rangkuman ide yang tercecer

Kamis, 12 Maret 2015

Sekum Punguan Borsak Bimbinan Hutasoit, Boru, Bere Kota Medan Sekitanya:



Sekum Punguan Borsak Bimbinan Hutasoit, Boru, Bere Kota Medan Sekitanya:
Pemkab Sekitar Danau Toba Segera Bentuk Perda Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat Mendukung Geopark Kaldera Danau Toba.   

Medan,
            Sekretaris Umum Punguan Borsak Bimbinan Hutasoit, Boru, Bere Kota Medan Sekitarnya Drs. Thomson Hutasoit mengatakan, untuk mendukung dan mensukseskan pengajuan Geopark Nasional Kaldera Toba menjadi Taman Bumi Dunia UNESCO yang saat ini sedang dalam proses “Pemerintah Kabupaten di sekitar Danau Toba yakni; Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Toba Samosir (Tobasa), Kabupaten Samosir, Kabupaten Simalungun, Kabupaten Karo, Kabupaten Dairi, Kabupaten Pakpak Bharat harus segera membentuk/menerbitkan peraturan daerah (Perda) untuk melindungi hak masyarakat hukum adat agar seluruh keunggulan spesifik kearifan lokal terlindungi maksimal selaku calon Taman Bumi Dunia UNESCO di masa akan datang”.  Hal itu, dikatakannya kepada wartawan menyikapi berbagai pemberitaan tentang Geopark Nasional Kaldera Toba menuju  Taman Bumi Dunia UNESCO belakangan ini yang diprakarsai RE Foundation, hari Rabu (11/3) di Medan.  
            Thomson Hutasoit yang juga Direktur Eksekutif Lembaga Swadaya Masyarakat Kajian Transparansi Kinerja Instansi Publik (LSM ATRAKTIP) lebih lanjut mengatakan, “Selain keindahan panorama Danau Toba sebagai tujuan wisata, daerah Kaldera Toba juga merupakan pusat peradaban bangso Batak yakni; Batak Toba, Batak Simalungun, Batak Karo, Batak Pakpak yang memiliki kultur budaya, adat-istiadat serta kearifan lokal warisan leluhur yang masih diakui, dilestarikan dan dijunjung tinggi hingga saat ini”, pungkasnya.
            Kultur budaya, adat-istiadat, kearifan lokal serta situs-situs sejarah warisan leluhur bangso Batak di sekitar Kaldera Toba adalah salah satu hal paling esensial, fundamental yang perlu mendapat perlindungan maksimal dari pemerintah daerah di sekitar Danau Toba. Sebab tujuan hakiki menjadikan Geopark Nasional Kaldera Toba Taman Bumi Dunia UNESCO bukan saja hanya terbatas di sektor pariwisata, tetapi lebih luas dari situ ialah mengangkat dan/atau menggali berbagai keunggulan spesifik yang berguna dan bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik masyarakat sekitar Kaldera Toba, Provinsi Sumatera Utara, Nasional maupun internasional.
Salah satu contoh konkrit ialah bagaimana masyarakat sekitar Kaldera Toba mempertahankan sistem kekeluargaan, kekerabatan puluhan generasi dengan falsafah Dalihan Na Tolu yakni; somba marhula-hula, manat mardongan tubu, elek marboru  hingga kini masih dipertahankan dan dilestarikan, termasuk di seluruh daerah diasporanya. Demikian juga kearifan lokal menjaga, melestarikan lingkungan hidup, dan lain sebagainya.  
            Pemerintah daerah sekitar Kaldera Toba harus menyadari, bahwa kultur budaya, adat-istiadat, kearifan lokal, serta tumbuh-tumbuhan spesifik seperti; kemenyaan (haminjon), andaliman, hau ingul maupun tumbuhan obat-obatan lain yang hanya tumbuh di sekitar Kaldera Toba adalah aset paling berharga yang perlu dilindungi melalui peraturan daerah (Perda) agar tidak hilang atau punah akibat lindasan kemajuan jaman maupun investasi serampangan di daerah sekitar Danau Toba.  
            Kita melihat, bahwa pemerintah kabupaten di sekitar Kaldera Toba (Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Toba Samosir (Tobasa), Kabupaten Samosir, Kabupaten Simalungun, Kabupaten Karo, Kabupaten Dairi, Kabupaten Pakpak Bharat) yang notabene merupakan masyarakat hukum adat belum satu daerah pun menerbitkan peraturan daerah (Perda) perlindungan hak masyarakat hukum adat.
Padahal, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang, pada pasal 4 ayat (3) Penguasaan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Kemudian pasal 5 ayat (3) Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya. Ayat (4) Apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada Pemerintah. Selanjutnya, pasal 17 ayat (2) Pembentukan wilayah pengelolaan hutan tingkat unit pengelolaan dilaksanakan dengan mempertimbangkan karakteristik lahan, tipe hutan, fungsi huta, kondisi daerah aliran sungai, sosial budaya, ekonomi, kelembagaan masyarakat setempat termasuk masyarakat hukum adat dan batas administrasi Pemerintahan. Pasal 67 ayat (1) Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak: (a) melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan; (b) melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; (c) mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya. Ayat (2) Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah; ayat (3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
            Ini kan perintah undang-undang, tapi mengapa sampai saat ini tidak satu pun pemerintah daerah di sekitar Kaldera Toba menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat, tanya Thomson Hutasoit pemerhati Masyarakat Hukum Adat Desa Pandumaan-Sipituhuta, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan dengan nada kesal.
Bukankah, pemerintah daerah di sekitar Danau Toba “bangga” menyebut dirinya daerah hukum adat ? Tapi mengapa tak pernah berpikir untuk melahirkan Peraturan Daerah (Perda) sebagaimana diamanahkan pasal 67 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang kemudian ditinjau Undang-Undang Republik Indonesia No 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang hingga saat ini. Padahal, berbagai tuntutan masyarakat hukum adat memperjuangkan hak turun-temurunnya (hak tanah ulayat-red) termasuk hutan masyarakat hukum adat tidak pernah mendapat respons positif dari pemerintah daerah (Eksekutif, DPRD) melalui penerbitan peraturan daerah (Perda) sesuai perintah undang-undang.    
            Karena itu, menurut pandangan kita jika pemerintah daerah (Pemda) di sekitar Kaldera Toba benar-benar mendukung maksimal keberhasilan Geopark Nasional Kaldera Toba menjadi Taman Bumi Dunia UNESCO harus segera membuat Peraturan Daerah (Perda) Perlindungan Masyarakat Hukum Adat agar masyarakat sekitar Kaldera Toba benar-benar tuan di tanah leluhurnya. Tanpa itu, Geopark Kaldera Toba Taman Bumi Dunia UNESCO tidak membawa manfaat nyata bagi masyarakat sekitar Danau Toba, urai putera Humbang Hasundutan ini mengingatkan.  
            Selaku putera Bona Pasogit (Humbang Hasundutan-red) kita sangat mendukung prakarsa RE Foundation yang dimotori Tokoh Masyarakat Sumatera Utara Dr. RE. Nainggolan, MM mantan Bupati Tapanuli Utara, Sekretaris Daerah Provinsi Sumatera Utara, juga Drs.S.I.S Sihotang MM Wakil Ketua Forum Pelestarian Budaya Provinsi Sumatera Utara mantan Bupati Dairi beserta penggiat Geopark Danau Toba lainnya selama ini.
Kita sangat setuju dan mendukung niat tulus semua pihak yang peduli dengan Geopark Kaldera Toba sembari mengetuk hati sanubari pemangku amanah Pemerintahan Daerah (Pemda) di sekitar Danau Toba supaya segera melahirkan Peraturan Daerah (Perda) Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat serta pengukuhan dan pemastian daerah sekitar Danau Toba masih nyata-nyata masyarakat hukum adat.
Para Bupati/Wakil Bupati, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Toba Samosir (Tobasa), Kabupaten Samosir, Kabupaten Simalungun, Kabupaten Karo, Kabupaten Dairi, Kabupaten Pakpak Bharat sudah saatnya berkoordinasi serta bekerjasama untuk mendukung suksesnya Geopark Nasional Kaldera Toba menjadi Taman Bumi Dunia UNESCO melalui langkah-langkah konkrit, termasuk percepatan penerbitan peraturan daerah (Perda) perlindungan hak masyarakat hukum adat. 
            Kita berkeyakinan, jika Geopark Nasional Kaldera Toba benar-benar menjadi Taman Bumi Dunia UNESCO akan mengangkat harkat dan martabat Batak mendunia sekaligus mendatangkan berbagai kemajuan dan kesejahteraan bagi masyarakat sekitar Danau Toba, Provinsi Sumatera Utara maupun bagi bangsa Indonesia di masa akan datang.  
Sungguh sangat sedih dan memprihatinkan predikat peta kemiskinan yang melekat pada Bona Pasogit hingga di usia 70 tahun kemerdekaan republik ini patutlah menjadi perhatian dan permenungan seluruh putera-puteri Bona Pasogit dimanapun berada. Oleh sebab itu, kita sangat berharap kepada seluruh stakeholders Kaldera Toba untuk saling bahu-membahu, topang-menopang, dukung-mendukung mengangkat Bona Pasogit Batak ke fora  internasional agar peta kemiskinan berubah menjadi Bona Pasogit Sejahtera, dambaan, impian seluruh umat manusia, harapnya mengakhiri kepada wartawan.  

                                                                                                            Medan, 11 Maret 2015

                                                                                                            Drs. Thomson Hutasoit.                
                      

Kepastian Hukum



Kepastian Hukum
0leh: Thomson Hutasoit
Direktur Eksekutif LSM Kajian Transparansi Kinerja Instansi Publik (ATRAKTIP)

Diskusi paling klasik baik formal maupun informal ialah seputar membangun kepastian hukum dalam berbangsa dan bernegara. Tetapi, pada tataran empirik masalah kepastian hukum terkadang menimbulkan multitafsir serta ambivalensi ketika diperhadapkan pada pergesekan kepentingan individu, institusi dan lain sebagainya. Kepastian hukum menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2007) ialah perangkat hukum suatu negara yang mampu menjamin hak dan kewajiban setiap warga negara. Artinya, kepastian perangkat hukum suatu negara yang menjamin hak dan kewajiban setiap warga negara tidak boleh ditafsirkan atas kepentingan apapun. Sebab, apabila perangkat hukum negara diinterpretasikan dari sudut pandang norma-norma lain, seperti norma agama, norma sopan santun, norma sosial dan lain-lain justru kepastian hukum tak akan pernah terwujud.
Norma hukum bersifat memaksa harus pula disadari adalah salah satu norma  paling mampu menjamin kepastian hak dan kewajiban setiap warga negara secara universal disertai sanksi-sanksi riil atas pelanggaran antar individu, antar lembaga hingga dikenal adagium hukum “tak seorang pun boleh di hukum bila hukum tidak mengaturnya”. Harus pula disadari, bahwa ketidakmampuan norma agama, norma sopan santun, norma susila, norma sosial, dan norma lainnya memberikan sanksi tegas dan langsung terhadap pelanggaran norma-norma itulah alasan paling fundamental lahirnya norma hukum bersifat memaksa disertai sanksi langsung terhadap pelanggarnya supaya terjamin hak dan kewajiban setiap warga negara tanpa kecuali  dalam berbangsa dan bernegara.
Salah satu ancaman paling laten terhadap upaya membangun kepastian hukum ialah munculnya multitafsir dan pasal-pasal karet dari suatu produk hukum itu sendiri. Produk-produk hukum yang seharusnya memberi kepastian hukum terhadap setiap warga negara justru sebaliknya melahirkan ketidakpastian hukum yang pada ujung-ujungnya menimbulkan prahara hukum serta debat kusir tak karuan sebagaimana terjadi pada kisruh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) versus Kepolisian Negara Republik Indonesia belakangan ini. Seandainya, ruang multitafsir dan pasal-pasal karet tidak menyelimuti berbagai produk hukum di republik ini maka kisruh hukum tidak akan timbul bagaikan belantara tak berujung yang menguras energi bangsa terbuang sia-sia.   
Sebagai negara hukum polemik, kisruh, perseteruan antar lembaga penegak hukum tentu merupakan hal paling memalukan dan mengecewakan. Betapa tidak, lembaga penegak hukum yang didalamnya bertumpuk ahli-ahli hukum berkaliber sejagat sungguh sangat tak masuk akal berseteru satu sama lain dalam menjalankan penegakan hukum yang baik dan benar. Walau masing-masing pihak berupaya mendasarkan diri pada argumentasi-argumentasi  dalil-dalil hukum super canggih bila produk hukum tidak diselimuti multitafsir serta pasal-pasal karet maka publik akan sangat mudah melihat siapakah yang berupaya melakukan pembelokan, pembelotan, penyelundupan hukum secara telanjang.
Tetapi, karena produk-produk hukum di negeri ini masih dijejali dalil-dalil sumir, multitafsir, pasal-pasal karet yang tidak pernah disadari atau mungkin juga disengaja oleh pembuat undang-undang dilatari “perselingkuhan, persekongkolan, persubahatan” berkelindan kepentingan pihak tertentu menjadikan banyak produk peraturan perundang-undangan tidak menggambarkan kepastian hukum sejati. Hal itu bisa dibuktikan dengan banyaknya produk hukum di republik ini diajukan peninjauan materi  (yudicial review) ke Mahkamah Agung (MA) maupun ke Mahkamah Konstitusi (MK).  Dan paling tak masuk akal ialah apabila lembaga-lembaga penegak hukum terjebak ke pusaran “politisasi hukum” dan kepentingan pelanggengan penguasa dan kekuasaan.  
Sekalipun pun hukum lahir dari proses politik, tetapi ketika produk hukum itu telah diputuskan/ditetapkan sebagai peraturan perundang-undangan yang absah maka setiap warga negara harus tunduk, patuh, menghormati dan menjunjung tinggi sebagai perangkat hukum negara mengikat untuk menjamin hak dan kewajiban setiap warga negara, tanpa kecuali. Karena itu, seluruh produk perundang-undangan tidak boleh sekali-sekali didasarkan atas boncengan kepentingan sektoral apalagi mendiskriminasi yang ujung-ujungnya menimbulkan ketidakadilan dalam berbangsa dan bernegara.       
Perdebatan akademis, mendengar aspirasi publik (public hearing)  seharusnya telah selesai ketika suatu produk hukum disetujui, diputuskan dan ditetapkan serta diundangkan di dalam Lembaran Negara (LN) resmi. Selanjutnya, di dalam implementasinya tak terlalu diperlukan lagi berbagai tafsir-tafsir hukum aneh-aneh ataupun perdebatan yang menimbulkan kebingungan di ruang publik.
Oleh karena itulah para pembuat peraturan perundang-undangan  yakni Dewan Perwakilan Rakyat(DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD),  Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, Kabupaten/Kota serta eksekutif (presiden, gubernur, bupati/walikota) tidak boleh sekali-sekali “kejar paket, kejar target, kejar tayang” dalam melahirkan peraturan perundang-undangan sekadar mencapai atau memenuhi kewajiban konstitusional tanpa mempertimbangkan kualitas produk perundang-undangan yang ditelorkan.    
Kekeliruan bahkan sesat pikir para pembuat undang-undang ialah mengklaim diri telah berhasil kinerjanya bila mampu melahirkan berbagai produk perundang-undangan walaupun tak berkualitas adalah sebuah fenomena yang amat sangat mengecewakan dan memprihatinkan belakangan ini. Padahal, capaian keberhasilan kinerja pembuat peraturan perundang-undangan sesungguhnya bukanlah terletak pada seberapa banyak (kuantitas) produk hukum yang dilahirkan, tetapi seberapa berkualitas produk perundang-undangan yang dikeluarkan untuk menjamin kepastian hukum dalam berbangsa dan bernegara.   
Pembuat undang-undang seharusnya malu terhadap rakyat jika berbagai peraturan perundang-undangan mendapat penolakan publik kemudian diajukan peninjauan materi ke Mahkamah Agung (MA) maupun Mahkamah Konstitusi (MK) yang notabene menghabiskan uang rakyat. Berbagai produk peraturan perundang-undangan yang tidak secara nyata-nyata untuk melindungi kepentingan rakyat kerap menjadi prioritas program legislasi, sementara peraturan perundang-undangan untuk melindungi kepentingan rakyat tak kunjung lahir, seperti; peraturan perundang-undangan tentang masyarakat hukum adat supaya masyarakat hukum adat tuan di tanah leluhurnya. Permasalahan hak masyarakat hukum adat yang telah memakan korban, baik harta maupun nyawa hingga kini masih belum menjadi prioritas legislasi nasional. Padahal, persoalan atau kasus-kasus masyarakat hukum adat di hampir seluruh daerah di republik ini telah berlangsung puluhan tahun tanpa penyelesaian tuntas.    
Jangan salahkan sinisme masyarakat bila sampai pada konklusi, bahwa pembuat undang-undang telah menjadikan program legislasi nasional (Prolegnas) salah satu bancakan untuk “menggerogoti keuangan Negara”. Sebab, fakta membuktikan banyak produk perundang-undangan diajukan untuk dibatalkan melalui judicial reiew,  ke Mahkamah Agung (MA) maupun ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena tidak sinkron dengan undang-undang diatasnya.   
Sungguh sangat kontraproduktif, ambivalen dan ambigu cita-cita membangun kepastian hukum justru dikotori pertarungan tarik-menarik kepentingan sektoral lembaga penegakan hukum sebagaimana perseteruan-perseteruan yang terjadi selama ini. Perseteruan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) versus Kepolisian Negara Republik Indonesia yang “dibranding” Cicak vs Buaya, Perseteruan Kejaksaan Agung Republik Indonesia versus Kepolisian Negara Republik Indonesia, bahkan perseteruan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia versus Kejaksaan Agung Republik Indonesia yang dilabeli “Ustadz di kampung maling” menjadi menu tontonan publik tak bermutu  disebabkan egoisme sektoral belaka.   
Rakyat semakin bingung menonton drama perseteruan antar lembaga penegak hukum apalagi diseret-seret ke ranah politik ataupun opini publik  menimbulkan kegaduhan, kekisruhan luar biasa di negeri ini.     
Roscoe Pound mengatakan, Hukum adalah sekumpulan penuntun yang berwibawa atau dasar-dasar ketetapan yang dikembangkan dan ditetapkan oleh suatu teknik yang berwenang atas latar belakang cita-cita tentang ketertiban masyarakat dan hukum yang sudah diterima (Sudarsono, 2007;167).
Sebagai penuntun berwibawa atau dasar-dasar ketetapan yang mengatur ketertiban masyarakat atau hukum tentu haruslah sebuah produk hukum yang terang-benderang, jelas dan tegas bukan produk-produk hukum multitafsir serta pasal-pasal karet yang memberi peluang aneka interpretasi menimbulkan ketidakpastian hukum.
Pembuat undang-undang seharusnya menyadari, bahwa produk hukum multitafsir dan pasal-pasal karet yang tidak mustahil semata-mata mengakomodasi kepentingan terselubung pihak tertentu pada suatu ketika akan menjadi “bom waktu” timbulnya prahara hukum di kemudian hari. Oleh karena itu, pembuat undang-undang tidak boleh sekali-sekali terjebak pada boncengan kepentingan ataupun atas order pihak-pihak tertentu dalam melahirkan produk peraturan perundang-undangan.  
Ancaman Kepastian Hukum.    
Jika diperhatikan cermat dan seksama ada beberapa faktor yang mempengaruhi sulitnya membangun kepastian hukum di negeri ini, antara lain;
Pertama, Produk hukum yang tidak tegas dan jelas membuka peluang multitafsir dalam ranah implementasi. Hal itu bisa dilihat dari berbagai produk peraturan perundang-undangan yang masih menggunakan pasal-pasal karet dan multitafsir. Ketidaktegasan, ketidakjelasan peraturan perundang-undangan membuka aneka interprestasi atau tafsir-tafsir hukum ketika terjadi peristiwa hukum  ditengah kehidupan berbangsa dan bernegara. Padahal, kepastian hukum hanya bisa terwujud apabila produk hukum benar-benar penuntun berwibawa yang harus dipatuhi, dijunjung tinggi seluruh warga negara, tanpa kecuali. Bukankah hal itu sudah diatur secara tegas dan jelas pada pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 ? Tetapi, justru banyak ditemukan produk peraturan perundang-undangan mendegradasi, menegasi serta menyimpang dari konstitusi atau peraturan perundang-undangan diatasnya.    
Kedua, Politisasi hukum yakni menarik-narik permasalahan hukum ke ranah politik. Memang harus diakui, bahwa hukum atau peraturan perundang-undangan lahir dari suatu proses politik, tetapi ketika peraturan perundang-undangan itu telah diputuskan/ditetapkan menjadi suatu peraturan perundang-undangan resmi dan absah serta diundangkan di dalam Lembaran Negara (LN) resmi maka setiap warga negara harus tunduk, patuh, menghormati dan menjunjung tinggi, tanpa kecuali. Siapapun, termasuk pembuat undang-undang itu sendiri harus tunduk dan taat terhadap undang-undang sebagai penuntun dan pedoman dalam berbangsa dan bernegara. Politisasi terhadap hukum harus pula dimaknai ancaman nyata dan laten dalam upaya membangun kepastian hukum. Segala bentuk intervensi dari pilar-pilar kekuasaan menjadi penyebab pertama dan utama kegagalan membangun kepastian hukum di negeri ini.
Ketiga, Tekanan massa (unjuk rasa, demonstrasi-red) yaitu pemaksaan kehendak dengan gelombang unjuk rasa atau demonstrasi. Pasca reformasi, fenomena unjuk rasa atau demonstrasi sepertinya dianggap salah satu cara paling ampuh untuk memaksa institusi atau lembaga penyelenggara negara.
Parlemen jalanan secara obyektif harus diakui merupakan akibat tersumbatnya saluran aspirasi rakyat yang seharusnya dijalankan institusi-institusi negara. Namun demikian, tidak mustahil juga gelombang unjuk rasa atau demonstrasi telah terjebak pada kepentingan subyektif hingga muncul kelompok pro dan kelompok kontra atas terjadinya peristiwa hukum. Misalnya, kisruh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) versus Kepolisian Negara Republik Indonesia belakangan ini menimbulkan unjuk rasa atau demonstrasi pro dan kontra terhadap kedua institusi penegak hukum itu.  Masing-masing kelompok unjuk rasa atau demonstrasi memaksakan kehendak dengan berbagai argumentasi hukum, etika, norma, bahkan tidak mustahil atas fanatisme ego sektoral institusi atau lembaga. Harus disadari, bahwa bila hukum tunduk atau kalah atas tekanan unjuk rasa atau demonstrasi maka hingga kapan pun kepastian hukum tidak akan pernah terwujud di negeri ini.  
Fenomena maraknya gelombang unjuk rasa atau demonstrasi pasca reformasi menjadikan republik ini tiada hari tanpa unjuk rasa atau demonstrasi harus pula disiasati cermat dan cerdas dalam upaya membangun kepastian hukum. Sebab, tidak mustahil gelombang unjuk rasa atau demonstrasi dilatari kepentingan subyektivitas pihak tertentu belaka.  
Keempat, Vonis di luar pengadilan yakni pelekatan predikat bersalah (terpidana) terhadap seseorang walaupun belum ada keputusan pengadilan berkekuatan hukum tetap  atas dugaan pelanggaran tindak pidana. Bukankah yang berhak secara konstitusi memutuskan dan/atau menetapkan seseorang melanggar hukum adalah hak mutlak absolut hakim atau pengadilan ? Akan tetapi belakangan ini kerap terjadi vonis bersalah   diluar pengadilan negara resmi. Padahal, republik ini selalu lantang mengatakan menjunjung tingga prinsip “Praduga tak bersalah (precumption of ennocence)” yang menjamin tak seorang pun divonis bersalah sebelum keputusan dan/atau penetapan pengadilan negara resmi.
Azas Praduga tak bersalah adalah jaminan kepastian hukum sejati yang menjamin tak seorang pun bisa divonis terpidana, kecuali keputusan dan/atau ketetapan pengadilan negara berkekuatan hukum tetap. Apakah masih ada kepastian hukum jika seseorang diberi label “Terpidana” hanya berdasarkan opini publik ?. Bila opini publik bisa memutuskan dan/atau menetapkan seseorang menjadi terpidana untuk apa masih dipertahankan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK) dan pengadilan lainnya di negeri ini.   
Kelima, Intervensi kekuasaan yakni tekanan kekuasaan terhadap proses hukum yang sedang berlangsung. Berbagai opini masyarakat yang mendesak Presiden Jokowi agar menggunakan hak konstitusionalnya untuk menghentikan proses hukum terkait kisruh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) versus Kepolisian Negara Republik Indonesia belakangan ini adalah salah satu bukti faktual. Padahal, Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla telah tegas menyatakan sikapnya, bahwa proses hukum atas kasus ini harus dilakukan transparan, terbuka, obyektif tanpa intervensi dari pihak manapun. Sikap tegas Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla tak mau mengintervensi proses hukum yang sedang berlangsung harus pula dimaknai upaya konkrit membangun kepastian hukum. Sebab kepastian hukum hanya bisa terwujud tanpa intervensi dari pihak manapun.
Segala bentuk intervensi, baik domestik maupun luar negeri terhadap putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap harus pula dimaknai ancaman laten kepastian hukum di republik ini. Kepastian hukum hanya bisa terwujud apabila setiap orang patuh, tunduk, menghormati, menjunjung tinggi putusan hukum pengadilan berkekuatan hukum tetap. Bila putusan hukum tunduk pada intervensi kekuasaan dan kepentingan politik maka sampai kapan pun kepastian hukum tak akan pernah terwujud di negeri ini.
Keenam, Peradilan bersih, mandiri dan berwibawa yakni suatu proses peradilan jujur, terbuka, transparan, mandiri tanpa terpengaruh anasir apapun. Kemandirin dan kewibawaan lembaga peradilan tentu haruslah diisi oleh para hakim yang bersih, berintegritas, kapabel, kredibel yang dibuktikan putusan-putusan hukum yang dijatuhkan. Sebagai wakil “Tuhan” hakim tentu haruslah bertanggungjawab atas putusannya demi kebenaran dan keadilan hukum, moral dan kepada Tuhan Yang Mahaesa. Karena itu, hakim harus mandiri dan berwibawa menjatuhkan putusan yang mencerminkan kebenaran dan keadilan universal.
Seorang hakim tidak boleh sekali-sekali terpengaruh atas godaan, pengaruh pihak mana pun juga, sebab kewibawaan lembaga peradilan tercermin dari putusan yang mengandung kebenaran dan keadilan publik itu sendiri. Jika putusan pengadilan telah mampu mencerminkan kebenaran dan keadilan maka upaya-upaya hukum seperti; naik banding, kasasi maupun peninjauan kembali (PK) akan bisa diminimalisasi sehingga tumpukan kasus-kasus di Mahkamah Agung (MA) akan bisa ditekan.
Sungguh sangat menyedihkan sekaligus mengecewakan apabila putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap tidak kunjung dieksekusi, termasuk putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang bersifat tetap hingga timbul ketidakpastian hukum ditengah-tengah masyarakat, bangsa maupun negara. Misalnya,  Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 45/PUU-IX/2011 tertanggal 21 Pebruari 2012 tentang penghunjukan kawasan hutan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap alias membatalkan SK Menhut No. 44 tahun 2005 tentang penghunjukan kawasan hutan di Provinsi Sumatera Utara” belum secara tegas dan nyata-nyata mengembalikan hak masyarakat adat di Provinsi Sumatera Utara. Masyarakat hukum adat belum memperoleh kepastian hukum tentang hak-haknya sehingga sampai saat ini masih berjuang untuk mencari kebenaran dan keadilan ke berbagai lembaga negara, termasuk DPRD Kabupaten/Kota, DPRD Provinsi, DPR RI maupun ke instansi terkait.
Masyarakat hukum adat Desa Pandumaan-Sipituhuta, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan yang telah bertahun-tahun berjuang untuk mengembalikan hak turun-temurunnya hingga kini belum berhasil, padahal Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 45/PUU-IX/2011 sudah keluar tiga(3) tahun silam.
Inilah salah satu potret buram kepastian hukum di republik ini yang turut mendegradasikan wibawa lembaga hukum di mata masyarakat. Hal ini tentu harus menjadi perhatian serius dari pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla yang ingin mewujudkan kepastian hukum di negeri ini.
Kepastian hukum sejatinya tercermin dari eksekusi putusan pengadilan berkekuatan tetap, bukan berbagai putusan “mancan ompong” yang tak kunjung dieksekusi.
Oleh karena itu, jika pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla berkeinginan kuat untuk mewujudkan kepastian hukum di republik ini maka Presiden Jokowi-Wakil Presiden Jusuf Kalla harus memastikan dan mengawasi secara langsung eksekusi putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, bukan hanya sekadar wacana maupun retorika sebagaimana pemerintahan-pemerintahan sebelumnya.
Presiden dan wakil presiden bukan dimaksudkan mengintervensi proses peradilan, tetapi mendorong pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap supaya kepastian hukum di negeri ini benar-benar terlaksana secara nyata. Putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap dalam bentuk apapun harus segera dieksekusi, tanpa terpengaruh intervensi dari pihak manapun sebab Indonesia adalah negara berdaulat yang tak boleh sekali-sekali tunduk kepada pihak lain.
Negara Republik Indonesia adalah negara hukum maka segala kebijakan negara atau pemerintahan harus dilandaskan pada konstitusi serta peraturan perundang-undangan yang berlaku secara tegas dan pasti untuk menjamin kepastian hukum terhadap setiap warga negara, tanpa kecuali, termasuk pihak asing di negeri ini. Siapapun, lembaga apapun, perusahaan apapun yang berada di republik ini harus tunduk dan patuh terhadap hukum Indonesia. Ini adalah harga mati demi menjaga harkat, martabat, jati diri dan kewibawaan republik ini di mata internasional.
                                                                                                            Medan, 9 Maret 2015
                                                                                                            Thomson Hutasoit.
(Alumni Pemantapan Nilai-nilai Kebangsaan Lemhannas RI bagi kalangan Akademisi, Birokrasi, Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat, Tokoh Adat, Tokoh Pemuda di Provinsi Sumatera Utara, tahun 2014).                                                        

Warisan Ranjau Politik



Warisan Ranjau Politik
Oleh: Thomson Hutasoit
Direktur Eksekutif LSM Kajian Transparansi Kinerja Instansi Publik (ATRAKTIP)

Sesungguhnya suksesi kepemimpinan nasional merupakan proses alamiah yang harus berlangsung dari satu rezim pemerintahan ke rezim pemerintahan berikutnya sesuai perintah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (Asli) maupun (Amandemen). Tetapi proses suksesi sejak Presiden Republik Indonesia pertama Ir. Soekarno atau Bung Karno ke Presiden RI kedua Soeharto, Soeharto ke Presiden RI ketiga BJ Habibie, BJ Habibie ke Presiden keempat KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Gus Dur ke Presiden RI kelima Megawati Soekarnoputri atau Mbak Mega, Mbak Mega ke Presiden keenam Susilo Bambang Yudoyono (SBY), SBY ke Presiden ketujuh Joko Widodo (Jokowi) selalu mewariskan “ranjau politik” alias tak pernah mulus.  
Suksesi pemerintahan paling mutahir ialah pergantian rezim pemerintahan Susilo  Bambang Yudoyono (SBY)-Boediono pada tanggal 20 Oktober 2014 yang sepertinya membangun tradisi baru dimana saat pelantikan Presiden/Wakil Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan HM. Jusuf Kalla (JK) duduk berdampingan pada Sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia yang pada periode-periode sebelumnya tak pernah terjadi peristiwa kenegaraan seperti itu.  
Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) menyambut kedatangan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Isatana Negara yang menurut konstitusi tak diatur prosesi semacam itu. Sebab begitu Presiden/Wakil Presiden mengucapkan Sumpah/Janji di depan Sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia seketika itu pula secara otomatis berakhir masa periode pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono (SBY)-Boediono menurut konstitusi.   
Walaupun secara konstitusi tidak ada ketentuan yang mengatur tradisi seperti itu, tradisi baru suksesi nasional dari rezim pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono (SBY)-Bediono ke rezim pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dan HM. Jusuf Kalla (JK) 20 Oktober 2014 patut dimaknai salah satu langkah awal membangun kedewasaan berpolitik di tanah air. Apalagi jika tradisi baru tersebut benar-benar murni dan tidak meninggalkan “ranjau politik” pada pemerintahan berikutnya.  
Akan tetapi, jika seandainya tradisi baru suksesi nasional yang berlangsung hanya sekadar kamuflase politik dan penuh keberpurak-purakan maka makna sejati tradisi baru yang dibangun pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono (SBY)-Boediono ke pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-HM. Jusuf Kalla (JK) menjadi sirna dan tak bermanfaat apa-apa dalam membangun kedewasaan berpolitik bangsa ini.  
Jika rezim pemerintahan SBY-Boediono ingin mengubah tradisi pergantian rezim pemerintahan sebelum-sebelumnya yang tidak pernah berlangsung mulus, lancar dan damai alias tak meninggalkan “dendam politik” sangatlah tak elegan apabila masih mewariskan “rajau politik” pada pemerintahan berikutnya.
Rezim pemerintahan akan diganti harus berupaya keras mempersiapkan agenda-agenda nasional secara baik dan benar supaya tidak berpotensi menimbulkan kegaduhan, kekacauan politik pasca suksesi. Dengan demikian, rezim pemerintahan baru tidak direcoki atau diusik kegaduhan, kekacaun politik sehingga pemerintahan baru bisa bekerja efektif, efisien melanjutkan estafet kepemimpinan nasional lima tahun ke depan.
Tradisi baru suksesi nasional tanpa meninggalkan beban politik masa lalu adalah suksesi beretika dan beradab, serta pantas dan layak menjadi catatan sejarah perkembangan perpolitikan di republik ini. Akan tetapi, tradisi baru suksesi nasional yang masih mewariskan “ranjau politik” hanyalah sebuah filosofi “Katak Berenang” (Parlange-lange ni si bagur-red) yakni; jernih di depan keruh di belakang alias penciteraan diri yang dibungkus penuh keberpurak-purakan serta meninggalkan “bom” waktu pada pemerintahan baru.  
Politik Katak Berenang (Parlenge-lange ni si Bagur) sama sekali tak pantas dan layak diwariskan dalam politik beretika dan beradab sebab politik Katak Berenang yakni “jernih di muka keruh di belakang” sungguh sangat berbahaya terhadap rezim pemerintahan baru yang akan disibukkan kisruh, kegadugan politik warisan pemerintahan sebelumnya. Dan inilah yang dimaksudkan “Warisan Ranjau Politik” yang seharusnya tidak patut diwariskan pemerintahan lama ke pemerintahan penggantinya.    
Ranjau Politik.
Jika dicermati seksama kisruh, kegaduhan politik yang terjadi di republik ini pasca terpilihnya Presiden/Wakil Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan HM. Jusuf Kalla (JK) 09 Juli 2014 lalu ada beberapa hal yang perlu ditelisik mendetail dan obyektif dibalik tradisi baru suksesi nasional 20 Oktober 2014 lalu.
Bila proses suksesi kepemimpinan nasional ingin terlaksana dengan baik tanpa gejolak politik maka pemerintahan sebelumnya harus membuka jalan terlaksananya suksesi pemerintahan yang mulus, lancar, damai tanpa “ranjau atau jebakan” politik sehingga pemerintahan baru benar-benar efektif, efisien melanjutkan pemerintahan ke depan.
Untuk itu, berbagai produk peraturan perundang-undangan yang melibatkan eksekutif (presiden) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI hendaknya diupayakan tidak berpotensi menimbulkan kisruh ataupun kegaduhan politik bagi pemerintahan baru selaku pemegang estafet kepemimpinan nasional sehingga pergantian rezim pemerintahan tidak menimbulkan goncangan politik yang menggangu roda pemerintahan berikutnya. Artinya, rezim pemerintahan boleh berganti secara alamiah tapi roda pemerintahan berjalan sebagaimana mestinya.  
Tetapi fakta membuktikan, terbitnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD oleh sebahagian besar anggota DPR RI periode 2009-2014 pada tanggal 8 Juli 2014 yang dimotori Koalisi Merah Putih (KMP) yaitu; Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Demokrat (PD) mengambil sikap “abu-abu” telah menimbulkan kisruh, kegaduhan politik di negeri ini.
Koalisi Merah Putih (KMP) pada pemilihan presiden 09 Juli 2014 adalah pendukung/pengusung pasangan calon Presiden/Wakil Presiden Prabowo Subianto/Hatta Rajasa yang dikalahkan pasangan calon Presiden/Wakil Presiden Joko Widodo (Jokowi)/H.M. Jusuf Kalla yang didukung/diusung Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang jumlah kursinya di DPR RI minoritas.
Kekalahan kubu Koalisi Merah Putih (KMP) mengusung pasangan Prabowo Subianto/Hatta Raja dalam pemilihan presiden 09 Juli 2014 menjadi rentetan pertarungan di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI yang ditandai lahirnya UU RI Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau UU MD3 yang sangat controversial yang pada akhirnya menyapu bersih pimpinan DPR RI berserta alat kelengkapan dewan (AKD). PDI-Perjuangan selaku pemenang pemilihan legislatif (Pileg) 2014 tidak bisa otomatis menduduki posisi Ketua DPR RI periode 2014-2019. Padahal pada periode sebelumnya yakni 2009-2014 Partai Demokrat pemenang pemilihan legislatif (Pileg) otomatis menduduki Ketua DPR RI periode 2009-2014 (Undang-Undang RI Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR,DPR, DPD, dan DPRD atau MD3-red).       
Selanjutnya, empat hari menjelang akhir masa baktinya, 26 September 2014 DPR RI periode 2009-2014 kembali menyetujui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota atau yang dikenal UU Pilkada oleh DPRD atau pemilihan tidak langsung. Kemudian Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pilkada untuk membatalkan UU RI Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota oleh DPRD.
Undang-undang RI Nomor 17 tahun 2014 tentang MD3, Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pilkada, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pilkada telah menimbulkan kisruh, kegaduhan politik membebani serta merepotkan Jokowi-JK diawal-awal pemerintahannya.  
Seandainya, pemerintahan sebelumnya (SBY-Boediono-red) benar-benar membangun  tradisi baru suksesi nasional maka UU RI Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3, UU RI Nomor 22 tentang Pilkada yang menimbulkan kegaduhan dan kisruh politik tak akan pernah lahir sebab DPR RI periode 2009-2014 mayoritas dikuasai Partai Demokrat selaku partai pemerintahan rezim Susilo Bambang Yudoyono (SBY)-Boediono yang seluruh anak negeri ini tahu tergabung dalam Setgab Koalisi Partai-SBY-Boediono.  
Sungguh sangat disayangkan, niat baik Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) yang juga Ketua Umum Partai Demokrat dan Edi Baskoro Yudoyono (Anak SBY-red) Sekretaris Jenderal Partai Demokrat “diciderai dan dikotori” anggota DPR RI dari partainya sendiri dengan melakukan walkout di saat-saat genting pengambilan keputusan tentang UU RI Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pilkada. Padahal menurut pernyataan SBY di berbagai media Susilo Bambang Yudoyono (SBY) memerintahkan para anggotanya di DPR RI suapaya allout memperjuangkan Pemilihan Kepala Daerah Langsung (Pilkada) dengan tambahan syarat, bukan melakukan tindakan walkout yang membuka kemenangan kubu Koalisi Merah Putih (KMP) menyetujui UU RI Nomor 22 Tahun 2014 pemilihan kepala daerah melalui DPRD atau pemilihan tidak langsung.  
Bermain cantik dan canggih dalam politik merupakan suatu kepiawian walau pada akhirnya bisa dianalisis apakah benar atau berpurak-purak benar, setuju atau berpurak-purak setuju atas lahirnya undang-undang yang menuai penolakan publik itu.  
Untuk menganalisis makna dibalik pernyataan politik perlu dilihat dan diketahui secara pasti siapakah   pengusul UU RI Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau UU MD3, UU RI Nomor 22 tahun 2014 tentang Pilkada. Pemastian itu sangat diperlukan supaya terlihat jelas, terang-benderang siapa paling “bernafsu atau berkepentingan” atas lahirnya Undang-undang penuh kontrovesi itu.  
Bila pemerintah yang mengusulkan sebuah undang-undang maka undang-undang tersebut merupakan inisiatif pemerintah, sebaliknya jika DPR RI yang mengusulkan undang-undang berarti inisiatif DPR RI lah melahirkan undang-undang tersebut.
Memahami mekanisme pengajuan undang-undang secara utuh dan jelas memberi pemahaman komprehensif paripurna terhadap publik untuk selanjutnya bisa menilai obyektif siapakah sebenarnya “biang kerok” dibalik kisruh, kegaduhan politik atas lahirnya Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3, Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pilkada.
Sebab acapkali ditemukan politik cuci tangan ala Pontius Pilatus yang seolah-olah tak berdosa dan terlibat dalam suatu kebijakan, kasus ketika terjadi kisruh atau kegaduhan atas kebijakan atau kasus tersebut.
Politik cuci tangan, politik kambing hitam, politik penciteraan dan lain sebagainya bukanlah barang baru di dunia politik kumuh tak beradab di jagat raya ini. Itu pulalah sebabnya sangat sukar dan sulit mengetahui, memahami antara yang benar-benar dengan yang berpurak-purak dalam keputusan politik. Masing-masing dengan piawi membentangkan argumentasi canggih mempertahankan pendapatnya. Akibatnya, rakyat semakin bingung dan sulit menentukan siapa yang benar-benar dan siapa pula yang berpurak-purak.
Warisan ranjau politik adalah sebuah potensi yang bisa memicu kisruh, kegaduhan politik yang diwariskan pemerintahan sebelumnya kepada pemerintahan selanjutnya. Berbagai kebijakan dalam ideologi, politik, ekonomi, sosial, hukum, pertahanan dan keamananan serta kebijakan publik lainnya yang berpotensi menimbulkan gejolak ditengah-tengah kehidupan masyarakat, bangsa maupun negara menjadi beban pemerintahan selanjutnya.
Pemerintahan baru yang seharusnya bisa berjalan efektif, efisien untuk melanjutkan pemerintahan pendahulunya justru disibukkan berbagai kasus yang belum terselesaikan di masa pemerintahan sebelumnya. Berbagai ranjau politik yang selalu mewarnai perjalanan negeri ini dari satu rezim pemerintahan ke rezim pemerintahan berikutnya seperti; bebab utang, peraturan perundang-undangan tumpang tindih, tindak pidana korupsi, illegal fishing, illegal logging, illegal mining, kewibawaan lembaga penyelenggara negara atau pemerintahan, serta perseteruan antar institusi yang tidak pernah terselesaikan dengan tuntas.
Sebagai tradisi baru pergantian rezim pemerintahan yang di mulai pada era Susilo Bambang Yudoyono (SBY)-Boediono ke Jokowi-Jusuf Kalla walaupun masih diselimuti “warisan ranjau politik” patut dimaknai lahirnya “Tonggak Sejarah Baru” suksesi kepemimpinan nasional yang perlu ditradisikan pada pemerintahan berikutnya. Yang tidak perlu ditradisikan ialah mewariskan ranjau politik agar negeri ini terhindar dari kisruh, gaduh, dan prahara politik menguras energi bangsa terbuang sia-sia.
Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla perlu kiranya lima tahun ke depan mempersiapkan susksesi nasional atau pergantian rezim pemerintahan yang lancar, mulus, dan damai, tanpa mewariskan ranjau politik kepada pemerintahan selanjutnya.  
Kisruh, gaduh, prahara politik yang terjadi di awal-awal pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla harus dijadikan pelajaran berharga, dan tak akan terulang kembali di masa akan datang agar benar-benar seperti pernyataan Jokowi, bahwa pemilihan umum adalah pesta dan kegembiraan rakyat, bukan menimbulkan ketakuatan.
                                                                                                            Medan, 09 Maret 2015

                                                                                                            Thomson Hutasoit.
(Penulis: Alumni Pemantapan Nilai-nilai Kebangsaan Lemhannas RI bagi kalangan Akademisi, Birokrasi, Tokoh Agama, Tokoh Adat, Tokoh Masyarakat, Tokoh Pemuda, di Provinsi Sumatera Utara, Tahun 2014) tinggal di Medan.