rangkuman ide yang tercecer

Jumat, 02 Desember 2016

Asimilasi Perkawinan Jembatan Budaya



Asimilasi Perkawinan Jembatan Budaya
Oleh: Thomson Hutasoit

Pendahuluan.
Seiring perkembangan zaman, proses perkawinan antar suku atau etnik makin galip terjadi dari wktu ke waktu, hal itu merupakan konsekuensi perkembangan ilmu dan teknologi (Iptek) menjadikan ruang jarak antar daerah semakin dekat. Perkembangan zaman semakin maju juga membuat manusia berpikir luas dan terbuka terhadap aneka budaya, adat-istiadat berbeda-beda sehingga proses perkawinan telah melampaui batas-batas pemahaman tradisi konvensional,  yakni melangsungkan perkawinan sesama satu suku atau etnik tertentu.  
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2007) “Asimilasi perkawinan ialah proses terjadinya perkawinan campuran yang berbeda budaya, perilaku, dan golongan”.  Asimilasi perkawinan akan berkonsekuensi penyesuaian diri terhadap kebudayaan dan pola-pola perilaku antar suku atau etnik yang melangsungkan perkawinan tersebut. Pola pikir, pola laku tradisonal mengharuskan perkawinan antar satu suku atau etnik yang mempunyai budaya, adat-istiadat yang sama makin lama makin longgar hingga lahir budaya, adat-istiadat campuran disebabkan asimilasi perkawinan tersebut.  
Asimilasi perkawinan antar suku atau etnik harus diakui sangat sulit diterima pada masyarakat tradisional konvensional, bahkan proses perkawinan seperti itu diasumsikan suatu kegagalan membina generasi (anak-red) sebab pada tatanan masyarakat tradisional konvensional perkawinan beda suku atau etnik dianggap sangat tak sesuai tatanan budaya, adat-istiadat suku atau etnik bersangkutan. Bahkan bila terjadi asimilasi perkawinan dianggab “aib”, dan orang tua merasa malu apabila anak-anaknya melangsungkan perkawinan beda suku atau etnik. Asumsi seperti itu sangat dipengaruhi interaksi budaya, adat-istiadat lokal yang masih inklusif menganggap budaya, adat-istiadatnya lebih superior dibandingkan budaya, adat-istiadat pihak lain, serta keterbatasan interaksi dengan suku atau etnik lain dalam kehidupan sehari-hari.
Asimilasi perkawinan antar suku atau etnik harus diakui bukanlah masalah mudah dan gampang sebab proses perkawinan seperti itu menyatukan budaya, adat-istiadat, pola pikir, pola perilaku berbeda, sehingga dituntut kemampuan saling memahami, saling menerima budaya, adat-istiadat masing-masing. Situasi kondisi demikian menjadi perhatian penting dan serius bagi setiap orang sebelum melangsungkan asimilasi perkawinan agar perkawinan campuran tidak mengalami goncangan ataupun kendala dikemudian hari.  
Dalam ungkapan klasik Batak Toba dikatakan, “Tinallik bulung sihupi, pinarsaong bulung sihala, Unang sumolsol di pudi ndang sipasingot na soada” artinya, jangan menyesal dikemudian hari bukan nasehat tak ada, atau pepatah klasik lain mengatakan, “pikir dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna”.
Ungkapan klasik ini adalah sebuah wejangan yang perlu dipikirkan matang dan mendetail bagi setiap orang hendak melangsungkan perkawinan campuran antar suku atau etnik, sebab keberanian melangsungkan asimilasi perkawinan dengan segala konsekuensi, termasuk hubungan harmoni keluarga mempelai berbeda budaya, adat-istiadat membutuhkan kemampuan memberi pengertian, pemahaman budaya, adat-istiadat secara timbal balik. Ada adagium klasik Batak Toba mengatakan, “Asing dolok asing sihaporna, Asing luat asing adatna” yang bermakna, bahwa setiap daerah, suku atau etnik memiliki budaya, adat-istiadat berbeda-beda satu sama lain. Dan perbedaan budaya, adat-istiadat inilah salah satu kendala paling krusial dalam melaksanakan pesta perkawinan campuran yang memiliki budaya, adat-istiadat masing-masing.
Pergeseran nilai-nilai budaya, adat-istiadat menjadi suatu keniscayaan akibat asimilasi perkawinan sehingga sangat sulit mempertahankan tatanan budaya, adat-istiadat murni yang  ditradisikan pada suatu suku atau etnik pasca perkawinan campuran tersebut. Setuju atau tak setuju, rela atau tak rela, diterima atau tak diterima inilah salah satu pertentangan bathin atas terjadinya asimilasi perkawinan yang menyebabkan pergeseran tatanan nilai budaya, adat-istiadat yang harus diterima pada perkawinan campuran antar suku atau etnik.
Seturut perkembangan zaman dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) yang membuka sekat-sekat ruang dan waktu serta perubahan sudut pandang tentang nilai-nilai kemanusiaan yang bukan saja terikat pada budaya, adat-istiadat lokal untuk memilih teman hidup sepanjang hayat. Perkawinan adalah pilahan hidup dilandasi kesadaran kasih tanpa mengenal sekat suku atau etnik memunculkan perkawinan campuran antar suku atau etnik di kalangan generasi Batak Toba belakangan ini. Hal ini bisa dibuktikan dengan banyaknya putera (anak-red), puteri (boru-red) Batak Toba melangsungkan perkawinan campuran antar suku atau etnik, baik domestik maupun bangsa asing (halak sileban-red) menjadikan pergeseran nilai-nilai budaya, adat-istiadat murni Batak Toba pada era millenia ini. Asimilasi perkawinan atau perkawinan campuran antar suku atau etnik bukanlah suatu aib atau tabu melainkan konsekuensi perkembangan zaman serta semakin terbukanya era komunikasi antar anak manusia di atas bumi.
Pertanyaannya ialah apakah perkawinan campuran suatu kesalahan atau aib ? Pertanyaan  ini tentu bisa mendapat jawaban berbeda-beda sesuai sudut pandang masing-masing. Tetapi, apapun jawabannya, asimilasi perkawinan atau perkawinan campuran antar suku atau etnik telah banyak terjadi pada generasi Batak Toba, terutama generasi berdomisili diperantauan (diaspora) dengan segala konsekuensi budaya, adat-istiadat yang harus dilalui secara bersama-sama atas pilihan perkawinan tersebut.  
Asimilasi perkawinan harus disadari matang dan mendetail menuntut kemampuan asimilasi kebudayaan, yaitu; penyesuaian diri terhadap kebudayaan dan pola-pola perilaku pada suku atau etnik berbeda. Misalnya, jika seorang putera (baoa-red) Batak Toba melangsungkan perkawinan dengan puteri (boru-red) suku Sunda, sejauhmana kemampuan adaptasi budaya, adat-istiadat serta pola perilaku kedua isan sejoli yang berani melakukan asimilasi perkawinan  ditengah perbedaan budaya, adat-istiadat serta pola perilaku di kedua suku atau etnik tersebut. Demikian juga bila seorang puteri (boru-red) Batak Toba melangsungkan asimilasi perkawinan dengan putera (baoa-red) suku Nias, sejauhmana kemampuan puteri Batak Toba menyesuaikan diri dengan budaya, adat-istiadat serta pola perilaku suku Nias, atau sebaliknya, sejauhmana kemampuan adaptasi budaya, adat-istiadat serta pola perilaku putera suku Nias terhadap budaya, adat-istiadat serta pola perilaku Batak Toba pasca perkawinan campuran menjadi sangat penting diperhatikan agar harmoni hubungan kekeluargaan, kekerabatan bisa berjalan lancar dan langgeng.
Jika adaptasi budaya, adat-istiadat mampu dilakukan dengan baik dan benar serta saling menghormati satu sama lain maka asimilasi perkawinan atau perkawinan campuran antar suku atau etnik menjadi sangat istimewa dan luar biasa, sebab mampu mempertemukan budaya, adat-istiadat serta pola perilaku berbeda menambah khasanah pelangi kehidupan semakin indah sebagaimana dicerminkan Bhinneka Tunggal Ika dalam realitas budaya, adat-istiadat serta pola perilaku ditengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sehari-hari.

   
Konsekuensi Asimilasi Perkawinan Batak Toba.   
Perkawinan Batak Toba dilandasi falsah Dalihan Na Tolu (DNT) yaitu; somba marhula-hula, manat mardongan tubu, serta elek marboru membentuk tatanan struktur partuturan yakni; hula-hula, dongan tubu, boru adalah unsur penting yang harus dijaga, dirawat serta dilestarikan secara timbal balik. Artinya, pada struktur partuturan yang ditimbulkan proses perkawinan satu suku (sesama Batak Toba-red), khususnya pihak hula-hula dikenal beberapa tingkatan antara lain; Hula-hula (hula-hula pangalapan boru-red), Tulang (hula-hula ni Inong pangintubu/ pangolian ni Among-red), Bona Tulang (hula-hula ni Ompungboru/pangolian ni ompungdoli-red), Bona Niari (hula-hula ni Inang Mangulahi/pangolian ni Amang mangulahi-red), Tulang Rorobot (hula-hula ni hula-hula pangalapan boru-red), Hula-hula Namarhahamaranggi (hula-hula ni na ma nodohon iba, hula-hula ni na tinodohon-red), Hula-hula Naposo/Parsiat (hula-hula pangalapan boru ni anak-red), Hula-hula Simanjungkot (hula-hula pangalapan boru ni pahompu-red) dan lain-lain.
Struktur partuturan kelompok (horong-red) Hula-hula pada Batak Toba seperti ini belum tentu dikenal pada suku atau etnik lain, sehingga apabila terjadi asimilasi perkawinan atau perkawinan campuran antar suku atau etnik, struktur partuturan Batak Toba akan hilang dari tradisi budaya, adat-istiadat asli akibat asimilasi perkawinan tersebut. Kemungkinan besar struktur partuturan hula-hula istri (hula-hula pangalapan boru-red) saja yang bisa dipertahankan. Sementara Tulang, Bona Tulang, Bona Niari, Tulang Rorobot, Hula-hula Namrhahamaranggi, Hula-hula Naposo/Parsiat, Hula-hula Simanjungkot dan lain sebagainya tidak bisa dipertahankan lagi dikemudian hari. Artinya, hubungan partuturan hula-hula hanya sebatas hula-hula istri saja, karena pada suku atau etnik di luar Batak Toba tingkatan hula-hula tak dikenal pada budaya, adat-istiadat mereka.
Sadar atau tidak hal inilah salah satu konsekuensi paling krusial yang diakibatkan asimilasi perkawinan atau perkawinan campuran antar suku atau etnik, sementara pada Batak Toba hubungan kekeluargaan, kekerabatan, khususnya kepada pihak hula-hula bukan hanya sebatas hula-hula istri, tetapi terhadap seluruh tingkatan hula-hula seperti disebutkan di atas.
Salah satu contoh, ketika seseorang anak laki-laki (lahi-lahi, baoa-red) melangsungkan perkawinan maka Tulang atau hula-hula mamaknya (hula-hula ni Inong pangintubu-red) akan memberi Ulos Ungkap Hombung atau Ulos Tintin Marangkup. Jika seandainya Tulang dari si mempelai laki-laki bukan Batak Toba maka Ulos Ungkap Hombung atau Ulos Tintin Marangkup tidak ada sehingga si mempelai laki-laki seperti tak punya Tulang atau tak ada hula-hula mamak (hula-hula ni Inong pangintubu-red) sebab pada suku atau etnik lain struktur partuturan seperti itu tak dikenal, selain terhadap puteri (boru-red) sendiri. Demikian juga ketika meninggal dunia (monding Sarimatua, Saurmatua-red) tak ada memberi Ulos Saput atau Ulos Tutup Batang karena pada suku atau etnik lain tak dikenal struktur partuturan hula-hula selain hula-hula puteri (boru), sehingga si orang tua meninggal seperti tak punya Tulang atau hula-hula mamak (hula-hula Inong pangintubu-red).
Inilah salah satu alasan utama mengapa Batak Toba selalu menganjurkan perkawinan sesama Batak Toba agar struktur partuturan terhadap kelompok (horong-red) hula-hula atau boru bisa dipertahankan sesuai budaya, adat-istiadat dilandasi falsafah Dalihan Na Tolu (DNT) yang diwariskan leluhur.  
Keinginan seperti itu adalah wajar dan lazim serta manusiawi, tetapi ada ungkapan klasik Batak Toba mengatakan, “Dang simanuk-manuk, sibontar andora, Dang sitodo turpuk, siahut lomo ni roha” artinya, tak bisa tergantung keinginan ataupun kehendak dalam kehidupan, sebab  “Tu ginjang ninna porda, tu toru pambarbaran, Tu ginjang ninna roha, patoruhon do sibaran” ai turpuk do sijaloon, sibaran sipaimaon, naung gurat do di gurat-gurat ni tangan, topap diparsambubuan sijalooan ni jolma manisia di hasiangan on. Artinya, bahwa setinggi apapun keinginan dan cita-cita, tetapi takdir kehidupan telah ditentukan Sang Pencipta terhadap manusia di atas bumi ini.
Selain daripada itu harus pula didasari, bahwa dampak perkembangan kemajuan di segala segmen kehidupan telah membuka sekat-sekat lokal menjadi nasional, bahkan internasional sehingga budaya, adat-istiadat lokal mengalami pergeseran nilai-nilai budaya, adat-istiadat seiring interaksi antar suku bangsa serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) di era millenia. Interaksi hubungan bukan lagi terbatas atau terpaku sesama suku atau etnik, melainkan seluruh anak-anak manusia di seluruh penjuru dunia. Kemajuan teknologi informasi seperti; pace book, twetter, istagram, blogger serta berbagai program IT lain menjadikan jarak dunia semakin dekat. Dan tak jarang pula perkenalan melalui berbagai jejaring teknologi informasi di dunia maya berlanjut ke jenjang perkawinan campuran antar suku atau etnik menembus batas bangsa dan negara.
Asimilasi perkawinan didorong kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek), sadar atau tidak akan menimbulkan asimilasi kebudayaan menggeser nilai-nilai murni budaya, adat-istiadat lokal. Karena tak jarang ditemui seseorang penyandang marga Batak Toba, tapi sama sekali tak mengerti lagi bahasa Batak Toba, konon lagi budaya, adat-istiadat warisan leluhurnya. Hal itu menjadi salah satu tantangan berat menjaga, merawat, serta  melestarikan nilai-nilai luhur adat, budaya warisan leluhur agar tidak hilang atau punah.  
Dalam situasi kondisi demikian upaya-upaya menjaga, merawat serta melestarikan nilai-nilai adat, budaya semakin sukar dan sulit, apalagi pasca asimilasi perkawinan atau perkawinan campuran antar suku atau enit yang semakin menggejala belakangan ini. Karena itu, perlu dipikirkan upaya-upaya konkrit membumikan nilai-nilai adat, budaya membentuk karakter berbasis kearifan budaya saling menghargai dan menghormati adat, budaya pihak lain. Dengan demikian sekalipun asimilasi perkawinan atau perkawinan campuran antar suku atau etnik tak bisa dinafikan, tetapi pola perilaku atau karakter berdasarkan kearifan budaya tak pernah terkikis atau hilang, malah sebaliknya mampu menularkan nilai-nilai luhur kearifan budaya warisan leluhur Batak Toba kepada suku atau etnik lain sehingga tercipta hubungan harmoni antar suku atau etnik yang baik dan sejuk.
Jika asimilasi perkawinan atau perkawinan antar suku atau etnik mampu dijalankan dengan baik dan benar maka perkawinan seperti itu bukanlah sesuatu yang patut dipersalahkan atau disesalkan, melainkan suatu keberanian patut diacungi jempol membangun “jembatan budaya” antar suku atau etnik agar saling curiga, saling merendahkan adat, budaya berubah jadi saling menghormati, saling menghargai sesama manusia beradat dan beradab di atas bumi sehingga perdamaian, kedamaian sesama anak bangsa menjadi sebuah persaudaraan abadi dilandasi kasih sayang sejati.  
Adaptasi Adat Budaya.
Salah satu kunci utama melakukan adaptasi adat budaya antar suku atau etnik ialah saling menghargai, menghormati budaya, adat-istiadat berbeda serta membuang kecurigaan atas budaya, adat-istiadat, pola perilaku yang menjadi karakter spesifik suku atau etnik bersangkutan.
Perbedaan karakter, pola perilaku suatu suku atau etnik yang dipengaruhi budaya, adat-istiadat ataupun tradisi lokal harus pula disadari sebuah proses pembentukan karakter jati diri yang diwariskan leluhur. Nilai-nilai luhur budaya, adat-istiadat serta pola perilaku suku atau etnik tertentu harus dihargai, dihormati satu sama lain walau terdapat perbedaan di dalamnya. Satu suku atau etnik tidak boleh sekali-sekali menganggap paling hebat dari pihak lain sebab ungkapan klasik Batak Toba telah mengajarkan, bahwa “Asing dolok asing do duhutna, Asing luat asing do adatna” yang bermakna setiap suku, etnik, daerah memiliki perbedaan spesifik, tetapi perbedaan itu hendaknya dijadikan pelangi kehidupan indah, sebab pelangi kehidupan sejatinya ialah aneka warna-warni konstruksi Ilahi yang menjamin kelangsungan alam semesta.
Sifat eksklusif serta merasa paling hebat dibandingkan pihak lain harus dihilangkan atau dibuang jauh-jauh, sebaliknya membangun kesadaran baru, bahwa budaya, adat-istiadat, pola perilaku pihak lain harus dihormati, dihargai sekalipun tak sesuai dengan budaya, adat-istiadatnya. Stigma-stigma negatif yang dilekatkan pada suatu suku atau etnik tertentu tidak boleh sekali-sekali diangkat dan dilancarkan untuk menyerang ataupun memojokkan suku atau etnik tertentu, sebab perilaku buruk, tercela bukan milik satu suku atau etnik saja, melainkan karakter personal yang menyimpang dari nilai-nilai luhur budaya, adat-istiadat warisan leluhur.
Sebagai suatu kategori budaya, istilah etnis tertentu dapat dijadikan dasar untuk membeda-bedakan kelompok-kelompok sosial berdasarkan budayanya. Secara operasional, sebuah kelompok etnis dapat diidentifikasikan dilihat dari unsur-unsur kultural yang melekat pada kelompok tersebut, yang dicirikan oleh kesamaan bentuk (pola) tingkah laku normatif yang ada pada kelompok itu. Tingkah laku normatif yang sudah terpola biasanya akan teramati dari konteks hubungan sosial yang ditunjukkan dalam bentuk-bentuk simbolik yang sama, seperti dalam kekerabatan, perkawinan, ritual dan bentuk seremonial lainnya. Dalam wujud yang lebih sederhana, pengelompokan sosial berdasarkan etnis tertentu akan dapat diketahui dari bahasa, keyakinan (anutan agama), pakaian, makanan, peralatan, dan tipe-tipe bangunan yang terdapat dalam komunitas tersebut.
Barth (1996) melihat bahwa kategori etnis merupakan identitas umum yang paling dasar (basic most general identity). Sistem pengelompokan paling dasar itu adalah asal dan latar belakang keturunan, sedangkan atribut penting yang menandai identitas itu adalah faktor-faktor primordial (bahasa daerah, adat-istiadat nilai-nilai simbolik, agama dan territorial). Sejalan dengan pendapat itu, Young (1979) mempertegas beberapa atribut yang dapat digunakan untuk pengelompokan suatu etnis, antara lain; bahasa daerah, wilayah (teritory) tempat asal-usul permukiman, unit politik/pemerintahan lokal, dan nilai atau simbol budaya bersama (Arifinsyah, 2013; 2-3).
Dari konteks uraian di atas maka adaptasi adat budaya yang perlu dilakukan pasca asimilasi perkawinan atau perkawinan campuran antar suku atau etnik ialah kemampuan memahami bahasa daerah, nilai-nilai budaya, adat-istiadat, serta pola perilaku masyarakat setempat dengan prinsip saling menghormati, menghargai satu sama lain tanpa kecurigaan ataupun pandangan tendensius apalagi merasa paling unggul dibandingkan pihak lain. selain daripada itu, perlu juga ditanamkan pengertian “dimana tanah di pijak disitu lagit dijunjung” (disi tano ni dege disi langit dijungjung-red) sehingga mampu menyesuaikan diri terhadap budaya, adat-istiadat, pola perilaku suku atau etnik asimilasi perkawinan tersebut.
Penyesuaian diri atau adaptasi dimaksud tentu dalam arti positif yakni; penyesuaian atau adaptasi nilai-nilai luhur yang pantas ditiru dan digugu dari aneka nilai-nilai unggul bersifat obyektif universal sebagaimana makna hakiki nilai budaya, adat-istiadat, serta pola perilaku yang dapat diterima masyarakat beradat dan beradab di muka bumi. Stigma-stigma negatif melekat pada satu suku atau etnik harus mampu dihilangkan atau dirubah melalui perubahan pola pikir (mindset) dari kungkungan tradisi lokal kaku. Perubahan mindset tanpa meninggalkan nilai-nilai luhur unggul menjadikan suatu suku atau etnik lebih terbuka menerima keunggulan budaya, adat-istiadat, pola perilaku suku atau etnik lain hingga mampu menerima asimilasi perkawinan sebagai konsekuensi logis masyarakat terbuka terhadap kebudayaan berbeda.
Asimilasi kebudayaan harus pula disadari dan dipahami adalah sebuah realitas masyarakat modern, sebab dunia bukan lagi selebar daun kelor, tetapi dunia tanpa batas atau sekat-sekat seiring kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) terutama teknologi informasi (TI) menjadikan anak-anak manusia berinteraksi satu sama lain di atas bumi ini.
Walau demikian, nilai-nilai luhur budaya, adat-istiadat, pola perilaku yang menjadi karakter spesifik atau jati diri sebaiknya dijaga, dirawat, serta dilestarikan sebagai identitas masyarakat beradat dan beradab.
Jembatan Budaya.      
Sebagaimana ungkapan klasik Batak Toba “Asing dolok asing duhutna, Asing luat asing adatna” atau ungkapan klasik lain, “Lain lubuk lain ikannya, Lain tempat lain adatnya” maka masing-masing suku atau etnik memiliki budaya, adat-istiadat, pola perilaku berbeda satu sama lain. Perbedaan itu melahirkan prasangka, persepsi berbeda pula atas nilai-nilai luhur budaya, adat-istiadat yang tak mustahil menimbulkan gesekan sosial antar suku atau etnik berbeda.
Prasangka, presepsi negatif atas budaya, istiadat, pola perilaku suatu suku atau etnik tidak mustahil pula disebabkan kurangnya pengertian, pemahaman mendalam dan mendetail terhadap budaya, adat-istiadat pihak lain. Padahal, nilai-nilai luhur budaya, adat-istiadat, pola perilaku suatu suku atau etnik adalah bahagian tak terpisahkan dari tatanan nilai-nilai warisan leluhur yang ditradisikan, dilembagakan dalam kehidupan sehari-hari. Dan disinilah penada nyata, bahwa nilai-nilai luhur budaya, adat-istiadat suatu suku atau etnik berperan kuat membentuk pola perilaku, karakter, jati diri suatu suku atau etnik maupun bangsa.
Falsafah hidup Batak Toba  “Dalihan Na Tolu (DNT) yakni; Somba marhula-hula, Manat mardongan tubu, Elek marboru” yang disertai struktur partuturannya sadar atau tidak turun mewarnai pola pikir, pola perilaku Batak Toba dari generasi ke generasi yang diwariskan leluhur. Falsafah hidup Batak Toba kemungkinan besar tidak akan ditemui pada suku atau etnik berbeda sehingga pola pikir, pola perilaku Batak Toba menjadi karakter spesifik atau jati diri ditengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara. Demikian juga suku atau etnik lain memiliki nilai-nilai luhur budaya, adat-istiadat warisan leluhur telah menjadi landasan pola pikir, pola perilaku suku atau etnik bersangkutan ditengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara.
Yang menjadi pertanyaan dasar ialah bagaimana menjembatani perbedaan budaya, adat-istiadat, pola perilaku antar suku atau etnik berbeda agar tercipta saling menghormati, menghargai perbedaan supaya harmoni hubungan, persaudaraan, kekeluargaan, kekerabatan sesama menjadi pelangi kehidupan sangat indah sebagaimana kehendak Ilahi atas semesta alam.
Pertanyaan ini tentu membutuhkan pemikiran cermat, cerdas dan seksama, sebab pertanyaan seperti ini membutuhkan pengertian, pemahaman komprehensif paripurna yang mungkin saja sulit diterima logika tradisional konvensional masih menonjolkan, mengagungkan tradisi kaku, seperti; budaya, adat-istiadat, pola perilaku suku atau etnik sehingga sulit menerima budaya, adat-istiadat, pola perilaku pihak lain.
Dalam situasi kondisi demikian, asimilasi perkawinan atau perkawinan campuran antar suku atau etnik menjadi “Jembatan Budaya” mempertemukan dua budaya, adat-istiadat, pola perilaku berbeda dalam perhelatan budaya, adat-istiadat maupun interaksi sosial saling menghormati, menghargai satu sama lain dalam kekeluargaan, kekerabatan sehari-hari. Masing –masing pihak saling menyesuaikan diri, mengadaptasi terhadap budaya, adat-istiadat, pola perilaku tanpa kecurigaan atau prasangka negatif atas perbedaan tersebut.
Karena itu, sejatinya bahwa asimilasi perkawinan atau perkawinan campuran antar suku atau etnik adalah sebuah keberanian serta terobosan budaya, adat-istiadat, perilaku penuh resiko sehingga diperlukan pemikiran, pemahaman matang dan mendetail seperti ungkapan klasik Batak Toba mengatakan, “Ni langka tu jolo, tinailihon tu pudi” atau “Pikir dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna”, sebab tangan mencincang, bahu memikul.   
Asimilasi perkawinan atau perkawinan campuran antar suku atau etnik harus pula dipahami salah satu unsur pergeseran nilai-nilai tradisi lokal budaya, adat-istiadat, pola perilaku yang sulit dibendung diakibatkan perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) terutama teknologi informasi (TI) yang mendobrak sekat-sekat suku atau etnik era belakangan ini. Dunia tanpa batas memungkinkan semakin meluasnya asimilasi perkawinan atau perkawinan campuran adalah suatu keniscayaan bagi masyarakat modern ke depan.
Inilah salah satu tantangan nyata dalam menjaga, merawat serta melestarikan budaya, adat-istiadat warisan leluhur yang perlu disiasati arif bijaksana agar tidak hilang atau punah di masa-masa mendatang.
Horas ! Mari berpikir positif pertanda masyarakat beradab dan berbudaya……!

Medan, 02 Desember 2016
Thomson Hutasoit.

     
                 

Jumat, 19 Agustus 2016

Menilik Makna Ulos Pada Batak Toba



Menilik Makna Ulos Pada Batak Toba
Oleh: Thomson Hutasoit

Pendahuluan.
Salah satu hal yang sering diperbincangkan akhir-akhir ini ialah Ulos Batak, khususnya Batak Toba karena di satu sisi dianggap penting sebagai instrumen adat budaya, sementara di sisi berbeda telah banyak puladari bangso Batak menganggap Ulos tak lagi penting, bahkan telah ada oknum tak bertanggung jawab membakar Ulos tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan atas penghancuran simbol adat budaya warisan leluhur bangso Batak.
Adanya dua kutub pandangan berbeda tentang eksistensi Ulos bagi kehidupan bangso Batak, khususnya Batak Toba menjadikan Ulos antara penting dan tak penting mengakibatkan arti dan makna Ulos bagi kehidupan Batak semakin kabur serta tidak mustahil akan dianggap kain biasa-biasa saja tanpa arti dan makna historis, kultural, filosofis, religi sebagaimana dipahami leluhur bangso Batak, khususnya Batak Toba.
Hal itu sangat berpengaruh besar dalam pelestarian situs-situs adat budaya, baik bersifat kebendaan maupun bukan kebendaan (fisik, non fisik) sebagai hasil kebudayaan bangso Batak.
Ulos adalah salah satu hasil kebudayaan bangso Batak, khususnya Batak Toba hingga kini masih dijadikan instrumen adat budaya, baik di saat suka maupun duka. Tetapi penggunaan ulos serta arti dan maknanya sepertinya tak dipahami komprehensif paripurna sehingga pemberian dan penerimaan ulos tak sebagaimana mestinya. Akibatnya, eksistensi ulos bagi kehidupan bangso Batak tak memiliki nilai kesakralan lagi hingga timbul pandangan keliru, siapa saja boleh menyerahkan ulos tanpa memperhatikan struktur sosial ditengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal ini tentu akan semakin mendegradasi arti dan makna ulos sebagai simbol adat budaya warisan leluhur.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2007) Budaya ialah pikiran; akal budi ataupun sesuatu mengenai kebudayaan yang sudah berkembang (beradab, maju). Sedangkan kebudayaan ialah hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat, ataupun keseluruhan pengetahuan manusia sebagai mahkluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya.
Pada era belakangan ini, ulos dianggap sebuah kado semata, sehingga bila petinggi negara datang berkunjung ke provinsi Sumatera Utara maupun kabupaten/kota para pejabat pemerintahan di daerah “latah” memberi (mangulosi-red) pejabat atasannya tanpa menyadari kesalahan fatal, sesat pikir yang amat sangat keliru besar tentang arti dan makna serta fungsi ulos dalam adat budaya bangso Batak, khususnya Batak Toba. Bahkan di kalangan pimpinan agama pun juga melakukan kekeliruan yang sama karena arti dan makna ulos telah direduksi sebatas sebuah kado, bukan lagi simbol adat budaya warisan leluhur bangso Batak. Hal ini sungguh kontraproduktif dengan wacana, retorika yang kerap dilontarkan pejabat publik di negeri ini tentang pelestarian adat budaya lokal.
Seharusnya jika komitmen pelestarian adat budaya yang digelorakan pemerintah benar-benar merupakan kehendak kuat, dimana salah satu di dalamnya ialah ulos maka kekeliruan, kesalahan penggunaan ulos sebagai simbol adat budaya bangso Batak, khususnya Batak Toba sudah perlu segera diluruskan. Dan disini pulalah perlu pentingnya peran lembaga adat budaya memberi pemahaman komprehensif paripurna tentang arti, makna, fungsi serta pemakaian ulos secara mendalam dan mendetail agartidak terjadi bias pemahaman atas penggunaan ulos tersebut. Karena tidak mustahil pemberian ulos oleh seorang pejabat publik yang bukan bangso Batak kepada atasannya disebabkan ketidakmengertian belaka. Akan tetapi sungguh disesalkan dan patut dipersalahkan ialah apabila pejabat publik adalah bangso Batak masih “latah” memberi ulos (mangulosi-red) atasannya perlu dipertanyakan “Kebatakannya”. Dan sangat disayangkan pula, pejabat publik yang seharusnya menjaga, merawat, serta melestarikan adat budaya justru “merusak, menghancurkan”simbol-simbol adat budaya warisan leluhur.
Untuk mengelaborasi lebih jauh makna ulos pada bangso Batak, khususnya Batak Toba maka perlu dipahami hal-hal sebagai berikut;
1.      Ulos bermakna historis.
Pada peradaban masyarakat purba keterbatasan pakaian merupakan permasalahan fundamental, dimana pada ketika itu belum ditemukan alat teknologi pembuat pakaian sebagaimana yang ada saat ini. Bangso Batak maupun bangsa-bangsa lain di atas jagat raya mengalami hal yang sama akibat masih terbatasnya ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) sehingga manusia pada zaman itu masih menggunakan bahan pakaian apa adanya. Kulit kayu, daun-daunan dan lain sebagainya digunakan untuk menutupi (mangabiti-red) bahagian terlarang dengan seadanya. Oleh karena itu pulalah bangso Batak, khususnya Batak Toba mengenal jenis pakaian dari kulit kayu (takki-red) karena pada saat itu belum ditemukan benang (boning-red) sebagai bahan dasar pakaian (kain).

Bukti penggunaan kulit kayu bahan pakaian (abit-red) diabadikan pada umpasa Batak Toba mengatakan; “Takki ma ualang, garinggang jala garege. Sai tubu anak partahi ulubalang, boru parmas jala pareme”.

Kemudian seiring dengan perkembangan kemajuan zaman bangso Batak, khususnya Batak Toba mengenal benang (bonang-red) sebagai bahan pakaian yang warnanya ada tiga macam, yakni; merah, hitam, dan putih. Dan benang ini dinamakan “Bonang Manolu atau Bonang Manalu” yang merupakan warna spesifik pakaian maupun ornamen-ornamen bangso Batak. Dalam ungkapan Batak Toba dikenal, “Andalu sangkotan ni bonang, musu ma na ripe talu hita ma na ripe monang”. “ Ni dandan bonang ma nolu, bahen ihot ni simbora. Singkop ma ngolu-ngolu, molo maduma jala mamora”.   
Pada awalnya menurut para penggiat ulos, bahwa ulos dimaknai pakaian (abit-red) sehingga ulos mempunyai fungsi antara lain;

Pertama;  Pakaian ( abit, abit-abit-red) yang dilingkarkan (dihohophon-red) pada bahagian badan untuk menghangatkan serta membalut, menutupi (mangabiti-red) bahagian badan tak layak dinampakkan.

Kedua; pakaian selendang atau kain sandang (hande-hande, sengka-sengka-red) ketika bepergian, misalnya ke pesta, dan lain sebagainya.

Ketiga; kain penutup kepala (detar, saong-saong-red) untuk melindungi panas terik matahari.

Fungsi-fungsi ulos seperti ini lebih dititikberatkan pada kegunaan penutup bahagian badan karena kondisi iklim bona pasogit beriklim dingin sehingga diperlukan kain (ulos) penghangat badan, pelindung dari terik matahari, tetapi fungsi ulos disini adalah bahan pakaian atau kain (abit-red) yang tidak berhubungan dengan nilai hitoris penggunaan ulos.

Perkembangan kemajuan pembuatan pakaian pada Batak, khususnya Batak Toba dikenal dengan pertenunan (partonun-red), dan dikenal Umpasa mengatakan, “Balintang ma pagabe, tumandanghon sitadoan. Horas ma hita jala gabe, asal ma masipaolooloan”. 

2.      Ulos Bermakna Kultural.
Makna ulos secara kultural pada bangso Batak, khususnya Batak Toba ialah sebuah pemberian bermakna adat budaya sehingga secara kultural ulos dikenal dalam tiga macam, yakni; Ulos na so ra buruk (pauseang-red), ulos herbang, dan ulos na tinonun sadari (uang-red).

Ulos na so ra buruk (pauseang) ialah pemberian sebidang tanah (tano maraek, tano mahiang-red) dari orangtua siperempuan kepada borunya pasca perkawinan Batak Toba, sebab kearifan budaya Batak Toba mengatakan, “Sinamot tondong ni ragi-ragi pauseang”. Artinya, ketika orangtua si perempuan telah menerima “sinamot (boli ni boru) dari pihak si laki-laki maka pihak parboru akan menghunjuk sebidang tanah sebagai pauseang kepada borunya pada pesta perkawinan tersebut. Tetapi penyerahan secara fisik barulah diserahkan ketika si mempelai mempunyai keturunan dan biasanya setelah lahir anak laki-laki.
Pemberian pauseang kepada boru pada masa belakangan ini sudah sangat jarang dilakukan sehingga para generasi Batak Toba, terutama yang tinggal di perantauan (diaspora) telah banyak tak mengetahui arti dan makna ulos na so ra buruk (pauseang). Padahal, pemberian pauseang dari orangtua si perempuan kepada borunya adalah salah satu media pemberian harta kepada boru karena hak waris orangtua pada Batak, khususnya Batak Toba diletakkan pada garis laki-laki (baoa-red). Dan disinilah makna ungkapan Batak Toba  mengatakan, “Sipat bagot hak ni anak, sabonggar ansuan hak ni boru”.

Ulos Herbang ialah ulos berbentuk kain yang ditenun (ditonun-red) dari perpaduan tiga warna benang (bonang manolu-red) yang diserahkan pihak parboru kepada pihak paranak ketika pesta perkawinan ataupun perhelatan lainnya.

Ketika pesta perkawianan pemberian ulos herbang dari pihak parboru kepada pihak paranak dikenal ulos pansamot, ulos hela, ulos paramaan, ulos sihutti ampang, ulos todoan, dan lain sebagainya. Dan pada prinsipnya pemberian dan/atau penerimaan ulos suhi ni ampang na opat langsung diberikan pihak bersangkutan. Artinya, ulos paramaan diberikan pamarai, ulos sihutti ampang diberikan tulang ni na muli, ulos simandokhon diberikan kepada simolohon (haha, anggi pangoli), ulos todoan paranak diberikan todoan pihak parboru. Sedangkan ulos pansamot dan ulos hela langsung diberikan hasuhuton parboru. Tetapi belakangan ini setelah sering dilembagakan sinamot rambu pinungu ataupun sinamot sitombol, semua ulos na marhadohoan telah dipersiapkan hasuhuton parboru maka jenis ulos suhi ni ampang na opat menjadi ulos holong kepada mempelai.

Ulos na Tinonun Sadari (ulos-ulos, hepeng-red) ialah hak adat budaya timbal balik sebagaimana panandaion dari pihak paranak kepada pihak parboru. Artinya, pihak paranak tidak seluruhnya mendapat ulos herbang dari pihak parboru sehingga mereka akan mendapat ulos-ulos yang disebut ulos na tinonun sadari (hepeng-red).

Oleh karena itu, secara kultur ulos pada bagso Batak, khususnya Batak Toba bukanlah semata-mata ulos herbang, melainkan tiga macam ulos sebagaimana telah diuraikan di atas, sehingga apabila membicarakan ulos harus secara spesifik agar tidak terjadi bias pengertian, pemahaman terhadap generasi supaya pengertian, pemahaman tentang ulos tidak menimbulkan kerancuan berpikir.

3.      Ulos Bermakna Filosofis.  
Makna ulos secara filosofis ialah arti dan makna ulos menurut pandangan filosofi bangso Batak, khususnya Batak Toba terhadap eksistensi ulos dalam kehidupan yang melambangkan kasih sayang terhadap pihak lain. Artinya, pemberian ulos kepada seseorang atau suatu pihak merupakan perlambang kasih sayang murni dan tulus ikhlas sehingga pemberi ulos selalu berstatus lebih tinggi dalam struktur kekeluargaan, kekerabatan daripada sipenerima ulos tersebut.
Karena itu, pada Batak Toba yang layak dan lazim memberi ulos ialah hula-hula kepada boru, bapak kepada anak, ompung kepada pahompu, abang kepada adik, tulang kepada bere/bebere sesuai struktur partuturan dalam kekeluargaan, kekerabatan Batak Toba.

Jika dianologikan pemberian ulos yang merupakan perlambang kasih sayang sama seperti Tuhan Yang Maha Kuasa memberi rahmat dan karuniaNya kepada seluruh ciptaanNya di atas alam semesta. Apakah pantas dan layak manusia memberi kasing sayang kepada sang pencipta ? Bukankah sang pencipta menganugerahkan rahmat dan karuniaNya kepada dunia ini ? Seperti itulah pandangan filosofi Batak, khususnya Batak Toba dalam pemberian ulos sebagai pertanda kasih sayang dari hula-hula kepada boru, bapak kepada anak, ompung kepada pahompu, abang kepada adik, tulang kepada bere/bebere, dan lain sebagainya.

Pada Batak Toba kedudukan hula-hula adalah mataniari binsar, karena itulah dikenal Umpasa mengatakan, “Ni durung situma, mangihut pora-pora, Tangiang pasupasu ni hula-hula, Na pogos boi jadi mamora”. “Obuk do jambulan, ni dandan bahen samara. Tangiang ni hula-hula, pitu sundut soada mara”. “Dulang na so dulangon, dulang bajoran di bonana. Hula-hula na so jadi sumpaon, habiaran do sapatana”.

Demikian juga orangtua, menurut pandangan bangso Batak, khususnya Batak Toba adalah Debata na tarida yang selalu dihormati sepanjang hayatnya. Dan anak-anaknya selalu meminta berkat dan restu dari orangtua (natoras-red) agar mudah mendapat rezeki. Bahkan ketika orangtua (natoras) telah ujur para anak-anaknya meminta berkat, doa dan nasehat melalui pasahat sulang-sulang na tabo (manulangi natoras) yang saat ini masih terlembagakan yang disebut “manulangi natuatua, pasahat sulang-sulang na tabo”. Ada umpasa Batak Toba mengatakan, “Binuat hau toras, tiang ni sopo di balian. Na burju marnatoras, dapot pasupasu sian Tuhan”. “Rata napuran tiar, uli napuran mauliate. Hata poda natur, manorusi bilut ni ateate”.

Wejangan, nasehat berupa umpama, umpasa yang disampaikan ketika memberi ulos  (mangulosi-red) menurut filosofi bangso Batak, khususnya Batak Toba hanya layak disampaikan struktur partuturan lebih tinggi dalam kekeluargaan, kekerabatan Batak Toba. Sehingga amat sangat keliru besar apabila seorang bupati/walikota, gubernur memberi ulos kepada presiden, atau dengan perkataan lain pejabat lebih rendah memberi ulos (mangulosi-red) pejabat diatasnya yang tak sesuai dengan filosofi pemberian ulos yang diwariskan leluhur Batak Toba.  
Untuk meluruskan kekeliruan yang berlangsung selama ini sekaligus menghindarkan politisasi simbol-simbol adat budaya, khususnya adat budaya Batak Toba, pemberian ulos terhadap pejabat publik sebaiknya diserahkan kepada lembaga-lembaga adat budaya, dan bila lembaga-lembaga itu belum ada lebih pas dan cocok jika penyerahan ulos oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota) sebagai representasi wakil rakyat.

4.      Ulos Bermakna Religi.
Ulos bermakna religi ialah keyakinan sipemberi ulos atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa yang dituangkan pada sebuah ulos sehingga dikenal berbagai jenis ulos sesuai sipenerimanya. Artinya, anugerah dan berkat Tuhan Yang Maha Kuasa (Ompu Mulajadi Nabolon-red) terhadap orang yang disayangi (dihaholongi-red) adalah sebuah keyakinan, doa dan permohonan yang tercermin pada jenis ulos tersebut. Misalnya, pemberian Ulos Ragi Hotang kepada mempelai (ulos hela-red) adalah sebuah keyakinan dan doa semoga rumah tangga pengantin berlangsung langgeng hingga umur tua, keluarga berbahagia (gabe, mamora, sangap-red) sebagaimana kuatnya ikatan rotan (hotang-red). Demikian juga misalnya pemberian ulos Bintang Maratur kepada pahompu/bere oleh ompungbao atau tulang adalah suatu doa dan keyakinan, bahwa sipenerima ulos Bintang Maratur mampu mengatur, mengarahkan, membimbing dan  mengayomi adik-adiknya dikemudian hari.

Oleh karena itu, makna ulos pada bangso Batak, khususnya Batak Toba bukanlah sekadar kain belaka tanpa makna religi sebagaimana pengertian, pemahaman keliru pihak-pihak yang ingin mendegradasi makna ulos sebagai simbol adat budaya sarat makna nilai-nilai luhur warisan nenek moyang bangso Batak.

Makna religi ini pulalah yang menjadi pedoman dan patokan penggunaan jenis ulos oleh seseorang. Maksudnya ialah tidak sembarang ulos bisa digunakan, tetapi disesuaikan dengan status masing-masing. Misalnya, jika seseorang belum pernah mengawinkan anak (pangoli anak, pamuli boru-red) belum berhak memakai Ulos Ragi Idup maupun Ulos Pinunsaan. Demikian halnya jika seseorang sangat dihormati (sangap, tarpandang-red) ditengah masyarakat sungguh sangat tak layak jika diberi ulos Sadum, Ragi Hotang. Ulos yang layak dan pantas diberi kepada orang seperti ini ialah Ulos Jugia.  

Inilah bukti nyata, bahwa ulos bagi bangso Batak, khususnya Batak Toba memiliki nilai religi yang dituangkan pada jenis, motif ulos sehingga ulos sarat makna hakiki sesuai keyakinan bangso Batak, khususnya Batak Toba terhadap Tuhan Yang Maha Esa (Mulajadi Nabolon-red) pencipta alam semesta sebelum agama-agama impor masuk ke tanah Batak.

Karena itu, sungguh keliru besar serta sesat pikir jika ada pihak-pihak tak bertanggungjawab memlintir makna ulos seolah-olah berseberangan dengan agama dan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sehingga kerap dipertentangkan dengan agama dan keyakinan terhadap Tuhan pencipta alam semesta. Padahal, ulos adalah media doa dari sipemberi ulos sekaligus permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar kiranya berkenan memberi berkat dan anugerah kepada sipenerima ulos tersebut. Hal itu tercermin pada untaian Umpama, Umpasa Batak Toba misalnya; “Dangka ni sitorop, tanggo pinangaitaithon. Simbur magodang ma dakdanak, sitongka ma panahitnahiton”. “Bagot na mararirang, hasonggopan ni ampapaluan. Badan muna na so jadi sirang, tondi muna masigomgoman”. “Martantan ma baringin, marurat jabijabi. Horas ma tondi madingin, tumpahon ni Ompunta Mulajadi”.

Ungkapan doa melalui Umpama dan Umpasa di saat pemberian ulos harus relevan dengan keyakinan pemberi ulos yang dituangkan dalam ulos sehingga jenis dan motif ulos harus disesuaikan dengan tujuan perhelatan (ulaon-red) yang dilaksanakan ketika itu. Artinya, umpama, umpasa ketika pemberian ulos harus disesuaikan dengan tujuan serta situasi kondisi yang ada.
Dari berbagai uraian diatas jelaslah, bahwa ulos bagai bangso Batak, khususnya Batak Toba memiliki arti dan makna hakiki yang tak boleh dipisahkan dari kehidupan sehari-hari. Ulos bukan sekadar kain biasa serta pemberiannya bukan pula hanya seremonial belaka, sebab ulos meliki arti dan makna historis, kultural, filosofis, religi sehingga harus dijaga, dirawat, dilestarikan serta dilindungi melalui payung hukum yang jelas dan tegas agar terhindar dari anasir-anasir yang ingin merusak dan menghilangkan ulos salah satu simbol adat budaya Batak, khususnya Batak Toba.
Pemerintah, pemerintah daerah sudah seharusnya mengeluarkan peraturan perundang-undangan tentang perlindungan simbol-simbol adat budaya lokal agar kekayaan adat budaya Nusantara tidak hilang atau punah akibat akulturasi ataupun inkulturasi menjadikan simbol-simbol adat budaya semakin terpinggirkan dalam kehidupan sehari-hari.
Pemerintah daerah harus segera mengeluarkan peraturan daerah (Perda) tentang Perlindungan Masyarakat Adat (MHA) termasuk simbol-simbol adat budaya dengan sanksi hukum yang tegas agar arogansi intelektual yang ingin merusak situs-situs adat budaya warisan leluhur Nusantara dapat dihentikan secara konkrit ke depan.
Ulos antara nilai komersil dengan nilai budaya.
Sesuai perkembangan teknologi pertekstilan semakin pesat belakangan ini maka produk ulos buatan pabrikasi pertekstilan telah semakin banyak, baik jumlah maupun jenis motifnya. Perkembangan itu, sadar atau tidak turut juga mendegradasi nilai ulos sebagai salah satu simbol adat budaya bangso Batak, khususnya Batak Toba. Betapa tidak, jika diperhatikan cermat dan seksama, ulos yang tadinya bermakna dan bernilai adat budaya kini telah dijadikan bahan pakaian, asisoris, souvenir tanpa memperhatikan nilai-nilai luhur adat budaya yang terkandung dalam ulos itu sendiri. Misalnya, ulos ragi idup dijadikan bahan pakaian jas pria, dan jas tersebut dipakai oleh seorang anak muda ataupun seorang artis. Bukankah ulos ragi idup hanya pantas dipakai oleh seseorang telah mengawinkan anak (pangoli anak, pamuli boru) menurut adat budaya Batak Toba ? Inilah salah satu kekeliruan memahami arti dan makna ulos tanpa disadari.
Oleh karena itu, jika ingin mendorong pertekstilan untuk pakaian, asesoris, souvenir sebaiknya bukan ulos simbol adat budaya, melainkan motif-motif atau ornamen Batak, khususnya Batak Toba agar ulos simbol adat budaya tidak mengalami penurunan nilai ditengah masyarakat, bangsa maupun negara. Fenomena komersialisasi ulos harus pula disadari salah satu ancaman nyata terhadap eksistensi ulos simbol adat budaya. Nilai kesakralan ulos sebagai simbol adat budaya harus benar-benar dijaga dan dilestarikan, sebab apabila tidak ulos hanya dipandang dan diposisikan sehelai kain biasa yang bisa digunakan sesuai selera pemakainya.
Memosisikan ulos secara tepat dan akurat adalah salah satu upaya nyata meluruskan arti dan makna ulos sebagai simbol adat budaya bagi kehidupan bangso Batak, khususnya Batak Toba agar eksistensi ulos tetap lestari sebagai salah satu aset nasional ataupun internasional. Upaya-upaya Komunitas Ulos yang mengajukan/mengusulkan ulos ke UNESCO sebagai salah satu warisan dunia sungguh sangat cerdas dan jenial apalagi upaya-upaya itu benar-benar tulus ihklas untuk melestarikan ulos simbol adat budaya bangso Batak, tanpa muatan-muatan kepentingan tertentu.
Karena itu, diperlukan pengertian, pemahaman komprehensif paripurna tentang arti dan makna ulos sebagai simbol adat budaya, bukan semata-mata mengejar nilai ekonomi belaka. Untuk itu, diperlukan inventarisasi jenis dan macam ulos melalui suatu penelitian mendalam agar ulos tidak dipersimpangan jalan antara mengejar nilai ekonomi dengan nilai budaya. Perlu dipikirkan formula yang tepat dan akurat, mana yang bisa dijadikan pakaian, asisoris, souvenir, dan mana pula yang tak bisa dijadikan untuk itu. Artinya, harus jelas dan tegas mana bernilai komersialisasi dan mana pula bernilai adat budaya.
Horas ! Mauliate.

Medan, 13 Agustus 2016

Thomson Hutasoit.
(Penulis: Direktur Eksekutif LSM Kajian Transparansi Instansi Publik (ATRKTIP), penulis buku: Keluhuran Budaya Batak Toba, Solusi Adat Batak Toba, 1101 Umpama, Umpasa dongan tu Ulaon Adat, Kepemimpinan, Parsinabung, Sekretaris Umum Punguan Borsak Bimbinan Hutasoit, Boru, Bere Kota Medan Sekitarnya) tingggal di Medan.