Medan, DETEKSINEWS.
Direktur
Eksekutif Lembaga Swadaya Masyarakat Kajian Transparansi Kinerja Instansi
Publik (ATRAKTIP) menegaskan “Pemerintah harus beri keteladanan patuhi Putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 45 /PUU-IX/2011 tertanggal 21 Pebruari 2012
tentang penghunjukan kawasan hutan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap alias
membatalkan SK Menhut No. 44 tahun 2005 tentang penghunjukan kawasan hutan di
provinsi Sumatera Utara”.
Penegasan itu
disampaikan Thomson Hutasoit dalam siaran persnya hari Rabu (8/8) di Medan atas
pemberitaan salah satu media (SIB,8/8 red) dengan judul, Kadishut SU JB Siringo-ringo: SK masih
berlaku, Menhut sudah buat surat edaran.
Thomson Hutasoit
menilai bahwa penerbitan Surat Edaran Menteri Kehutanan RI Zulkifli Hasan SE MM
tertanggal 3 Mei 2012 pasca terbitnya Putusan MK No. 45 tertanggal 21 Pebruari
2012 merupakan pembangkangan hukum terhadap putusan pengadilan bersifat final.
Bila pemerintah
tidak tunduk dan patuh serta menghormati putusan hukum MK bersifat final ”jangan
salah kan rakyat jika tidak percaya lagi terhadap putusan hukum di republik ini”,
tegasnya.
“Siapa pun di republik ini harus tunduk dan
patuh terhadap keputusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, dan Putusan
Mahkamah Konstitusi No. 45 adalah putusan hukum tetap tidak boleh diajukan
upaya hukum lain”.
Kita melihat
upaya pengujian materi atas SK Menhut No. 44 Tahun 2005 ke
Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan langkah maju dalam upaya membangun
kepastian hukum di negeri ini.
Tetapi bila
pemerintah sendiri tidak mau tunduk dan patuh serta menghormati putusan hukum
bersifat final ( Putusan MK-red) apakah republik ini masih pantas disebut
negara hukum, tanyaknya balik bertanya.
Penerbitan Surat
Edaran Menteri Kehutanan RI pasca putusan MK No. 45 tertanggal 21 Pebruari 2012
merupakan bentuk perlawanan serta pembangkangan hukum secara telanjang dari
pemerintah dilandasi “arogansi “ kekuasan.
Surat Edaran
yang mengangkangi Putusan MK No. 45 mirip dengan SK Menhut No. 44 Tahun 2005
yang mengangkangi Hukum Dasar Tak Tertulis yakni Hukum Adat di bumi Nusantara.
Seharusnya,
pemerintah segera melakukan sosialisasi Putusan MK No. 45 bukan malah menerbitkan
Surat Edaran aneh-aneh membingungkan rakyat yang sudah lama terlunta-lunta
menuntut hak keperdataannya, tegas pemerhati hak masyarakat adat ini.
Kita khawatir
Surat Edaran Menteri Kehutanan RI pasca Putusan MK No. 45 akan memicu gelombang
unjuk rasa eksklasi besar, dan tidak mustahil anarkhis.
Bila sinyalemen
itu benar, ”pemerintah harus bertanggung jawab atas seluruh ekses-ekses bakal terjadi seperti di Mesuji dan
daerah-daerah lain”.
Siapa pun yang
masih berpikiran cerdas pasti tahu bahwa SK Menhut No. 44 Tahun 2005 tentang
Penghunjukan Kawasan Hutan di Provinsi Sumatera Utara telah membawa
“malapetaka” terhadap kehidupan rakyat secara langsung.
Buktinya, pasca
terbitnya SK Menhut No. 44 Tahun 2005 banyak kawasan, permukiman, perkampungan,
perkantoran, rumah ibadah, fasilitas umum, Tambak/Tugu, areal persawahan,
perladangan masyarakat telah “dirampok” menjadi kawasan hutan lindung.
“Perampasan,
perampokan hak-hak keperdataan masyarakat hukum adat dan tanah ulayat walau
dengan alasan apa pun adalah merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM)
paling berat di republik yang mengklaim diri negara hukum dan menghormati hak
asasi manusia (HAM) ini”, ketus penulis buku “Meneropong serta mengamati
visi-misi Gubernur Sumatera Utara H. Syamsul Arifin Silaban SE, ‘Rakyat Tidak
Lapar, Tidak Bodoh, Tidak Sakit dan Punya Masa Depan’ itu.
"Tindakan itu
lebih kejam, keji dan sadis dibandingkan tindakan penjajah kolonial di masa
lampau".
Penjajah
kolonial saja pun tidak berani merampas atau merampok hak-hak keperdataan rakyat
secara langsung dan terang-terangan, melainkan menggunakan para ”penghianat”
anak negeri untuk menghianati bangsanya sendiri.
Oleh karena itu,
bila Plt Gubernur H. Gatot Pujo Nugroho, ST masih komit dan konsisten dengan
visi-misi “Rakyat Tidak Lapar, Tidak Bodoh, Tidak Sakit dan Punya Masa Depan”
ketika masa kampanye lalu bersama H. Syamsul Arifin SE maka harus segera
melakukan langkah-langkah konkrit merespons aspirasi rakyat melalui gelombang unjuk rasa ribuan massa di Kabupaten
Humbang Hasundutan, Samosir dan lain-lain menuntut pembatalan SK Menhut No. 44
Tahun 2005 yang telah menyengsarakan mereka, seru Thomson Hutasoit mengingatkan
visi-misi ”Syampurno” 2008 lalu.
Plt. Gubsu H. Gatot
Pujo Nugroho, ST harus segera melakukan koordinasi dengan bupati/walikota,
dinas-dinas terkait, serta DPRD Provinsi Sumatera Utara untuk menemukan solusi
permasalahan SK Menhut No. 44 tahun 2005 yang telah membelenggu kehidupan
rakyat di daerah ini.
Visi-misi
“Rakyat Tidak Lapar, Tidak Bodoh, Tidak Sakit dan Punya Masa Depan” hanyalah
sebuah kebohongan atau kecap politik apabila rakyat tidak memiliki kepastian
hukum hak-hak keperdataan, tidak memiliki lahan ruang aktivitas, tidak memiliki
keamanan dan kenyaman berusaha akibat SK Menhut No. 44 Tahun 2005 yang telah
“dibatalkan” Putusan MK No. 45 di intervensi Surat Edaran Menteri Kehutanan RI,
sebut Thomson Hutasoit. (M.1).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.