rangkuman ide yang tercecer

Minggu, 08 Maret 2015

Pembuktian Janji Presiden Jokowi



Pembuktian Janji Presiden Jokowi “Hanya Tunduk Konstitusi dan kehendak Rakyat”
Oleh : Thomson Hutasoit  
Pendahuluan.
            Ketika presiden/wakil presiden Joko Widodo (Jokowi)/ H.M. Jusuf Kalla (JK) menucapakan Sumpah/Janji di depan Sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) 20 Oktober 2014 lalu, Jokowi dengan tegas dan lantang mengatakan “Hanya tunduk pada konstitusi dan kehendak rakyat” tentu diingat dan dicatat rakyat republik ini sebagai parameter mengukur konsistensi pemerintahan Jokowi/JK untuk lima tahun ke depan.
            Mungkin bagi sebahagian pihak di negeri ini pernyataan Jokowi itu dianggap hanya sekadar jargon politik, bahkan lips service belaka bercermin pada statement-statement politik pemerintahan sebelum-sebelumnya yang sangat berbanding terbalik antara pernyataan atau janji-jani dengan fakta empirik implementasi di lapangan. Bahkan, di masa pemerintahan otoritarian orde baru (Orba) rezim Soeharto rakyat harus pintar membaca makna terbalik dibalik pernyataan pemerintahan ketika itu. Berbagai jargon politik seperti menyesuaikan harga yang memiliki makna sama dengan kenaikan harga, dan lain-lain amat sangat banyak diproduksi untuk “mengelabui” berbagai kebijakan keliru pemerintahan. Rakyat diposisikan sebagai “mahluk bodoh” yang tidak mampu sama sekali mengerti dan memahami pengelolaan tata pemerintahan yang baik dan benar. Dan jika ada yang berani melakukan penolakan dan parotes terhadap pemerintah berkuasa siap-siap dijadikan musuh negara dengan diberi label “PKI (Partai Komunis Indonesia)” yang merupakan momok paling menakutkan pada zaman itu. Bahkan banyak rakyat yang kritis terhadap pemerintahan mengalami “kematian perdata” tanpa pernah mengetahui pelanggaran hukum apa yang telah dilakukan.
            Penolakan terhadap kebijakan pemerintah berkuasa diotomatisasi sebagai penolakan terhadap negara. Padahal, pemerintahan berkuasa (eksekutif) tidaklah sama dan indentik dengan negara yang menurut para ahli tata negara, bahwa negara terdiri dari pemerintahan yang sah, rakyat, wilayah dan pengakuan internasional. Sehingga amat keliru besar apabila menyamakan pemerintah berkuasa (eksekutif/presiden) dengan negara.
            Sekalipun secara tegas, jelas, terang-benderang dalam konstitusi dinyatakan, bahwa Negara Republik Indonesia berdasarkan hukum tetapi dalam kenyataannya hukum cenderung dijadikan alat kekuasaan. Bahkan banyak peraturan perundang-undangan diproduksi semata-mata alat kekuasaan dan melanggengkan kekuasaan itu sendiri. Akibatnya, ketundukan terhadap hukum dan konstitusi tergantikan masif dan absolut ketundukan pada kekuasaan. Karena itu, muncul pameo di ruang publik “segudang kebenaran segenggam kekuasaan, kekuasaan lah menentukan atau pemenang”. Pameo ini tentu sangatlah berbahaya dan mengancam eksistensi negeri ini sebagai negara hukum.
            Karena itu, pernayataan Jokowi di depan Sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia ketika dirinya resmi secara de facto dan de jure sebagai presiden Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan sungguh fundamental, cerdas dan jenial untuk mengembalikan rel manajemen pengelolaan negara yang hanya tunduk pada konstitusi dan kehendak rakyat sebagai wujud nyata negara hukum dan demokrasi.
            Pernyataan kenegaraan yang dikumandangkan Presiden Jokowi kepada seluruh rakyat Indonesia, bahkan ke seluruh penjuru seantero jagat raya kemungkinan besar terluput dari pantauan pihak-pihak tertentu karena ketika itu ada yang dimabuk eforia kemenangan dan adapula yang masih dirundung kekalahan sehingga pernyataan sang presiden yang sedemikian esensial terluput pula dari perhatian sungguh-sungguh atas statement politik pemerintahan Jokowi-JK lima tahun ke depan.
            Seandainya, setiap orang, elite politik di negeri ini mengerti, memahami dan menyadari arti dan makna pernyataan Presiden Jokowi komprehensif dan paripurna maka tak perlu heran dan terperanjat atas langkah kebijakan Jokowi dalam menyelesaikan berbagai kisruh politik yang terjadi di republik ini, termasuk penyelesaian kisruh Komisi pemberantasan Korupsi (KPK) versus Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dipicu pengajuan calon Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan yang kemudian ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang selanjutnya oleh Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dinyatakan tidak sah dan tidak mengikat secara hukum.
            Dalam situasi kegaduhan dan kisruh politik yang sedemikian sulit dan pelik Presiden Jokowi dipaksa dan ditekan dari berbagai kutub kepentingan politik seperti partai politik pendukung yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yakni; PDI-Perjuangan, Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP kubu Romi), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKP-Indonesia). Partai oposisi yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) yakni; Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN) Partai Demokrat (PD), Partai Bulan Bintang (PBB). Koalisi masyarakat sipil penggiat anti korupsi, pakar hukum, akademisi, dan kelompok masyarakat lainnya yang kadangkala “merasa di atas hukum” memaksakan kehendak masing-masing dengan berbagai argumentasinya.
            Menghadapi kisruh dan kegaduhan politik itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menunjukkan jiwa kenegarawanan yang sangat luar bisa dengan mengeluarkan statement  politik “Jangan ada sok di atas hukum”. Pernyataan ini tentu terasa menohok bagi pihak-pihak yang selama ini “paling hebat, paling top, paling benar. paling suci, paling pintar, paling berkuasa” di negeri ini.
            Pernyataan itu sebenarnya adalah sebuah sinyal sikap politik Presiden Jokowi sebagaimana telah diucapkan di depan Sidang Paripurna Majelis Permusyaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia 20 Oktober 2014 “Hanya tunduk pada konstitusi dan kehendak rakyat”.


Tunduk pada Konstitusi.
            Bagi sebahagian orang Sumpah/Janji Jabatan mungkin dipandang hanya sekadar upacara seremonial belaka. Tapi bagi Presiden Jokowi yang mengawali karier politik dari Walikota Surakarta Solo, Gubernur DKI Jakarta selanjutnya Presiden Republik Indonesia adalah Sumpah/Janji yang harus dipertanggungjawabkan secara hukum, moral dan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehingga Sumpah/Janji Jabatan itu adalah harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar dengan alasan apapun juga.
            Pada pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dengan tegas dikatakan, bahwa Sebelum memangku jabatanya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana termaktub pada  Sumpah Presiden (Wakil Presiden): “Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa”.
            Bila diperhatikan dan dicermati seksama lafal Sumpah Presiden (Wakil Presiden) pada pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 maka pernyataan Presiden Jokowi “Hanya Tunduk pada konstitusi dan kehendak rakyat” adalah wujud nyata Negara Republik Indonesia (NRI) sebagai negara hukum.
 Walaupun presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan tidak boleh sekali-sekali mempertontonkan kekuasaan “di atas hukum (konstitusi)”. Sebab kekuasaan presiden bukan tak terbatas. Jika presiden memosisikan diri di atas hukum bukan tunduk kepada konstitusi maka presiden telah menjadikan dirinya diktator otoriter sebagaimana rezim pemerintahan Soeharto yang ditumbangkan reformasi 1998 lalu.    
            Sekalipun Joko Widodo (Jokowi) kader PDI-Perjuangan serta didukung partai pengusung yakni Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dia sadar sesadar-sadarnya begitu mengucapkan Sumpah Presiden dirinya “hanya tunduk kepada konstitusi dan kepentingan Nusa dan Bangsa” bukan lagi tunduk pada kepentingan partai politik pengusungnya apalagi masih menjadikan dirinya petugas partai yang notabene partisan.
Batas Jokowi petugas partai berhenti dan berakhir ketika Joko Widodo (Jokowi) mengucapkan Sumpah Presiden di hadapan Sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia, kemudian sejak detik itu Jokowi telah memangku Jabatan Presiden Republik Indonesia milik seluruh rakyat Indonesia, bukan presiden partai politik tertentu.   
            Sebagai milik seluruh rakyat Indonesia, baik yang berpartai politik maupun non partai politik Jokowi harus memosisikan diri “hanya tunduk pada konstitusi” bukan lagi tunduk kepada partai politik. Pertanyaannya ialah apakah Jokowi telah “mengkhianati atau mbalelo” terhadap partai politik pengusungnya ? Tentu tidak ! Justru partai politik pengusungnyalah yang tidak memahami, menyadari arti dan makna Sumpah Presiden (Wakil Presiden) secara baik dan benar sehingga masih ingin “mendikte dan memaksakan” kepentingan partai politiknya kepada kader partai yang telah memangku jabatan publik yang memikul kewajiban mengayomi, melindungi seluruh rakyat Indonesia, tanpa kecuali. Kekeliruan pengertian, pemahaman demikianlah memicu  kecenderungan ketua atau petinggi partai politik berusaha sekuat tenaga dan pemikiran menjadi calon presiden, gubernur, bupati/walikota di negeri ini.
            Pada sistem pemerintahan parlementer ketua atau petinggi partai politik menjadi presiden/wakil presiden, gubernur, bupati/walikota adalah hal wajar, tetapi pada sistem pemerintahan presidensial hal seperti itu harus dipahami suatu kekeliruan luar biasa sebab presiden adalah pilihan rakyat langsung.
            Sekalipun calon presiden/wakil presiden, gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota diusung partai politik tetapi menentukan keterpilihan tetap berada di tangan rakyat, bukan di tangan partai politik. Buktinya, calon presiden, gubernur, bupati/walikota dengan pasangannya yang didukung partai politik besar ataupun koalisi partai-partai tidak otomatis memenangi pemilihan yang digelar. Partai politik atau koalisi partai politik yang merupakan “makhluk aneh” pada sistem pemerintahan presidensial sejatinya hanya berfungsi dan berperan memasok dan mengajukan kader-kader terbaiknya untuk dipilih rakyat pada pemilihan presiden, gubernur, bupati/walikota sebagaimana diatur Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Undang-undang Pemilihan Umum, Undang-Undang Partai Politik, dan lain sebagainya.     
            Kekeliruan semacam inilah yang ingin diperbaiki dan diluruskan Presiden Jokowi yang diawali statement  politik kenegaraan pada detik-detik awal memangku presiden periode 2014-2019 di depan Sidang Paripurna MPR RI 20 Oktober 2014 lalu. Sikap politik Presiden Joko Widodo (Jokowi) “hanya tunduk pada konstitusi dan kehendak rakyat” sepertinya belum bisa diterima para elite politik yang selama ini telah “merampas dan mengkudeta” kedaulatan rakyat menjadi kedaulatan partai politik. Sikap politik Presiden Jokowi yang seiring sejalan dengan amanah konstitusi telah dianggap para “oportunis” politik sebagai “pengkhianatan atau sikap mbalelo” Jokowi pada partai pengusung serta terancamnya kepentingan partai dalam pemerintahan Jokowi-JK lima  tahun ke depan.
            Statement keras tak luput dilontarkan di ruang publik, bahkan niatan-niatan penggunaan hak interpelasi, hak angket, hak mengajukan pendapat sebagai cermin kekecewaan atas sikap politik Jokowi, sadar atau tidak sadar memperjelas kekeliruan mengerti dan memahami sistem pemerintahan presidensial sejati para elite politik di republik ini. Untunglah, kecerdasan politik rakyat di negeri ini telah jauh menembus “kelicikan” pencundang-pecundang politik yang bertengger dipusaran epicentrum partai politik saat ini.    
            Tunduk pada konstitusi bukan sekadar retorika dan penghias bibir (lips service) tetapi upaya nyata melandaskan kebijakan publik beralaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 beserta seluruh peraturan perundang-undangan seadil-adilnya, selurus-lurusnya tanpa intervensi pihak manapun. Inilah wujud ketegasan seorang negarawan sejati, bukan para oportunis politik,  “sok di atas hukum” yang merasa diri paling hebat dan paling berjasa di negeri ini.  
            Berbagai pihak berteriak lantang tentang kepastian hukum tetapi jika diperhatikan dengan cermat dan seksama tidak sedikit pula mereka mempertontonkan perilaku ambivalen, ambigu ketika bersinggungan dengan kepentingan politiknya sendiri. Bahkan tidak sedikit pula menjalankan hukum sebagai alat kekuasaan yang ujung-ujungnya merusak tatanan hukum di republik ini berakibat negara hukum tanpa kepastian hukum. Fenomena yang terjadi belakangan ini hukum tunduk di bawah tekanan “unjuk rasa/demonstrasi ataupun politik” karena merasa “Sok di atas hukum”.   
            Kesadaran Presiden Jokowi memosisikan diri “Tunduk pada konstitusi” ketika kekuasaan digenggam adalah suatu hal langka dan istimewa di belantara haus kuasa yang selalu memosisikan diri di atas hukum patut dimaknai oase di gurun pasir kekacauan berhukum di negeri ini.
Jika makna sejati kehadiran hukum untuk membatasi arogansi kekuasaan terhadap pihak lemah maka sepanjang sejarah perjalanan republik ini justru sebaliknya hukum menjadi alat kekuasaan untuk melanggengkan kekuasaan itu sendiri. Disinilah bukti nyata, bahwa pemangku kekuasaan “Tidak pernah nyata-nyata hanya tunduk pada konstitusi” sebagaimana sikap tegas Presiden Jokowi yang berkehendak kuat menegakkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 secara baik dan benar supaya republik ini benar-benar negara hukum.   
            Oleh sebab itu, pernyataan tegas Presiden Jokowi “hanya tunduk konstitusi” harus dijadikan kesadaran baru untuk menghentikan dan mengakhiri segala bentuk intervensi hukum dalam bentuk apapun agar republik ini mampu menyongsong hari depan lebih baik.
Tunduk pada kehendak rakyat.  
             Pernyataan “tunduk pada kehendak rakyat” adalah cerminan nyata menghormati, menjunjung tinggi daulat rakyat yang memilih Jokowi sebagai Presiden Republik Indonesia periode 2014-2019 melalui pemilhan umum 2014 lalu.
            Jokowi menyadari sesadar sadarnya, bahwa keterpilihannya sebagai presiden dan H.M. Jusuf Kalla wakil presiden tidak lain dan tidak bukan hanyalah kehendak rakyat semata. Partai politik pengusung adalah kendaraan atau sarana pencalonan yang diamanahkan konstitusi. Keterpilhan pasangan calon presiden, gubernur, bupati/walikota bukan ditentukan partai politik, tetapi pilihan (suara) rakyat terhadap sosok (figur) calon pemimpin yang dikehendaki rakyat itu sendiri.
            Harus disadari pula, bahwa keterpilihan presiden, gubernur, bupati/walikota dalam sistim pemilihan langsung ditentukan suara rakyat bukan suara partai politik. Karena itulah presiden hanya tunduk pada kehendak rakyat yang memilihnya, bukan partai politik pengusungnya. Rakyat lah yang berdaulat untuk memilih dan menentukan pemimpinnya (presiden/wakil presiden), sementara partai politik hanya berhak mengajukan atau mengusung calon presiden, gubernur, bupati/walikota dalam pemilihan umum.
            Ketegasan sikap politik Jokowi yang “hanya tunduk pada konstitusi dan kehendak rakyat” adalah wujud nyata jiwa kenegarawanan sejati yang mengerti dan memahami komprehensif paripurna sistem pemerintahan presidensial murni yang dibelokkan pada pemerintahan-pemerintahan sebelumnya.
            Pergantian rezim pemerintahan sejak republik ini merdeka belum secara nyata-nyata memperkuat sistem pemerintahan presidensial harus pula dimaknai sebagai akibat kekeliruan pemahaman tentang sistem pemerintahan yang diamanahkan konstitusi. Kekeliruan pemahaman itulah yang ingin diperbaiki dan diluruskan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang diawali sikap politiknya “Hanya tunduk pada konstitusi dan kehendak rakyat” di depan Sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia 20 Oktober 2014 lalu.
            Sikap politik yang ingin mengembalikan “Kedaulatan di tangan rakyat” bukan di tangan partai politik seharusnya dimaknai seluruh rakyat Indonesia sebagai “Tonggak Sejarah Baru” kembalinya republik ini pada cita-cita para pendiri bangsa (founding fathers) yang diproklamerkan 17 Agustus 1945 berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Bhinneka Tunggal Ika dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) seperti ditegaskan pada pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 berbunyi: “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat” (Asli), selanjutnya diamandemen pasal 1 ayat (2) “Kedaulatan berada ditangan rakyat, dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.
            Selanjutnya, pasal 6A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (Amandemen) ayat (1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat; (2) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”; dan seterusnya.
            Dari amanah konstitusi ini jelaslah, bahwa sikap politik Presiden Jokowi adalah seiring sejalan, senafas dan sejiwa dengan amanah konstitusi sehingga sangat tidak beralasan bila ada partai politik ingin memakzulkan (impeachment) Jokowi karena tidak “tunduk” pada garis partai politik pengusungnya.
            Presiden Jokowi berkeinginan kuat untuk menegakkan, menjunjung tinggi  konstitusi dengan baik dan benar, sebaliknya partai politik ingin membelokkan, mengkhianti konstitusi demi kepentigan partai. Kisruh, karut marut peta politik pasca pelantikan Presiden Jokowi/Wakil Presiden JK mempertegas kekeliruan pemahaman sistem pemerintahan presidensial selama ini.  Presiden Jokowi ingin meluruskan, mengembalikan sistem pemerintahan presidensial yang baik dan benar, sementara partai politik pungusung tak rela melepaskan cengkraman politiknya terhadap presiden/wakil presiden karena tetap masih beranggapan/berasumsi presiden adalah “petugas partai”.
            Sikap politik Jokowi “Hanya tunduk pada konstitusi dan kehendak rakyat” tidak boleh kendur sebab sikap dan jiwa kenegarawanan seperti itulah dambaan seluruh rakyat di negeri ini untuk mengembalikan “kedaulatan ditangan rakyat” secara nyata.
            Maju terus, rakyat berada dibelakang pemerintahan Jokowi-JK.
                                                                                                            Medan, 8 Maret 2015
(Penulis: Alumni Pemantapan Nilai-nilai Kebangsaan Lemhannas RI bagi kalangan Akademisi, Birokrasi, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, Tokoh Adat Tokoh Pemuda di Provinsi Sumatera Utara tahun 2014).      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.