Oleh : Thomson Hutasoit
Bagian Pertama
Pendahuluan.
Salah satu kelemahan paradigma pembangunan sentralistik Top Down adalah terjadinya konsep-konsep
bias yang digelontorkan pusat-pusat pemerintahan sehingga seluruh program
pembangunan terkesan proyek tinggal proyek alias mubazir dan sia-sia.
Konsep pembangunan bersifat elitis serta tidak didasarkan pada kebutuhan
riil rakyat pedesaan menjadikan penggelontoran dana pembangunan tidak maksimal
mendongkrak peningkatan penghidupan rakyat di daerah.
Bahkan konsep-konsep elitis itu telah menimbulkan berbagai probelema ditengah-tengah
kehidupan rakyat daerah.
Misalnya, pertumbuhan investasi di daerah bukan investasi daerah menggusur
rakyat dari ruang aktivitas mata pencaharian sehari-hari.
Akibatnya, kedatangan investasi di daerah tidak memperkuat pemberdayaan
rakyat malah merampas, merampok hak-hak keperdataan seperti; penggusuran
masyarakat hukum adat dari pengelolaan serta pengusahaan hutan, perampasan
tanah ulayat dengan dalih pertumbuhan investasi dan lain sebagainya.
Konsep pembangunan sentralistik selalu didasarkan pertumbuhan pendapatan
negara melalui rezim pajak cenderung bias terhadap perkuatan atau pemberdayaan
rakyat pedesaan.
Padahal, fondasi ekonomi akan kuat jika ekonomi pedesaan tumbuh dan
berkembang.
Salah satu bukti kekeliruan paradigma sentralistik adalah angka kemiskinan rakyat
pedesaan sangat tinggi hingga pemerintah menggelontorkan triliunan rupiah untuk
program bantuan beras rakyat miskin (raskin), bantuan langsung tunai (BLT) dan
lain-lain sebagai “penebus dosa” kekeliruan, kesalahan paradigma pembangunan
tidak pernah mendorong pertumbuhan daya saing rakyat pedesaan secara nyata dan optimal.
Pemerintah selalu berorientasi capain angka-angka pertumbuhan makro
sementara tingkat capaian angka pertumbuhan makro itu tidak berkorelasi linier
dengan kondisi empirik rakyat pedesaan.
Akibatnya, terjadi bias pandang
sangat lebar antara klaim-klaim keberhasilan yang didengung-dengungkan
pemerintah dengan kondisi faktual penderitaan rakyat daerah pedesaan termasuk
daerah pinggiran atau tapal batas daerah maupun negara.
Selain daripada itu, pembangunan sentralistik Top Down cenderung
menjadikan rakyat sekadar obyek pembangunan belaka bukan subyek pembangunan, akibatnya
partisipasi rakyat dalam pembangunan sangat minim bahkan tidak ada sama sekali.
Drs. Suprapto & Ir. Rob van Raaij (2007) mengatakan,” Pembangunan yang
berbasis pada partisipasi masyarakat dilihat dari sudut pandang sosial budaya
sebenarnya sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia.
Kerjasama saling menguntungkan, gotong royong merupakan bentuk-bentuk
partisipasi yang sudah menjadi bagian tradisi dalam masyarakat.
Kebijakan lokal seperti budaya konsensus (musyawarah untuk mencapai
mufakat) memilik peranan penting dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia.
Partisipasi masyarakat dalam pembangunan ekonomi menjadi penting pada jaman otonomi daerah,
dengan alasan;
Pertama, karena tugas pembangunan ekonomi lebih banyak dibebankan kepada
Daerah Otonom, khususnya kabupaten dan kota, dan penerintah daerah.
Keberhasilan pembangunan ekonomi Indonesia secara nasional, merupakan
penjumlahan dari keberhasilan pembangunan ekonomi di setiap daerah.
Artinya, setiap kegagalan pembangunan ekonomi di daerah, menjadi faktor
pengurang dari keberhasilan.
Kedua, model pembangunan ekonomi yang relatif paling sesuai untuk kondisi
saat ini adalah pembangunan ekonomi yang berbasiskan partisipasi masyarakat”.
(Drs. Suprapto & Ir. Rob van Raaij, KAS, 2007).
Konsep pembangunan ekonomi pedesaan dilandasi kearifan lokal tentu sangat
membutuhkan kepala daerah betul-betul mengenal serta memahami karakteristik geografi,
demografi, klimatologi, etnomologi daerah secara langsung.
Misalnya, Calon Gubernur, bupati/walikota pernah berpengalaman memimpin
kecamatan dan/atau pedesaan.
Sebab seorang mantan kepala desa atau lurah pasti lebih memahami kondisi riil daerah
karena kepala desa atau lurah adalah pemerintah tertinggi di level pemerintahan
paling rendah bersentuhan langsung dengan rakyat.
Konsentrasi penduduk berada di pedesaan atau kelurahan sehingga seorang
Kepala Desa atau Lurah memahami betul kondisi riil kebutuhan rakyat di level
paling bawah.
Dengan mengetahui, memahami kebutuhan rakyat dengan baik dan benar
selanjutnya memformulasi ke dalam rencana pembangunan di tingkat provinsi
merupakan langkah nyata konsep pembangunan “Bottom
Up” sehingga seluruh enerji pembangunan efektif, efisien serta berkorelasi
linier dengan kebutuhan rakyat pedesaan secara langsung.
Bila seorang gubernur berasal dari mantan Kepala Desa (Kades) dan Bupati/Walikota maka konsep pembangunan
pedesaan berparadigma “Bottom Up”
sesuai sistem penyelenggaraan otonomi daerah tidak perlu lagi diragukan.
Membangun Desa membangun
Sumatera Utara.
Membangun seluruh desa di Provinsi Sumatera Utara sentra pertumbuhan
ekonomi pedesaan tentu dihadapkan pada keterbatasan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD).
Akan tetapi pola pikir demikian sangatlah tidak sesuai dengan paradigma
otonomi daerah yang dilaksanakan saat ini.
Pola pikir berorientasi pada besaran APBD dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah adalah paradigma usang dan ketinggalan jaman.
Karena itu pula lah dituntut kemampuan entrepreneuership
dari seorang gubernur, bupati/walikota untuk menjalankan roda pemerintahan
daerah sebagai daerah otonom.
Kemampuan seorang gubernur, bupati/walikota untuk mendorong tumbuhnya
kemitraan efektif partisipatif saling menguntungkan antara pemerintah daerah,
pelaku usaha, maupun masyarakat daerah merupakan salah satu syarat mutlak harus
dimiliki seorang gubernur, bupati/walikota.
Menurut Drs. Suprapto & Ir. Rob van Raaij langkah-langkah yang perlu
dilakukan seorang gubernur ataupun bupati/walikota antara lain:
1. Perumusan model-model kemitraan yang paling tepat dilakukan.
2. Perumusan kriteria mitra potensial sebagai mitra pemerintah.
3. Terciptanya
model-model kemitraan antara pemerintah dengan pelaku ekonomi, pemerintah
dengan masyarakat, dan antar para pelaku ekonomi dengan masyarakat dalam
kegiatan usaha ekonomi, penyediaan dan pengelolaan prasarana dan sarana
pelayanan.
Oleh sebab itu, pemerintah daerah
(gubernur, bupati/walikota) harus membentuk Forum
for Economic Development and Employment
Promotion (FEDEP) dengan melibatkan semua pelaku dalam masyarakat yang
menjadi ciri utama dalam pendekatan forum lintas pelaku FEDEP sebagai berikut:
·
Pembangunan daerah
menciptakan situasi yang menguntungkan bagi semua pihak.
·
Peningkatan tanggung
jawab individu dan penguatan sosial kemasyarakatan.
·
Menggerakkan sumber
daya yang ada.
·
Orientasi pada
kebutuhan dan kepentingan masyarakat luas.
·
Fokus pembangunan
daerah yang bersifat jangka panjang.
Forum lintas pelaku merupakan mitra pemerintah daerah dalam menentukan
kebijakan pembangunan ekonomi daerah berparadigma partisipatif.
Dan melalui model pembengunan demikianlah pertumbuhan pelaku-pelaku usaha
meningkat dalam waktu jangka panjang.
Bila perlaku-pelaku usaha di daerah bertumbuh dengan pesat maka pemerintah
daerah tidak lagi dipusingkan program “belas kasihan” seperti beras rakyat miskin (Raskin), bantuan
langsung tunai (BLT), bantuan langsung
sementara masyarakat (BLSM) atau apapun namanya yang cenderung bersifat
politis.
Apakah tidak keliru besar bila para petani yang seharusnya menjadi suplier
hasil-hasil pertanian seperti beras, jagung, kedelai, garam, dan lain-lain
menjadi rakyat miskin dan harus penerima beras rakyat miskin (Raskin) akibat
ketidakberpihakan kebijakan pembangunan untuk memberdayakan mereka.
Berbagai bantuan sosial yang digelontorkan pemerintah tanpa bertujuan
meningkatkan keberdayaan ekonomi rakyat secara riil adalah kebijakan amat
sangat keliru dan salah kaprah serta menjadikan rakyat pengidap penyakit
adiktif atau ketergantungan belas kasihan pemerintah.
Segala sumber daya alam (SDA) Sumatera Utara berada di dan sekitar rakyat
pedesaan akan tetapi bila rakyat pedesaan tidak memiliki akses terhadap SDA
tersebut apakah mungkin mereka raih peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan ?
Misalnya, masyarakat hukum adat dan rakyat disekitar hutan tidak memiliki
ruang aktivitas lagi pasca terbitnya SK Menhut No. 44 Tahun 2005 tentang
Penghunjukan Kawasan Hutan di Sumatera Utara yang memasukkan permukiman,
perkampungan, perkantoran, rumah ibadah, Tambak/Tugu, persawahan, perladangan
menjadi kawasan hutan lindung.
Kedatangan investasi kehutanan telah menimbulkan aneka penderitaan rakyat
termasuk hilangnya potensi mata pencaharian sebagai sumber penghidupan.
Sementara dari kaca pemerintah pertumbuhan investasi demikian dianggap
sebuah prestasi spektakuler tanpa memperhitungkan ekses-ekses negatif merusak
tatanan kearifan lokal (hukum adat) serta hilangnya potensi ekonomi rakyat
setempat atau rakyat pedesaan.
Salah satu kekeliruan besar sekaligus penghianatan terhadap pasal 33 UUD
Republik Indonesia 1945 adalah pemberian mutlak absolut bumi, air dan ruang
angkasa serta sumber-sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya kepada
investor asing termasuk sumber-sumber kekayaan negara yang menguasai hajat
hidup orang banyak yang dengan tegas dilarang konstitusi negara.
Sementara rakyat pemilik kedaulatan di republik ini dijadikan penonton
budiman dan penerima limbah bahkan terusir dari tanah leluhurnya.
Bukankah pasal 33 UUD Republik Indonesia 1945 dengan tegas mengamatkan
“Bumi, air, ruang angkasa serta sumber-sumber kekayaan yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran
dan kesejahteraan rakyat ?”.
Pasal inilah seharusnya landasan arah atau paradigma pembangunan
membangun Sumatera Utara dari Pedesaan,
membangun Indonesia dari daerah-daerah provinsi sehingga kedaulatan ekonomi
kuat sekaligus menggenapi janji proklamasi mewujudkan masyarakat adil, makmur
dan sejahtera.
Seindah apapun visi-misi Calon Gubernur Sumatera Utara periode 2013-2018
tanpa bertujuan mempercepat amanah pasal 33 UUD Republik Indonesia 1945, bisa
dipastikan adalah sebuah kepalsuan dan mimpi di siang bolong.
(Bersambung).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.