rangkuman ide yang tercecer

Kamis, 08 Maret 2018



Menjaga Keadaban Demokrasi.
Oleh: Thomson Hutasoit.
            Demokrasi adalah suatu sistim menempatkan kedaulatan berada di tangan rakyat  berbangsa dan bernegara, termasuk memilih pemimpin seperti; pemilihan presiden (Pilpres), pemilihan gubernur (Pilgub), pemilihan bupati (Pilbup), pemilihan walikota (Pilkot) maupun pejabat publik lainnya yang wajib menjunjung tinggi kejujuran, kebenaran, sportivitas, serta integritas agar hak dan kewajiban setiap orang setara dan sederajat. Berbagai pelanggaran, penyimpangan mengurangi, menghilangkan hak dan kewajiban yang diatur peraturan perundang-undangan, norma sosial harus dimaknai pelanggaran hak asasi manusia (HAM)  menegasi makna luhur demokrasi, berubah jadi democracy. 
            Keadaban demokrasi tercermin dari kualitas penyelenggaraan pesta demokrasi rakyat (Pilkada Serentak, Pilpres, Pileg) berjalan fair, jujur, adil, langsung, terbuka, aman dan nyaman, supaya kontestasi politik memilih calon pemimpin benar-benar sebuah pesta demokrasi, festival gagasan atau visi-misi terbaik menghasilkan pemimpin berkualitas. Sebagai sebuah pesta demokrasi, Pilpres, Pilkada Serentak, Pileg tidak boleh sekali-sekali menimbulkan kecemasan, ketakutan, serta perasaan waswas lainnya ditengah masyarakat, bangsa maupun negara. Pesta demokrasi harus benar-benar sebuah kesenangan, kegembiraan, kebahagiaan serta wahana pendidikan politik rakyat menggunakan kedaulatan (hak pilih) tanpa tekanan, intervensi dalam bentuk apapun.   
            Perbedaan pilihan adalah hak asasi manusia (HAM) paling dasar yang harus dihormati, dihargai didalam berdemokrasi. Karena itu, sangat keliru besar dan sesat pikir jika perbedaan pilihan dijadikan sumber gesekan, perpecahan, konflik, ketika, pasca kontestasi dilaksanakan sebagaimana catatan buram berbagai Pilkada yang terjadi di masa lalu. Sebut saja misalnya, Pilkada DKI Jakarta 2017 yang menjadi presenden buruk demokrasi di republik ini.
Amuk massa, pengrusakan, pembakaran fasilitas negara, gesekan, benturan, konflik sosial ditengah masyarakat telah menodai nilai luhur demokrasi sesungguhnya yakni; meninggikan keadaban manusia menentukan/menggunakan hak pilih terhadap calon pemimpinnya.    
            Kualitas demokrasi tidak terlepas dari kompetensi, kredibilitas, integritas penyelenggara pemilihan, antara lain; Komisi Pemilihan Umum (KPU, KPUD), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu, Panwaslu, Panwaslih), aparat penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan) serta pemerintah, pemerintah daerah menyelenggarakan, mengawasi dengan baik dan benar. Kejujuran, keberanian, ketegasan, profesionalisme, integritas lembaga-lembaga tersebut  merupakan kunci utama menjaga keadaban demokrasi.
Berbagai sinyalem kecurangan, pelanggaran pemilu yang terjadi seperti; tidak ada surat undangan memilih (C6), tempat pemungutan suara (TPS) terpencar jauh dari domisili, mencoblos berulang kali, pencurian suara  (penghilangan atau penggelembungan) di berbagai tingkatan, dan lain sebagainya adalah akibat ketidakmampuan penyelenggara, pengawas, aparat penegak hukum melaksanakan tugas dan kewajiban diamanahkan peraturan perundang-undangan dengan baik dan benar. Bahkan, berbagai kecurangan, pelanggaran itu terkesan akibat pengabaian ataupun disengaja (by desain) karena oknum nakal penyelenggara, pengawas, aparat pemerintah, pemerintah daerah, aparat penegak hukum terjebak kepentingan subyektivitas (transaksional) ataupun diduga keras terapiliasi pada salah satu kontestan tertentu.  
            Beberapa anggota penyelenggara, pengawas pemilu (KPU, KPUD, Bawaslu. Panwaslu, Panwaslih) harus dipecat akibat melakukan kecurangan, pelanggaran pemilu sebagaimana diberitakan media massa, baik media cetak maupun media elektronik di negeri ini. Hal itu, tentu suatu gambaran nyata betapa buruk dan rendahnya karakter mental penyelenggara, pengawas pesta demokrasi di negeri ini.
Ketika wasit ikut jadi pemain, sportivitas, fair play  kompetisi sungguh sangat diragukan. Sadar atau tidak kecurangan, pelanggaran Pilpres, Pilkada Serentak, Pileg sesungguhnya disebabkan ketidakprofesionalan, tidak kompeten, tidak berintegritasnya penyelenggara, pengawas pemilu serta stakehoders lainnya menjaga keadaban demokrasi. Hal inilah merusak kualitas pesta demokrasi yang seharusnya sebuah pesta kegembiraan, kesenangan, kebahagiaan, berubah menjadi seram, mencekam, menakutkan ditengah kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, kompetensi, kejujuran, keberanian, profesionalitas, integritas penyelenggara, pengawas pemilu, pemerintah, pemerintah daerah, aparat penegak hukum merupakan kunci utama  menjaga keadaban demokrasi di republik ini.
            Demikian juga partai politik pengusung/pendukung pasangan calon (presiden, gubernur, bupati/walikota), kandidat, tim sukses, relawan, simpatisan, tidak boleh sekali-sekali melancarkan kampanye negatif (negative campaign), kampanye hitam (black campaign), politik uang (money politics), menggoda dan/atau mempengaruhi penyelenggara, pengawas pemilu (KPU, KPUD, Bawaslu, Panwaslu, Panwaslih) dalam bentuk apapun yang menodai pesta demokrasi rakyat memilih pemimpin.
Kontestasi politik wajib menjaga keadaban demokrasi. Karena itu, ujaran kebencian, pembohongan, pembodohan, penyesatan, politik transaksional harus dihindari setiap kontestan. Melancarkan taktik strategi sentimen sektarian-primordial seperti isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), sentimen putera daerah, politik uang adalah wajah buruk demokrasi sekaligus ancaman laten keutuhan Negara Republik Indonesia berdasarkan Pancasila, UUD RI 1945, Bhinneka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang telah final dan harga mati.  
            Keadaban demokrasi tercemin dari kompetisi adu gagasan cerdas dan jenial, visi-misi terbaik memberi solusi permasalahan mempercepat laju pembangunan daerah maupun bangsa merupakan taktik strategi paling jitu meraih simpati calon pemilih.  Kandidat seperti  inilah yang paling pantas dan paling layak diserahi amanah kepercayaan memimpin di segala level kepemimpimpinan.
Gagasan cerdas jenial, visi-misi terukur, rekam jejak (track record) terbukti dan teruji,  bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, nepotisme, berani, kompeten, profesional, visioner, kreatif, inovatif dan berintegritas ketika diberi amanah kepercayaan di masa lalu menjadi parameter pertama dan utama layak tidaknya seorang kandidat untuk dipilih. Sebab, tak masuk akal, seseorang kandidat yang memiliki rekam jejak (track record) gagal, terindikasi berkelindan korupsi, kolusi, nepotisme, tak kompeten, tak berintegritas akan menjadi seorang pemimpin mumpuni dan berprestasi gemilang di masa depan. Andaipun kandidat seperti itu piawi berteori, beretorika, berwacana patut diduga hanyalah khayalan si kabayan mimpi ataupun pungguk khayalkan bulan yang tak akan pernah berwujud nyata. Ilusi, halusinasi dengan slogan “akan dan akan” hanyalah sebuah harapan palsu dan mimpi di alam outopis yang mendatangkan kekecewaan paling pahit di kemudian hari.
Oleh sebab itu, menghalalkan segala cara meraih kemenangan dalam kontestasi harus dimaknai sungguh-sungguh suatu tindakan kebiadaban demokrasi yang tak boleh dibiarkan dan ditolerir karena merusak keadaban demokrasi paling fatal. Bila ada kandidat melakukan tindakan seperti itu maka kandidat tersebut tidak pantas dan layak didaulat mengemban amanah kepercayaan rakyat. Mereka bukanlah calon pemimpin berikhtiar mengabdikan diri untuk bangsa dan negara. Mereka hanyalah ambisius berkuasa yang menjadikan kekuasaan tujuan akhir mewujudkan nafsu kekuasaan, baik finansial maupun politik. 
Untuk menjaga keadaban demokrasi maka seluruh komponen bangsa harus mengkawal penyenggaraan pesta demokrasi (Pilpres, Pilkada Serentak, Pileg) dengan keadaban, taat asas, norma kesantunan ditengah kehidupan berbangsa dan bernegara. Segala bentuk kecurangan, pelanggaran pemilu, ujaran kebencian, melancarkan sentimen politik identitas yang mengusik dan merusak harmoni masyarakat, politik transaksional harus benar-benar dihentikan agar keadaban demokrasi terbangun dari waktu ke waktu di negeri ini.
Kualitas, keadaban demokrasi tercermin dari penyelenggaraan Pemilu, jujur, adil, langsung, terbuka, transparan, partisipatif dan akuntabel. Karena itu, KPU, KPUD, Bawaslu, Panwaslu, Panwaslih, pemerintah, pemerintah daerah, partai politik, kandidat, dan rakyat pemilih harus menghindari segala bentuk kecurangan, pelanggaran pemilu agar bangsa Indonesia dihormati, dihargai, salah satu negara demokrasi terbesar di dunia. Keikut sertaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengawasi politik transaksional di Pilkada Serentak 2018 sangat menggembirakan dan membanggakan, sebab kredibilitas, kapasitas, integritas KPK memberantas korupsi, baik korupsi konvensional maupun korupsi politik tidak perlu diragukan hingga saat ini. KPK harus memastikan kandidat kepala daerah tak ada terindikasi tindak pidana korupsi agar tidak ada lagi kandidat terpilih masuk penjara ke depan. Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK harus dilakukan intensif supaya bisa dipastikan kandidat kepala daerah yang berkompetisi benar-benar sosok bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepostisme (KKN).    
                                                                                                Medan, 06 Maret 2018
                                                                                                Thomson Hutasoit.
Direktur Eksekutif LSM Kajian Transparansi Kinerja Instansi Publik (ATRAKTIP), Wapemred SKI ASPIRASI.   



Memenangkan Kompetisi Beradat dan Beradab.
Oleh: Thomson Hutasoit.
            Salah satu pemikiran mendasar dan mendetail dalam kontestasi politik ialah bagaimana menjadikan kompetisi atau kontestasi politik wahana pendidikan politik mencerdaskan rakyat berpolitik secara fair play, sehingga benar-benar pesta demokrasi rakyat yang menyenangkan, menggembirakan, serta membahagiakan.
            Kompetisi atau kontestasi politik beradat dan beradab tentu haruslah menjunjung tinggi aturan (adat) serta meninggikan keadaban manusia sebagaimana makna hakiki demokrasi yang menghormati, menghargai harkat, martabat kemanusiaan setinggi-tingginya. Karenanya, segala intrik, manuver politik melanggar aturan (adat), baik peraturan perundang-undangan, norma-norma sosial ditengah kehidupan masyarakat, bangsa dan negara tidak boleh sekali-sekali digunakan memenangkan kompetisi atau kontestasi politik. 
Pemilihan presiden (Pilpres), pemilihan gubernur (Pilgub), pemilihan bupati (Pilbup), pemilihan walikota (Pilkot) maupun pemilihan legislatif (Pileg) dan lain sebagainya harus ditujukan meninggikan derajat kemanusiaan seoptimal mungkin. Menghalalkan segala cara memenangi kompetisi ataupun kontestasi politik harus disadari paripurna adalah tindakan merendahkan harkat, martabat kemanusiaan, sehingga barangsiapa yang mencoba melakukan dapat dipastikan cermin perilaku buruk tak beradab dalam berdemokrasi, karena telah nyata-nyata merendahkan, menghina, melecehkan hak dasar kemanusiaan melalui tindakan-tindakan  tak terpuji dan biadab.   
            Dalam kompetisi atau kontestasi politik para kompetitor atau kontestan sah-sah saja menggunakan taktik strategi meraih kemenangan dengan berbagai cara asalkan masih tetap menghormati, menghargai hak asasi manusia (HAM) orang lain. Kampanye positif (positive campaign), kampanye negatif (negative  campaign), dan kampanye hitam (black campaign) adalah bentuk-bentuk taktik strategi kampanye yang kerap dilakukan dalam kontestasi politik. Taktik strategi itu digunakan mengangkat citra diri sekaligus menyerang atau melumpuhkan kontestan lain. Hal itu, harus benar-benar dicermati, disiasati dan diwaspadai agar terhindar dari jebakan-jebakan politik yang dapat mengecoh kecermatan, kecerdasan menentukan pilihan  terhadap kandidat tertentu.  
            Kampanye positif (positive campaign) ialah kampanye mengangkat dan mempublikasi hal-hal positif rekam jejak (track record) prestasi kinerja seseorang kandidat dengan tujuan  konstituen mengenal, mengerti dan memahami kompetensi seorang kandidat apabila diberi tugas dan tanggung jawab mengemban amanah kepercayaan sebagai pemimpin. Kampanye positif didukung bukti dan fakta empirik rekam jejak prestasi kinerja adalah salah satu cara paling baik dan jitu meraih simpatik calon pemilih. Sebab makna sejati pemilihan atau kontestasi adalah memilih kandidat paling kompeten mengemban amanah keparcayaan rakyat. Pemilihan bukan sekadar rutinitas seremonial pergantian (suksesi) pemimpin sesuai amanat peraturan perundang-undangan yang berlaku, melainkan memilih putera-puteri terbaik yang bisa diharapkan mendatangkan, menghadirkan janji Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 secara nyata dalam berbangsa dan bernegara.
Oleh karena itu, putera-puteri bangsa berprestasi spektakuler teruji dan terbukti melalui rekam jejak prestasi kinerja sebelumnya, memiliki visi-misi cerdas dan jenial, visioner, kreatif, inovatif serta profesional menjadi penilaian esensil fundamental apakah seseorang kandidat layak dan pantas diberi amanah kepercayaan di masa depan. Hal itu, berkorelasi linier dengan pendapat Stephen P Robbins Ph.D dalam bukunya berjudul ‘The Trurth Abaout Managing People” (2008) menyatakan, “Prediktor terbaik perilaku seseorang di masa depan ialah perilakunya di masa lalu”. Artinya, perilaku gagal, koruptif, kolutif, nepotif, pelanggar hukum, serta perilaku tak terpuji lainnya di masa lalu cenderung melakukan hal yang sama di masa depan. Sebab, sungguh sulit diterima akal sehat seseorang pemimpin gagal, koruptif, kolutif, nepotif, pelanggar hukum, serta berperilaku tak terpuji di masa lalu bisa diharapkan pemimpin yang baik dan benar dan berprestasi di masa depan.  
            Kecermatan, kecerdasan memahami profil kandidat adalah hal esensial fundamental  menghadirkan calon pemimpin otentik memiliki karakter pemimpin untuk semua yang bisa diharapkan gantungan harapan masa depan lebih cemerlang. Calon pemimpin seperti itu tidak lagi sebatas berhalusinasi, bertiori, beretorika, berwacana muluk-muluk membawa rakyat ke alam mimpi, khayal dan outopis, melainkan seorang pemimpin yang telah teruji dan terbukti menorehkan karya-karya fenomenal pada masa pengabdian sebelumnya.  
            Banyak kandidat “merasa bisa dan mampu”, tetapi tak bisa menunjukkan catatan prestasi kinerja ketika diberi amanah kepercayaan sebagai pemimpin. Mereka hanyalah sosok paranoid, pemimpi besar, si kabayan mimpi ataupun pengkhayal besar yang sangat diragukan mampu menorehkan prestasi spektakuler di masa depan. Mereka sulit diharapkan membawa harapan baru (new hope) bagi masyarakat, bangsa dan negara di masa depan. Kandidat pemimpin harus benar-benar solusi masalah, bukan bahagian dari masalah karena berkelindan dugaan kasus tindak pidana korupsi dan pelanggaran hukum lainnya. 
            Kampanye negatif (negative campaign) yaitu taktik strategi kampanye mengangkat sisi negatif kandidat lain dengan tujuan agar elektabilitasnya jatuh di mata calon pemilih. Sekalipun kampanye negatif didukung bukti dan fakta, menjelek-jelekkan kandidat lain sungguh tak terpuji dan tak beradab. Berkompetisi, berkontestasi saling menyerang dengan isu-isu  negatif, menyerang privasi kandidat, melancarkan ujaran kebencian, mengangkat sentimen politik identitas seperti sentimen suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) ataupun sentimen putera daerah sungguh sangat berbahaya dan beresiko tinggi. Karena itu, kampanye negatif sangat keliru besar dan sesat pikir apabila digunakan taktik strategi memenangkan kompetisi. Menjatuhkan lawan politik dengan kampanye negatif harus pula disadari bentuk politik kumuh tak beradab tak pantas dan layak digunakan calon pemimpin beradat dan beradab. Bukankah berkompetisi harus dilakukan fair play  serta menjunjung sportivitas agar hasil kompetisi benar-benar mampu menghadirkan pemimpin berkualiatas, menggembirakan dan membahagiakan ?
            Harus diingat kualitas demokrasi ditentukan sejauh mana sportivitas dan fair play dijunjung tinggi setiap kontestan dalam meraih kemenangan kompetisi. Menghalalkan segala cara meraih kemenangan sejatinya adalah cermin wajah buruk demokrasi yang harus dihindari setiap kontestan. Sebab demokrasi, kompetisi, kontestasi yang baik dan benar adalah sebuah festival adu gagasan, visi-misi terbaik mencari solusi dalam berbangsa dan bernegara. Bukan mencari-cari kelemahan, keburukan, serta menyerang privasi kandidat lain untuk mewujudkan nafsu berkuasa atau ambisi kekuasaan.
Kemenangan yang diraih dengan cara-cara negatif pasti tidak akan membawa kemaslahatan rakyat, malah mendatangkan kesengsaraan dan malapetaka dikemudian hari. Karena itu, siapapun kandidat melancarkan kampanye negatif (negative campign) dalam berkompetisi, berkontestasi bisa dipastikan, bukanlah sosok pemimpin otentik, pemimpin untuk semua, melainkan pemimpin haus kuasa tak pernah sungguh-sungguh mengabdikan diri untuk kepentingan rakyat, tanpa kecuali. Bagi mereka kekuasaan adalah tujuan, bukan alat untuk mengabdikan diri memberi pelayanan terbaik untuk semua. Calon pemimpin seperti itu harus ditolak dan tak layak dipilih mengemban amanah kepercayaan rakyat. Mereka bukan membawa bangsa, negara “Bangkit”, malah sebaliknya membawa, mendatangkan bangsa dan negara “Bangkrut” karena mereka sesungguhnya “harimau berbulu domba, musang berbulu ayam”.  
            Kampanye hitam (black campign) adalah wajah politik paling buruk, kumuh tak beradab yang tak pantas dan layak dilakukan masyarakat, bangsa beradat dan beradab. Menyerang kandidat lain tanpa bukti dan fakta, melakukan pembohongan, pembodohan, penyesatan adalah taktik strategi paling tak terpuji, tak beradat dan tak beradab.
Kejahatan politik menyeramkan, membahayakan, merusak dan menghancurkan harkat, martabat kemanusiaan paling hakiki adalah kampanye hitam. Kampanye hitam adalah kejahatan politik paling biadab menghancurkan lawan politik dengan berbagai pembohongan, pembodohan, penyesatan tanpa memperhitungkan dampak buruk paling mengerikan ditengah kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Mereka berpikir, bertindak dengan segala kebiadaban karena mereka sesungguhnya monster-monster predator menghalalkan segala cara demi meraih kekuasaan dalam segala hal perikehidupan berbangsa dan bernegara. Berbagai kemunafikan, kepura-puraan, pemutarbalikan bukti dan fakta, penjungkirbalikan logika dilancarkan sistematis terstruktur melalui pembohongan, pembodohan, penyesatan, termasuk membangkitkan sentimen fanatisme buta menimbulkan kebencian, permusuhan, konflik dengan berbagai kemasan sentimen sektarian-primordial.
Mempertentangkan, membenturkan perbedaan, keragaman, kemajemukan atau kebhinnekaan telah final dan harga mati di Negara Republik Indonesia berdasarkan Pancasila, UUD RI 1945, Bhinneka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menyerang kandidat lain sungguh mengerikan, membahayakan serta merupakan ancaman laten keutuhan bangsa dan negara.
Tindakan radikalisme, intoleran, anarkhis, dajjal, babar dengan kemasan baju SARA  menyerang lawan politik telah menjadi catatan buram perpolitikan negeri ini, terutama ketika Pilgub DKI Jakarta 2017 lalu. Kampanye hitam seperti itu telah mengancam keutuhan berbangsa dan bernegara paling mengkhawatirkan, mencekam sekaligus mendegradasi kualitas demokrasi Indonesiadi mata dunia internasional hingga titik nadir. Pengalaman buruk dan memalukan itu tentu tidak boleh terulang kembali pada Pilkada Serentak 2018, Pilpres 2019, Pileg 2019 di negeri tercinta ini agar demokrasi di Indonesia mendapat pengakuan dunia internasional. Bung Karno mengatakan, “ Hanya keledai mau terperosok dua kali kedalam satu lobang yang sama”.  
Kesadaran paripurna dari seluruh stakeholder negeri ini dalam berdemokrasi berkeadaban  salah satu indikator pertama dan utama apakah bangsa Indonesia telah mampu melaksanakan pesta demokrasi berkualitas menghadirkan pemimpin otentik di berbagai level menggawangi kepemimpinan nasional maupun daerah agar terwujud Indonesia Hebat, Indonesia Jaya ke depan. Karena itu, momentum strategis pesta demokrasi rakyat, baik Pilkada Serentak 2018, Pilpres 2019, Pileg 2019 harus mampu dilaksanakan sebaik-baiknya “ajang kompetisi beradat dan beradab”.
 Partai politik, penyelenggara pemilihan umum (KPU, KPUD, Bawaslu, Panwaslu), kandidat, pemerintah, pemerintah daerah, dan rakyat wajib hukumnya berupaya sekuat-kuatnya melaksanakan kompetisi, kontestasi politik beradat dan beradab sehingga Pilpres, Pileg, Pilkada Serentak benar-benar pesta demokrasi rakyat memilih pemimpin terbaik, penuh kegembiraan, kesenangan dan kebahagiaan, bukan menyeramkan sebagaimana dikatakan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Selamat dan sukses melaksanakan pesta demokrasi rakyat. Jangan korbankan kepentingan bangsa dan negara  demi ambisi berkuasa belaka.   
                                                                                                Medan, 13 Pebruari 2018


                                                                                                Thomson Hutasoit.
Direktur Eksekutif LSM Kajian Transparasi Kinerja Instansi Publik (ATRAKTIP), Wapemred SKI ASPIRASI.