Bagian Ketiga.
Mengetahui
serta memahami akar permasalahan dengan paripurna.
Pada dasarnya, kesulitan mencari solusi permasalahan disebabkan kurangnya
kemampuan diplomasi pemangku-pemangku adat ataupun parsinabung, parsinabul,
parsaut untuk menemukan titik temu (win-win
solution) atas perbedaan adat tersebut.
Ego memaksakan kehendak tanpa
didasari alasan-alasan rasional menjadi salah satu pemicu sulitnya mencapai
kesepakatan bersama. Misalnya, kalimat-kalimat “menurut adat di daerah kami”
(baca: na masa di adat nami) digunakan sebagai alat pamungkas untuk menolak dan
mementahkan adat pihak lain bukanlah cara elegan dan bijaksana.
Sebab apabila setiap pihak menonjolkan adat kebiasaan masing-masing kapan
tercipta kata sepakat (baca: hata ninnta) dalam adat yang berbeda.
Kemampuan serta kemahiran pemangku adat atau parsinabung, parsinabul,
parsaut dalam situasi kondisi kebuntuan dituntut menjadi “hakim” arif dan
bijaksana agar seluruh pihak tidak ada merasa terzolimi atau termarjinalisasi.
Aturan, kaedah, norma kebiasaan yang
berbeda-beda harus dihargai, dihormati setara dan seimbang sehingga tidak ada
merasa dirugikan atau diuntungkan. Membentangkan alasan-alasan rasional sesuai
akar permasalahan dipastikan akan mendapat respon positif serta memudahkan
terwujudnya kata sepakat (baca: hata ninnta).
Menurut pengamatan penulis, permasalahan perbedaan adat paling sering
muncul adalah ketika ulaon adat perkawinan (baca: marunjuk/mangadati/pasahat
sulang-sulang ni pahompu huhut manggarar adat na gok) serta ulaon adat orang
meninggal (baca: ulaon adat na monding) yang melibatkan perbedaan adat daerah.
Permasalahan itu dilatari keinginan pelaksanaan adat berdasarkan adat
kebiasaan daerah masing-masing tanpa membedakan bentuk, jenis dan macam adat
yang hendak dilaksanakan.
Padahal, pelaksanaan adat Batak-Toba tidak pernah terlepas dari maksud dan
tujuan adat itu dilaksanakan.
Artinya, pelaksanaan adat tergantung maksud dan
tujuan seperti ungkapan “mamereng sundung ni hau do parpeakna”. Bukan
seremonial belaka.
Kategori, klasifikasi adat juga sangat menentukan bentuk, jenis dan macam
pelaksanaan adat pada Batak-Toba. Misalnya, apakah ulaon adat di jabu atau
ulaon di alaman, ulaon adat orang hidup atau ulaon adat untuk orang
meninggal.
Kategori, klasifikasi ulaon adat
demikian tentu saja mempunyai maksud dan tujuan berbeda satu sama lain.
Sehingga
amat sangat sulit mendudukkan permasalahan tanpa mengetahui dan memahami dengan
baik dan benar bentuk. jenis, dan macam adat yang ada.
Menjeneralisasi, menyamakan arti, maksud dan tujuan pelaksanaan seluruh
bentuk, jenis, dan macam adat berpotensi menimbulkan kekeliruan semakin luas
dan mendalam sehingga diperlukan penggalian makna hakiki dari setiap
pelaksanaan adat.
Pengetahuan, pengertian dan pemahaman sekadar “Eme na masak digagat ursa,
ima na masa ima taula” atau apa yang biasa dilakukan orang itulah kita lakukan
bisa menimbulkan kekeliruan dan penyimpangan semakin jauh.
Leluhur Batak-Toba memberi jalan keluar (way out) pada ulaon adat bersifat kekecualian tetapi hal itu tidak
lah berarti boleh dijadikan adat kebiasaan serta dilembagakan permanen sebagaimana dibuktikan
ungkapan “Ndang andor sipaihut-ihuton”.
Artinya, bukan ketentuan adat dilanggengkan atau dipermanenkan. Bentuk,
jenis dan macam ulaon adat seperti itu adalah kompromistis serta jalan keluar
memecahkan kebuntuan bersifat khusus.
Bila bentuk, jenis dan macam ulaon
adat yang dilahirkan berdasarkan kompromistis khusus dijadikan ketentuan umum
serta dilembagakan melalui idiom “Eme na
masak digagat ursa, ima na masa ima taula” maka nilai-nilai luhur, makna hakiki
ulaon adat Batak-Toba akan sirna bahkan hilang sama sekali.
Padahal, prinsip
dasar adat “Jongjong pe adat i ndang jadi tabaon, peak pe adat i sitongka
langkaan”.
Prinsip itu adalah landasan pelembagaan adat Batak-Toba agar tercipta
kepastian maksud, tujuan serta makna hakiki adat sebagai fondasi peradaban.
Segala bentuk anomali pelaksanaan adat budaya sangat kurang elegan bila
dijadikan dalil umum serta dipermanenkan.
Sebab hal itu berpotensi menimbulkan ketidakpastian (baca: sigoje-goje,
silomo-lomo) adat seperti ungkapan,”Mulle-ulle sanggul ni parjabu bona, boasa
mulle-ulle alani hasuhutonna” atau dalam bahasa kerennya ”semau gue”, emangnya gue pikirin, gue punya hajatan (baca:
hasuhuton) kok orang lain ngatur.
Bila dianalogikan dengan sistem berhukum di negeri ini maka kompromistis
adat dalam situasi kondisi khusus sama halnya dengan lahirnya “Yurisprudensi”
Mahkamah Agung (MA) karena pasal-pasal hukum dalam peraturan perundang-undangan
tidak ada mengaturnya sehingga Mahkamah Agung harus melakukan terobosan hukum
untuk menyelesaikan persoalan tersebut.
Perbedaannya adalah Yurisprudensi menjadi landasan hukum permanen sedangkan
kompromistis adat khusus tidak demikian “Ndang andor sipaihut-ihuton” yakni tidak
dilembagakan serta tidak berlaku umum terus menerus.
Kompromistis adat khusus
sifatnya insidental serta kasuistis.
Menjadikan kasus-kasus bersifat khusus “Ndang andor sipaihut-ihuton”
menjadi ketentuan umum serta
dipemanenkan berpotensi merusak tatanan umum terlembagakan.
Sementara kasus-kasus khusus
hanyalah “terobosan” untuk menyelesaikan situasi kondisi krusial melalui “Aek
godang tu aek laut, dos ni roha sibahen na saut”.
Karena itu, kasus “Ndang
andor sipaihut-ihuton” tidak bisa dijadikan dalil, norma adat melalui ungkapan “Eme
na masak digagat ursa, ima na masa ima taula”.
Sebab membiasakan apalagi melembagakan kesalahan atau kasus-kasus khusus
menjadi kaedah umum akan merusak tatanan baku pelaksanaan adat serta
mendegradasikan makna hakiki adat itu sendiri.
Sehingga harus dihindari
yustifikasi adat berdasarkan “Eme na masak digagat ursa, ima na masa ima taula”
yang notabene “Ndang andor sipaihut-ihuton”.
Pemahaman paripurna tentang bentuk, jenis dan macam adat serta kemampuan
melakukan diplomasi atau lobi-lobi adat merupakan suatu keharusan bagi para
pemangku adat ataupun parsinabung, parsinabul, parsaut agar mudah menemukan
solusi seandainya terjadi perbedaan adat dalam suatu ulaon adat Batak-Toba.
Mempertahankan kebenaran yang masih bersifat debatebel tanpa memahami arti,
makna sejati dari suatu ulaon adat sangatlah keliru besar dan tidak mustahil
akan menimbulkan aneka gesekan yang seharusnya tidak perlu terjadi.
(Bersambung).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.