Oleh : Thomson Hutasoit
Direktur Eksekutif LSM Kajian Transparansi Kinerja
Instansi Publik (ATRAKTIP)
Ketika
bangsa ini merayakan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia ke
67 pada tanggal 17 Agustus 2012 sontak terlindas dibenak penulis pemilihan
gubernur (Pilgub) DKI Jakarta dimana pasangan calon gubernur Joko Widodo-Basuki
Tjahaja Purnama vs Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli akan bertarung di putaran kedua
untuk memperebutkan kursi DKI Jakarta 1 (gubernur-red).
Pertarungan
kedua pasangan ini di putaran kedua setelah pasangan Jokowi mengantongi
1.847.157 suara (42,6 persen) sedangkan pasangan Foke hanya mampu mendapat
1.476.648 suara (34,05 persen).
Jumlah
pemilih yang terdata dalam daftar pemilih tetap berjumlah 6.962.348 orang
sedangkan yang menggunakan hak pilih hanya 4.429.533 orang ( 63,62 persen). Ada 36,38 persen pemilih
tidak menggunakan hak pilihnya. (kompas,
20/7/2012).
Sebagai
calon gubernur petahana (incumbent)
Fauzi Bowo pada putaran pertama terkesan dikeroyok sama-sama oleh pasangan
gubernur lain seperti pasangan Hidayat Nurhidayat-Didik J Rachbini yang hanya
mendapat 508.113 suara (11,72 persen), pasangan Faisal Basri-Biem T Benjamin
hanya mendapat 215.935 suara (4,98 persen), pasangan Alex Noerdin-Nono Sampono
hanya mampu mendapat 202.643 suara (4,67 persen), dan pasangan Hendardji
Soepandji-A Riza Patria hanya mampu mendapat 85.990 suara (1,98 persen).
Kemenangan
sementara Jokowi-Ahok yang didukung dua partai nasionalis yakni Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDI-Perjuangan) dengan Partai Gerakan Indonesia Raya
(Partai Gerindra) merupakan unpredictible
bagi berbagai survey-survey sebelumnya. Sehingga kemenangan pasangan
Jakowi-Ahok dianggap merupakan sebuah fenomena baru di kancah perpolitikan
nasional.
Secara kasat
mata pertarungan kedua pasangan itu merupakan pertarungan keserdahanaan dan
kesahajaan (Jokowi-red) versus keperkasaan, elitis (Foke-red).
Sebab Jokowi
adalah walikota Solo sementara Foke Gubernur DKI Jakarta petahana (incumbent) yang pada periode sebelumnya
ber trade mark serahkan pada
”Ahlinya”.
Pasca
kemenangan Jokowi-Ahok diputaran pertama berbagai dikotomi pun bermunculan
seperti membandingkan Jakarta dengan Solo, putera daerah dengan pendatang, bahkan isu-isu sektarianis-primordialis
tidak luput mewarnai pertarungan jilid dua Pilgub DKI Jakarta pada bulan September 2012 mendatang.
Mengangkat
isu-isu sektarianis-primordialis seperti suku, agama, ras, antar golongan/SARA
dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) di usia 67 tahun kemerdekaan Republik
Indonesia tentu mengundang pertanyaan besar, sudah sejauhmana kah kedewasaan
kebangsaan rakyat di republik ini ?
Sebab
mempertentangkan perbedaan, keragaman, kemajemukan atau pluralisme di republik
Berbhinneka Tunggal Ika ini sama artinya mempersoalkan eksistensi Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila dan UUD Republik
Indonesia 1945.
Bukankah
tindakan demikian merupakan pengingkaran terhadap negara-bangsa Indonesia yang
diproklamasikan 17 Agustus 1945 oleh Bung Karno dan Bung Hatta atas nama
seluruh rakyat Indonesia ?
Sampai
dimanakah tingkat kedewasaan bangsa ini dalam kebangsaan dan keindonesiaan bila
demi memenangkan pemilihan gubernur (Pilgub), pemilihan bupati (Pilbup),
pemilihan walikota (Pilkot) ataupun pemilihan presiden (Pilpres) masih gemar
mengangkat isu-isu sektarianis-primordialis menu kampanye.
Tindakan-tindakan
demikian adalah pola pikir mundur jauh sebelum republik ini merdeka, dan para
pendiri bangsa ini telah menyadari dengan paripurna bahwa pola pikir demikian
adalah anti kemerdekaan bangsa Indonesia.
Di usia 67
tahun kemerdekaan bangsa ini tentu pola pikir demikian amat sangat bertentangan
sekaligus pengingkaran arti kemerdekaan bangsa Indonesia rumah pluralisme.
Bangsa ini
telah menjamin kesamaan kedudukan di depan hukum dan pemerintahan tanpa kecuali
sebagaimana diamanatkan pada pasal 27 ayat (1) UUD Republik Indonesia 1945.
Tidak satu
pun walau dengan alasan apa pun merasa paling berhak dan paling istimewa di
republik ini sebab republik ini tidak pernah didirikan diatas sentimen
sektarianis-primordialis.
Kedewasaan
kebangsaan dan keindonesiaan republik ini akan nampak dengan nyata bila calon
presiden, gubernur,
bupati/walikota, partai politik, tokoh
masyarakat, pengamat serta seluruh rakyat tidak lagi mempersoalkan isu-isu
sektarianis-primordialis di arena pesta demokrasi rakyat.
Kompetisi
politik dengan adu program, visi-misi, serta solusi yang jelas dan terukur
untuk menyelesaikan persoalan bangsa merupakan cerminan kematangan berpolitik
serta kedewasaan kebangsaan dan keindonesiaan.
Figur-figur
inilah yang layak diberi amanah kepemimpinan di segala level karena figur-figur
pemimpin seperti itu pantas menjadi gantungan harapan masa depan.
DKI Jakarta
adalah wajah Republik Indonesia maka Jokowi walikota terbaik di Asia bahkan
calon walikota terbaik dunia yang membawa visi kerakyatan ke Jakarta disertai
kesederhanaan dan kesahajaan menjadi tolok ukur kedewasaan kebangsaan dalam
berpolitik di negeri ini.
Rakyat DKI
Jakarta harus cerdas melihat konsistensi visi-misi, program calon gubernur
termasuk partai-partai pendukungnya agar tidak terjebak pada kamuflase politik
yang semata-mata haus kekuasaan.
Karena
sangat tidak masuk akal ketika di putaran pertama mencerca visi-misi, program
calon lain tetapi di putaran kedua justru bergabung mendukung visi-misi,
program yang dicercanya.
Ini adalah
perilaku aneh yang perlu dicermati seluruh rakyat dengan seksama walau dengan
alibi apa pun.
Bila Jokowi
mampu memenangkan Pilgubsu DKI Jakarta 2012 maka Jakarta kembali
memproklamasikan kemenangan kedewasaan kebangsaan Indonesia dalam berpolitik
sesuai makna sejati Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945
oleh para pendiri bangsa di masa silam.
Dan kedewasaan
kebangsaan Indonesia dalam berpolitik bermartabat dan beradab akan menyebar
keseluruh penjuru nusantara sehingga negeri ini benar-benar bumi pluralisme
rumah seluruh rakyat Indonesia tanpa kecuali.
Sebaliknya,
bila peta pertarungan politik Pilgub DKI Jakarta 2012 masih diwarnai isu-isu
sektarianis-primordialis maka usia 67 tahun kemerdekaan republik ini masih
belum mampu atau gagal membangun politik bermartabat dan beradab.
Medan, 16
Agustus 2012
Thomson
Hutasoit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.