklan di Harian SIB (16/8/2012) dengan kalimat,
”Bangsa ini diperjuangkan oleh para pejuang dengan
persatuan, kesatuan dan bambu runcing. Sebentar lagi kita akan melakukan
pemilihan di Sumatera Utara. Pilihlah pemimpin yang:
- Orang yang taat kepada agama.
- Orang yang tidak serakah.
- Orang yang tidak sombong.
- Orang yang tidak munafik. Saat butuh dekati sahabat dan rakyat. Kalau tidak butuh ditinggalkan, (lupa diri, lupa berterima kasih).
Maka marilah kita mengikuti jejak pejuang terdahulu.
Modalnya persatuan dan kesatuan serta keikhlasan.
Merdeka. Merdeka. Merdeka.
Wassalam,
Dato’ Seri H. Syamsul Arifin, SE
Dato’ Seri H. Syamsul Arifin, SE
yang juga menyandang Marga Silaban sehingga selengkapnya Dato’ Seri H. Syamsul
Arifin Silaban, SE pada pemilihan
gubernur Sumatera Utara (Pilgubsu) 2008 berpasangan dengan H. Gatot Pujo
Nugroho, ST dengan ikon ”Syampurno”.
Pasangan calon Gubsu Syampurno
ketika itu menawarkan visi-misi ”Rakyat Tidak Lapar, Rakyat Tidak Bodoh, Rakyat
Tidak Sakit, dan Punya Masa Depan”.
Pasangan calon Gubsu ini
berhasil memenangi Pilgubsu 2008 untuk memimpin Provinsi Sumatera Utara periode
2008-2013.
Konsep besar Dato’ Seri H.
Syamsul Arifin Silaban, SE membangun
Sumatera Utara mewujudkan ”Rakyat Tidak Lapar, Rakyat Tidak Bodoh,
Rakyat Tidak Sakit, dan Punya Masa Depan” terhenti ditengah jalan akibat tersandung
masalah hukum ketika memangku jabatan Bupati Langkat.
Dato’ Seri H. Syamsul Arifin
Silaban, SE memimpin Sumatera Utara ± 2 (dua) tahun kemudian dilanjutkan H.
Pujo Nugroho, ST sebagai pelaksana tugas (Plt) Gubernur Sumatera Utara periode
2008-2013.
Dalam perjalanan estafet
kepemimpinan Provinsi Sumatera Utara pasca non aktif Dato’ Seri H. Syamsul
Arifin Silaban, SE tidak pernah luput melihat dan mengamati secara komprehensif
setiap perkembangan yang terjadi di daerah Sumatera Utara, termasuk proses
suksesi Gubernur Sumatera Utara periode 2013-2018 akan datang.
Sebagai Gubernur Sumatera Utara
non aktif tentu sangat menarik menilik makna pesan Iklan Dato’ Seri H. Syamsul
Arifin Silaban, SE dalam memilih pemimpin (Gubernur-red) Sumatera Utara periode
2013-2018 agar daerah ini tidak kehilangan tongkat kedua kalinya.
Tanpa interest subyektif makna pesan iklan tersebut sangat menarik untuk
dielaborasi lebih mendalam dan lebih luas sebab makna pesan iklan Dato’ Seri H.
Syamsul Arifin Silaban, SE mengandung makna paling dasar membangun persatuan,
kesatuan serta kebangsaan dan keindonesiaan di provinsi Sumatera Utara.
Sebab kekeliruan serta kesalahan
menentukan calon Gubernur Sumatera Utara periode 2013-2018 akan berakibat fatal
terhadap perjalanan penyelenggaraan pemerintahan daerah Sumatera Utara lima
tahun ke depan.
Orang yang taat kepada agama.
Orang yang taat kepada agama
adalah setiap orang yang melakukan agamanya dengan baik dan benar.
Tanda-tanda orang yang taat
kepada agama adalah melaksanakan perintah-perintahNya serta menghindari larangan-laranganNya.
Forum Kewaspadaan Dini
Masyarakat (FKDM) Provinsi Sumatera Utara (2011) dalam buku ”Kita jangan
melakukan kesalahan yang sama untuk ketiga kalinya dalam berbangsa dan
bernegara” menyatakan ”Tanda-tanda masyarakat beriman/bertaqwa tinggi, antara
lain:
- Masyarakat amanah.
- Setiap tugas dilaksanakan dengan baik dan benar.
- Dalam bathinnya selalu bersemayam hari esok harus lebih baik.
Orang yang taat kepada agama
tentu mengetahui serta memahami tujuan hakiki agama dengan paripurna terhadap
kehidupan umat manusia di atas bumi.
Pada Sarasehan Nasional
Pembinaan Mental Rohani, Kabintal/Paroh Kotama Balakpus, dan Tokoh Masyarakat
Sumatera Utara 28 Maret 2012 di Ruang
Martabe kantor Gubernur Sumatera Utara, Franz Magnis Suseno Sj mengatakan ”Kaum
agamawan harus belajar empat kelakuan dan dua sikap hati”.
Empat kelakuan adalah:
1.
Berhenti bicara jelek tentang agama/aliran/keyakinan
lain. Mengritik, menyatakan apa yang tidak dapat diterima dari agama lain
tentang boleh.
Tetapi
menjelek-jelekkan agama lain menunjukkan kurang hormat terhadap Allah yang
mengizinkan agama-agama itu ada. Kami para agamawan harus selalu bicara dengan
cara yang dapat didengar dari orang dari agama yang dibicarakan. Yang boleh
ditolak: kalu suatu agama/keyakinan membenarkan sesuatu yang bertentangan
dengan moralitas wajar.
2.
Belajar membangun dua kemampuan hati: Meyakini kebenaran
agamanya sendiri, tetapi sekaligus menghormati keyakinan-keyakinan lain.
3.
Berhenti membangun sekat-sekat pemisah antar umat
beragama.
4.
Kalau hubungan sudah baik, maka dalam dialog antar agama perlu
diangkat/dibicarakan bukan hanya ”ayat-ayat
baik” (inklusif), melainkan juga, kalau ada ”ayat-ayat keras” (eksklusif), sambil menjelaskannya.
Dua sikap hati yang perlu
dipelajari. Bicara tentang agama hanya credible
apabila agamawan menunjukkan dua sikap itu.
Pertama, kerendahan hati. Orang
yang bicara atas nama Allah dengan nada tahu semuanya, arogan, keras, penuh
penilaian rendah terhadap mereka yang berbeda paham atau ibadatnya dengan
demikian justru membuktikan bahwa ia tidak tahu tentang Allah.
Orang yang tahu tentang Allah
mesti rendah hati karena ia mesti sadar betapa ia tidak memadai kalau
dibandingkan dengan Allah.
Allah memang memiliki kepunahan
dalam segala-galanya, tetapi manusia justru dalam segala-galanya terbatas,
dengan pengetahuan dan pengertian yang terpatah-patah.
Karena itu ia harus rendah hati.
Ia tahu bahwa sebenarnya ia
tidak tahu.
Bicara atas nama Allah hanya
benar apabila orangnya rendah hati.
Kedua, agamawan harus bersikap
hormat terhadap kebebasan orang lain.
Agamawan yang tidak menghormati
keyakinan orang lain – bukan berarti: mengakuinya sebagai benar – tidak tahu
tentang Allah sama sekali.
Kalau Allah mengizinkan sekian
agama ada di dunia, masak ada manusia berani untuk mengutuknya.
Dalam agama tidak boleh ada
paksaan.
Yang berhak memaksa adalah
semata-mata Sang Pencipta sendiri.
Kalau Sang Pencipta mengizinkan
pelbagai keyakinan religius dianut oleh manusia, manusia tidak boleh memaksakan
keyakinan yang dimilikinya.
Itu berarti bahwa penyebaran
agama harus dengan nir-paksa, dan itu juga berarti dengan nir-manipulasi,
nir-pembujukan, nir-tekanan.
Bicara tentang agama harus
meyakinkan, bukan manipulatif atau memaksa.
Dan di pihak lain tidak ada
agamawan berhak menentukan orang lain mau melarang orang percaya maupun
beribadat menurut keyakinannya sendiri.
Itu juga berlaku bagi ajaran
sesat.
Apa Anda punya Roh Ilahi ?
Serahkan kesesatan itu kepada
Allah.
Pemahaman paripurna tentang
eksistensi diri sebagai hasil karya Tuhan Yang Maha Esa sama seperti manusia
lainnya merupakan tanda-tanda Orang yang taat kepada agamanya karena tidak ada
satu agama yang benar mengajarkan penyengsaraan terhadap manusia ciptaan Tuhan
Yang Maha Esa.
Demikian juga dengan pemimpin harus
mampu mendatangkan kebahagiaan terhadap seluruh rakyat yang dipimpinnya tanpa
kecuali.
Gubernur Sumatera Utara adalah
pemimpin seluruh rakyat Sumatera Utara sehingga calon Gubernur Sumatera Utara
periode 2013-2018 harus lah Orang yang taat kepada agamanya dengan baik dan
benar agar mampu menghadirkan kebahagiaan bagi seluruh rakyat Sumatera Utara
tanpa kecuali.
Calon Gubernur Sumatera Utara
periode 2013-2018 harus benar-benar memiliki empat kelakuan dan dua sikap hati
sebagaimana disebutkan Franz Magnis Suseno SJ sehingga mampu menempatkan diri
sebagai pemimpin yang menghargai pluralisme rakyat Sumatera Utara.
Gubernur Sumatera Utara bukan
hanya dari, oleh,untuk kelompok atau golongan tertentu tetapi dari, oleh, untuk
seluruh rakyat Sumatera Utara.
Karena itu, pesan iklan Dato’
Seri H. Syamsul Arifin Silaban, SE merupakan pesan moral dari ”Sahabat seluruh
rakyat” yang pantas dijadikan landasan berpikir dan bertindak dalam memilih
calon gubernur 2013 akan datang.
Sebab, Sayyidina Ali ra dalam
sepuluh falsafahnya yang begitu indah mengungkapkan, yaitu:
Dosa terbesar adalah takut,
modal terbesar adalah percaya
diri,
kesalahan terbesar adalah putus
asa,
keberanian terbesar adalah
sabar,
kebanggaan terbesar adalah
kepercayaan,
keuntungan terbesar adalah anak
yang saleh,
rahasia paling berarti adalah
mati,
guru terbaik adalah pengalaman,
rekreasi terbesar adalah
bekerja, dan
pemberian terbaik adalah
partisipasi.
(Akh. Muwafik Saleh, S.Sos,
M.Si, 2009).
(Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.