Bagian Ketiga (Habis)
Indonesia menjadi Adidaya.
Usia 67 tahun adalah suatu usia cukup matang
untuk membangun kedewasaan kebangsaan keindonesiaan seandainya seluruh rakyat
republik ini konsisten dengan konsensus nasional proklamasi kemerdekaan
Indonesia 17 Agustus 1945 berdasarkan Pancasila dan UUD Republik Indonesia
1945.
Akan tetapi, selama kurun waktu
67 tahun pula negeri ini masih berkutat dipusaran perdebatan siapa penggali
Pancasila, kapan lahir Pancasila yang menguras energi bangsa banyak terbuang sia-sia.
Perdebatan itu dipicu
pemutarbalikan fakta sejarah untuk kepentingan rezim berkuasa pada pemerintahan
otoriter Soeharto yang diduga ingin menghapus dan menghilangkan peran Bung
Karno di republik ini.
Padahal, peran besar Bung Karno
di republik ini tidak seorang pun mampu menenggelamkannya walau dengan alasan
apa pun.
Sebab seluruh dunia sudah tahu
bahwa proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia lahir dari mulut Bung Karno pada
tanggal 17 Agustus 1945 didampingi Bung Hatta atas nama seluruh rakyat
Indonesia.
Ini adalah fakta sejarah yang
tidak bisa diingkari atau dipungkiri oleh siapa pun di republik ini, termasuk negara-negara di
dunia selama Indonesia masih tetap langgeng sebagai negara merdeka.
Pemutarbalikan fakta sejarah
bahwa Bung Karno bukan penggali Pancasila dan hari lahir Pancasila bukan 1 Juni
1945 yang dilancarkan ”Nugroho Notosusanto” mantan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan di zaman rezim otoriter Seoharto telah membawa dampak besar
penyelundupan sejarah bangsa.
Untung saja masih ada
tokoh-tokoh bangsa yang tetap teguh memegang kebenaran tentang peristiwa bersejarah itu
sekaligus melakukan kritik keras terhadap Nugroho Notosusanto sembari
berpendapat bahwa Soekarno adalah satu-satunya Penggali Pancasila.
Nugroho Notosusanto dituduh
memutarbalikkan fakta, membuat ”dongeng” dan bukan menulis sejarah. (Pdt. Dr.
Ayub Ranoh, hal: 99, 2006).
Menurut Pdt. Dr. Ayub Ranoh,
bahwa Soekarno memegang peran utama, juga bukan sekadar nama Pancasila yang
jelas berasal dari Soekarno, melainkan terutama secara historis.
Hal itu dapat dilihat dari
perkembangan ide-ide Soekarno sejak ia terjun dalam gerakan kemerdekaan sampai
dengan saat percakapan tentang dasar negara.
Ketuhanan Yang Maha Esa
menunjukkan pergumulan tentang kemajemukan agama, dan pergumulan tentang Islam.
Kemanusiaan yang adil dan
beradab mencerminkan pendirian Soekarno tentang martabat manusia yang ditindas
dalam sistem kolonial.
Persatuan Indonesia mencerminkan
ide tentang nasionalisme, dan kegandrungannya pada persatuan.
Ide ini merupakan alat Soekarno
untuk menggalang kebersamaan sejak ia mulai berjuang.
Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan adalah ciri demokrasi
asli pribumi yang dikemukakan sebagai alternatif terhadap demokrasi liberal
Barat.
Pola demokrasi asli inilah yang
diterapkan dalam ”Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia”
(PPPKI).
Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat adalah perhatian Soekarno pada kesejahteraan kaum pribumi (Marhaen) yang
terabaikan dalam sistem kolonial. (Pdt. Dr. Ayub Ranoh, hal: 100, 2006).
Pancasila adalah salah satu
”Keajaiban dunia” yang merupakan fondasi kuat tegak berdirinya ”Rumah Besar Pluralisme
Indonesia” dari pemikiran jenius Bung Karno warisan seluruh rakyat Indonesia
sepanjang sejarah.
Berbagai bangsa di atas dunia
berusaha dan berupaya untuk mempelajari keluarbiasaan, keistimewaan Pancasila
mempersatukan aneka perbedaan, keragaman, kemajemukan atau pluralisme di bumi nusantara
menjadi satu bangsa yakni INDONESIA.
Sayangnya, keajaiban dunia itu
belum maksimal digunakan untuk mewujudkan ”Indonesia Negara Adidaya” sebab pembangunan
fisik gagal melahirkan pemimpin-pemimpin negarawan jenial untuk membangun
kebanggaan bangsa.
Bila Bung Karno pernah
mengatakan,” Berikan saya sepuluh orang putera-puteri terbaik yang mencintai
bangsanya akan saya guncang dunia” maka yang terjadi era belakangan ini adalah
lahirnya berjuta-juta ”jongos” feodal tidak memiliki urat malu memperhamba diri
kepada kepentingan asing.
Gemar dan gila-gila pujian, serta
sanjungan lembaga-lembaga internasional, bangga di atas angka-angka statistik
hasil rekayasa, takut tak mendapat pinjaman utang luar negeri, karakter pemburu
rente dan komisi, menjual martabat untuk mendapatkan martabak, menjual
kedaulatan, jati diri untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan, mabuk kepayang
di atas predikat-predikat internasional, degradasi karakter moral, dan paranoid
dan lain-lain.
Faktor-faktor inilah yang
menjadi interuptor mengapa republik ini belum bisa mewujudkan ”Indonesia Negara
Adidya”.
Oleh karena itu, diperlukan
”revolusi berpikir” yakni mengakhiri perdebatan-perdebatan sejarah perjalanan
bangsa sembari meluruskan pembelokan, pembelotan, penyelundupan, serta
pemutarbalikan fakta sejarah agar bangsa ini tidak menjadi bangsa tidak tahu
asal-usul.
Bangsa besar serta Adidaya adalah
bangsa yang memiliki keluhuran karakter dan memilik jati diri sehingga mampu
menjadi kampiun di dunia internasional.
Kehadiran seorang pemimpin
negarawan jenial menahkodai republik ini menuju ”Indonesia Negara Adidaya”
merupakan keharusan yang perlu segera direalisasi melalui proses demokrasi yang baik dan benar.
Fajar As (1998) mengatakan,
”negara-negara Adidya di dunia memiliki perbedaan-perbedaan yang menonjol,
tetapi faktor utama yang mendukung mereka menjadi Adidaya adalah Pembangunan
Harga Diri Bangsa yang discenario oleh para pemimpin negeri tersebut”.
Peran pemimpin yang tangguh yang
merupakan Negarawan dan Pemikir Besar memang sangat menentukan dalam proses
membangun satu bangsa atau satu negeri menjadi kuat dan disegani oleh
bangsa-bangsa atau negeri-negeri lainnya.
Dan tidak ada satu raspun di
muka bumi ini, tidak ada satu warna kulitpun atau tidak ada satu etnis di planet
bumi ini yang tidak tangguh, tidak ada satu ras yang lebih tinggi dari ras
lainnya.
Keberhasilan dan kegagalan dari
satu perjuangan bangsa, absolut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat
bangsa yang bersangkutan.
Tetapi keberhasilan dan kegagalan
satu perjuangan bangsa adalah tergantung jenialitas dan kebijakan sangat tinggi
yang dimiliki oleh pemimpin bangsa tersebut.
Pemimpin demikian itu adalah
pemimpin yang sangat tangguh dan tegar, yang mana menghentikan gerakannya yang
diyakininya dan memang benar untuk kebesaran bangsanya menjadi mustahil
sebagaimana mustahilnya menghentikan gerakan matahari.
Misalnya, negeri Vietnam
memiliki keunggulan-keunggulan yang amat prima yaitu: lahan yang amat subur,
minyak bumi, berbagai logam yang bernilai ekonomi sangat tinggi, hutan yang
amat potensial, kekayaan maritim, dan titik-titik terindah planet bumi yang
memiliki peluang menjadi Daerah Tujuan Wisata.
Kekayaan negeri Vietnam yang
nilainya sangat sangat tinggi dan sangat sulit ditakar dengan ukuran ekonomi,
adalah sumber daya manusia (SDM) Vietnam atau mayoritas rakyat Vietnam yang
sangat ambisi belajar, sangat gemar membaca literatur, sangat suka bekerja
keras dan dengan disiplin hidup yang sangat kuat.
Ditambah lagi dengan elit bangsa
Vietnam yang kelihatannya mayoritas jenius dan memiliki karakter yang sangat
tinggi.
Demikian juga negara China
dibawah pemimpin besarnya Deng Zhiaoping yang melakukan terobosan-terobosan
sangat konstruktif, menyelenggarakan reformasi ekonomi yang oleh Deng Zhiaoping
disebut sebagai Socialist market economy,
”Miskin bukan sosialisme”, ”Menjadi kaya adalah Mulia”, adalah motto yang
selalu dikemukakan dengan vokal oleh Deng Zhiaoping.
Yang paling utama dari kebijakan
reformasi ekonomi China adalah membangkitkan pertumbuhan perekonomian negeri
China yang membuka negeri China kepada dunia di luar China.
”Tak ada bedanya kucing,
apakah warnanya hitam, atau warnanya putih sejauh gesit menangkap tikus, maka
kucing tersebut adalah kucing yang baik” merupakan prinsip-prinsip kerja
Deng Zhiaoping.
Salah satu syarat paling utama
dan yang paling menentukan dalam proses satu bangsa atau satu negeri membukukan
dirinya menjadi bangsa besar yang Adidaya dan Tangguh, adalah dalam hal adanya
Pemimpin Bangsa dan negeri tersebut yang jenial, ambisius menjadikan negerinya
menjadi Negeri Adidaya yang disegani oleh negeri-negeri lain, dan dalam kaitan
ini berhasil membangun harga diri dan kebanggaan mayoritas rakyatnya.
(Fajar As, hal: 39-53; 1998).
Apakah tidak keliru besar bila
di usia 67 tahun kemerdekaan republik ini masih banyak rakyat Indonesia belum
merasakan arti kemerdekaan sebab menunaikan ibadah agama dan kepercayaannya pun
masih tertindas dan tidak nyaman.
Padahal, kebebasan menunaikan
ibadah agama dan kepercayaan merupakan hak asasi manusia (HAM) paling dasar
serta dijamin pasal 29 UUD Republik Indonesia 1945.
Bukankah hal itu salah satu
bukti nyata kegagalan negara melindungi segenap rakyat Indonesia serta cerminan
ketidakadilan yang masih menghantui negara berdasarkan Pancasila ini hingga
usia 67 tahun ?.
Belum lagi pencaplokan wilayah
Republik Indonesia yang dilakukan negara-negara lain seperti Sipadan dan
Ligitan, serta aneka tindakan kriminal terhadap tenaga kerja Indonesia (TKI) di
dalam dan luar negeri disebabkan negara alpa di ruang publik melakukan jaminan
perlindungan terhadap rakyatnya sesuai amanat Pembukaan UUD Republik Indonesia
1945.
Karena itu, perlu segera
dilakukan pendidikan karakter bangsa untuk melahirkan Bung Karno-Bung Karno
muda untuk merevitalisasi konsep besar TRI SAKTI agar berdaulat di bidang
politik, berdaulat di bidang kebudayaan, berdaulat di bidang ekonomi atau
berdiri di atas kaki sendiri/ BERDIKARI.
Sebab, hanya bangsa berdaulat di
bidang politik, berdaulat di bidang kebudayaan, berdaulat di bidang ekonomi
bisa menjadi NEGARA ADIDAYA.
Penutup.
Mengukur kedewasaan kebangsaan
Indonesia di usia 67 tahun pasca kemerdekaan 17 Agustus 1945 tentu haruslah
menggunakan parameter Pancasila dan UUD
Republik Indonesia 1945 sebab di atas itu lah berdiri sebuah negara yang
bernama INDONESIA.
Menggunakan parameter lain yang
tidak sesuai dengan dasar republik ini merupakan suatu kekeliruan besar karena
tidak sesuai dengan tujuan sejati pendirian bangsa yang dimaksudkan para
pendiri bangsa (founding fathers).
Pancasila adalah fondasi dasar
”Rumah Besar Pluralisme Indonesia” sehingga setiap penolakan, pengingkaran
terhadap perbedaan, keragaman, kemajemukan atau pluralisme sama artinya menolak
dan mengingkari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila
dan UUD Republik Indonesia 1945 yang menjunjung tinggi
Bhinneka Tunggal Ika.
Kemampuan menerima perbedaan, keragaman,
kemajemukan atau pluralisme merupakan cerminan kedewasaan kebangsaan Indonesia
karena hal itu merupakan konstruksi Ilahi serta kesadaran nasional para pendiri
bangsa menjadi fondasi dasar ”Rumah Besar Pluralisme Indonesia” yakni Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Di dalam rumah besar pluralisme
itu lah bangsa Indonesia menjadi sebuah Negara Adidaya sekaligus keajaiban
dunia karena mampu menyatukan, mengelola aneka perbedaan, keragaman,
kemajemukan atau pluralisme sebagai energi besar bangsa Indonesia.
Potensi sumber daya alam (SDA)
yang memiliki keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitif harus mampu
dikelola efektif, efisien oleh sumber daya manusia (SDM) berkualitas serta memiliki
nasionalisme Indonesia yang selalu mengutamakan kepentingan bangsa diatas
kepentingan apa pun.
Untuk mewujudkan hal itu, perlu
segera dilakukan pendidikan karakter bangsa guna melahirkan pemimpin-pemimpin
negarawan jenial, ambisius yang mampu
membangkitkan kebanggaan dan harga diri, martabat, kedaulatan, serta jati diri
bangsa Indonesia.
Medan, 19 Agustus 2012
Thomson Hutasoit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.