(Unang Niboniagahon Adat)
Oleh : Thomson Hutasoit.
Bagian Pertama.
Pendahuluan.
Adat budaya suku atau bangsa
merupakan suatu tradisi yang dilakukan terus-menerus serta diyakini merupakan
kebenaran komunal, dipermanenkan menjadi aturan (baca:adat) mengikat bagi
setiap elemen komunitas tersebut.
Adat Batak-Toba dikenal tiga jenis yakni; adat didasarkan pada akar adat
(baca: adat sian urat ni adat), adat yang diresmikan atau disahkan berdasarkan daerah
setempat (baca: adat na ni adathon), serta adat berdasarkan situasi tertentu
(baca: adat na taradat).
Sehingga Batak-Toba mengenal tiga jenis atau macam adat yakni; adat sian
urat ni adat, adat na niadathon, dan adat na taradat.
Pada awalnya bahwa “Patortor Parumaen” bukanlah suatu adat berdasarkan urat
ni adat, tetapi “Patortor Parumaen” pada era belakangan ini sudah menjadi salah
satu jenis adat, dan penulis belum tahu secara pasti kapan “Patortor Parumaen”
dijadikan menjadi salah satu jenis ulaon adat, serta dimulai dari daerah mana.
Akan tetapi menurut pengamatan penulis “Patortor Parumaen” telah
dilangsungkan di beberapa tempat, baik perantauan maupun di bona pasogit.
Patortor Parumaen adalah salah satu jenis ulaon adat na niadathon yakni
suatu adat yang dulunya tidak ada, serta dilakukan pada daerah-daerah tertentu.
Karena “Patortor Parumaen” pada dasarnya bukan merupakan adat sian urat ni
adat maka sering terjadi perbedaan persepsi diantara pihak-pihak terkait dengan
hajatan (baca: hasuhuton) yakni; hasuhuton paranak maupun hasuhuton parboru
dalam suatu acara pesta perkawinan.
Dan tidak mustahil menjadi cikal bakal keretakan hubungan harmoni
kekeluargaan dan kekerabatan (baca: na martondong) di belakang hari.
Apalagi jika masing-masing pihak mempertahankan adatnya sesuai dengan adat
setempat maka hampir dapat dipastikan acara “Patortor Parumaen” akan berpotensi
menimbulkan ketidakharmonisan kekeluargaan (baca: na martondong).
Fenomena “Patortor Parumaen” sepertinya semakin melebar dan meluas sehingga
perlu dilakukan pembahasan lebih mendalam untuk menjernihkan arti dan makna
“Patortor Parumaen”.
Apakah murni berkaitan adat budaya atau sebaliknya sebuah upaya terselubung
memperoleh uang dengan tameng “Patortor Parumaen”.
Sebab berbagai pihak yang melaksanakan “Partortor Parumaen” telah dijadikan
kalkulasi sumber penerimaan pesta adat perkawinan (baca: marboniagahon adat).
Menjadikan “Patortor Parumaen” sebagai sumber penerimaan atau pemasukan
dana pesta perkawinan telah menggeser arti dan makna hakiki ulaon adat
Batak-Toba dari perhelatan adat budaya menjadi ajang kalkulasi untung rugi
(bisnis) hampa arti dan makna adat budaya yang pada ujung-ujungnya akan
mendegradasi adat budaya Batak-Toba dikemudian hari.
Dari pengamatan penulis tentang “Patortor Parumaen” ada beberapa hal yang
perlu dicermati dengan seksama antara lain:
Patortor
Parumaen merusak logika adat.
Ulaon marunjuk/mangadati atau pasahat sulang-sulang ni pahompu huhut
manggarar adat na gok menurut hukum adat
adalah membayar hutang (baca: manggarar utang) adat dari pihak paranak kepada
pihak parboru karena telah mempersunting (baca: mangalap/mangoli) anak
perempuan (baca: boru) keluarga perempuan (baca: parboru).
Karena manggarar utang maka pihak paranak lah memberikan sejumlah mahar
(baca: sinamot, boli, tuhor) kepada pihak parboru.
Selanjutnya, setelah pihak paranak manggarar utang adat kepada pihak
parboru maka pihak parboru akan memberikan kewajiban adat kepada pihak paranak
sesuai ketentuan adat Batak-Toba.
Sebab prinsip manggarar adat adalah mangalehon dohot manjalo.
Artinya, bukan hanya memberi tetapi juga menerima sesuai ketentuan adat
Batak-Toba.
Pengertian mangalehon adalah menyerahkan sejumlah mahar (baca: sinamot,
tuhor, boli) menantu (baca: parumaen) oleh pihak paranak kepada pihak parboru,
termasuk pesta perkawinan (baca: marunjuk/mangadati atau pasahat sulang-sulang
ni pahompu huhut manggarar adat na gok) serta panandaion kepada sanak saudara,
keluarga maupun kerabat pihak parboru.
Selanjutnya, pihak parboru memberikan ulos passamot, ulos hela dan ulos
suhi ni ampang na opat serta ulos holong kepada pihak paranak beserta keluarga
dan kerabat.
Artinya, bahwa setelah pihak paranak menunaikan kewajiban adat kepada pihak
parboru barulah pihak parboru menunaikan kewajiban adat kepada pihak paranak.
Hal itulah logika adat Batak-Toba pada ulaon adat marunjuk/mangadati
ataupun pasahat sulang-sulang ni pahompu huhut manggarar adat na gok.
Tetapi pada era belakangan ini ketika “Patortor Parumaen” dilakukan logika
adat demikian telah dirusak karena begitu selesai pemberkatan (baca:
pamasu-masuon) di gereja maka pihak paranak melakukan “Patortor Parumaen”
sebelum ulaon adat marunjuk/magadati atau pasahat sulang-sulang ni pahompu
huhut manggarar adat na gok kepada pihak parboru.
Pihak paranak meminta kepada pihak parboru untuk manabe-nabei pengantin dan
keluarga pihak paranak, selanjutnya pihak parboru manortor sekaligus memberikan
sejumlah uang kepada boru dan helanya bahkan mertua borunya yang disebut
marmeme.
Pemberian ulos sabe-sabe, marmeme dari pihak parboru kepada pihak paranak sebelum ulaon adat
marunjuk/mangadati ataupun pasahat sulang-sulang ni pahompu huhut manggarar
adat na gok sangat merusak logika adat Batak-Toba karena tidak sesuai dengan
prinsip mengelehon dohot manjalo.
Apakah benar pihak parboru memberi ulos sabe-sabe sedangkan ulos passamot,
ulos hela dan ulos suhi ni ampang na opat belum diberikan kepada pihak paranak.
Demikian juga marmeme terasa kurang tepat sebab mahar (baca: sinamot, boli/tuhor)
borunya belum diterima penuh sudah harus memberikan uang kepada si pengantin
walau direkayasa dengan bahasa adat yakni marmeme.
Pemakian istilah marmeme juga amat janggal, menggelikan serta menyalahi logika adat sebab sungguh
keliru marmeme orang yang belum dikenal secara adat.
Ada ungkapan Batak-Toba tidak boleh dilupakan yakni; Ndang jadi marsomba
sonduk ni parboru tu paranak”.
Artinya, sebelum kewajiban adat (baca: mangalehon) dari pihak paranak
kepada pihak parboru dilaksanakan tidak lah tepat menerima (baca: manjalo) adat
dari pihak parboru.
Pemberkatan perkawinan (baca: pamasu-masuon parrumatanggaon) di gereja
harus dipahami bukanlah ulaon adat marunjuk/mangadati/ pasahat sulang-sulang ni
pahompu huhut manggarar adat na gok.
Sehingga “Patortor Parumaen” adalah merusak logika adat serta suatu kekeliruan
yang harus segera diluruskan agar tidak menjadi tradisi keliru dalam
pelestarian adat budaya Batak-Toba dikemudian hari.
Apakah pantas dan wajar memberikan ulos sabe-sabe kepada pihak paranak
sebelum memberikan ulos passamot, ulos hela, ulos suhi ni ampang na opat ?
Apakah tidak keliru bila pihak parboru marmeme pihak paranak yang belum
dikenal (baca: na so tinandana) ?
Bukankah pihak parboru belum mengenal
pihak paranak secara adat sebelum manggarar adat na gok sesuai ketentuan
adat Batak-Toba ?.
Perlu disadari bahwa pemberian panandaion dari pihak paranak kepada pihak
parboru menunjukkan barulah setelah ulaon adat marunjuk/mangadati/ pasahat
sulang-sulang ni pahompu huhut manggarar adat na gok mengenal keluarga dan kerabat
pihak parboru sehingga pasahat panandaion bahagian tak terpisahkan dari prosesi
adat Batak-Toba.
Artinya, sejak pemberian panandaion itu lah secara adat pihak paranak
mengenal pihak parboru.
Sehingga amat aneh bin ajaib apabila pihak parboru marmeme pihak paranak
yang belum dikenal secara adat.
Kerusakan nilai-nilai luhur adat budaya ditandai tindakan inkonsisten
(baca: sigoje-goje, marnida lomak ni imbulu) sehingga menjadikan “Patortor
Parumaen” sebagai adat baru atas dasar kebiasaan daerah tertentu (baca: adat na
niadathon) tanpa dilandasi logika adat sungguh sangat tidak tepat serta
berpotensi menimbulkan hal-hal negatif.
Misalnya, takut datang ke pesta perkawinan karena malu bila tidak bisa ikut
marmeme ketika Patortor Parumaen.
Adat adalah aturan berlaku universal pada suatu komunitas suku atau bangsa
sehingga harus mampu membawa kebahagiaan seperti ungkapan mengatakan ” Sinuan
bulu sibahen na las, Sinuan partuturan sibahen na horas” sehingga tidak perlu
digunakan “Ijuk di para-para hotang di parlabian, na bisuk nampuna hata na oto
tu pargadisan”.
Artinya, jangan merekayasa simbol-simbol adat demi memenuhi maksud-maksud
tertentu (baca: mangahut hepeng) yang pada ujung-ujungnya merusak makna sejati
adat.
Patortor
Parumaen motif cari uang.
Bila diamati dengan cermat bahwa “Patortor Parumaen” merupakan strategi
cari uang daripada bermakna adat budaya sebab makna “Patortor Parumaen” tidak
memiliki landasan adat yang kuat.
Ulaon adat marunjuk/mangadati/ pasahat sulang-sulang ni pahompu huhut
manggarar adat na gok adalah menunaikan kewajiban adat (manggarar utang)
sehingga tidak memiliki logika bila ulaon adat marunjuk/mangadati/ pasahat
sulang-sulang ni pahompu huhut manggarar adat na gok dikomersialisasikan (baca:
ditiga-tigahon) atau dijadikan ajang cari duit (baca: mangahut sinamot) dari
pihak lain.
Sebab ulaon adat bukan hitungan untung rugi secara finansial ataupun bisnis
melainkan adat budaya bernilai sakral (baca: ulaon na marsintuhu).
Meminta bantuan atau partisipasi (baca: mangido panumpahion, pangurupion)
pada suatu ulaon adat Batak-Toba biasanya berasal dari na mardongan tubu,
dongan sahuta, boru, bere, pariban, ale-ale yang dilaksanakan sebelum atau
ketika pesta perkawinan dilangsungkan yang disebut panumpahion.
Biasanya, panumpahion keluarga dan kerabat dekat (baca: paidua ni hasuhuton
dohot sisolhot) dilaksanakan sebelum pelaksanaan ulaon adat yang disebut musyawarah
keluarga (baca: tonggo saripe).
Dan ketika tonggo saripe itulah yang punya hajatan (baca: hasuhuton)
menyamakan persepsi (baca: pa dos tahi) mengatur partording ni parjambaran sesuai tata hirarkhi
silsilah (baca: tarombo) sebab bagi Batak-Toba parjambaran adalah tarombo.
Sementara keluarga jauh dan handai tolan biasanya memberikan bantuan atau
partisipasi (baca: panumpahion) pada saat pesta perkawinan dilangsungkan yang
disebut martumpak di alaman.
Oleh sebab itu, sangat mudah mengetahui apakah seseorang merupakan keluarga
dekat atau keluarga jauh dari pemberian bantuan atau partisipasinya (baca:
Tumpak).
Bila seseorang memberikan tumpak di alaman maka seseorang itu adalah
keluarga jauh maupun handai tolan (sahabat, teman, famili) yang tidak termasuk
kategori keluarga dekat (baca: martumpak di jabu).
Sedangkan apabila seseorang memberikan tumpak di jabu maka seseorang itu
merupakan bahagian keluarga dekat (baca: horong sisolhot) hasuhuton.
Akan tetapi, pasca diterapkannya “Patortor Parumaen” belakangan ini
batasan-batasan itu sudah semakin semu sebab kelompok (baca: horong) hula-hula
yakni; hula-hula, tulang, bona tulang, bona niari, tulang rorobot, hula-hula na
marhaha maranggi, hula-hula parsiat/naposo sudah ikut memberikan bantuan (baca: silehon
tumpak) kepada pihak paranak melalui sebutan “marmeme”.
Dan yang paling tidak masuk akal para undangan hula-hula terpaksa akan
merogoh kantong karena malu tidak ikut berpartisipasi waktu acara Patortor
Parumaen.
Patortor Parumaen lebih cenderung bermotif cari uang daripada bermakna
nilai-nilai adat budaya murni, bahkan muncul tudingan bahwa “Patortor Parumaen”
sama seperti “pengamen” untuk mencari uang menutupi biaya pesta perkawinan.
Bahkan logika paling keliru berkembang belakangan ini bahwa sudah lebih
beruntung mengawinkan anak (baca: pangolihon anak) daripada mengawinkan boru
(baca: pamulihon boru) sebab dari Patortor Parumaen saja biaya pesta perkawinan
telah tertutupi.
Sementara adat budaya bukan lah kalkulasi untung rugi tetapi hak dan
kewajiban adat yang harus dilaksanakan pada saat pesta perkawinan.
Oleh karena itu, ulaon adat tidak boleh dijadikan ajang bisnis mencari
keuntungan dengan menggunakan uang orang lain seperti dikatakan Stephen P. Robbins,
PhD bahwa ”bisnis adalah menggunakan
uang orang lain”.
Membayar hutang (baca: manggarar utang) adat mengharapkan bantuan (baca:
tumpak) orang lain, apalagi dari pihak hula-hula sungguh sangat kurang tepat
sebab hula-hula lah muara daripada membayar hutang (baca: manggarar utang) adat
tersebut.
Pemutar balikan fakta atas pelaksanaan “Patortor Parumaen” harus segera
diluruskan agar tidak menjadi preseden buruk serta mendegradasikan nilai-nilai
luhur adat budaya Batak-Toba dikemudian hari.
Asumsi pemasukan dana lebih besar
dari “Patortor Parumaen” perlu juga dianalisis dengan paripurna sebab tidak
tertutup kemungkinan bahwa uang yang diberikan pada saat “marmeme” adalah
sebahagian dari tumpak yang seharusnya diberikan.
Artinya, tumpak yang direncanakan semula dibagi untuk “marmeme” dan
panumpahion biasa sehingga jumlahnya sama saja.
Pengamatan penulis sebagai praktisi adat “Patortor Parumen” di Kota Medan
tidak pernah dilaksanakan hingga kini.
Selain kurang abdol juga menimbulkan inefisiensi waktu, serta kerumitan
dalam pelaksanaan adat.
Upaya-upaya efisiensi, efektifitas adat semakin diupayakan seperti
menyederhanakan panjouon panandaion beberapa kelompok saja.
Tetapi apabila “Patortor Parumaen” cenderung bermotif cari uang dilegalkan
maka akan terjadi paradoksal pelaksanaan ulaon adat.
Hal itulah yang perlu dipikirkan lebih mendalam agar makna adat budaya
tidak melenceng atau menyimpang dari makna hakikinya.
(Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.