Bagian Kedua.
Tidak
berpotensi menjadi penghuni “hotel prodeo” atau penjara.
Salah satu kekeliruan dan kesalahan paling memprihatinkan pada pemilihan
kepala daerah (Pilkada) langsung pasca
reformasi adalah ± 17 gubernur, ± 177 bupati/walikota seluruh Indonesia terlibat
kasus tindak pidana korupsi.
Dan salah satu diantaranya adalah Gubernur Sumatera Utara non aktif H.
Syamsul Arifin Silaban, SE mantan Bupati Langkat dan beberapa bupati/walikota
terpaksa mendekam di balik jeruji penjara atau hotel prodeo akibat masa lalunya
tidak bersih (terlibat tindak pidana korupsi) ketika menjalankan amanah
dipercayakan pada dirinya.
Pengalaman pahit seperti itu tentu tidak boleh terulang kembali pada
suksesi Gubernur Sumatera Utara periode 2013-2018 agar daerah ini tidak
kehilangan tongkat kendali pemerintahan berulang kali.
Wejangan proklamator republik ini Bung Karno mengatakan,”hanya keledai mau
terperosok dua kali ke dalam lobang yang sama” perlu menjadi kesadaran seluruh
rakyat Sumatera Utara dalam mencalonkan, memilih Gubernur Sumatera Utara tahun
2013 mendatang.
Bila tidak demikian, tradisi gubernur, bupati/walikota terpenjara akibat mencalonkan, memilih calon gubernur,
bupati/walikota memiliki catatan hitam atau diduga keras memiliki kasus tindak pidana korupsi pada
saat memegang jabatan sebelumnya menjadi tradisi buruk di daerah ini.
Rakyat Sumatera Utara berdaulat untuk tidak memilih calon-calon gubernur,
bupati/ walikota memiliki catatan hitam atau “koruptor” ketika memegang tampuk
kepemimpinan sebelumnya.
Karena dapat dipastikan setelah terpilih akan menjadi warga “hotel prodeo”
atau penghuni penjara dikemudian hari.
Oleh sebab itu, figur-figur layak dicalonkan, dipilih menjadi nahkoda
provinsi Sumatera Utara adalah orang-orang tidak memiliki catatan hitam atau
diduga memiliki kasus tindak pidana korupsi di masa lalu.
Peranan partai politik dan rakyat untuk tidak mencalonkan, memilih calon
Gubernur Sumatera Utara yang memiliki catatan hitam mengakhiri lembaran buram
kepala daerah terpenjara di Sumatera Utara ke depan.
Momentum Pilgubsu tahun 2013 harus mampu dijadikan awal kebangkitan
pemerintahan yang bersih, berwibawa, akuntabel agar daerah ini bangkit, melaju
menggapai masyarakat makmur, sejahtera, berkeadilan sebagaimana janji
proklamasi 17 Agustus 1945.
Melacak, mengurai rekam masa lalu calon Gubernur Sumatera Utara periode
2013-2018 dengan jujur, obyektif, transparan seluas-luasnya merupakan agenda
penting harus dilakukan partai politik maupun rakyat Sumatera Utara sebelum
menjatuhkan pilihan terhadap para calon bertaburan saat ini.
Memiliki
visi-misi jelas dan terukur.
Menjelang tahapan Pilgubsu 2013 para bakal calon (balon) memproklamerkan
visi-misi indah-indah dengan tujuan agar rakyat terbius terhadap bakal calon
(balon) bersangkutan.
Berbagai angin sorga (ansor) diurai, dibingkai dengan bahasa sangat indah
serta menarik. Seperti kata-kata “jika saya terpilih akan…”, “sendainya rakyat
memberi kepercayaan saya akan…..”,
“bersama rakyat kita akan….”, dan lain sebagainya.
Pembingkaian (framing) menurut
Stephen P. Robbins, Ph.D (2009) adalah suatu cara menggunakan bahasa untuk
mengelola makna.
Framing itu ada berbentuk metafora, jargon, kontras, plintiran, dan cerita dengan tujuan mempengaruhi, menarik perhatian
rakyat untuk menjatuhkan pilihan.
Kadangkala metafora, jargon, kontras, plintiran, dan cerita yang dibangun
para kandidat tak jelas dan tak terukur
sehingga amat sangat menggelikan, membingungkan serta hanya sekadar angin sorga
saja sulit dibumikan.
Atau hampir mirip dengan iklan atau reklame kecap yang tidak pernah mengiklankan
diri kecap nomor dua.
Semua kecap mengklaim diri kecap nomor satu tidak ada kecap nomor dua.
Visi-misi seperti itu sudah tidak laku lagi sebab tingkat ilmu pengetahuan rakyat
pemilih sudah mampu membaca, mengetahui, apakah visi-misi itu jelas dan terukur
atau hanya sekadar propaganda politik belaka.
Visi-misi sekadar jual kecap tidak didasarkan landasan akademik hanyalah
sebuah bualan politik konyol untuk membius alam sadar rakyat pemilih tingkat
pendidikannya masih rendah.
Sementara kelompok pemilih intelektual, taktik strategi seperti itu akan
diartikan atau dimaknai taktik strategi picisan atau pepesan kosong alias
visi-misi “sampah” karena tidak dilandasi parameter jelas dan terukur.
Oleh karena itu, rakyat harus cerdas, cermat melihat, memahami visi-misi
para kandidat agar tidak terperangkap visi-misi autopis tak akan pernah
terwujud, kecuali menuai kekecewaan dikemudian hari.
Karena tidak mustahil juga, visi-misi autopis itu bukan hasil pemikiran
calon gubernur bersangkutan, tetapi pesanan dari ahli metafora, jargon,
kontras, pelintiran, dan cerita untuk sekadar propaganda politik hampa makna.
Memiliki
kemampuan menejerial mumpuni.
Sesuai paradigma otonomi daerah bahwa kepala daerah adalah manajer
pemerintahan daerah sehingga harus mampu menyerap serta menjabarkan aspirasi
rakyat menjadi komponen kebijakan publik akan dilaksanakan.
Pola top down otoriter tidak
ampuh lagi diterapkan dalam sistem penyelenggaran pemerintahan otonomi daerah.
Pola bottom up partisipatif
merupakan model penyelenggaraan pemerintahan otonomi daerah paling sesuai dan
tepat untuk mendorong partisipasi rakyat seluas-luasnya dalam pembangunan di segala
bidang.
Oleh karena itu, gubernur harus mampu membangun hubungan saling memercayai,
bukan sebaliknya menumbuh suburkan sakwasangka, saling mencurigai ataupun membangun tembok pemisah diantara seluruh
stakeholder daerah.
Stephen P. Robbins, Ph.D mengatakan berdasarkan penelitian, seorang manajer
harus mampu membangun hubungan saling memercayai melalui:
1. Bersikap terbuka. Ketidakpercayaan berasal dari apa yang orang tidak
diketahui dan dari apa yang mereka ketahui, sama banyaknya. Jagalah agar orang-orang
tetap memperoleh informasi, buatlah kriteria dengan sangat gamblang mengenai
bagaimana keputusan dibuat, jelaskan alasan yang mendasari keputusan,
bersikaplah terus terang mengenai berbagai persoalan, dan bukalah sepenuhnya
informasi yang relevan.
2. Bersikap adil. Sebelum membuat keputusan atau mengambil tindakan,
pertimbangkan bagaimana orang lain akan mempersepsikannya dalam pengertian
obyektivitas dan keadilan. Berikan penghargaan kepada seseorang yang memang
berhak menerimanya, bersikaplah obyektif dan tidak memihak di dalam penilaian
kinerja, dan berilah perhatian pada persepsi keadilan dalam distribusi
penghargaan.
3. Ungkapkan perasaan. Para manajer yang hanya menyampaikan fakta-fakta keras
dianggap dingin dan berjarak. Jika berbagi perasaan, orang lain akan memandang
pemimpin sebagai nyata dan manusiawi.
4. Katakan kebenaran. Kebenaran adalah bagian inheren dari integritas. Sekali
berbohong dan ketahuan, kemampuan untuk memperoleh dan menjaga kepercayaan
sangat merosot. Orang-orang pada umumnya lebih toleran terhadap pengetahuan
yang mereka “tidak ingin dengar” daripada mendapati manajer mereka membohongi
mereka.
5. Tunjukkan konsistensi.
Orang menginginkan bahwa segala sesuatu dapat diperkirakan (predictable). Ketidakpercayaan muncul karena tidak mengetahui apa
yang diharapkan. Biarlah nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan inti memandu
tindakan-tindakan. Ini meningkatkan konsistensi dan membangun kepercayaan.
6. Penuhi janji.
Kepercayaan mensyaratkan bahwa orang meyakini dapat diandalkan. Jika perlu memastikan bahwa Anda memegang kata-kata dan komitmen.
7. Jaga kerahasiaan. Orang-orang memercayai mereka yang bijaksana dan kepada
siapa mereka dapat bersandar. Mereka perlu merasa yakin bahwa Anda tidak akan
membicarakan rahasia mereka dengan orang lain atau mengkhianati rahasia
tersebut. Jika orang mempersepsikan Anda sebagai seorang yang membocorkan
rahasia pribadi atau seseorang yang tidak dapat diandalkan, Anda tidak akan
dipersepsikan sebagai layak dipercaya.
Selain daripada itu, seorang pemimpin harus memiliki ketegasan, keberanian,
kecerdasan, kecermatan dalam mengambil keputusan.
Sifat, sikap ragu-ragu akan mempengaruhi kecepatan mengambil keputusan
apalagi diselimuti upaya-upaya pencitraan diri terhadap seluruh pihak yang
tidak mudah dipenuhi dan diwujudkan.
Ketegasan dan keberanian mengambil keputusan tidak populer sekalipun sangat
diperlukan dari seorang manajer untuk menjamin penyelenggaraan pemerintahan
daerah berjalan dengan baik.
Sebagai top leader gubernur harus mampu memberikan arah kebijakan
pemerintahan daerah.
Bukan sebaliknya, melepaskan atau menggeser tanggung jawab kepada bawahan
sehingga bawahan tidak terlindungi dalam mengeksekusi kebijakan pemerintahan
daerah.
Membangun tembok pemisah antara pimpinan dengan bawahan akan menimbulkan
jurang komunikasi pimpinan dengan bawahan walau dengan alasan apa pun.
Misalnya, gubernur mengatakan tidak perlu komunikasi tatap muka, cukup
dengan black barry massage (BBM) adalah
bentuk “arogansi” kekuasaan dipertontonkan seorang pemimpin terhadap bawahan.
Padahal, seorang manajer atau pemimpin selain seorang pimpinan an sich juga figur seorang bapak/ibu
tempat labuhan curahan hati (curhat) para bawahannya.
Kepemimpinan kebapaan bisa melindungi serta mengayomi seluruh bawahan
melalui sentuhan komunikasi dua arah untuk
meningkatkan hubungan antar personal serta meningkatkan produktivitas,
kapasitas, soliditas prestasi kinerja di atas saling menghargai, menghormati
dan memercayai.
Memiliki
kemampuan entrepreneurship.
Salah satu perbedaan paling dasar antara sistem pemerintahan sentralistik
dengan sistem desentralisasi adalah kepala daerah (gubernur, bupati/walikota)
dituntut kemampuan menggali seluruh
potensi daerah sumber kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Karena itu, kemampuan gubernur, bupati/walikota menggali serta
mengefektifkan seluruh potensi daerah sebesar-besarnya mewujudkan kemakmuran
dan kesejahteraan rakyat berkeadilan merupakan salah satu syarat harus dimiliki
seorang kepala daerah.
Melakukan inventarisasi, pemetaan seluruh potensi daerah kemudian membuat
matriks-matriks jelas, terukur dan akurat tentang seluruh potensi daerah membuka
peluang pertumbuhan investasi daerah apalagi
didukung legalitas hukum jelas memudahkan
calon investor domestik maupun asing menanam modalnya di daerah.
Bukan seperti belakangan ini dimana kepala-kepala daerah super nafsu
menggelontorkan aneka peraturan daerah (Perda) mencekik leher rakyat
semata-mata demi mewujudkan ambisi pencapaian target pendapatan asli daerah
(PAD) yang sama sekali tidak berkorelasi linier dengan peningkatan kemakmuran
dan kesejahteraan rakyat secara nyata.
Bahkan ada daerah mengejar target pendapatan asli daerah (PAD) hingga ke
liang kubur dengan menaikkan tarif retribusi pemakaman dan pengabuan mayat
sehingga bukan lagi hanya manusia hidup dibebani pajak, retribusi tetapi sudah
ikut manusia meninggal demi ambisi mencapai target PAD.
Kreativitas kepala daerah seperti itu sangat tidak layak dimiliki Gubernur
Sumatera Utara, justru yang dibutuhkan adalah sosok gubernur yang mampu
meringankan beban rakyat seperti mampu memberikan akte kelahiran dan
administrasi kependudukan gratis.
Akte kelahiran dan administrasi kependudukan harus merupakan bahagian public service kewajiban pemerintah
daerah terhadap rakyatnya sehingga tidak perlu dijadikan obyek sumber
pendapatan asli daerah (PAD).
Sumatera Utara memiliki potensi sumber daya alam (SDA) sangat luar biasa,
tetapi hingga kini masih terdapat puluhan ribu desa belum tersedia jaringan
listrik, diantaranya 6.000 kepala
keluarga di Kabupaten Toba Samosir yang notabene daerah pemasok energi listrik
terbesar di provinsi Sumatera Utara.
Potensi pertanian, kehutanan, perkebunan, pertambangan, nelayan, perikanan
dan kelautan, pariwisata dan lain
sebagainya belum tergarap maksimal hingga kini.
Danau Toba danau terbesar ketiga di dunia serta danau vulkanik terbesar di
atas jagat raya ini terkesan ditelantarkan, padahal danau ikon Sumatera Utara
itu sudah go international sebelum
republik ini merdeka.
Andaikan gubernur Sumatera Utara memiliki kemampuan entrepreneurship Danau Toba tidak sulit lagi dipromosikan sebagai
tujuan wisata internasional asalkan saja didukung infrastruktur jalan, serta
menu-menu wisata kreatif sebab Danau Toba sudah sangat mendunia.
Demikian juga sumber daya alam (SDA) lain seandainya dikelola efektif,
efisien dengan sumber daya manusia (SDM)
berkualitas maka APBD Sumatera Utara bukan lagi hanya sebesar Rp 6,1 triliun
Tahun Anggaran 2012.
Dan paling mengecewakan hingga bulan Agustus 2012 APBD Tahun Anggaran 2012
sebesar Rp 6,1 triliun baru terserap sebesar Rp 1,9 triliun lebih atau setara
23,70 persen.
Dana APBD sekecil itu pun masih belum mampu diserap optimal sehingga
menjadi Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) hingga ratusan miliar rupiah
setiap tahunnnya.
Perlu diingat bahwa Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) APBD Provinsi
Sumatera Utara Tahun Anggaran 2011 sebesar Rp 720 miliar lebih.
Padahal infrastruktur jalan di provinsi Sumatera Utara hancur-hancuran
mengakibatkan urat nadi perekonomian terganggu tak karu-karuan sepanjang masa.
Calon Gubernur Sumatera Utara periode 2013-2018 harus benar-benar memiliki
kemampuan entrepreneurship sehingga
mampu mendorong pertumbuhan investasi, baik investasi daerah, nasional maupun
asing dengan berbagai terobosan yang menghargai serta mejamin kearifan lokal di
daerah.
Paradigma pembangunan hanya berorientasi pada besaran APBN atau APBD kini
sudah ketinggalan zaman sehingga calon gubernur lima tahun kedepan harus
benar-benar memiliki jiwa entrepreneurship
ditandai kemampuan menjalin hubungan komunikasi seluas-luasnya di tingkat
nasional maupun internasional.
Karena itu, calon gubernur Sumatera Utara periode 2013-2018 haruslah sosok
yang benar-benar mengetahui, memahami tipikal rakyat daerah secara paripurna.
Bukan sosok pemimpin “syur sendiri” serta tidak mengenal karakteristik
daerah Sumatera Utara.
(Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.