Bagian Kedua
Membangun karakter kebangsaan Indonesia.
Konsep pembangunan yang
dilaksanakan selama 67 tahun kemerdekaan republik ini cenderung lebih berfokus
pada pembangunan fisik semata, akibatnya perkembangan pembangunan fisik tidak
seimbang dengan perkembangan pembangunan karakter kebangsaan Indonesia.
Degradasi karakter bangsa pun
terjadi menuju titik nadir sehingga sangat sulit menemukan pemimpin-pemimpin
berjiwa negarawan hingga terjadi defisit pemimpin negarawan.
Pembangunan fisik cenderung
melahirkan pemimpin-pemimpin berkarakter hedonis, individualis, konsumtif,
insolider, intoleran bahkan paranoid sehingga karakteristik spesifik bangsa
Indonesia bersifat gotong-royong, solidaritas, menghormati pluralisme merupakan
barang langka.
Padahal, karakter itulah salah
satu kearifan lokal milik rakyat di bumi nusantara yang menjadi energi besar mempersatukan visi
nasional merebut kemerdekaan dari tangan pemerintah kolonial di masa lalu.
Bangsa ini lupa bahwa perjuangan
kemerdekaan yang dilancarkan para pejuang bangsa di masa lalu bukanlah karena
memiliki kekuatan perang yang hebat, tetapi semangat nasionalisme berapi-api dengan tekad lebih baik mati
daripada dijajah.
Mempertaruhkan harta, nyawa demi
kemerdekaan bangsa adalah mulia dan kesatria sehingga para syuhada anak-anak
ibu pertiwi rela keluar masuk penjara bahkan menjadi tulang-tulang berserakan
tanpa pamrih merebut kemerdekaan bangsanya.
Di benak mereka tidak pernah
terpikir mendapatkan berbagai macam penghargaan sebagaimana menjadi penyakit
maniak kuasa saat ini.
Perjuangan mereka bukan hanya untuk
dirinya, kelompoknya ataupun golongannya tetapi untuk seluruh bangsanya serta
generasi-generasi yang belum lahir di seluruh sisik bumi Indonesia.
Mereka membangun persaudaraan
abadi di atas seluruh perbedaan, keragaman, kemajemukan atau pluralisme dan
bersumpah satu nusa, satu bangsa, satu bahasa yaitu INDONESIA.
Suku Jawa, Suku Batak, Suku
Nias, Suku Melayu, Suku Deli, Suku Pesisir, Suku Sunda, Suku Betawi, Suku
Banten, Suku Aceh, Suku Menado, Suku Ambon, Suku Mentawai, Suku Minangkabau,
Suku Bali, Suku Toraja, Suku Bugis, Suku Tidore, Suku Asmat, Suku Amungme, Suku
Dayak, Suku Anak Dalam dan lain sebagainya adalah Saudara sekandung anak-anak Ibu Pertiwi Indonesia.
Keluruhan karakter itulah
menjadi mutiara yang hilang di negeri ini sebab konsep pembangunan bangsa yang
dilaksanakan selama ini tidak pernah diarahkan untuk memperkuat karakter
kebangsaan dan keindonesiaan secara nyata.
Konsep-konsep pembangunan
karakter kebangsaan dan keindonesia
telah dibajak para ”kloning” karakter kolonial serta maniak kuasa yang
menghalalkan segala cara demi memenuhi hasrat berkuasa dan imperium kapital.
Bila para pendiri bangsa dengan
sukarela mengorbankan sentimen sektarian-primordial demi kebangsaan dan
keindonesiaan maka kini para maniak politik mencabik-cabik, mengobok-obok,
merusak, membenturkan karakter kebangsaan keindonesiaan itu demi kepentingan pribadi, kelompok dan
golongannya.
Para maniak kuasa tidak merasa
bersalah dan berdosa memolitisasi agama dan kepercayaan, suku, daerah ataupun
sentimen-sentimen sektarianis-peimordialis lainnya demi mendapatkan segenggam
kekuasaan.
Padahal, cara-cara demikian
merupakan tindakan tak beradab yang sangat bertentangan dengan sila kedua
Pancasila ”Kemanusiaan yang adil dan beradab”.
Melacurkan diri demi uang,
jabatan atau kekuasaan, menjual martabat untuk mendapatkan martabak merupakan
kerusakan karakter kebangsaan dan keindonesia paling buruk yang sudah dianggap jadi
kelaziman di era edan ini.
Pemegang amanah atau kepercayaan
telah mengkhianati amanah dan kepercayaan itu dengan sangat memalukan seperti
melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) serta penyelewengan jabatan dengan
melanggar sumpah.
Tindak pidana korupsi merajalela
di segala lini termasuk di departemen agama yang seharusnya menjadi benteng
garda moral di republik ini.
Hakim yang dipersonifikasikan wakil Tuhan untuk menegakkan
kebenaran dan keadilan tidak luput juga dari aib memalukan melakukan tindak
pidana korupsi mempertegas pameo ”hubungi aku kalau ingin menang/HAKIM, atau
kasih uang habis perkara/KUHP”.
Oknum Hakim nakal, jaksa,
polisi, anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD kabupaten/kota, menteri, gubernur,
bupati/walikota, pegawai dirjen pajak, gubernur Bank Indonesia, pejabat badan
usaha milik negara (BUMN), badan usaha milik daerah (BUMD), pegawai negeri
sipil (PNS), serta pejabat instansi publik lainnya menjadi penghuni ”hotel
prodeo” atau penjara karena melakukan tindak pidana korupsi maupun
penyelewengan amanah.
Inilah bukti nyata kegagalan
fatal membangun karakter kebangsaan Indonesia sehingga republik ini seperti
”negara antah-berantah, negara bedebah, negara munafik, negara penuh
kebohongan, negara edan”.
Semua mengklaim diri paling
benar, paling bersih, paling istimewa, tetapi ketika bukti-bukti membuka tabir
kebusukan, kebohongan, kemunafikan dengan serta membangun alibi membentengi
diri untuk menutupi tindakan biadab itu.
Padahal, orang bijak mengatakan
”mengakui kesalahan dan meminta maaf atas kesalahan adalah cerminan kebesaran
jiwa”.
Sebaliknya, ”mempertahankan kesalahan
serta menutup-nutupi dengan mengkambinghitamkan pihak lain adalah pertanda
kepicikan dan kekerdilan jiwa”.
Oleh karena itu, prioritas
pembangunan karakter bangsa perlu segera dilakukan dan tidak boleh ditunda-tunda
sebelum negeri ini benar-benar menjadi ”Negara Gagal” sebagaimana kekhawatiran
para anak-anak bangsa yang belum menggadaikan atau menjual martabat serta jati
dirinya.
Sebab indikator bangsa bangkrut
adalah ”Gagal mengenali jati diri, Tidak mampu melaksanakan konstitusi, Gagal
meletakkan peta jalan pembangunan, Lembaga negara tidak berwibawa, Gagal
mempertahankan kedaulatan, Gagal membangun karakter bangsa, Melupakan sejarah
bangsa, dan Defisit pemimpin jenial”. (Drs.Thomson Hutasoit, 2011).
Meluruskan kekeliruan pola pikir
tidak sesuai dengan tujuan berdirinya negara-bangsa Indonesia merupakan agenda
strategis harus segera dilakukan agar ancaman disintegrasi bisa diredam dan
diselesaikan dengan tuntas.
Sektor pendidikan harus
diorientasikan pada upaya-upaya membangun karakter kebangsaan Indonesia dengan
nyata.
Sebab sektor pendidikan adalah
jendela bangsa sebagaimana Gerakan Budi Utomo tahun 1908 yang mampu mencetak
kader-kader bangsa mewujudkan kemerdekaan Indonesia 67 tahun silam.
Pendidikan memerdekakan pola
pikir disertai perkuatan akhlak moral menjadi senjata paling ampuh untuk
menyelesaikan karut marut berbangsa dan bernegara saat ini.
Konsep-konsep pendidikan
bertujuan membangun karakter kebangsaan dan keindonesiaan perlu segera
dilaksanakan agar mampu melahirkan putera-puteri bangsa berjiwa negarawan,
jenial, ambisius mengangkat kebanggaan dan harga diri bangsanya di fora dunia
internasional.
Sebab tingkat intelektualitas
tanpa dibarengi jiwa nasionalisme tidak mustahil akan berubah jadi
”pengkhianat” bangsanya sendiri sebagaimana dilakukan politikus-politikus busuk
mengobok-obok, mencabik-cabik serta mengadu domba sesama anak-anak Ibu Pertiwi demi
mewujudkan ambisi politiknya.
Politisasi sektor pendidikan
harus segera dihentikan agar sektor pendidikan benar-benar berdaulat melahirkan
kader-kader bangsa serta pemimpin-pemimpin negarawan, jenial, ambisius,
mengenal jati diri serta mampu mengangkat martabat dan kedaulatan bangsa di
segala bidang kehidupan.
Dengan demikian, seluruh
anak-anak Indonesia memiliki kebanggaan serta harga diri di forum
internasional.
”AKU BANGGA ANAK INDONESIA ”
merupakan gerakan nasional yang perlu ditanamkan kepada seluruh anak-anak
bangsa terutama anak-anak usia dini sebagai sumber inspirasi menanamkan jiwa
nasionalisme Indonesia.
(Bersambung).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.